Enviro 22nd Edition: The Ticking Bomb of Climate Change

Page 1

Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan ITB mempersembahkan:

22nd edition/2022

Tidak diperjualbelikan

the green guide

THE TICKING BOMB OF CLIMATE CHANGE


How can we be The planet is, was, and alwa We can't destroy it; if we overste erase us from its surfac Why don't they start talking about


e so arrogant? ays will be stronger than us. ep the mark, the planet will simply ce and carry on existing. t not letting the planet destroy us? - Paulo Coelho, The Winner Stands Alone

Cr: Lentina T. Simangunsong


CONTENTS CHAPTER 01: OUR TRUE FUTURE COP26: Kembali Duduk Bersama untuk Iklim Melangkahi Batasan Sang Ibu Letters for 2022 People

05 07 13 21

CHAPTER 02: THE TRUE FUTURE IN SOCIETY Climate-Induced Displacement: A Pandemonium of 2040 A Barren World Without Food and Water

23 25

CHAPTER 03: THE TRUE FUTURE IN NATURE Climate Change Samudera yang Hilang Makna Mangrove dan Serapan Karbonnya

37 41 49 61

CHAPTER 04: NOW, WHAT? The Age of Sustainable Development Avoiding Eco-Anxiety

65 67 75

31


HERE'S A PLAYLIST TO KEEP YOU COMPANY!

https://spoti.fi/3wS55Sd


CHAPTER 01: OUR TRUE FUTURE

5


"Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed." - Mahatma Gandhi -

6


COP COP COP COP COP COP 7


P26 P26 P26 P26 P26 P26

COP26: Kembali Duduk Bersama untuk Iklim Oleh Fathiya Mufldah

8


Perubahan iklim merupakan isu nyata yang saat ini sedang terjadi tepat di hadapan kita. Dampak bencana iklim seperti kekeringan, banjir, dan kenaikan muka air laut sudah mulai terasa di beberapa tempat. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebagai faktor utama terjadinya pemanasan global perlahan tapi pasti terus mengubah tatanan iklim global. Hasil observasi menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi gas rumah kaca sejak tahun 1750 paling besar disebabkan oleh aktivitas manusia. Berdasarkan laporan AR6 IPCC, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer terus meningkat sejak tahun 2011 hingga mencapai rata-rata 410 ppm CO2, 1866 ppb metana (CH4), dan 332 ppb N2O pada tahun 2019. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca ini berbanding lurus dengan kenaikan temperatur Bumi. Rata-rata temperatur permukaan global pada tahun 20112020 sudah mengalami peningkatan sebesar 1,09°C sejak tahun 1850-1900, dengan peningkatan temperatur lebih tinggi terjadi di 9

daratan (1,59°C) dibandingkan di laut (0,88°C). Perubahan iklim tidak hanya mengancam sebuah negara, region, atau benua saja. Perubahan iklim merupakan masalah global yang mau tidak mau harus dihadapi oleh masyarakat seluruh dunia. Dalam menyikapi krisis global ini, pada penghujung tahun 2021, hampir 200 pemimpin berbagai negara di dunia berkumpul di Glasgow untuk bersama-sama membahas tentang Perubahan Iklim. Conference of the Parties 26 (COP26) tentang Perubahan Iklim dilaksanakan Cr: Getty Images pada tanggal 31 Oktober–13 November 2021 di Glasgow, Skotlandia. Pada COP26, para pemimpin menyampaikan progres setiap negara sejak Perjanjian Paris pada tahun 2015 serta membahas strategi yang akan dilakukan kedepannya dalam menghadapi perubahan iklim. Target dan strategi presidensial yang dibawa pada COP26 berfokus pada mitigasi, adaptasi, finansial, dan kolaborasi.


Mitigasi:

Dalam mencapai target tersebut, perlu dilakukan mitigasi untuk mengontrol konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Oleh karena itu, lebih dari 90% PDB dunia dan sekitar 90% emisi global saat ini berada dalam cakupan net zero commitment. Net zero commitment merupakan target untuk mereduksi emisi hingga net zero pada pertengahan abad. Strategi mitigasi perubahan iklim utama yang didorong pada COP26 adalah mengurangi penggunaan energi batu bara secara bertahap, menghentikan deforestasi, mempercepat peralihan ke kendaraan listrik, dan mengurangi emisi metana.

Menjaga Global Net Zero pada Pertengahan Abad dan Menjaga Kenaikan Iklim

Pada COP21 yang diselenggarakan di Paris pada tahun 2015, beberapa peneliti menjelaskan bahwa kemungkinan peningkatan temperatur di bumi bisa mencapai 6 derajat Celcius. Padahal, pemanasan hingga 1,5 sampai 2 derajat saja sudah bisa memberikan konsekuensi serius bagi alam dan kehidupan manusia, terutama bagi masyarakat adat, masyarakat yang tinggal di dataran rendah dan pulau kecil, serta ekosistem yang rapuh seperti terumbu karang. Oleh karena itu, konferensi di Glasgow menetapkan target pemanasan global tidak boleh melebihi 1,5 derajat.

10


Beradaptasi untuk Menjaga Habitat Komunitas

Adaptasi: 11

Realita menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah tidak bisa dicegah lagi. Konsekuensi dari perubahan iklim sudah banyak terjadi di berbagai belahan dunia, seperti kenaikan frekuensi dan dampak cuaca ekstrim yang intensif hingga kenaikan muka air laut. Dampak dari perubahan iklim ini beresiko tinggi untuk mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, adaptasi dibutuhkan untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan yang ditimbulkan dari bencana iklim. Target global untuk adaptasi adalah mengurangi kerentanan, memperkuat resiliensi, dan meningkatkan kapasitas manusia dan planet dalam beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi didukung dengan pembuatan rencana nasional oleh masing-masing negara, penguatan komunitas dan organisasi, serta bantuan finansial.


Finansial: Kolaborasi:

Referensi The Glasgow Climate Pact

Bekerja Sama untuk Memberi

Seluruh target yang dibuat akan sulit untuk dicapai jika seluruh negara bekerja sendiri-sendiri. Seluruh negara, baik negara maju maupun berkembang, harus mau bekerja sama untuk menjaga bumi dari perubahan iklim. Lebih dari 40 negara yang terhitung berkontribusi terhadap lebih dari 70% PDB Global mendukung Breakthrough Agenda dengan berkomitmen untuk bekerja sama dalam membuat solusi yang bersih, berkelanjutan, terjangkau, mudah diakses dan atraktif pada setiap sektor emisi.

Mobilisasi Finansial

COP26 mendorong miliaran sektor publik dan triliunan sektor privat dalam memobilisasi finansial iklim. Pada tahun 2009, negara maju sepakat untuk memobilisasi 100 miliar dollar dari tahun 2020-2025 untuk membantu negara berkembang dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim dan mengurangi emisi, seperti dalam pembangunan fasilitas energi terbarukan, pencegahan banjir, pembuatan pertanian yang resilien terhadap kekeringan, dan pembangunan teknologi hijau. Saat ini, skema pendanaan berjalan sesuai rencana sehingga negara-negara di COP26 sepakat untuk bergerak lebih jauh melebihi target finansial iklim 100 miliar dollar.

12


MELANGKAHI BATASAN SANG IBU Oleh Hasna Khadijah

“Givers need to set limits because takers rarely do.” Kutipan di atas umumnya mengingatkan kita akan perilaku manusia yang seenaknya. Di tulisan ini, kutipan tersebut khusus ditujukan untuk sesosok ibu yang terus memberi tanpa pernah tahu cara menolak: ibu kita semua, Ibu Bumi. The Mother Nature.

13

Selama 10.000 tahun, Bumi berada dalam kondisi stabil yang disebut dengan zaman holosen. Kini, kestabilan itu terancam. Sejak Revolusi Industri, era baru telah muncul, yakni zaman antroposen. Perubahan terjadi secara alami pada era holosen kini banyak terjadi akibat kegiatan antropogenik. Sekarang, aksi manusia menjadi pendorong utama perubahan lingkungan.


Ruang Aman untuk Tumbuh dan Berkembang Untuk mempertahankan Bumi dalam kondisi holosen, Rockstrom et al (2009) mencetuskan sebuah framework yang disebut 'planetary boundaries' yang selanjutnya direvisi oleh Steffen et al (2015). Planetary Boundaries (PB) terdiri dari sembilan batasan (boundary) planet yang saling terhubung. Sembilan batas ini diidentifikasi sebagai proses dan ambang batas yang, jika dilewati, dapat menciptakan perubahan lingkungan yang tidak bisa diterima manusia. Melampaui salah satu batas akan mengancam batas lain.

Batasan-batasan planet ini meliputi parameter atau variabel kontrol yang aman untuk kehidupan manusia dengan mempertimbangkan sumber daya dan kapasitas Bumi.

Sumber: Steffen et al. (2015)

14


Perubahan Iklim (Climate Change) Fokus pendekatan ini adalah mempertahankan kenaikan suhu rata-rata dunia tidak lebih dari 2oC di atas suhu sebelum industri. Saat ini, banyak perubahan yang telah terjadi secara irreversible. Batasan ini kini berada di zona merah.

