Academia.eduAcademia.edu
KOMPLIKASI DIABETES MELITUS Muhammad Sobri Maulana Komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi komplikasi vaskular dan non vaskular. Komplikasi vaskular dibagi lagi menjadi makrovaskular dan mikrovaskular. Komplikasi mikrovsakular seperti retinopati, neuropati, dan nefropati. Sedangkan komplikasi makrovaskular seperti penyakit arteri koroner, penyakit arteri periperal dan penyakit sereberovaskular. Retinopati Diabetik Pendahuluan Gambar 1. Retinopati diabetik Salah satu komplikasi DM adalah retinopati diabetik. Pada kondisi ini pasien biasanya mengalami kebutaan. Komplikasi ini biasanya terjadi pada usia 20-74 tahun. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibandingkan dengan nondiabetes. Ketika diabetes tipe 1 ditegakkan retinopati diabetik hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien. Namun setelah 10 tahun prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun prevalensi menjadi lebih dari 90%. Patogenesis Ada tiga proses biokimiawi yang dianggap sebagai faktor risiko utama terjadinya retinopati diabetik yaitu jalur poliol, glikasi nonenzimatik dan pembentukan proein kinase C. Pada jalur poliol, hiperglikemia yang lama dapat menyebabkan produksi berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu senyawa gula dan alkohol. Produksi ini dapat masuk ke dalam jaringan termasuk lensa dan saraf optik. Senyawa poliol ini tidak dapat melewati membran basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak di dalam sel. Penimbunan senyawa poliol itu selanjutnya menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel. Proses biokimiawi selanjutnya adalah jalur glikasi nonenzimatik. Kondisi hiperglikemia dapat menyebabkan glikasi nonezimatik pada protein dan asam deoksiribonukleat (DNA). Kejadian ini dapat menghambat aktivitas enzim dan kebutuhan DNA. Protein yang mengalami glikasi dapat membentuk radikal bebas yang selanjutnya menyebabkan kerusakan sel. Mekanisme biokimiawi yang terakhir adalah protein kinase C. Pasien DM cenderung untuk memiliki kondisi hiperglikemia. Kondisi ini selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan aktivitas protein kinase C di retina dan sel endotel. Hal ini kemudian mempengaruhi permeabilitas vaskuler, kontraktilitas, sintesis membran basalis, dan proliferasi sel vaskuler. Patofisiologi Dalam menjaga kesehatan dan aktivitas metabolisme, reitna sangat bergantung pada pembuluh kapiler retina. Di retina, pembuluh kapiler menyebar hampir ke seluruh permukaan retina. Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetik terletak pada kapiler retina tersebut. Dinding kapiler retina terdiri atas tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membran basalis, dan sel endotel. Sel perisit berfungsi untuk mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barier dan transportasi kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel. Membran basalis berfungsi sebagai barier dan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel endotel memiliki ikatan dengan satu sama lain dengan matriks ekstrasel dari membran basalis membentuk barier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul kecil. Pada retinopati diabetik perubahan histopatologi yang terjadi berupa penebalan membran basalis dan hilangnya perisit dan proliferasi endotel. Patofisiologi terjadinya retinipati diabetik dapat dijelaskan dengan beberapa proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler yaitu pembentukan mikroaneurisma, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, penyumbatan pembuluh darah, proliferasi pembuluh darah dan jaringan fibrosa di retina, dan kontraksi jaringan fibrosis di retina. Penyumbatan dan hilangnya perfusi dapat menyebabkan iskemia retina . Setelah itu pasien dapat mengalami kebutaan. Kebutaan dapat terjadi dengan beberapa mekanisme seperti edema makula atau nonperfusi kapiler, pembentukan pembuluh darah baru pada retinopati diabetik proliferatif