Ketika kita mendengarkan musik di Madura (Sumenep, musik saronn), kita lebih
dapat memberikan kesan yang cenderung menggambarkan ekspresi kuat dan keras.
Kecenderungan dibawakan dalam kisaran pola permainan yang keras, cepat dan menghentak.
Kesan kekerasan pada saat ini tidak ada maksud untuk dikait-kaitkan dengan budaya yang
selalu melekat pada orang Madura, namun justru suatu keinginan untuk mendapatkan
pemahaman yang mendasar dan detail terhadap serat-serat hubungan seni musik tersebut
dalam konteks budayanya.
Bicara tentang kesenian tentu tidak dapat dilepaskan dari persinggungannya dengan
lingkungan di mana kesenian itu hidup. Lingkungan memberi peran yang dominan dalam
mengkonstruk kesenian tertentu untuk merepresentasikan warna dan karakter yang berkaitan
dengan kondisi masyarakat pengikutnya. Hal ini mengacu pada studi yang pernah dilakukan
Merriam, dalam bukunya The Anthropology of music, (Northwestern: University Press,
1964, hasil akhirnya bahwa seni (musik) merupakan sebuah budaya. Artinya didalamnya
terdapat kompleksitas ide, norma, aturan, pandangan, konsep dari masyarakat pengkultusnya.
Dalam mengamati musik sebagai objek material kaitannya dengan kondisi sosio
masyarakat pendukungnya dapat dilihat dalam dua aspek. Pertama, melihat musik sebagai
jaringan teks dan kedua, mencari pembuktian yang mendasar terkait konstelasi norma
musikal dengan psikologi masyarakatnya. Sebagai teks dianalisa hingga mendapatkan
pemahaman yang detail terkait konstelasi atau hubungan musikal dengan karakter pelaku
dalam menciptakan musik tersebut. Dalam konteks, dapat diamati dengan melakukan studi
etnografis pada budayanya. Mengamati sebuah masyarakat tertentu tidak hanya dapat
dilakukan dengan menganalisa musik sebagai teks semata, namun harus didapatkan
gambaran yang detail terkait kondisi budaya masyarakat tersebut.
Begitu juga di Madura, guna mendapatkan gambaran detail terkait konstelasi musik
dengan serat-serat budaya masyarakat pengkultusnya, kiranya jalan kedua di atas menjadi
penting, yakni mendeskripsikan atau mengetnografikan budaya Madura secara umum.
Etnografi Madura dalam konteks ini hanya akan dibatasi pada Madura bagian timur yakni
Sumenep dan sekitarnya.
membawa dampak pada suhu yang relatif lebih tinggi, sehingga terkesan lebih panas jika di
bandingkan dengan wilayah Jawa pada umumnya. Walaupun Madura dikenal sebagai sosok
pulau yang panas, tandus dan gersang, sehingga tidak menguntungkan dalam bermata
pencaharian sebagai petani, namun di berbagai wilayah Madura termasuk Sumenep di
samping sebagai nelayan justru bertani merupakan sektor mata pencaharian utama. Bagi
masyarakat Madura, tanah sebagai warisan leluhur mengikatnya untuk tetap mempertahankan
kodratnya bahwa tanah dimaksud selayaknya sebagai lahan pertanian.
Pada musim hujan, masyarakat setempat menanam padi, bawang dan lain sebagainya.
Musim kemarau juga menjadikan musim yang menggairahkan. Di musim ini masyarakat
setempat berlomba-lomba menanam tembakau sejak tembakau di pasaran nasional memiliki
posisi tawar tinggi. Panen tembakau selain membawa berkah tersendiri bagi masyarakat
Madura, juga membawa dampak yang menyegarkan bagi kesenian tradisional setempat,
seperti saronn. Menurut Atrawi,(wawancara, 13 Juni 2009) musim panen tembakau adalah
musim di mana pesta hajatan banyak dikumandangkan diberbagai tempat di Madura. Antara
lain tradisi pernikahan, khitanan, bersih desa, dan lain sebagainya. Dampaknya semakin
memberi pengaruh bagi kelompok kesenian saronn.