Integritas Biosfer (Biosphere Integrity) Kepunahan spesies adalah kejadian alami dan akan terjadi tanpa pengaruh manusia, tetapi penurunan keanekaragaman hayati meningkat pesat di masa antroposen. Dua peran kunci dalam biosfer Bumi adalah keanekaragaman genetik dan fungsional. Kini, batasan ini juga telah terlampaui.

Siklus Biogeokimia (Biogeochemical Flows)

Siklus biogeokimia saling berkaitan satu sama lain. Fokus utama Rockstrom et al (2009) dan Steffen et al (2015) adalah siklus nitrogen dan fosfor. Banyak aktivitas manusia (proses industri dan agrikultur) yang memengaruhi siklus kedua senyawa tersebut, salah satunya karena kegunaan nitrogen dan fosfor untuk pertumbuhan tanaman. Siklus biogeokimia telah berada di luar batas aman yang ditetapkan.

Penipisan Lapisan Ozon Stratosfer (Stratospheric Ozone Depletion) Lapisan ozon stratosfer menyaring sinar UV yang berasal dari Matahari. Penipisan lapisan ini dapat meningkatkan risiko kanker kulit dan bahaya pada ekosistem perairan dan daratan. Kabar baiknya, akibat Protokol Montreal, batasan ini masih berada dalam batas aman.

15


Pengasaman Laut (Ocean Acidification) Batasan ini erat kaitannya dengan variabel kontrol perubahan iklim, yaitu karbon dioksida. Sekitar seperempat karbon dioksida yang dilepaskan manusia larut di lautan dan membentuk asam karbonat yang dapat menurunkan pH permukaan air. Peningkatan keasaman mengurangi jumlah ion karbonat, yaitu building blocks yang diperlukan untuk pembentukan kerangka dan cangkang banyak spesies laut. Kepunahan spesiesspesies ini akibat penurunan pH dapat memengaruhi ekosistem laut.

Penggunaan Air Tawar (Freshwater Use) Air merupakan hal yang sangat langka—setengah milyar penduduk dunia akan mengalami kelangkaan air pada 2050. Modifikasi badan air oleh manusia memengaruhi perubahan aliran sungai secara global serta aliran uap air dari alih guna lahan. Batas penggunaan air ini sangat berkaitan dengan jumlah konsumsi air yang digunakan oleh manusia.

Alih Guna Lahan (Land-System Change)

Aspek integritas biosfer yang diajukan Steffen et al (2015) memberikan pertimbangan akan jumlah dan pola alih guna lahan di zona terestrial. Manusia mengubah berbagai jenis lahan (hutan, wetlands, dan lainlain) menjadi lahan agrikultur. Alih guna lahan ini berperan dalam penurunan keanekaragaman hayati, serta berpengaruh pada siklus biogeokimia dan aliran air. Sayangnya, batasan ini juga berada pada zona merah.

16


Pembuangan Partikulat/ Aerosol ke Atmosfer (Atmospheric Aerosol Loading) Manusia melepaskan polutan ke atmosfer dan meningkatkan jumlah debu dan asap dari perubahan tata guna lahan. Aerosol ini dapat memberikan dampak kesehatan pada manusia dan memengaruhi sistem Bumi. Fokus batasan ini adalah efek aerosol pada sirkulasi atmosfer lautan regional.

Pengenalan Entitas Baru (Novel Entities) Entitas baru didefinisikan sebagai substansi baru, bentuk baru dari substansi yang sudah ada, atau modifikasi bentuk hidup yang berpotensi memberikan efek biologis atau geofisis yang tidak diinginkan. Belum terdapat analisis yang bisa menjadi dasar variabel kontrol yang kuat sehingga belum ada nilai batas yang terdefinisi untuk parameter ini.

Pada 2009, tiga—siklus biogeokimia, penurunan keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim—dari sembilan batasan telah terlampaui, sedangkan pada 2015, empat—ditambah alih guna lahan—dari sembilan batasan telah melebihi batas aman. Itu artinya lebih dari satu per tiga dari batas ruang aman Bumi telah dilampaui.

17


Sepotong Donat untuk Bumi Dalam bukunya yang berjudul Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st‑Century, Kate Raworth menyatakan bahwa tantangan manusia abad ke-21 ialah menemukan cara untuk menghapus kemiskinan dan mencapai kesejahteraan seluruh umat dengan keterbatasan sumber daya alam yang ada. Solusi yang diajukan Raworth sederhana: sebuah donat. Sumber: Raworth, Kate (2017)

Ekonomi donat yang dicetuskan oleh seorang ekonom ini terdiri dari dua lingkaran berupa pondasi sosial sebagai lingkar dalam yang harus terpenuhi dan langit-langit ekologis—yang mengadopsi konsep PB—sebagai lingkar luar yang tidak boleh dilampaui. Adonan donat yang terbentuk dari kedua lingkaran tersebut adalah ruang yang aman dan adil untuk pertumbuhan manusia, tempat kita seharusnya berada.

Tidak ada prioritas dalam donat tersebut, semua terdistribusi secara merata dan seimbang. Prinsipnya sederhana: leave no one in the hole, don’t overshoot the limit. Sayangnya, sejak 2018, kita sudah berada di luar batas kedua sisi: masih ada masyarakat prasejahtera di berbagai belahan dunia, tetapi kita juga telah melampaui bebe- rapa batasan planet yang sudah ditetapkan.

18


Hampir Setengah Abad: Sudahkah Kita Belajar? Sekarang, mari kembali fokus pada saat ini. Tahun ini adalah 2040 SM: 42 tahun setelah Protokol Kyoto, 25 tahun setelah Perjanjian Paris, 10 tahun setelah target SDG, dan 10 tahun menuju pertengahan abad ke-21. Stockholm Resilience Center Report (2018) melaporkan empat kemungkinan skema dalam rangka mencapai SDGs pada 2030 dan PB pada 2050 berdasarkan upaya yang dilakukan: tetap (sama), lebih cepat, lebih kuat, atau lebih pintar. Laporan tersebut menyatakan bahwa satu-satunya skema untuk mencapai target SDG dan PB adalah skema terakhir yang membutuhkan perubahan transformasional menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

1

Tahun ini1, kita ditunjukkan akibat yang harus umat manusia tanggung. Jalan yang kita pilih—menjalankan business as usual—meninggalkan kita dengan ketimpangan kelas, wilayah, dan sosial yang semakin drastis. Sekarang, hanya tersisa satu batasan planetary boundaries yang masih ada di zona hijau, yaitu penipisan lapisan ozon. Ketercapaian SDG pada awal abad yang terasa seperti angin segar akhirnya terdisrupsi oleh batasbatas planet yang runtuh karena terabaikan.

Artikel ini ditulis dari sudut pandang manusia tahun 2040 berdasarkan report dari Stockholm Resilience Center dengan pemilihan skema sama atau business as usual dengan asumsi dunia tidak mengalami perubahan hingga tahun tersebut.

19


Bukannya hal ini terjadi secara tibatiba. Kalau kita tengok kembali, misal pada 2022, sudah banyak bencana dan tanda-tanda yang terjadi. Bahkan saat itu, kita hidup di tengah pandemi. Namun, kita memilih menutup mata, mengira bahwa waktu masih ada dan masa depan berpihak pada kita selamanya. Mungkin, kalau kita mengetahui kondisi saat ini, kita akan tersadar betapa stabil dunia beberapa tahun lalu. Kita akan menyadari betapa

banyak kesempatan yang kita miliki. Andai kita tahu dan mau membuat keputusan tegas, mengambil tindakan nyata, merumuskan perubahan transformasional, dan mengeksekusi jalan yang lebih cerdas dan bersih, mungkin kondisi akan lebih baik. Sekarang, semua teori-teori yang kita abaikan mengantar kita ke ambang kehancuran. Dulu, dulu, andai saja dulu kita tahu. Kini, kita terlanjur melangkahi batasan sang ibu. []

Referensi Randers, Jorgen, Johan Rockström, Per Espen Stoknes, Ulrich Golüke, David Collste & Sarah Cornell. 2018. Transformation is Feasible: How to achieve the Sustainable Development Goals within Planetary Boundaries. Stockholm: Stockholm Resilience Centre. Raworth, Kate. 2012. “A Safe and Just Space for Humanity,” Oxfam Discussion Paper. Raworth, Kate. 2014. [Video] Why it’s time for ‘Doughnut Economics’. TED.https://www.youtube.com/watch?v=1BHOflzxPjI Raworth, Kate. 2018. [Video] A healthy economy should be designed to thrive, not grow. TEDxAthens. https://www.youtube.com/watch?v=Rhcrbcg8HBw Raworth, Kate. 2021. [Video] How to live within the Doughnut. TEDxBath. https://www.youtube.com/watch?v=QaGA2i0IcSQ Rockström, Johan, et al. 2009. “A safe operating space for humanity”, Nature (461) Steffen, Will et al. 2015. “Planetary boundaries: Guiding human development on a changing planet”, Science (347) Issue 6223 Stockholm Resilience Center. (n.a) The nine planetary boundaries. Diakses melalui https://www.stockholmresilience.org/ research/planetary-boundaries/the-nine-planetary-boundaries.html pada 21 Februari 2022. UNFCCC. 2015. Scientists Say Planetary Boundaries Crossed. Diakses melalui https://unfccc.int/news/scientists-say-planetary-boundaries-crossed pada 21 Februari 2022.

