ARSITEKTUR JAWA DAN PERAN NILAI TRADISIONAL DI ERA MODERN

PENDAHULUAN
Pembicaraan mengenai arsitektur selalu menjadi hal yang seksi dalam kajian kebudayaan. Apalagi jika pembicaraannya mencoba menarik hubungan antara arsitektur dengan konteks sosial budaya yang berkembang saat ini. Di Indonesia, ada banyak kasus di seputar dunia arsitektur yang cukup mengundang perhatian kita. Utamanya mengenai sikap masyarakat sekarang terhadap karya-karya arsitektur peninggalan generasi terdahulu. Banyak karya-karya arsitektur tradisional yang dalam konteks sekarang seolah-olah hanya menjadi hiasan artefak sejarah dan romantisme masa lalu bagi masyarakat kita, padahal semestinya peninggalan-peninggalan semacam itu bisa menjadi modal utama untuk membangun peradaban bangsa ke arah yang lebih maju.
Persoalan ini bagi sebagian orang mungkin adalah masalah kecil yang tidak perlu diungkit-ungkit kembali, sebab dampaknya akan bisa menjerumuskan masyarakat ke dalam bayangan-bayangan masa lalu yang tiada berguna. Alasan seperti itu mungkin benar dalam beberapa hal, tetapi tidak bagi orang yang konsen mengamati sejarah dan kebudayaan secara umum. Karena itu, pelajaran penting bagi setiap orang yang membaca sejarah adalah, bahwa esensi dari belajar sejarah ialah untuk mencari bekal dari pengalaman sebagai penerang yang akan menuntun perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Dan bukan sekedar mengagumi masa lalu yang barangkali memang tiada berguna. Maka untuk wilayah kajian budaya, tidak ada hal sekecil apapun yang bisa dianggap enteng untuk kemudian diabaikan, sehingga semua masalah adalah masalah dan persoalan yang diangkat di atas memang adalah masalah yang perlu mendapat perhatian kita, sebab dalam jangka panjang dampaknya akan bisa membahayakan kedaulatan kebudayaan bangsa. Jika nanti hal itu terjadi maka secara otomatis masyarakat akan terdorong lebih cepat menuju ke dalam jurang kehancurannya.
Kebudayaan bukan sesuatu yang statis tetapi adalah produk dari perjalanan sejarah yang dinamis dalam ruang sosial dan kultural yang konkret (Farid, 2014). karena itu kebudayaan akan selalu bergerak dari masa yang satu ke masa yang lain. Sehingga modernisasi tak lain adalah sebuah konsekuensi logis dari kebudayaan yang tidak bisa hanya kita pojokkan sebagai perkara yang seolah-olah paling bertanggungjawab atas kerusakan-kerusakan di muka bumi. Sebaliknya, modernisasi harus kita sambut dengan sikap yang bijak dengan kemampuan adaptasi dan kolaborasi yang baik. Dalam tradisi islam dikenal dengan “Almukhafadhotu alal qodimishalih wal akhdlu biljadidil ashlah”. Artinya melestarikan tradisi lama yang baik dan mengembangkan tradisi baru yang lebih baik.
Ciri masyarakat modern adalah rasionalitas yang dominan di segala bidang, tetapi rasionalitas tanpa dibarengi dengan mental spiritualitas hanya akan menjadi kemajuan yang mengindahkan kerusakan-kerusakan. Masyarakat Jawa dikenal dengan spiritualitas yang agung dan rasionalitas yang tinggi. Arsitektur adalah ekspresi kebudayaan paling kental yang diperlihatkan oleh masyarakat jawa untuk merepresentasikan sikap menyatunya dengan dimensi alam dan spiritual. Jika saja nilai yang dibangun oleh masyarakat jawa melalui karya arsitektur itu diinternalisasikan ke dalam model arsitektur masa kini, tentu akan memberi nilai guna yang lebih daripada hanya sekedar berkutat pada persoalan ekonomis dan estetis belaka. Atas kegelisahan tersebut saya mencoba merumuskan sedikit pembicaraan mengenai masalah-masalah di atas dengan memberi batasan hanya pada bagaimana nilai-nilai tradisional dalam arsitektur jawa berperan dalam kondisi politik pembangunan saat ini. Sumber sejarah yang dipakai dalam makalah ini adalah naskah Kawruh Kalang dan naskah Kawruh Griya yang keduanya memang konsen membicarakan mengenai dunia arsitektur tradisional jawa.