dan kontraksi jaringan fibrosis yang dapat menyebabkan ablasio retina, selanjutnya pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan pendarahan preretina dan vitrous. pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaukoma. Klasifikasi Retinopati diabetik dapat dibagi menjadi dua yaitu: nonprolifertaif dan proliferatif. Retinopati nonproliferatif biasanya muncul pada akhir dekade pertama atau awal dekade kedua pasien terkena DM. Bentuk ini merupakan kelainan yang sering ditemukan dan tanpa gejala. Stadium ini sulit dideteksi jika hanya menggunakan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara yang paling baik digunakan adalah foto fundus dan fundal fluorescein angiography (FFA). Saat melakukan pemeriksaan itu hal yang dapat diamati adalah adanya mikroaneurisma pada kapiler retina. Mikroaneurisma tampak berupa bintik merah dengan diameter antara 15-60 im dan sering kelihatan pada bagian posterior. Terjadinya mikroaneurisma diduga berhubungan dengan faktor vasoproliferatif yang dihasilkan endotel, kelemahan dinding kapiler akibat berkurangnya sel perisit, serta meningkatnya tekanan intraluminal. Kelainan morfologi lain yang dapat terlihat adalah penebalan membran membran basalis, perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai bercak kuning. Perdarahan dapat terjadi karena adanya kebocoran eritrosit. Eksudat terjadi karena adanya kebocoran dan deposisi lipoprotein plasma sedangkan edema terjadi akibat kebocoran cairan plasma. Selain retinopati diabetik nonproliferatif dapat juga terjadi retinopati diabetik proliferatif. Retinopati diabetik proliferatif ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru. Pembuluh darah tersebut hanya berisi satu lapis endotel tanpa sel perisit dan membran basalis sehingga bersifat sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan. Pembuluh darah baru tersebut sangat berbahaya karena dapat tumbuh meluas keluar retina sampai ke vitreus. Akibatnya dapat meninmbulkan kebutaan. Jika terjadi perdarahan transmisi cahaya yang masuk ke dalam vitreus terhalangi dan menimbulkan penampakan berupa bercak warna merah, abu-abu, dan hitam. Apabila perdarahan berlangsung terus menerus dapat menimbulkan fibrosis atau sikatriks pada retina. Kondisi ini dapat menyebabkan ablasio retina yaitu retina tertarik sampai terlepas. Hal ini terjadi karena retina hanya terdiri dari beberapa lapis sel saja dan tidak dapat menahan tekanan dari sikatriks yang terbentuk. Selain itu pembuluh darah baru juga dapat menimbulkan stroma dari iris kemudian bersama dengan jaringan fibrosis dapat meluas sampai ke sudut dari chamber anterior. Keadaan tersebut dapat menimbulkan glaukoma neovaskuler yang ditandai dengan meningkatnya tekanan intraokuler. Pencegahan dan pengobatan Pencegahan merupakan hal yang palng disarankan untuk dilakukan. Namun jika sudah terkena maka harus dilakukan pengobatan. Prinsip pengobatan yang dapat dilakukan adalah mencegah terjadinya kebutaan permanen. Metode pencegahan dan pengobatan yang dilakukan saat ini ada beberapa yaitu kontrol glukosa darah, kontrol tekanan darah, ablasi kelenjar hipofisis melalui pembedahan atau radiasi, koagulasi sinar dengan laser, dan virektomi untuk perdarahan vitreus atau ablasio retina. Pada waktu diagnosis DM ditegakkan pasien perlu untuk melakukan pemeriksaan minimal setiap tahun. Hal ini karena pasien tanpa retinopati pada awal diagnosis DM ditegakkan memiliki presentasi 5%-10% akan mengalami retinopati setelah 1 tahun. Selain itu perlu juga untuk melakukan kontrol glukosa. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa bahwa pasien dengan glukosa terkontrol memiliki penurunan risiko terkena retinopati diabetik sebesar 76%. Demikian juga pada pasien yang sudah terkena retinopati kontrol glukosa dapat mencegah perburukan glukosa sebesar 54%. Selain kontrol glukosa perlu juga dilakukan kontrol hipertensi. Berbagai studi menunjukkan bahwa kelompok pasien dengan kontrol tekanan darah secara ketat mengalami penurunan progresifitas retinopati sebesar 34%. Selain itu dapat juga dilakukan fotokoagulasi. Penelitian yang dilakukan oleh National Institutes of Health di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pengobatan dengan sinar laser sangat efektif untuk pasien dengan retinopati diabetik proliferatif dan edema makula. Kemudian dapat juga dilakukan vitrektomi. Indikasi untuk dilakukan nya vitrektomi adalah retinopati diabetik proliferatif berat, perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan. Sedangkan proliferatif retinopati diabetik biasanya berkembang dari nonproliferatif retinopati diabetik. Proliferatif retinopati merupakan suatu neovaskularisasi dan fibrosis. Lesi ini bisa menimbulkan akibat yang serius seperti kebutaan terutama jika mengenai makula. Selain itu dapat juga terjadi perdarahan pada vitrous akibat ruptur kapiler yang baru terbentuk. Nefropati diabetik Pendahuluan Nefropati diabetik merupakan sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Di Amerika dan Eropa nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dan 2 sebanding, tapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1. Klasifikasi Tahap Kondisi Ginjal AER LFG TD Prognosis 1 Hipertrofi Hiperfungsi N ↑ N Reversibel 2 Kelainan struktur N ↑ ↑/N Mungkin reversibel ↑/N ↑ Mungkin reversibel Rendah Hipertensi Mungkin bisa stabilisasi <10 ml/menit Hipertensi Kesintasan 2 tahun+50% 3 4 5 Mikroalbuminuria 20-200 mg/men persisten Makroalbuminuria >200 mg/men proteinuria Uremia Tinggi/rendah *AER: albumin exretion rate, LFG: Laju filtrasi glomerulus, TD: tekanan darah, N: Normal Mikroalbuminuria Mikroalbuminuria didefenisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg perhari dan dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetik. Berikut tabel laju ekskresi albumin urin. Kondisi Normoalbuminuria Mikroalbuminuria Makroalbuminuria Laju ekskresi albumin urin 24 jam (mg/hari) Sewaktu (µg/menit) <30 <20 30-300 20-200 >300 >200 Perbandingan albumin urin –kreatinin <30 30-300 >300 Namun, yang perlu diperhatikan adalah ada banyak hal yang dapat menyebabkan mikroalbuminuria di samping diabetes. Contohnya: tekanan darah tinggi, umur lanjut, stress, infeksi sistemik atau saluran kemih, dan lain-lain. Diagnosis dapat ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan adanya mikroalbuminuira. Patofisiologi Mekanisme terjadi nefropati diabetik disebabkan oleh hiperfiltrasi. Kondisi hiperglikemia dapat menyebabkan peningkatan rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β. Hal ini diperantarai oleh aktivasi protein kinase C dan glikasi advanced glycation end product (AGEs) yang irreversibel. Mekanismenya mirip dengan mekanisme pada komplikasi retinopati diabetik. Patologi Nefropati diabetik juga merupakan salah satu komplikasi tersering pada penderita diabetes melitus. Pada kondisi ini ditemukan tiga kelainan penting yaitu: (1) lesi glomerulus, (2) lesi vaskuler ginjal, terutama arterosklerosis, (3) pielonefritis, termasuk papilitis nekrotikans. Lesi glomerulus dapat berupa penebalan basal kapiler, glomerulosklerosis difus, dan glomerulosklerosis nodular. Glomerulosklerosis difusi terdiri atas peningkatan diufs matriks mesangium disertai proliferasi sel mesangium dan hampir selalu disertai penebalan membran basal. Kelainan ini biasanya muncul 10 tahun setelah pasien mengidap DM. Setelah glomerulosklerosis menjadi semakin jelas pasien dapat memperlihatkan gejala sindrom nefrotik yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, dan edema. Lesi juga dapat berupa glomerulosklerosis nodular. Lesi ini merupakan lesi glomerulus yang memperlihatkan gambaran khas berupa endapan mirip bola-bola matriks berlapis di dalam inti mesangium lobulus. Nodulus ini sering muncul di bagian perifer glomerulus. Nodulus ini mendorong gelungan kapiler glomerulus semakin ke tepi. Pada tahap yang lebih lanjut semua lobulus dapat terkena dan memperberat penyakit. Pada