20


Letter for 2022 People SEMESTA Semestinya Kita Jaga Sama-Sama Oleh Muzdalifah Rizka

21


Sekarang dunia semakin tidak baik-baik saja. Semua kemungkinan terburuk yang pernah kalian bayangkan terjadi, ternyata benar terjadi. Sampah teknologi ada dimana-mana, beraneka ragam spesies yang indah kini telah punah. Hanya tersisa gambar dan nama sebagai bukti bahwa ia pernah ada. Banyaknya sampah yang mencemari lautan akhirnya merusak semua kehidupan biota laut. Tidak ada lagi terumbu karang beragam warna. Tidak ada lagi pemandangan laut yang eksotis. Pemanasan global semakin parah. Saturasi oksigen pun kian menipis. Generasi selanjutnya hanya bisa melihat gambar dan video, mendengarkan cerita bahwa dunia yang mereka tinggali sekarang masih baik-baik saja dan masih ada kesempatan untuk baik-baik saja pada dua puluh tahun ke belakang. Hanya saja, kami gagal menjaganya. Kami gagal memperbaikinya. Kami gagal bergerak sebelum semua menjadi terlambat. Maka, harapannya jika surat ini sampai kepada kalian, aku harap kalian tidak melakukan kesalahan yang sama. Selagi masih ada waktu yang tersisa, masih ada kesempatan untuk berubah, masih ada harapan untuk memperbaiki segalanya. Barangkali benar kehilangan mengajarkan kita lebih banyak. Barangkali benar kehilangan mendewasakan kita lebih cepat. Tapi, kenapa harus tunggu hilang? Kenapa harus tunggu kecewa? Kenapa harus tunggu merasakan dampak buruknya? Bukankah akan lebih baik kalau kita berhasil mencegah? Ini Bumi kita, rumah yang sudah semestinya kita jaga samasama.

22


CHAPTER 02:

THE TRUE FUTURE OF SOCIETY

23


"Society is our extended mind and body." - Alan Watts -

24


CLIMATE-INDUCED DISPLACEMENT: A Pandemonium of 2040 Oleh Elnaya Mahadevi Pillian

A few years ago concerns hovering over disaster displacement that befell communities all over the world called for global actions and strategic frameworks on policies in an attempt of mitigation on climate change. Today, we see that it is simply normalized and the world fails to do nothing but choose to adapt instead. For many years now this has been an ongoing issue ever since The Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration (GCM) recognized climate change as an exacerbating factor for displacement and migration1. As predicted roughly twenty years ago, today there are around 200 million refugees that have fled their homes and international laws offer them very little protection. The same complaints have been brought up at the 26th Conference of Parties in Glasgow back in 2021, yet it was undeniable that negotiators on the world event were unlikely to deal with the challenges posed by climate migration, which on its own standing is a horrible lack of political will. Evidently, it results in the fragility and vulnerability of the world’s highly concentrated poverty state making climate–induced displacement as one of the most visible manifestations of the relationship between both ecological as well as societal breakdown.

Climate change has endorsed increasing intensity as well as frequency of extreme weather such as abnormally prolonged droughts, heavy rainfall, desertification, natural environmental degradation, and sea-level rise that oten result in hazards and force an average of more than 20 million people to become climate refugees by leaving their homes and move to other areas annually.

25

Cr: Unsplash


In this instance, refugees are defined as people who cross international borders “owing to a well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion” (1951 Convention relating to 2 the Status of Refugees) . Climate change affects people within their own home countries and thus, creating internal displacement even before it reaches a point where it displaces people across borders which makes those who leave the country as a result to climate extremities carry the status of climate refugee. Although the term is not popular among global organizations and the United Nations High Commissioner for Refugees (UNCR)3, nonetheless it is the term that best fits today because it will at least provoke conversations that will further emphasize the political responsibility of climate change. Hopefully then, we will be able to raise awareness of the impact and eventually contribute and even challenge policies in order to highlight the desperate need to give those affected the voice and help to seek their legal protection.

Cr: Unsplash

26


It is grave and even pressing to note that the urgency of the matter rises above any environmental challenges because it goes as far as altering the lives of people who are wholly dependent on the natural resources of their land. Hence, slow climate changes are no longer a separate issue strictly marginalized as an environmental issue as they are intricately linked to both economics and politics.

Climate change is no longer merely an environmental challenge, but a human rights one as well. Although the solution to these problems can be solved by climate-driven migration as a managed response, in other contexts it also means an undermining of regional stability. Consequently, today the vast majority of the people forced to leave their homes due to climate-induced change live in developing countries.

Cr: Unsplash

27


Greenhouse gasses are responsible for less than 4% of climate change, yet developing countries lack the resources needed to support alternative forms of climate adaptation and the developed countries gallantly promising to be the backbone in fight for this challenge are collectively failing to live up to deliver their promise so far since the climate finance plan as part of the Paris Agreement4 all the way from 2016.

Another corner of the issue that people today still miss is the danger that people go through during migration due to climate change, especially for women and unaccompanied children, in particular girls. They are at great risk of experiencing major traumatic violence. People are, too, susceptible to human trafficking and plenty of other heinous forms of exploitations that entails5.

28


Climate change can honestly be said to be on a disastrous trajectory in a mission to cause widespread human and ecological suffering, and the evidence is becoming more apparent everyday. With an estimated 4°C warming already causing more than 80% of the world’s community displacement, impacts are occurring simultaneously in multiple sectors. Should this continue up until 2100, hundreds of millions of the world’s population will be affected by coastal flooding and displaced due to land loss. We will also experience an even steeper sea-level rise that will indisputably flood the land inhabited by at least 627 million people6. With predictions made by The Global Commission on Adaptation more than 20 years ago on the world situation in 2050 without adaptation, we are not so far along from experiencing those horrendous predictions. Growth in agriculture will be depressed much more than it is today with a rise up to 30%. Lack of sufficient water and food insecurity will continue to rise as well, from 3.6 billion people in 2021 to 7 5 billion in 10 years . Henceforth, it will not come as a surprise that without a relatively quick transformation, violence, civil war, and mass displacements will only continue to increase from 2040 to 2050. That is only a ten-years span.

29


Twenty to fifty years ago we could have altogether and collectively decided to act on the humanitarian acts and policies we gambled away when making political promises, integrate gender equality efforts and displacement considerations, scale up climate finance for developing countries to address community displacement and most importantly embark as an international community upon identifying synergies and gaps. That is a matter of what if’s two decades ago. The question we should ask today is if given the chance to go back to twenty to fifty years ago, is all of this irreversible mess worth it?

References: 1. "UN (2018): Global Compact on Safe, Orderly and Regular Migration". http://www.un.org/en/ga/search/view_doc. asp?symbol=A/RES/73/195 2. The Travaux Preparatories Analysed with a Commendary by Dr. Paul Weis. "The Refugee Convention, 1951". https://www.unhcr.org/4ca34be29.pdf 3. United Nations High Commissioner for Refugees (UNCR). 2021. https://www.unhcr.org/climate-change-and-disasters.html#:~:text=The%20impacts%20of%20climate%20change,the%20world%20that%20host%20refugees. 4. Josh Estey. CARE. "Evicted by Climate Change: Confronting the Gendered Impacts of Climate-Induced Displacement". https://careclimatechange.org/wp-content/uploads/2020/07/CARE-Climate-Migration-Report-v0.4.pdf 5. Mixed Migration Centre (2018): Experiences of female refugees & migrants in origin, transit and destination countries. A comparative study of women on the move from Afghanistan, East and West Africa. http://www.mixedmigration.org/wp-content/uploads/2018/09/050_experiences-of-female-refugees.pdf 6. In: Bulletin of the American Meteorological Society (2018): Vol. 97, No.12. Explaining Extreme Events of 2015 from a climate perspective. http://www.ametsoc.net/eee/2015/2015_bams_eee_low_res.pdf 7. Global Commission on Adaptation (2019): Adapt now. A global call for leadership on climate resilience. https://gca. org/global-commission-on-adaptation/report

30


A Barren World Without Food and Water Oleh Ruth Nathania

31


An uncertain future looms upon us. With the amplified effects of climate change, resource availability to support society is more likely to dwindle soon. This longterm phenomenon of changing weather patterns and temperatures is caused by natural processes, such as solar cycle variations and volcanic activities. However, human activities speed up its event. The burning of fossil fuels, deforestation, and farming livestock are a few examples that contribute to the increasing global temperatures, unpredictable weather, and frequent disasters. Resources, including food and water, shape people’s well-being and contributions to the world. Unfortunately, both are getting more inaccessible as time passes. Scientists predicted the world will fall into near-scarcity in 2040—Earth is no longer a haven and home for everyone. 32


WATER SCARCITY The growing global population will raise more demand for water, and many will be subjected to the horrors of water shortage. In 2040, researchers projected that there will be insufficient water to quench the thirst of the world population and sustain many activities if no actions are taken today. Water demand is predicted to grow by 55% in the coming years, with 1 out of 5 countries facing water scarcity and droughts. Water is an essential element that nourishes all lives on Earth. It powers all industrial, domestic, and agricultural activities to uphold all necessities in life. It is the very foundation that establishes the early civilizations until the present nations, supporting the public health and economic stability of millions. Thus, it is a depressing reality to witness the final days of a thriving world before the impending global water crisis dawned upon humanity.