Arsitektur dalam Pandangan Politik Pembangunan Nasional : Modernisasi atau Westernisasi

Menurut beberapa sumber, pembangunan nasional dapat diartikan sebagai usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Pembangunan ini ditargetkan ke dalam berbagai bidang, mulai dari birokrasi pemerintahan, politik, pendidikan, ekonomi, kesenian dan lain sebagainya. Pendeknya politik pembangunan tidak lain merupakan suatu strategi kebudayaan[1]. Dalam politik pembangunan nasional, pengembangan bidang arsitektur adalah unsur yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja, sebab bagaimanapun arsitektur tetap merupakan representasi ciri dan karakteristik sebuah bangsa. Pada tahun 1961 Soekarno membangun Monas[2] juga terutama sebagai lambang keperkasaan rakyat Indonesia.

Di era sekarang pembangunan tetap menjadi hal yang relatif diperhatikan. Terbukti dengan gencarnya sosialisasi politik pembangunan dan praktik pembangunan secara fisik di mana-mana. Masalahnya, hampir di semua bidang, aktivitas yang dijalankan atas nama pembangunan nasional masih berkutat pada ranah fisik dan dijalankan atas pertimbangan pasar dan selera global. Pembangunan belum menyentuh perkara esensial yang sesungguhnya dicita-citakan. Secara konseptual, hal ini belum bisa dikatakan sebagai praktik yang memenuhi cita-cita pembangunan nasional walaupun secara literar hal itu tidak bertentangan sama sekali.

Dalam bait berikutnya pada definisi pembangunan nasional disebutkan bahwa “Pelaksanaan pembangunan nasional mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, serta kukuh kekuatan moral dan etikanya. Tujuan pembangunan nasional itu sendiri adalah sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahreraan seluruh bangsa Indonesia. Dan pelaksanaannya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan ranggung jawab seluruh rakyat Indonesia

Terkait dengan modernisasi, telah banyak teori-teori yang menyoal tentangnya, terutama tentang manusia modern, modernisme dan gerakan modernisasi di segala bidang. Ada yang melihat dari sisi akibat yang ditimbulkannya, ada pula yang fokus mengkaji tentang sebab kemunculannya dan lain sebagainya. Agaknya istilah modern dapat dimengerti sebagai suatu kondisi zaman di mana rasionalitas adalah ciri utama perilaku manusianya. Pada tahun 1994 Saini KM menulis makalah berjudul Citra Manusia Alternatif untuk Abad XXI. Dalam malakah itu Saini mencoba menawarkan analogi tentang manusia modern dengan legenda Prometheus yang berkembang di Yunani. Dalam legenda tersebut dikisahkan Prometheus adalah seorang titan (raksasa) yang mencuri api dari kayangan untuk kepentingan manusia. Singkat cerita, perbuatan Prometheus itu diketahui oleh Dewa Zeus (pemegang otoritas tertinggi alam semesta) dan akhirnya ia dihukumi dengan hukuman yang berat. Tetapi api kayangan terlanjur sudah sampai kepada manusia di bumi, akhirnya dengan api tersebut manusia dapat berkembang dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya, karena api tersebut merupakan api curian, maka hasil dari olahannya banyak digunakan untuk kerusakan. Akhirnya peradaban yang terbangun selalu diiringi dengan kerusakan.

Melalui analogi tersebut, Saini mencoba memberi definisi baru mengenai manusia modern sebagai manusia yang berpengetahuan dan berteknologi yang sanggup membangun peradaban dengan segala akibat yang harus dideritanya. Sebagai konsekuensinya, zaman harus kehilangan keseimbangan alam, kehilangan dimensi spiritualitas dan bukan tidak mungkin manusia akan kehilangan dimensi kemanusiaannya sendiri.

