Saronen, Kesenian Madura yang Hampir Punah di Desa Rombiya Timur

  • Bagikan
Matzali saat meniup saronen di rumahnya. (foto : screnahot yutube Pemdes Rombiya Timur)

Reporter : Yanto

Sumenep – Harianjatim.com, Kesenian tradisional Saronen di Desa Rombiya Timur, Kecamatan Ganding, Sumenep, Jawa Timur sempat menjadi idaman warga. Bahkan, salah satu warga desa itu sempat ada yang memiliki group saronen.

Beriring dengan kemajuan zaman, kini saronen mulia ditinggalkan. Mungkin karena generasi penerus sudah tidak lagi menggemari kesenian tersebut.

Meski generasi milenial sudah tidak menekuni lagi, namun salah satu warga Desa Rombiya Timur yang masih eksis menekuni kesenian tradisional itu.

Sebut saja namanya Matzali. Warga yang tinggal di Dusun Klampok Barat, Desa Rombiya Timur itu sering mendapat job, meski sejak beberapa tahun ini sudah tidak lagi ada job baru.

Matzali sebagai tukang tiup Soronen atau alat tiup musik tradisional. Bentuknya seperti terompet, dengan bahan semuanya dari kayu.

Baca Juga : Mata Air “Somber Raja” tak Pernah Surut Meski Kemarau Panjang

Musik ini memiliki ciri khas serta keunikan tersendiri di pulau garam ini, keindahan irama musik saronen menjadi penyempurna dalam acara pertunjukan budaya Madura seperti kerapan sapi dan kontes sapi sono’.

“Soronen ini sudah lama ada, kalau istilah kuno-nya Pasera Se Oneng (siapa yang tahu). Ini berasal dari (Desa) Juluk sangat sulit ditiup atau memainkan,” katanya seperti dikutip dari Yutube Pemdes Desa Rombiya Timur.

Dilansir dari Wikipedia, Saronen adalah musik rakyat yang tumbuh berkembang di Madura. Harmonisasi yang dinamis, rancak, dan bertema keriangan dari bunyi yang dihasilkannya memang dipadukan denga karakteristik dan identitas masyarakat Madura yang tegas, polos, dan sangat terbuka mengilhami penciptanya. Soronen berasal dari bahasa Madura “sennenan” (Hari Senin).

Ciri khas musik Saronen ini terdiri dari sembilan instrumen yang sangat khas, karena disesuaikan dengan nilai filosofis Islam yang merupakan kepanjangan tangan dari kalimat pembuka Al-Qur’anul Karim yaitu “Bimillahirrahmanirrahim” yang kalau dilafalkan terdiri dari sembilan keccab.

Kesembilan instrumen musik SARONEN ini terdiri dari: 1 saronen, 1 gong besar, 1 kempul, 1 satu kenong besar, 1 kenong tengahan, 1 kenong kecil, 1 korca, 1 gendang besar, 1 gendang dik-gudik ( gendang kecil ).

Yang menarik dan menjadi jiwa dari musik ini satu alat tiup berbentuk kerucut, terbuat dari kayu jati dengan enam lubang berderet di depan dan satu lubang di belakang.

Sebuah gelang kecil dari kuningan mengaitkan bagian bawah dengan bagian atas ujungnya terbuat dari daun siwalan . Pada pangkal atas musik itu ditambah sebuah sayap dari tempurung menyerupai kumis, menambah kejantanan dan kegagahan peniupnya.

Alat tiup yg mengerucut ini berasal dari Timur Tengah yang dimodifikasi bunyinya. Pada perhelatan selanjutnya musik saronen ini dipakai untuk mengiringi lomba kerapan sapi, kontes sapi sono’, upacara ritual, resepsi pernikahan, kuda serek (kencak).

Baca Juga : Melihat Kebiasaan Warga Pelosok Desa, “Marung” Jadi Sarana Akses Informasi

Menurut Matzali, tidaklah mudah memainkan saronen atau alat tiup itu, karena membutuhkan keahlian tersendiri.

Dirinya baru bisa memainkan, setelah belajar dengan waktu yang cukup lama. Bahkan, dia mengistilahkan meniup saronen lebih sulit dari orang mencangkul di ladang.

“Saya belajar pada orang Juluk, pada Pak Budin sekitat tahun 2000 an. Lama saya belajar dan baru bisa,” jelas dia.

Juluk merupakan salah satu desa di Kecamatan Saronggi. Kabarnya, hingga saat ini soronen di desa tersebut tetap dilestarikan.

Untuk suara atau musik saronen kata Matzali bisa dimudifikasi sesuai dengan kelihayan tukang tiupnya. Semisal dipola dengan nyanyian Tandau’ Majàng, Gelleng Sokoh, Potre Madure, Kerraban Sape dan yang lainnya.

Saat ini yang bisa meniup saronen di Desa Rombiya Timur hanya ada dua orang, yakni dirinya bersama Muhni yang juga bertempat tinggal di Dusun Klampok Barat, Desa Rombiya Timur.

Namun sayangnya, peniup saronen tampak akan punah di Desa Rombiya Timur. Mengingat sampai saat ini tidak ada pemuda yang belajar sebagai penerus mereka berdua.

“Kalau saya siap untuk mengajari, tapi tidak ada yang mau belajar,” tegas dia.

Matzali menjadi contoh pada generasi melenial saat ini. Doa merupakan orang yang sangat tekun dalam bidang kesenian. Berkat keahliannya, dia bisa mengunjungi beberapa daerah di Madura, juga dia sampai ke Jakarta.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 336x280