33


Most of Earth’s surface is covered with water, yet 2.5% of it is considered usable as freshwater. Moreover, 2/3 of it is locked away in glaciers and icecaps. 1/3 of it that is supposed to be safe depletes at an alarming rate with limited time or chance to replenish itself. Hence, it is critical to be aware that water demand cannot exceed water availability to avoid water stress. One driving causality of water scarcity is climate change. The magnitude of flooding and droughts across the globe rises with higher recurrence. For instance, the city of Sao Paulo in Brazil suffered two arduous dry seasons, receiving half of its usual annual rainfall since 2014. 22 million citizens are unable to be provided with adequate water because the city’s main reservoir, Cantareira, went through a supply loss. On the other side of the world, Manila (the capital city of the Philippines) experiences severe precipitations. The sheer frequency and intensity of typhoons and storms result in floods, displacements, and diseases from poor water quality.

34


FOOD SCARCITY By 2050, the world must feed 9.8 billion people to end hunger and malnutrition. Food demand will soar because of the increasing global population. Like water availability, food security is a complex matter; the process of providing, delivering, and replenishing the global food supply encompasses all aspects of the economy and society. When mapping out the issues in food provision, water availability in agriculture plays an important role. It determines a successful harvest in terms of quantity and quality; if its supply diminishes, both the quantity and quality of the crops decline. To achieve sustainability in agriculture would require 70% of the present freshwater withdrawals to be cut back. This is a difficult choice to decide, considering the many mouths to be fed and regions experiencing prolonged dryness. Aside from the low harvest yields, livestock and fisheries production will plunge. Climate change alters all characteristics and biodiversity of habitats that raise the death rate of food stock. New diseases introduced or evolved from resistance also lowers their quality. 35


In the future, over 1600 cities will experience one of the big four crops (wheat, maize, rice, or soy) supply decrease by 10%. This leads to rising food prices, agricultural instability, and reduced food security. Researchers suggest that agriculture production needs a 50% boost in harvest to achieve enough stockpile. However, the declining water supply heightened by the worsening climate change makes the efforts in solving food scarcity a challenging task.

References Arzoomand, N. S., Boqvist, S., & Vågsholm, I. (2020, February 21). Food Security, Safety, and Sustainability— Getting the Trade-Offs Right. Frontiers in Sustainable Food Systems, 4 (2020). https://doi.org/10.3389/ fsufs.2020.00016 Boretti, A., Rosa, L. (2019, July 31). Reassessing the projections of the World Water Development Report. npj Clean Water 2, 15 (2019). https://doi.org/10.1038/s41545-019-0039-9 Bryan, B. A., Fang, Z., He, C., Li, J., Liu, Z., Pan, X., & Wu, J. (2021, August 3). Future global urban water scarcity and potential solutions. Nat Commun 12, 4667 (2021). https://doi.org/10.1038/s41467-021-25026-3 C40 Cities Climate Leadership Group. (2018, February). The Future We Don’t Want: How Climate Change Could Impact the World’s Greatest Cities. UCCRN Technical Report. Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2018). The future of food and agriculture – Alternative pathways to 2050. Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO. ISBN 978-92-5-130158-6 Gray, I., Ingersoll, C., Msangi, S., Nelson, G. C., Palazzo, A., Ringler, C., Robertson, R., Rosegrant, M. W., Sulser, T. B., Tokgoz, S., You, L., & Zhu, T. (2010). Food Security, Farming, and Climate Change to 2050: Scenarios, Results, Policy Options. International Food Policy Research Institute. DOI: 10.2499/9780896291867 UN-Water. (2020). United Nations World Water Development Report 2020: Water and Climate Change. UNESCO. ISBN 978-92-3-100371-4

36


CHAPTER 03:

THE TRUE FUTURE OF NATURE

37


"Your deepest roots are in nature. No matter who you are, where you live, or what kind of life you lead, you remain irrevocably linked with the rest of creation." - Charlie Cook -

38


WAB

Krisis iklim kian memperparah epidemi. Pemanasan global yang

organisme yang dilepaskan ke lingkungan. Perubahan lingkungan

patogen untuk men


BAH

g meningkatkan laju pencairan es menyebabkan adanya mikro-

n ini memberikan peluang yang lebih besar bagi mikroorganisme

nginfeksi manusia.


CLIMATE

Change

Oleh Elfrieda Azaria Zahra

41


Apa

yang Anda ketahui tentang perubahan iklim? Secara sederhana, perubahan iklim berarti terjadinya suatu perubahan dalam sebuah sistem iklim. Sistem iklim merupakan sistem yang membentuk iklim dimana didalamnya terdapat komponen yang saling mempengaruhi yaitu atmosfer, hidrosfer, biosfer, geosfer, kriosfer, dan humanosfer. Humanosfer mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Humanosfer merupakan komponen dari sistem iklim yang menyebabkan perubahan iklim akibat ulah manusia, ya, manusia yang saat ini paling berperan dalam kehidupan di Bumi. Humanosfer dipisahkan dari komponen biosfer karena hebatnya, humanosfer dapat menyebabkan perubahan terhadap komponen lainnya. Baik, sebuah contoh.

Bagaimana

kekuatan humanosfer mengubah sistem iklim?

Manusia yang selalu saja kepanasan, menginginkan solusi yang mudah untuk menyejukkan tubuhnya. Familiar dengan air conditioner (AC)? Tentu sudah banyak dari Anda yang tahu bahwa salah satu zat berbahaya yang dihasilkan dari penggunaan AC adalah klorofIuorokarbon atau yang biasa disebut CFC. CFC awalnya tidak ada di atmosfer. Akibat ulah manusia yang ingin serba cepat tanpa memperhatikan dampak jangka panjang, CFC tersebar di atmosfer. Ya, atmosfer merupakan komponen pembentuk iklim dan terbukti keberadaannya dapat dipengaruhi akibat ulah manusia.

42


kita buktikan bahwa iklim sudah benar-benar berubah. Bagaimana dengan gas rumah kaca (GRK)? Beberapa dari Anda mungkin juga sudah paham betul tentang hal ini. Gas rumah kaca adalah gas yang dapat menyerap sebagian besar radiasi inframerah gelombang panjang yang dipancarkan Bumi yang memanaskan atmosfer bagian bawah. Tanpa gas rumah kaca, suhu rata-rata permukaan Bumi akan mencapai -18 oC daripada rata-rata saat ini yaitu 15 oC. Dari penjelasan tersebut, gas rumah kaca ini terdengar tidak berbahaya. Namun, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akan meningkatkan suhu di permukaan Bumi hingga diatas batas normal sehingga Bumi menjadi tidak nyaman lagi untuk dihuni. Tentu saja, manusia memiliki campur tangan dalam peningkatan konsentrasi gas rumah kaca, terutama akibat penggunaan bahan bakar fosil. 43

CFC

1978

Mari kita kupas contoh diatas,

1984 GRK

CFC tampaknya merupakan kabar baik karena CFC adalah zat yang murah untuk diproduksi, serta bersifat stabil saat dilepas ke troposfer. Tetapi, ketika CFC sampai ke stratosfer—lapisan setelah troposfer—mereka berubah menjadi sesuatu yang mematikan. Mereka menghancurkan gas vital yang melindungi kita semua dari sinar Matahari yang membahayakan. Pada tahun 1984, seorang ilmuwan yang bekerja di Antartika menemukan bahwa terdapat lubang besar pada lapisan ozon. Lubang itu membesar dari tahun ke tahun. Pelakunya kemungkinan besar adalah karbon kloro dan fluoro yang digunakan dalam aerosol dan lemari es. Lubang di lapisan ozon membuktikan tanpa keraguan, bahwa manusia mampu menyebabkan kerusakan besar pada bagian atmosfer yang signifikan dalam waktu yang sangat singkat.

jason CO2


C

n

1958

Mari kita kembali ke tahun 1958, saat seorang ilmuwan bernama Dave Keeling berhasil menjadi orang yang pertama kali melakukan pengukuran konsentrasi karbon dioksida di atmosfer dengan akurat. Sejak saat itu, pengukuran konsentrasi karbon dioksida rutin dilakukan sehingga ditemukan bahwa konsentrasinya terus meningkat seiring berjalannya waktu—315 ppm di tahun 1958 kemudian sekitar 412 ppm di tahun 2020. Seperti yang kita tahu, karbon dioksida termasuk gas rumah kaca. Akibatnya, dengan peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, terjadi pemanasan global.