Namun harus kita ketahui bersama bahwa esensi dari istilah modern adalah zaman kemajuan, zaman di mana manusia bisa berdamai dengan segala kebutuhannya. Untuk mencapai tujuan itu manusia perlu cara-cara terbaru sehingga manusia bisa berdamai dengan kebutuhannya tanpa harus kehilangan perdamaiannya dengan alam dan lingkungan sosial budayanya. Di sini berarti cara untuk menuju suatu keadaan modern, manusia tidak harus melewati proses yang cenderung menyimpang dari cita-cita kemanusiaan yang dibawanya. Dalam tradisi islam cita-cita manusia direpresentasikan melalui kata “khalifah[3] yang artinya adalah pengelola, manajer, atau pelaksaana tata kelola yang berhak mengolah dunia sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaannya.

Tetapi, sebagaimana kita tahu bahwa seiring dengan laju perkembangan zaman, bahasa mengalami dinamika terutama dalam hal makna. Sebagai contoh kata modern sering disandingkan dengan kata urban. Hal ini yang membuat kata modern sering disalah artikan sebagai bentuk lain dari kata westernisasi, globalisasi, dan urbanisasi yang akhirnya semua kata yang awalnya mempunyai arti sendiri-sendiri itu menjadi kabur.

Arsitektur dan Kebudayaan Masyarakat Jawa

Istilah arsitektur dapat dipahami sebagai sebuah aktivitas manusia yang berkenaan dengan persoalan tata kelola ruang dengan segala keterbatasaannya. Pada gilirannya aktivitas tersebut akan menghasilkan sebuah bentuk karya yang disebut karya arsitektur. Dalam perkembangannya, arsitektur tidak hanya dimengerti sebagaimana uraian diatas. Lebih dari itu, arsitektur juga dipahami sebagai suatu aktivitas berkesenian. Banhart CL. Dan Jess Stein berpendapat bahwa arsitektur adalah seni dalam mendirikan bangunan termasuk didalamnya segi perencanaan, konstruksi, dan penyelesaian dekorasinya; sifat atau bentuk bangunan; proses membangun; bangunan dan kumpulan bangunan.

Sebagai karya seni, arsitektur dibangun atas pertimbangan letak geografis, potensi alam dan teknologi yang digunakan di lingkungan masyarkatnya. Dengan kata lain arsitektur dibangun dengan pertimbangan kebudayaan. Bentuk yang dihasilkan di suatu daerah akan sangat berbeda dengan bentuk yang dihasilkan di daerah lain tergantung oleh suatu kondisi dan situasi kebudayaan yang ada. Dengan demikian, menjadi tidak salah jika arsitektur diartikan sebagai hasil tata olah sosial budaya suatu masyarakat.

Masyarakat jawa adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi dimensi keruhanian. Keruhanian dalam arti hubungan antara manusia dengan alam sekaligus manusia dengan manusia lain. oleh karena itu, gaya-gaya arsitektur masyarakat jawa tidak akan terlepas dari keyakinan kolektifnya itu. Sebagaimana kebudayaan (arsitektur) Romawi & Yunani yang mengenal ilmu “Proporsi & Skala”, atau kebudayaan China yang mempopulerkan ilmu Fengshui (Hongshui), sebenarnya kebudayaan kita (Jawa) pun mewariskan ilmu bangunan yang lazim dikenal sebagai Kawruh Kalang & Kawruh Griya

Kawruh Kalang (ilmu tentang ruang) berhuruf Jawa, adalah kitab bina lingkungan ditulis oleh pihak nDalem Kepatihan Solo (1882) pada zaman pemerintahan Susuhunan Paku Buwono IX (1861-1893). Kitab ini menguraikan soal kerangka bangunan, prinsip-prinsip ukurannya, hingga bahan yang seharusnya digunakan untuk rumah rakyat hingga rumah raja. Kitab ini terkesan sebagai “ buku pegangan teknis” praktisi arsitektur jaman itu. Sedangkan Kawruh Griya sebagai naskah yang terhadap awam merupakan perkanalan akan “lingkungan binaan” Jawa, sedangkan bagi para undhagi merupakan pengkayaan pengetahuan.