lesi vaskular dapat terjadi aterosklerosis dan arteriosklerosis. Mekanisme terjadi aterosklerosis dan arterioslerosis di ginjal sama dengan yang terjadi di bagian tubuh lain. Di ginjal arteriosklerosis dapat terjadi baik pada arteriol aferen maupun eferen. Selain itu dapat juga timbul lesi berupa pielonefritis. Pieolonefritis biasanya berupa perdangan akut atau kronis ginjal yang biasanya berawal di jaringan interstisium, kemudian menyebar untuk mempengaruhi tubulus dan glomerulus. Salah satu pola khusus pielonefritis akut adalah pipilitis nekrotikans. Papilitis nekrotikans merupakan nekrosis akut pada papila ginjal. Gambaran makroskopik pada papilitis nekrotikans adalah nekrosis berwarna abu-abu putih sampai kuning yang berbatas tedas di dua pertiga apeks piramid. Kemudian secara mikroskopik dapat ditemukan adanya nekrosis koagulatif khas disertai infiltrat neutrofilik di sekitarnya. Tatalaksana Pada saat diagnosis DM ditegakkan, kemungkianan adanya penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa. Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksan terhadap mikroalbuminuria serta penentuan kretinin serum dan klirens kreatinin. Tes Penentuan mikroalbuminuria Evaluasi awal Sesudah pengendalian gula darah awal (dalam 3 bulan diagnosis ditegakkan) Klirens kreatinin Saat awal diagnosis ditegakkan Follow up DM tipe 1: tiap tahun setelah 5 tahun DM tipe 2: tiap tahun setelah diagnosis ditegalkkan Tiap 1-2 tahun sampai LFG <100 ml/men/1.73m2, kemudian tiap tahun atau lebih sering Kreatinins serum Saat awal diagnosis ditegakkan Tiap tahun atau lebih sering tergantung dari laju penurunan fungsi ginjal Neuropati Diabetes Definisi Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pada penderita diabetes melitus. Risiko yang dihadapi pasein DM dengan neuropati diabetik adalah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh, dan amputasi jari.kaki. Neuropati diabetik merupakan gangguan klinis maupun subklinis yang terjadi pada pasien diabetes tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Patogenesis Proses terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance glycosilation end product (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi proetin kinase C. Aktivasi berbagai jalur tersebut menyebabkan kurangnya vasodilatasi sehingga aliran darah ke saraf menurun. Terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan. Keadaan tersebut menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldolase reduktase. Aktivasi tersebut dapat mengubah glukosa menjadi sorbitol. Sorbitol kemudian diubah oleh enzim sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf dapat merusak sel saraf. Salah satu kemungkinan mekanisme yang menjelaskan ini adalah akumulasi sorbitol menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edem saraf. Selain itu akumulasi ini juga dapat memicu stres osmotik yang akan merusak mitokondria dan menstimulasi protein kinase C. Selanjutnya aktivasi protein kinase C akan menekan fungsi Na K ATPase, sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan kemudian menyebabkan kioinositol terhambat masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf. Selain itu reaksi jalur poliol juga dapat menyebabkan terjadinya neuropati diabetik. Jalur ini menyebabkan penurunan persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Berkurangnya NADPH menyebabkan penurunan kemampuan sel saraf untuk mengurangi radikal bebas. Selanjutnya hiperglikemia juga dapat menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end product (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan dapat merusak merusak semua protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol maka sintesis dan fungsi NO akan menurun yang berakibat pada penurunan vasodilatasi pembuluh darah. Akibatnya jaringan saraf kurang mendapatkan aliran darah. Hal ini lah yang dapat memicu terjadi neuropati diabetik. Selain itu hiperglikemia yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan kerusakan mikroavaskuler. Keadaan ini akan memicu timbulnya reactive oxygen spesies (ROS). Radikal bebas ini dapat menimbulkan kerusakan endotel vaskuler dan menetralisasi NI uang berefek gangguan vasodilatasi pembuluh darah. Mekanisme kelainan mikrovaskuler dapat melalui penebalan membran basalis, trombosis arteriol intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit. Mekanisme terjadinya neuropati juga dapat disebabkan oleh nerve growth factor (NGF) NGF digunakan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Namun pada penderita diabetes kadar NGF serum cenderung turun. Akibatnya pertumbuhan saraf terganggu dan timbul neuropati diabetik. Klasifikasi Neuropati diabetik dapat dibagi berdasarkan perjalanan penyakitnya kemudian digolongkan menjadi:    Neuropati fungsional, yaitu gejala yang mucul sebagai akibat perubahan biokomiawi. Pada fase ini belum ditemukan adanya kelainan patologik. Neuropati struktural/klinis, yaitu gejala yang timbul sebagai akibat kerusakan struktural serabut saraf Kematian neuron tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan kepadatan serabut saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini sudah irreversibel. Manifestasi klinis neuropati diabetes bergantung dari jenis sel serabut saraf yang terkena lesi, bisa kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik dan sensorik. Oleh karena itu manifestasinya dapat berbeda-beda seperti kesemutan, mati rassa, rasa terbakar, serperti ditusuk, disobek, ditikam, dll. Diagnosis Pada evaluasi dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti: refleks motorik, fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar dan rasa tekan, tes fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu. Pengelolaan Strategi pengelolaan Dm dengan keluhan neuropati diabetik diabgi ke dalam 3 bagian. Pertama, diagnosis NS sedini mungkin. Kedua, pengendalian kadar glukosa dan perawatan kaki sebaikbaiknya. Ketiga, pengendalian keluhan nyeri neuropati diabetik setelah strategi kedua dikerjakan. Referensi: 1. Fauci. Braunwald. Kasper. Hauster. Longo. Jameson. et al. Harrison’s Principal of Internal Medicine. 17 ed. 2008. Endocrinology and metabolism. 2. Kumar. Abbas. Fausto. Aster. Pathologic Basic of Disease. 8 ed. 2010. Philadelphia 3. Sudoyo AW. Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata M. Setiati S. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam . Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing. 2009. p. 1942-46 KAKI DIABETES Kaki diabetes menjadi salah satu komplikasi kronik yang sering dialami pendeirita DM. Kaki diabetes merupakan perubahan patologis pada ekstremitas bawah sebagai akibat komplikasi diabetes yang tidak terkontrol. Sampai saat ini kaki diabetes masih merupakan masalah yang serius yang ditangani oleh dokter-dokter di Indoensia. Angka kematian dan amputasi akibat kaki diabetes masih cukup tinggi. Data RSUPNCM tahun 2003 didapatkan presentasi terjadinya kematian akibat kaki diabaetes adalah sebesar 16%. Sedangkan presentasi orang yang mengalami amputasi adalah sebesar 25%. Nasib para pasien setelah amputasi pun cukup buruk. Didapatkan data bahwa sebersasr 14,3% akan meninggal dalam setahun dan sebanyak 37% akan meninggal dalam 3 tahun pasca amputasi Patofisiologi Kaki diabetes terjadi karena adanya kondisi hiperglikemik pada pasien DM. Hal ini kemudian menyebabkan neuropati dan kelaian pada pembuluh darah. Kemudian neuropati menyebabkan berbagai perubahan pada kulit dan otot. Akibatnya terjadi perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki yang kemudian mempermudah terjadinya ulkus dan rentan infeksi. Pasien dengan kaki diabetik dapat mengalami gangguan motorik. Hal ini terjadi karena atrofi otot-otot intrinsik, kelemahan otot, dan keterbatasan lingkup gerak sendi. Sebagai akibatnya terjadi deformitas fleksi atau biasa juga disebut dengan claw toes.. Pada kondisi ini pasien akan mengalami peningkatan tekanan