Pada tahun 1978, suatu organisasi ilmuwan bernama ‘JASON’ membangun model komputer dari sistem iklim global—The Jason Model of The World—untuk menyelidiki bukti yang berkembang tentang pemanasan global. Dari model tersebut, diperoleh beberapa prediksi, yaitu konsentrasi karbon dioksida di atmosfer diperkirakan akan berlipat ganda pada tahun 2035, suhu akan meningkat 2-3 derajat pada akhir abad ke-21, serta daerah kutub akan menghangat sekitar 10-12 derajat. Selama tahun 1980-an, suhu planet terus meningkat, membangun pemanasan yang pertama kali mulai pada 1970-an. Suhu harian di tahun 1990-an bahkan mencapai ratusan derajat. Pertanyaan yang timbul bagi para ilmuwan adalah, apakah ini hanya variasi alami atau karena emisi karbon dioksida yang disebabkan manusia? 44


Kemudian pada tahun 1988, Jim Hansen, seorang ilmuwan terkemuka dari NASA mengatakan: “Saya ingin menarik tiga kesimpulan utama. 1. Bumi lebih hangat pada tahun 1988, rekor dalam sejarah pengukuran instrumental. 2. Pemanasan global sekarang cukup besar sehingga kita dapat menganggap dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, hubungan sebab-akibat dengan efek rumah kaca. 3. Simulasi iklim komputer kami menunjukkan bahwa efek rumah kaca sudah cukup besar untuk mulai memengaruhi kemungkinan kejadian ekstrem, seperti gelombang panas musim panas.

jim hANSEn

Adalah tidak bermoral Secara keseluruhan, bukti ini mewakili kasus yang sangat kuat. Menurut saya, efek rumah kaca telah terdeteksi dan mengubah iklim kita sekarang.” Gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global, dan ternyata lebih luas lagi menyebabkan perubahan iklim global. Maka, benar manusia dapat memengaruhi komponen sistem iklim dengan cara mengemisikan gas rumah kaca.

45


What we need is people to change, not climate change.

Referensi

Wibowo, V. (2012). Buku Ajar Klimatologi. https://science. nasa.gov/ems/13_radiationbudget Hart, John. “Global Warming.” Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

Images by: Jay Wennington: Unsplash Lucas Marcomini: Unsplash William Hooke. 2013. James Hansen, climate change and the scientist’s duty. livingontherealworld.org Ibreakstock: Adobe Stock Piman Khrutmuang: Adobe Stock Kjpargeter: Freepik

referensi

meninggalkan kaum muda dengan sistem iklim yang tidak terkendali. Masih ada waktu untuk bertindak,tetapi kita membuang-buang waktu yang berharga

46


Alih Fungsi Lahan Oleh Lentina Teresia Simangunsong Alih fungsi lahan semakin marak, krisis iklim menjadi pertanda alam marah. Zona hijau kehilangan fungsinya sebagai paru-paru dunia. Tidak ada lagi yang bisa menggagalkan gas rumah kaca.

ghggghggeeeeefvve


Organisme Perintis Oleh Ery Nuralamsyah Titik vital Bumi dicampakkan. Perintis lingkungan dibinasakan. Atas bantuan siapa ekosistem akan bertahan?


Samudra yang Hilang Makna Oleh Aisya Rahmania Dangkua

/sa·mud·ra/ n 1 lautan: /la·ut·an/ n 1 laut yang luas sekali; samudra

49

Cr: Unsplash


Hai, namaku Samudra. Aku lahir pada tahun 2024 dari seorang ibu yang sangat mencintai lautan. Hari ini, usiaku genap 16 tahun. Izinkan aku menyampaikan pesan untuk manusia di tahun 2022, dua tahun sebelum aku dilahirkan. Tahun dimana ibuku bersuara membela lautan, tetapi kalah oleh mereka yang penuh ego. Laut, arti namaku yang hanya dapat kupahami dari dokumenter dan album koleksi ibuku tentangnya. Namun, bagiku semua itu hanya fiktif. Karena laut yang hari ini aku tahu, adalah tempat hampa yang kotor. Kerusakan masif laut sejak beberapa tahun lalu mengubah segalanya. Membuat udara yang kami hirup semakin hari semakin menyesakkan. Kami menjalani kehidupan hari per hari dengan kekhawatiran, memikirkan apakah besok masih ada udara segar untuk kami bernapas? Bagi kami, sudah terlambat untuk menyelamatkan Bumi dan segala isinya. Tetapi, belum terlambat untuk kalian. Maka tolong dengarkan penjelasanku.

50


THE PROBLEMS Laut memiliki fungsi yang krusial dalam melindungi manusia dari dampak buruk perubahan iklim dengan cara menyerap lebih dari 90% kelebihan kenaikan suhu Bumi dan 25% emisi CO2 (MBARI, 2019). Namun sebaliknya, perubahan iklim menimbulkan pemanasan, pengasaman dan deoksigenasi pada laut.

51


Pe m a n a s a n L a u t Cr: Unsplash

Peningkatan gas rumah kaca menyebabkan panas tidak dapat keluar dari atmosfer secara sempurna. Panas dari Bumi ini kemudian dipantulkan kembali ke Bumi dan diserap oleh permukaan air laut dan meningkatkan suhu laut bagian atas (Talukder, 2022).

Paris Agreement pada tahun 2015 menargetkan untuk menjaga kenaikan suhu Bumi kurang dari 1,5 oC di atas era pra-industrial. Dalam proyeksi yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2018, digambarkan bahwa jika pengurangan emisi CO2 gagal, maka target Paris Agreement tersebut akan gagal tercapai dan pada tahun 2030 kenaikan suhu Bumi menyentuh 1,6 oC. Jika pemanasan laut terus dibiarkan, maka salah satu dampak signifikan yang dapat terjadi adalah pencairan gletser yang akan menyebabkan kenaikan muka air laut (Church, et al., 2013) dan meningkatkan terjadinya banjir rob.

52


Cr: Unsplash

Pengasaman Laut Pengasaman air laut terjadi akibat penyerapan CO2 berlebih, saat konsentrasi CO2 dan bikarbonat meningkat, sementara konsentrasi karbonat dan pH menurun (Barker dan Ridgwell, 2012).

Di tahun 2015, pH laut rata-rata adalah 8,1, angka ini sudah menurun 0,06 unit dari abad ke-19. Jika laju penurunan pH tetap pada angka 0,2 unit setiap dekadenya, diprediksikan bahwa pada tahun 2050, pH laut akan turun 0,15 unit dari tahun 2005 (Johnson dan Bell, 2015). Pengasaman air laut ini dapat berpengaruh pada terganggunya habitat bagi biogenik pesisir (Sunday et.al., 2017), terganggunya reproduksi spesies laut (Fitzer et.al., 2012), terganggunya aktivitas metabolisme dan akan memodifikasi laju respirasi (Talukder, 2022).

53


Deoksigenasi Laut Cr: Unsplash

Deoksigenasi berkaitan dengan pemanasan laut, semakin panas laut maka semakin berkurang kemampuannya untuk mengikat atau menahan oksigen (Talukder, 2022).

Di sisi lain, semakin panas laut, maka kebutuhan spesies akan oksigen juga meningkat (Boscolo-Galazzo et al., 2018). Deoksigenasi laut dapat berpengaruh pada peningkatan produksi N2O di laut yang kemudian menambahkan jumlah gas rumah kaca di atmosfer dan mempengaruhi perubahan iklim (Babbin et al., 2015).

54


Dampak Keseluruhan Perubahan iklim memicu pemanasan air laut yang kemudian dapat memicu timbulnya deoksigenasi laut. Seiringan dengan itu, emisi karbon berlebih memicu timbulnya pengasaman air laut. Saat ketiga fenomena ini sudah terjadi secara terus-menerus, maka ancaman bagi kehidupan laut sudah di depan mata. Salah satu pengaruh utama dari gabungan ketiga fenomena ini adalah pemutihan karang. Pemutihan merupakan akibat dari stress sewaktu terjadi perubahan besar pada organisasi jaringan dan sitokimia dalam polip karang (Hayes & Goreau 1992). Proses ini menyebabkan koloni karang menjadi putih, baik sebagian maupun keseluruhan koloni (Azhar, 2016).

The Reef-World Foundation pada tahun 2021 memberikan gambaran mengenai apa yang akan terjadi jika tidak ada terumbu karang lagi di lautan. Diantaranya adalah 25% kehidupan laut akan kehilangan habitatnya, industri perikanan akan hancur, perekonomian wisata laut akan berkurang, pesisir menjadi rentan terhadap erosi, kenaikan muka air laut tidak dapat dibendung lagi, dan masyarakat pesisir terancam kehilangan tempat tinggal.

Menurut riset yang dilakukan oleh World Heritage UNESCO pada tahun 2017, per tahun 2040, 25 dari 29 area terumbu karang World Heritage akan mengalami pemutihan karang parah dua kali lipat setiap dekadenya. Frekuensi ini dapat dengan cepat membunuh sebagian besar terumbu karang yang ada dan menggagalkan regenerasi terumbu karang baru. 55

Cr: Unsplash


WHAT CAN WE DO? Jangan berkecil hati, dampak-dampak tersebut belum terjadi di masa kalian. Masih banyak hal yang dapat kalian lakukan. Kunci utamanya adalah keterlibatan dan kerja sama seluruh pihak, mulai dari pemerintah, industri, akademisi, hingga masyarakat. Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan oleh masing-masing sektor.