Dalam Kitab Kawruh kalang disebutkan bahwa orang jawa dalam membangun sebuah “lingkungan binaan” selalu tidak pernah lepas dari hal-hal pokok perancangan yang menjadi pola utamanya, yaitu: dhapur griya, guna griya, angsar/watak dan Petangan. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing pokok perancangan arsitektur tradisional jawa

  1. Dhapur Griya

Isu yang berhubungan dengan system struktur kerangkan bangunan serta dengan rupa bangunan. Ditinjau dari system struktur rangka batang , rangka gelagar struktur dari griya jawa disebut balungan, kerangka bangunan; sedangkan ditinjau dari bentuk atau rupa bangunan, rangkaian gelagar tadi disebut dhapur griya. Terdapat 4 tipe dhapur griya, yaitu: Tajug, Juglo/joglo, Limasan dan Kampung (Bekuk Lulang). Terhadap tampilan akhir ini, griya jawa memberikan sebutan yang tersendiri, dan semuanya diambil dari cirri-ciri manusia, yakni jaler-estri (lelaki-perempuan) atau enem-sepuh (muda-tua). Tampilan akhir yang cenderung berkesan meninggi atau menjulang dan ramping dikatakan sebagai penampilan yang jaler (lelaki) atau enem (muda), sedangkan yang merendah dan tidak ramping dikatakan sebagai estri (perempuan) atau sepuh (tua)..

  1. Guna Griya

Menurut Josef Prijotomo, Bangunan berarsitektur Jawa bermakna sebagai tempat berteduh. Ini berbeda dibandingkan bangunan berarsitektur Barat yang bermakna sebagai tempat berlindung. Karena itulah, bangunan berarsitektur Jawa bersifat terbuka atau tanpa sekat-sekat.Pada arsitektur jawa tengah, penaung/peneduh muncul berupa empyak/payon. Kehadiran empyak/payon adalah melayani guna griya secara tertentu, yaitu: Mengindikasi kekhususan griya. Dilakukan dengan petangan terhadap jumlah usuk, ketinggian empyak/payon yang menghasilkan volume ruang. Dalam hal ini, bukan lantai yang membentuk volume ruang, melainkan atap. Empyak/payon melayani guna griya sebagai penaung/peneduh agar kegiatan dapat dilakukan dengan nyaman. Dalam hal ini tinggi-rendahnya atap menjadi penentu besar volume yang tercipta pada penaung/peneduh. Disitu terbaca bahwa orang jawa mengandaikan rumah tinggal sebagai sebuah pohon rindang yang besar. Filosofiะ “Bernaung / berteduh” adalah aktivitas berjangka waktu sementara. Sesuai penghayatan orang jawa tentang hidup yang “saderma mung mampir ngombe”.