pada metatarsal dan ujung jari. Akibatnya timbul kallus dan memudahkan terjadinya infeksi dan membentuk ulkus. Pada keadaan yang sangat serius pasien harus menjalani amputasi. Kaki diabetik biasanya terjadi karena adanya tekanan rendah yang terus-menerus, seperti memakai sepatu yang sempti, tekanan berulang seperti berjalan, luka tusuk, memotong kuku yang mengikis kallus. Pasien biasnaya tidak merasakan sakit karena daerah kaki telah mengalami neuropati sehingga pasien akan terus melakukan kegiatan tersebut hingga akhirnya kaki menjadi luka dan sulit disembuhkan. Pemeriksaan Pemeriksaan kaki diabetik dapat dilakukan dengan inspeksi, pemeriksaan sensoris, pemeriksaan vaskularisasi kaki, dan pemeriksaan muskuloskeletal. Pada inspeksi dapat kita lihat danya kalus, kulit kering, claw toes, dll. Pemeriksaan sensoris dapat dilakukan dengan semmes weintein monofilamen, sensasi raba ringan. Pemeriksaan vaskularisasi dilakukan dengan meraba pulsasi a. Poplitea dan a. Doraslis pedis. Kemudian pemeriksaan muskuloskeletal dilakukan dengan pemeriksaan pergerakan sendi kaki dan tungkai, dan pemeriksaan kekuatan otot kaki dan tungkai. Klasifikasi Klasifikasi penting untuk menentukan menentukan rencana terapi yang akan diberikan. Berikut klasifikasi kaki diabetik menurut Wagner: Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4 Grade 5 : kulit tidak luka / deformitas : ulkus superfisial, terlokalisisr : ulkus sampai tendon, ligamen & sendi : osteomyelitis : gangren pada satu atau dua kaki/kaki depan : gangren pada seluruh kaki Untuk stage 1 dan 2 peran pencegahan primer sangat penting dan semuanya dapat dikerjakan di pelayanan kesehatan primer baik oleh podiatrist ataupun dokter keluarga. Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan memerlukan perawatan di tingkat lebih memadai dan memerlukan pelayanan dokter spesialis. Kemudian pada stage 5 dan 6 sudah merupakan kasus rawat inap dan perawatan intensif. Pengelolaan Pengelolaan kaki diabetes dibagi menjadi dua kelompok besar yatiu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah. Pada pencegahan primer penyuluhan tentang kaki diabetes merupakan hal yang sangat utama. Pasien harus selalu diingatkan tentang kemungkinan komplikasi kaki diabetes. Selain itu harus diingatkan juga tentang cara merawat kaki yang baik. Pasien harus diberikan penjelasan tentang cara memotong kuku yang baik, penjelasan tetang senam kaki, dan pembuatan sepatu khusus untuk mengurangi tekanan. Pada pencegahan skeunder ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Hal tersebut adalah      Kontrol metabolik Kontrol vaskuler Kotrol luka Kontrol mikrobiologi Edukasi Kontrol metabolik Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Konsentrasi glukosa darah diusahakan agar selalu dalam kondisi normal. Hal ini untuk memperbaiki barbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Selain itu status nutrisi juga harus diperhatikan. Hal ini juga akan membantu kesembuhan luka. Kontrol vaskuler Keadan vaskuler yang buruk tentunya akan memperlabat proses penyembuhan luka pasien. Oleh karena kondisi vaskuler harus diketahui dan diperbaiki jika mengalami gangguan. Perbaikan dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk melakukan modifikasi faktor risiko seperti merokok, hiperglikemia, hipertensi, dan dislipidemia. Selain itu jika perlu dapat dilakukan tindakan revaskularisasi dengan cara pembedahan. Kontrol luka Sejak pertama kali pasien datang untuk berobat kontrol luka harus diperhatian dengan baik. setelah kita melihat luka pada kaki pasien dapat dilakukan debriment terlebih dahulu. Setelah itu luka dapat dibalut sesuai dengan keadaan dan letak luka. Kontrol mikrobiologi Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang berbeda. Di RSUPNCM didapatkan bahwa pasien yang datang dari luar umumnya didapatkan infeksi bakteri yang multipel anaerob dan aerob. Antiobiotik yang digunakan harus disesuaikan dengan hasil biakan kuman resistensinya.