Langkah Mitigasi dari Sektor Pemerintah Memperkuat peraturan terkait baku mutu emisi gas rumah kaca Memperkuat peraturan terkait izin usaha di pesisir atau lautan Melakukan restorasi ekosistem terumbu karang Memperkuat peraturan terkait illegal fishing Memperkuat penegakkan hukum Mendukung pengembangan renewable energy

56


Langkah Mitigasi dari Sektor Industri Menghentikan illegal fishing Patuh pada peraturan lingkungan Mengurangi emisi karbon Beralih ke renewable enery

Langkah Mitigasi dari Sektor LSM Mengkampanyekan pentingnya menjaga kesehatan lautan Mengedukasi masyarakat terkait bahaya perubahan iklim bagi laut Mengawal penegakkan hukum lingkungan oleh pemerintah Mengawal kepatuhan industri terhadap peraturan lingkungan

57


Langkah Mitigasi dari Sektor Akademisi Mengembangkan riset Mengembangkan teknologi berbasis energi terbarukan

Langkah Mitigasi dari Sektor Masyarakat Mengkampanyekan pentingnya menjaga kesehatan lautan Mengedukasi masyarakat terkait bahaya perubahan iklim bagi laut Mengawal penegakkan hukum lingkungan oleh pemerintah Mengawal kepatuhan industri terhadap peraturan lingkungan

Jika langkah-langkah mitigasi tersebut dapat terlaksana secara kolaboratif, maka masih ada kesempatan untuk mencapai target yang dicanangkan pada Paris Agreement. Solusi tersebut baru sebagian kecil saja, masih banyak langkah yang dapat kalian ambil untuk mencegah kerusakan lautan jika kalian mau membuka mata kalian.

58


Lautan yang dulu luas akan keindahannya kini luas akan kehampaannya. Ia sudah melindungi manusia dari perubahan iklim dengan mengorbankan dirinya. Jika laut rusak, tidak ada lagi yang melindungi manusia dari perubahan iklim. Sudah waktunya kalian yang mengorbankan ego untuk menyelamatkan laut. Samudra, nama penuh arti dan kegagahan yang kini hilang makna. Jika pesan ini sampai kepada kalian, tolong jaga lautanku. Selamatkan kami, anak dan cucu kalian. Apa yang kalian lakukan setelah membaca ini, bisa menyelamatkan kami hari ini, di 2040.

Cr: Un

splash

Salam hangat, Samudra yang hilang makna

59


Referensi 1. 2. 3. 4.

5.

6.

7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14.

Azhar, A. (2016): Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Terumbu Karang: Antara Dampak dan Perannya Dalam Siklus Karbon, Marine Journal, http://jurnalsaintek.uinsby.ac.id/ mhs/index.php/marine/article/view/33 Babbin, A. R., Bianchi, D., Jayakumar, A., & Ward, B. B. (2015): Rapid nitrous oxide cycling in the suboxic ocean. Science, 348(6239), 1127–1129. https://doi.org/10.1126/science. aaa8380 Barker, S., Ridgwell, A. (2012): Ocean acidification, Nature Education Knowledge, 3(10). https://www.nature.com/scitable/knowledge/library/ocean-acidification-25822734 Boscolo-Galazzo, F., Crichton, K. A., Barker, S., & Pearson, P. N. (2018). Temperature dependency of metabolic rates in the upper ocean: A positive feedback to global climate change? In Global and Planetary Change (Vol. 170, pp. 201–212). https://doi.org/10.1016/j. gloplacha.2018.08.017 Church, J.A., P.U. Clark, A. Cazenave, J.M. (2013): Sea Level Change. In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Fitzer, S. C., Caldwell, G. S., Close, A. J., Clare, A. S., Upstill-Goddard, R. C., & Bentley,M. (2012): Ocean acidification induces multi-generational decline in copepod naupliar production with possible conflict for reproductive resource allocation, Journal of Experi mental Marine Biology and Ecology, https://doi.org/10.1016/j.jembe.2012.03.009. Hayes, RI, and TJ Goreau. (1992): Histology of Caribbean and south Pacific bleached cor als, Proc. 7th Int. Coral Reef Symp, 1: P71. Heron, Scott F., Eakin C.M., Douvere, F. (2017): Impacts of Climate Change on World Heritage Coral Reefs, UNESCO. http://whc.unesco.org/en/news/1676/ IPCC. (2018): Summary for Policymakers. In: Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty [Masson-Delmotte, V., P. Zhai, H.-O. Pörtner, D. Roberts, J. Skea, P.R. Shukla, A. Pirani, W. Moufouma-Okia, C. Péan, R. Pidcock, S. Connors, J.B.R. Matthews, Y. Chen, X. Zhou, M.I. Gomis, E. Lonnoy, T. Maycock, M. Tignor, and T. Waterfield (eds.)]. In Press. Johnson, J., Bell, J., Gupta A.S. (2015): Pacific Islands Ocean Acidification Vulnerability Assessment, SPREP. https://www.sprep.org/attachments/Publications/CC/ocean-acidifi cation.pdf MBARI. (2019): Climate change and the ocean, Monterey Bay Aquarium Research Institute. https://phys.org/news/2019-09-climate-ocean.html Reef World Foundation. (2021): What Would Happen if There Were No Coral Reefs?, https://reef-world.org/blog/no-coral-reefs Sunday, J., Fabricius, K., Kroeker, K. et al. (2017): Ocean acidification can mediate biodiversity shifts by changing biogenic habitat. Nature Clim Change 7, 81–85. https://doi. org/10.1038/nclimate3161 Talukder, B., Ganguli, N., Matthew, R. (2022): Climate Change-Accelerated Ocean Biodiversity Loss & Associated Planetary Health Impacts, The Journal of Climate Change and Health, https://doi.org/10.1016/j.joclim.2022.100114.

60


MANGROVE

DAN SERAPAN KARBONNYA Oleh Hanifah Rahmah

Cr: Pixabay & Getty Images

61


Tumbuhan seringkali disebut sebagai kunci masalah pencemaran udara karena dapat menyerap karbon. Salah satu tumbuhan yang dimaksud adalah mangrove. Namun, apakah mangrove bisa benar-benar menuntaskan masalah pencemaran udara?

but sebagai carbon offset. Carbon offset akhir-akhir ini dapat dilakukan di berbagai platform sebagai bentuk pencegahan krisis iklim. Pertanyaannya, apakah cukup mengandalkan penanaman mangrove untuk melakukan carbon offset sepenuhnya?

Tumbuhan mampu menyerap karbon sehingga membantu menurunkan pencemaran udara. Proses penyerapan karbon merupakan proses yang dilakukan saat fotosintesis ketika tumbuhan mengubah karbondioksia menjadi karbon organik yang nantinya akan disimpan dalam bentuk biomassa. Setiap jenis tumbuhan memiliki kapasitas serapan karbonnya masing-masing. Mangrove yang berhabitat di pesisir pantai tergolong ke dalam blue carbon atau karbon biru. Karbon biru merupakan karbon yang tersimpan di dalam ekosistem pesisir dan laut1.

Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Eden Project, satu pohon mangrove hanya mampu menyerap 12,3 kg CO2 per tahun. Umur pohon mangrove pada umumnya mencapai 25 tahun sehingga satu pohon mangrove mampu menyerap karbon sebanyak 0,3075 ton CO2 seumur hidupnya. Lantas, bagaimana cara menebus carbon footprint yang dihasilkan oleh manusia, baik dari aktivitas sehari-hari, industri, maupun kegiatan lainnya?

Mangrove mampu mengikat karbon lebih banyak dibandingkan dengan hutan terestrial ataupun hutan hujan2. Hal ini menyebabkan menanam mangrove menjadi salah satu pilihan untuk menebus carbon footprint pada kegiatan sehari-hari atau biasa dise-

Mari ambil contoh dari hasil penelitian yang dilakukan di salah satu universitas di Indonesia pada tahun 2015. Penelitian dilakukan untuk menghitung jejak karbon yang dihasilkan dari fakultas teknik pada universitas tersebut. Jejak karbon yang dihitung meliputi penggunaan liquefied petroleum gas (LPG) di kantin dan setiap jurusan; jenis kendaraan dan pembelian bahan bakar

62


oleh dosen, staf, dan mahasiswa; gaya hidup dalam penggunaan transportasi dan listrik; penggunaan kertas oleh mahasiswa dan penggunaan kertas operasional; timbulan sampah; dan pembelanjaan listrik. Berdasarkan perhitungan tersebut, jejak karbon yang dihasilkan pada tahun 2015 di fakultas teknik yang terdiri atas empat jurusan adalah sebesar 1.618.001,473 kgCO2-eq3. Jika menggunakan data jejak karbon tersebut, untuk menebus jumlah karbon yang dihasilkan perlu dilakukan penanaman mangrove sebanyak 131.544 pohon per tahunnya. Tentu jumlah tersebut terbilang sangat besar, padahal jejak karbon yang diper-

Cr: Studio Phillipines

63

hitungkan hanya berdasarkan aktivitas di universitas tertentu. Ketika aktivitas industri diperhitungkan, maka jejak karbon yang dihasilkan akan jauh lebih besar, begitupun dengan kebutuhan mangrove yang akan ditanam. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan hanya menanam mangrove tidak akan menyelesaikan masalah. Menanam mangrove menjadi salah satu pilihan dalam melakukan carbon offset. Namun, mustahil jika hanya mengandalkan mangrove untuk menebus jejak karbon karena terdapat berbagai kendala seperti terbatasnya lahan, survival rate dari mangrove yang rendah akibat semakin


banyak pantai yang mengalami abrasi, serta kapasitas serapan karbon oleh mangrove yang terbilang kecil apabila dibandingkan dengan jejak karbon yang dihasilkan dari seluruh kegiatan manusia. Pohon mangrove memang memiliki kemampuan menyerap karbon, tetapi tidak cukup untuk mengatasi pencemaran udara melalui carbon offset. Tidak ha-

nya mangrove saja, jika kita ingin memperbaiki kualitas udara dengan cara menanam pohon, hal ini tergolong ke dalam utopia. Perlu adanya perubahan perilaku masyarakat dan pemerintah dalam mengurangi jejak karbon. Diperlukan pula kerjasama antarmasyarakat dengan pemerintah untuk memperbaiki lingkungan yang kian hari semakin krisis.