  1. Petangan

Satuan ukuran dalam arsitektur Jawa memiliki ukuran sendiri, yang akan mempengaruhi angsar/watak dari bangunan (wastu citra?). Ada lima jenis hitungan. Pertama, hitungan sri, berarti sandang pangan. Kedua, kitri, harta benda. Ketiga, gana, yang berarti cukup. Keempat, liyu, atau kewibawaan. Kelima, pokah, atau ukuran yang bisa membuat lemas orang. Hitungan itu dalam bangunan diwujudkan dalam jumlah unsur bangunan. Misalnya ukuran kelima, yakni pokah dipakai pada bangunan yang juga dianggap perisai keraton. Misalnya Pagelaran, yang berada di batas antara alun-alun dan bagian keraton. Jumlah usuk dan tiang Pagelaran tentu merupakan kelipatan dari lima. Maka, bila ada yang bermaksud tak baik dan ingin masuk keraton, dan ia lewat Pagelaran, di sini kekuatannya akan susut. Contoh yang lain adalah Sitinggil, di belakang Pagelaran, yang dibangun dengan konsep liyu. Jumlah segala hal di sini merupakan bilangan kelipatan lima lalu ditambah empat. Liyu, yang berarti kewibawaan, maksudnya seseorang asing yang masuk ke sini akan terkena wibawa raja. Hingga, konon, orang itu akan merasa berada di bawah kekuasaan raja.Sedangkan untuk ukuran panjang, arsitektur tradisional Jawa memakai ukuran kaki. Ukuran ini diperoleh dengan cara dua jempol tangan disinggungkan ujungnya hingga membentuk garis lurus, dan jari-jari yang lain tegak lurus dengan empol. Satu kaki adalah dari ujung kelingking yang satu ke ujung kelingking yang lain Satuan panjang yang lain disebut tombak (I tombak = 12 kaki ) dan dim (I kaki = 12 dim ). Dan berapa kaki misalnya tinggi Pagelaran, dikembalikanlah pada kelipatan lima tadi, atau disebut hitungan pokah itu. Lalu, tangan siapakah yang dijadikan pedoman ukuran I kaki? Jawabannya singkat, tangan si pemilik bangunan.

Pandangan hidup masyarakat jawa secara garis besar dapat diurai menjadi kepercayaan, pengetahuan, etika sosial, dan rasa estetika (Ronald, 2005). Kepercayaan masyarakat Jawa dihubungkan dengan dasar filosofi budaya jawa mengenai keberadaan jagad gedhe (alam besar) dan jagad cilik (alam kecil). Manusia (mikrokosmos) harus selaras dengan alam (makrokosmos). Keselaraasan vertika dengan alam dapat melahirkan pandangan tentang alam yang suci dan roh alam sebagai sumber pemberi hidup.Tipologi arsitektur jawa diklasifikasi terutama dalam karakter atap dan pembagian ruang. Bentuk bangunan terbagi dalam susunan mulai dari tingkatan yang tertinggi yaitu tajug (masjid), joglo (golongan ningrat), limasan (golongan menengah), kampung (rakyat biasa), dan panggang pe (rakyat biasa). Rumah-rumah tersebut memiliki jenis atap yang berbeda untuk menunjukkan kedudukan sosial dan ekonomi pemilik tanah.

Pola aktivitas dan ruang pada arsitektur jawa memiliki kategori tersendiri. Laki-laki adalah simbol perlindungan dan perwakilan, maka laki-laki berhak duduk di ruang tamu sebagai perwakilan keluarga. Hanya kepala rumah tangga dan tamu-tamunya berhak menggunakan perabot di dalam dalem. Sedangkan perempuan adalah simbol pengabdian, maka perempuan dan tamu perempuan biasanya menempati  ruang dalam seperti dapur atau di amben samping.Bagian belakang rumah disebut senthong. Senthong kiwa (timur) berfungsi sebagai penyimpan senjata atau barang-barang keramat. Senthong tengen (barat) berfungsi sebagai tempat tidur serta penyimpan beras dan hasil pertanian lainnya. Senthong tengah digunakan untuk menyimpan benih atau bibit aar-akaran dan gabah, untuk mengheningkan cipta atau berdoa, dan tempat pemujaan kepada Dewi Sri.

Ragam hias bangunan tradisional jawa meliputi ragam hias flora, fauna, alam dan religi. Ragam hias flora tidak dapat dilepaskan dari pengaruh jaman pra-islam (jaman Hindu). Flora yang dipergunakan sebagai ragam hias pada bangunan tradisional jawa memiliki makna suci. Ragam hias flora lebih banyak jenisnya. Arti ragam hias ini adalah keindahan dan kebaikan berwarna merah, hijau, dan kuning (emas)[4]. Rumah tradisional jawa mencitrakan status sosial pemilik yang juga berarti bahwa rumah tradisional jawa memiliki makna simbolis dan kultural. (Cahyandari, 2012)