Cr: Pixabay

Referensi [1] Sidik, F., Krisnawati, H. 2017. Peluang ‘Blue’ Carbon sebagai Komponen Khusus NDC Indonesia. Policy Brief 11(6). [2] Windarni, C., Setiawan, A., Rusita. 2018. Estimasi Karbon Tersimpan Pada Hutan Mangrove Di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Sylva Lestari 6(1). [3] Sagala, S., Sutrisno, E., Andarani, P. 2017. Kajian Jejak Karbon Dari Aktivitas Kampus Di Fakultas Teknik Univesitas Negeri Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan 6(1).

64


CHAPTER 04: now, what?

65


"The Earth is a fine place and worth fighting for."

66


THE AGE OF SUSTAINABLE DEVELOPMENT Oleh Hafidz Abdillah

Terhitung pada Januari 2022, jumlah penduduk dunia telah mencapai angka 7.9 miliar jiwa, hampir sebelas kali lipat dari jumlah penduduk dunia sejak terjadinya revolusi industri. Beribu tahun sejak masa manusia mulai bercocok tanam, jumlah penduduk dunia ada pada angka yang konstan (sekitar 300-500 juta jiwa). Namun, semua berubah setelah terjadinya revolusi industri. Jumlah penduduk yang terus meningkat seiring waktu memberikan umat manusia pertanyaan, “Bagaimana pembangunan yang berkelanjutan dapat dicapai di dunia yang begitu padat ini?”. Pertanyaan tersebut mudah dijawab oleh orang-orang yang berada di negara maju. Kendati bagaimana apabila pertanyaan tersebut diajukan di negara yang masih berkembang atau bahkan tertinggal?

Grafik pertumbuhan penduduk (Cr: worldometers.info)

67


Menurut data Bank Dunia di tahun 2022, sebanyak 689 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem dengan penghasilan 1,9 dollar amerika per hari atau setara dengan Rp14.000 per hari. Kurangnya pendapatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan edukasi menjadi penyebab utama kemiskinan. Pada tahun 2022, berapa banyak orang hidup di lingkungan yang bahkan untuk menyediakan pakan sehari-hari saja sulit? Berapa banyak orang tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh, berdampingan dengan mewahnya perkotaan? Berapa banyak orang yang tidak bisa mengenyam pendidikan atau memperoleh akses terhadap fasilitas kesehatan yang layak?

Ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi (Cr: oxfam.org)

Salah satu pelajaran yang harus diambil dari pembangunan yang sudah dan sedang umat manusia lakukan di tahun 2022 adalah bahwa manusia menjadi ancaman bagi manusia itu sendiri. Pembangunan yang manusia lakukan telah mengancam berbagai aspek fundamental dari sistem yang ada di bumi, seperti iklim, siklus air, siklus nitrogen, hingga biodiversitas. Kejadian seperti banjir, gelombang panas, badai, dan kekeringan sudah menjadi kebiasaan baru bagi umat manusia. Demi membangun perekonomian, kita mengemisikan gas rumah kaca, merusak kualitas udara dan perairan, hingga menebang hutan. Dapat dikatakan, umat manusia hampir melewati “batas-batas” yang seharusnya tidak dilewati. 68


Pertanyaan dasar yang sering muncul di benak manusia adalah “Haruskah manusia berubah? Atau haruskah manusia melanjutkan apa yang saat ini manusia lakukan?”. Sebenarnya, apa yang sudah manusia lakukan hingga tahun 2022 tidak sepenuhnya buruk, khususnya bagi orang-orang yang sudah ada di “zona nyaman”. Mulai dari ekonomiyang bertumbuh dengan cepat, angka harapan hidup yang terus meningkat, hingga menurunnya angka kematian balita. Akan tetapi, apakah semua yang telah manusia capai bersifat inklusif? Berapa banyak orang yang tertinggal? Berapa biaya yang harus umat manusia keluarkan untuk melanjutkan praktik pembangunan yang sejak dulu kita lakukan? Praktik pembangunan yang sejak dahulu manusia lakukan sudah menimbulkan banyak sekali ancaman bagi umat manusia itu sendiri. Apabila pertumbuhan ekonomi terus berjalan dengan ketimpangan –yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin–, manusia akan melihat lebih banyak kekacauan dan ketidakstabilan sosial di sekitar mereka. Manusia perlu berubah ke arah praktik pembangunan yang lebih berkelanjutan dengan memastikan pertumbuhan ekonomi terjadi secara inklusif dan ramah lingkungan. Pembangunan tersebut tentu harus ditopang atau didukung oleh sistem pemerintahan yang baik.

69


Menurut perkiraan Bank Dunia, pada tahun 2030, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, seharusnya kemiskinan ekstrem dapat terhapuskan seluruhnya. Artinya, manusia yang hidup di tahun 2022 dapat menjadi saksi sejarah terhapusnya kemiskinan dari muka bumi. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat terwujud dengan sendirinya. Pada bulan September tahun 2000, Millenium Development Goals atau MDGs disepakati oleh negara-negara di dunia. MDGs terdiri dari 8 tujuan umum dengan 21 target spesifik dan 60 indikator. Tujuan-tujuan tersebut dibuat bukan hanya untuk menjadi teks belaka, namun untuk umat manusia kejar, sebuah desakan untuk pemerintah, dan panduan untuk aksi-aksi individual yang dilakukan.

Cr: United Nations

70


Cr: United Nations

Terlepas dari berbagai pencapaian dari MDGs, terutama dalam mengatasi masalah kesehatan dan kemiskinan, umat manusia belum bisa menyelesaikan tantangan untuk mengkombinasikan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan hidup. Para pemimpin dunia kemudian menyepakati untuk melakukan transisi dari MDGs menjadi SDGs (Sustainable Development Goals). SDGs dibuat dengan lebih mengintegrasikan tujuan-tujuannya dalam melawan kemiskinan, merawat lingkungan hidup, dan mencapai inklusivitas sosial. Tentu, pertanyaan selanjutnya bagi umat manusia adalah apakah SDGs bisa dicapai oleh umat manusia?

71


Apabila melihat perkembangan indeks SDGs, terlihat pertumbuhan indeks SDGs dari waktu ke waktu. Yap, pertumbuhan sebanyak kurang lebih 2 nilai lebih tinggi dari 2015. Sama sekali pertumbuhan yang tidak menjanjikan target manusia untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di tahun 2030. Sebelum COVID-19, prospek yang menjanjikan terlihat pada penurunan angka kemiskinan dan inovasi industri dan infrastruktur. Bagaimana pencapaian di sektor lain? Nihil! Bukankah pencapaian SDGs harus dilakukan secara holistik dan terintegrasi pada satu sektor dengan sektor lainnya? Pencapaian yang tidak terintegrasi seperti yang sudah manusia lakukan hingga tahun 2022 bersifat rentan dan sama sekali tidak mencerminkan berkelanjutan.

72


Terdapat peningkatan orang-orang yang menderita kurang gizi dan obesitas, terutama karena adanya pandemi COVID-19 yang turut mengancam ketahanan pangan dunia. Beribu terima kasih kepada perkembangan media sosial yang membuat pola konsumsi yang semakin lama malah semakin tidak berkelanjutan, dibarengi dengan cara produksi yang juga tidak berkelanjutan sehingga meningkatkan kerusakan pada ekosistem di darat dan perairan. Kerusakan ekosistem meningkatkan jumlah kehilangan biodiversitas–salah satu komponen dari sistem bumi yang hampir umat manusia lewati batas amannya pada tahun 2022. Apakah ini artinya hingga tahun 2022 manusia masih melanjutkan praktik pembangunan yang tidak berkelanjutan? Mau sampai kapan hal ini dilanjutkan?

73


Manusia hingga tahun 2022 sudah memiliki teknologi yang dapat membantu manusia mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Kesempatan untuk mencapai masa depan yang semua orang inginkan bukanlah sebuah fiksi sains, namun sesuatu yang bahkan manusia sendiri tahu apa yang harus dilakukan. Seluruh manusia menghirup udara yang sama, menginginkan masa depan yang indah untuk anak-anaknya, dan menyadari bahwa manusia hidup di planet yang sama. Satu pertanyaan terakhir untuk mengakhiri tulisan ini,

Masa depan seperti apa yang kalian inginkan?

Cr: oxfam.org

Referensi Global poverty: Facts, FAQs, and how to help. (23 Agustus 2021): , diperoleh 2 Februari 2022, melalui situs internet: https://www.worldvision.org/sponsorship-news-stories/global -poverty-facts. The sustainable development goals and Covid-19: includes the SDG index and dashboards (2021): (Sustainable development report ... / Bertelsmann Stiftung; Sustainable Development Solutions Network), Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom, 509. https://doi.org/10.1017/97811089922411 World Population Clock: 7.9 Billion People (2022) - Worldometer. (t.t.): , diperoleh 2 Februari 2022, melalui situs internet: https://www.worldometers.info/world-population/. 74


AVOIDING

ECO ANXIETY

Oleh Clara Fortuna W.

Elemen-elemen alam Bumi terancam bahaya. Dampak krisis iklim kian melebar, membawa mimpi buruk yang tak ada habisnya ke setiap aspek kehidupan. Malapetaka tersebut rupanya membawa “gangguan” baru di antara masyarakat khususnya generasi muda, yakni eco-anxiety. 75


The American Psychology Association (APA) menggambarkan eco-anxiety sebagai “ketakutan kronis bencana lingkungan yang berasal dari mengamati dampak perubahan iklim yang tampaknya tidak dapat diputuskan dan kekhawatiran terhadap masa depan seseorang serta generasi berikutnya”. Eco-anxiety berarti kecemasan berlebih yang tak lepas dari hubungan psikologis manusia dengan lingkungannya. Eco-anxiety saat ini tidak tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), yang berarti bahwa dokter tidak secara resmi menganggapnya sebagai kondisi yang dapat didiagnosis. Perlu diketahui bahwa perasaan cemas ini wajar muncul khususnya ketika kita merasakan ancaman mengenai masa depan yang disebabkan oleh semua krisis yang kita amati. Seringkali, kita dihadapkan dengan perasaan tak berdaya ketika melihat alam yang semakin dekat kepada kehancuran.

Eco-anxietY? Eco-anxietY?

Apa itu Eco-anxiety?

76


Apa Penyebabnya? Eco-anxiety ternyata tidak membawa dampak yang sama kepada setiap orang. Kecemasan ini cenderung menyerang golongan masyarakat yang lebih sadar perlindungan lingkungan. Berdasarkan US Global Research Program, krisis iklim telah memengaruhi kesehatan fisik, mental, dan sosial. Beberapa dampak tersebut mencakup perubahan pada kebugaran fisik pada tingkat aktivitas, peningkatan peristiwa yang berkaitan dengan panas, peningkatan angka alergi, dan peningkatan dampak terhadap penyakit bawaan air. Beberapa dampak psikologis yang dapat ditimbulkan dari perubahan iklim diantaranya adalah trauma dan syok, gangguan stres pascatrauma (PTSD), kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat terlarang, agresi, berkurangnya perasaan otonomi dan kontrol, perasaan tidak berdaya, fatalisme, dan ketakutan. Pada segi kesehatan komunitas, dampak yang ditimbulkan meliputi peningkatan agresi interpersonal, tingkat kekerasan dan kriminalitas, instabilitas sosial, dan penurunan kohesi sosial. 77

Cr: Freepik

Environment is no ones property to destroy, it's everyones responsibility to protect. -Mohith Agadito


We won't have a society if we destroy the environment Margaret Mead-

Cr: Unsplash

Let's nurture the nature, so that we can have a better future

Cr: Freepik

78


Menghindari EcoAnxiety

Cr: pngwing

79

Sama seperti gangguan kecemasan psikologis lainnya, terdapat beberapa cara yang mampu meredam dampak dari eco-anxiety. Kunci yang setidaknya mampu mengurangi kecemasan ini adalah dengan melakukan tugas kita untuk menjaga lingkungan, dan mempromosikan gaya hidup berkelanjutan. Ini adalah beberapa tips yang dapat dilakukan untuk menangani eco-anxiety.


01

02 03

Melakukan Tindakan Sebagian besar orang merasa bahwa melakukan tindakan positif terhadap diri sendiri maupun orang lain membantu mengurangi kecemasan. Beberapa tindakan praktikal tersebut termasuk: menyebarkan kesadaran mengenai praktik lingkungan yang baik, menjadi sukarelawan dalam komunitas lingkungan, dan memilih gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Gaya hidup tersebut dapat diimplementasikan dengan mendaur ulang dan mengikuti pola makan yang berkelanjutan, seperti mengonsumsi lebih sedikit daging dan produk susu.

Mendapatkan Edukasi Mendapatkan informasi yang akurat tentang lingkungan dapat memberdayakan masyarakat dan membantu mereka merasa siap jika terjadi krisis. Manusia dapat menemukan kelegaan dalam mengedukasi diri terhadap isu-isu lingkungan yang diperoleh dari sumber tepercaya dan kredibel.

Membangun Resilensi

Resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap masalah yang terjadi dalam kehidupan. Dengan resiliensi, manusia mampu menangani kecemasan lebih baik daripada orang yang kurang percaya diri terhadap kemampuan mereka. Untuk meningkatkan resiliensi, APA mengusulkan berbagai cara yakni, memupuk kepedulian, melihat masalah dalam konteks yang lebih luas, membuat dan mengeksekusi tujuan yang dapat dicapai, mempraktikkan self care, dan menjaga hubungan dengan orang-orang yang berpikiran selaras.

80


04 05 06

07

81

Meningkatkan Hubungan Dengan

Menghabiskan lebih banyak waktu di luar ruangan atau dengan alam dapat membantu mengurangi eco-anxiety. Beberapa orang bahkan merekomendasikan untuk menyimpan batu, ranting, bunga kering, atau benda alami lainnya yang dapat mereka lihat dan sentuh ketika merasa kewalahan.

Menjadi Aktif

Olahraga teratur dapat membantu mengurangi sebagian besar jenis kecemasan. Berjalan, berlari, atau bersepeda alih-alih menggunakan sumber transit berbasis bahan bakar fosil, jika realistis dan aman, dapat mengurangi emisi gas rumah kaca individu.

Mengetahui Saat Perlu Melepaskan Tanpa disadari, seseorang bisa sangat terpengaruh oleh informasi yang mereka lihat setiap hari di media, politik, iklan, dan di platform media sosial. Melihat informasi ini berulang-ulang dapat menyebabkan stres, terutama jika informasi tersebut tidak akurat, bias, atau disajikan dengan cara tertentu. Memilah kembali sumber informasi lingkungan yang tidak diperlukan dapat membantu mengurangi tingkat stres.

Menemui Tenaga Profesional

Jika seseorang tidak bisa mempraktikkan tips sebelumnya dengan baik, mungkin mereka memerlukan bantuan profesional. Seseorang dapat berkonsultasi dengan dokter keluarga atau petugas kesehatan lain yang dapat memberikan panduan profesional kesehatan mental yang sesuai.


REFERENSI?

Krisis iklim merupakan mimpi buruk yang tidak bisa dihentikan seorang diri, perlu kontribusi bersama dari setiap golongan. Kita tidak melawan dan bertahan terhadap bencana ini sendirian, namun langkah perbaikan bisa dimulai dari diri tiap individu.

Referensi https://www.iberdrola.com/social-commitment/what-is-ecoanxiety https://www.medicalnewstoday.com/articles/327354

Cr: Freepik

82


MEET THE TEAM & CONTRIBUTORS ENVIRO TEAM Sekar Adinia Larosa

WRITERS

Fathiya Mufidah

Khalisha Meliana Qatrunnada

Hanifah Rahmah

Lentina Teresia Simangunsong

Aisya Rahmania Dangkua

Sholihah Rahmatunnisa Utami

Hafidz Abdillah

Rizky Ramdhany Hernawan Khaila Nursofa Elfrieda Azaria Zahra

Elfrieda Azaria Zahra Hasna Khadijah Salsabila L. Elnaya Mahadevi Pillian

Nadia Yasmin Widyadharini

Ruth Nathania A.

Ilham Jang Jaya Putra

Muzdalifah Rizka

Tasya Salsabilla K. P. Clara Fortunata Wijaya Diyah Anggraeni Adelia Paramesti Zahra

Clara Fortunata Wijaya

PHOTOGRAPHERS

Lentina Teresia Simangunsong Ery Nuralamsyah


WHAT ARE YOUR THOUGHTS AFTER READING ENVIRO? LET US KNOW!

https://bit.ly/FeedbackEnviro22

contact us HMTL ITB bit.ly/OAHMTL-ITB @hmtl_itb

HMTL ITB

@hmtl_itb

Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan ITB HMTL ITB (hmtlitb) Enviro HMTL ITB (envirohmtlitb) HMTL ITB

Enviro Podcast by HMTL ITB


Sekretariat HMTL ITB Gedung Lama Teknik Lingkungan Jln. Ganesha No. 10 Bandung 40132 hmtl_itb@km.itb.ac.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.