[1] Van Peursen melihat kebudayaan itu sebagai sebuah proses pelajaran, suatu “learning procces”yang terus menerus sifatnya. Di dalam faktor ini bukan saja kreativitas dan inventivitas yang merupakan faktor penting. Tetapi kedua faktor ini kait mengait dengan pertimbangan-pertimbangan ethis. Tanpa penilaian ethis ini manusia tidak dapat mengambil tanggung jawab untuk keadaannya. Untuk teknologi yang dipakai dan diperkembangkannya maupun struktur sosial dan bentuk organisasinya. (soejatmoko : dalam Kata Pengantar buku Strategi Kebudayaan Van Peursen)

[2] Monumen Nasional. Proses pembangunannya diawali dengan sayembara terbuka untuk arsitek-arsitek Indonesia, baik secara kolektif atau individu, dibuka 17 Februari 1955 dan ditutup Mei 1956. Hasilnya, 51 peserta menyodorkan gambar rancang bangun tugu. Dari jumlah itu, satu peserta yang terpilih adalah Frederich Silaban. Namun dia tidak mampu memenuhi syarat pembentukan tugu. Berikutnya sayembara ulangan dibuka sesuai Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 33/1960 dengan . Presiden Soekarno ketua juri. Lomba dibuka 10 Mei hingga 15 Oktober 1960. Berdasar Keppres, bentuk tugu hendaknya mencerminkan kepribadian Indonesia, karya budaya yang menimbulkan semangat patriotik, tiga dimensi, tidak rata, menjulang tinggi, terbuat dari beton, besi, dan batu pualam, serta bisa tahan seribu tahun. Sayembara ulang itu diikuti 222 peserta dengan 136 rancangan bangunan. Sayang, bagi Soekarno, rancangan-rancangan itu belum bisa memenuhi kriteria yang ditetapkan panitia. Dia kemudian meminta Silaban menunjukkan desain tugu yang pernah dia sorongkan. Namun lagi-lagi Sukarno tidak menyukai desain itu. Alasannya, rancangan itu tidak sesuai visi sang presiden. Hingga akhirnya rancangan Silaban diambil alih oleh RM Soedarsono lantas dimodifikasi. Setelah rancangan diperbaiki, Soekarno akhirnya setuju. Maka pada 17 Agustus 1961 pemancangan tiang pertama dimulai. Selengkapnya kunjungi http://www.merdeka.com/khas/monas-2-soekarno-dan-monas.html

[3] Bahkan kata “khalifah” sendiri sudah semacam kehilangan makna esensialnya. terutama pada bentuk lainnya berupa kata “khilafah”. Kata tersebut dalam konteks tahun 2000an seperti sekarang ini sering dirujukkan kepada salah satu organisasi masyarakat islam yang memang konsen terhadap cita-cita politik islam sebagai sistem politik yang ditawarakan kepada negara untuk menggantikan sistem yang berlaku saat ini.

[4] Ragam hias fauna memiliki nilai perlindungan dari bencana dan kejahatan, serta memiliki makna kekuatan dan keberanian. Biasanya diletakkan di elemen struktur atau non struktur yang ada di atas bangunan, dan pintu masuk ruang utama atau ruang sakral. Ragam hias alam memberikan makna peran semesta dan tuhan. Kosmologi dualisme (laki-laki perempuan, siang malam), orientasi dan topografi ditransformasikan dalam wujud simbol aiir, sinar, gunung, awan, dan matahari. Ragam hias agama sebagai bentuk manifestasi hubungan antara mahluk dengan sang khaliq melalui simbol-simbol yang bernuansa keagungan serta memuat makna perlindungan sejati. Letaknya disesuaikan dengan fungsi bangunan. Ruang bagi masyarakat jawa memiliki arti lebih, ruang adalah suatu bentuk upaya mengartikulasikan fungsi dan simbol dalam hubungannya dengan filosofi kebudayaannya. Ruang mencitrakan makna tersendiri dilihat dari kajian domestik, sosial maupun status dan gender.