Beberapa nara sumber, Bu Nurma dan Bu Arman dan diperkuat oleh Darus
memaparkan bahwa agama Islam merupakan agama utama di Madura. Mayoritas penduduk
Madura, khususnya Sumenep memeluk agama Islam. Implementasi ajaran agama Islam dapat
dilihat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Madura, umumnya kaun wanita. Menurut Bu
Nurma dan Bu Arman terdapat kategori di mana seorang wanita Madura harus mempertebal
sisi agamisnya. Wanita Madura, memakai kerudung atau jilbab ketika dirinya memiliki
suami, sementara diperbolehkan tidak memakai ketika masih lajang. (Menurut penulis praktik
dan implementasinya dapat saja berubah tergantung dari seberapa agamis dan tidaknya orang
tersebut). Dalam takaran konseptualnya dijelaskan bahwa, dalam menarik perhatian kaum
laki-laki, wanita Madura diperbolehkan tidak memakai kerudung ataupun pakaian tertentu
yang menutupi semua tubuhnya, agar si laki-laki dapat dengan jelas memperhatikan aura
yang ada. Setelah sama-sama tertarik, setelah keduanya menikah dan berikutnya si wanita
diharuskan memakai jilbab dan pakaian yang menutupi aurat. Hal ini mengisyaratkan bahwa
dia telah bersuami dan tabu apabila digoda oleh laki-laki lain. Agama sebagai benteng
terdepan dalam melegitimasinya. Segala apa yang ada pada tubuh wanita hanyalah untuk
suami. Pada konteks ini kesetiaan terhadap suami begitu dijunjung tinggi.
Selain mengatur legalisasi perjodohan, agama bagi masyarakat Madura dalam
konsteks yang lebih luas juga membawa pengaruh bagi perkembangan kesenian setempat,
misalnya saronn. Perpaduan antara implementasi keagamaan dan adat begitu kental.
Upacara selamatan atau memohon sesuatu melalui pertolongan kekuatan atau kharisma
seorang tokoh yang telah meninggal masih dijalankan. Terbukti di beberapa wilayah
bertebaran makam keramat, walau terpencil sekalipun sering didatangi orang dari berbagai
penjuru. Masyarakat tradisional mempercayai bahwa setiap perubahan yang fundamental
dalam hidup seseorang atau lingkungannya perlu diselamati agar perubahan-perubahan itu
mendapat keberkahan, keselamatan dan kebahagiaan, terlindung dari malapetaka.
bekerja, ataupun untuk melepas nadzar, datang ke makam keramat seorang tokoh agamis
religius. Ketika kegiatan ini dilakukan, di makam tersebut menjadi sangat ramai oleh
tetabuhan musik saronn. Hal ini disebabkan karena hampir setiap rombongan peziarah lokal
membawa musik prosesi untuk mengarak rombongannya. Menurut Darus dan Atrawi,
suasana menjadi gaduh karena setiap kelompok gamelan saronn yang berada di balai-balai
itu saling membunyikan musiknya. Hal itu menjadi menarik ketika belakangan diketahui
bahwa musik yang dimainkan juga diyakini ada kaitannya dengan persembahan yang
dilakukan. Semakin lama dimainkan dengan baik, disugestikan semakin sempurna suatu
hajatan. Namun demikian di lain pihak, tidak jarang pula terdapat golongan masyarakat yang
begitu kental dengan sisi agamanya, yang dengan serta-merta menolak kehadiran kesenian
yang bukan bernuansa Islami. Mereka biasanya menyukai bentuk kesenian seperti: gambus,
hadrah, dan lain-lain.
Dari banyak keterangan, dapat dimengerti bahwa nama pertunjukan musik rakyat
saronn ternyata mengacu pada nama salah satu ricikan pengiring yang secara musikal
memberi kesan sangat dominan, yaitu saronn. Ricikan sejenis saronn tersebut
sesungguhnya banyak terdapat di sebagian besar tempat di Nusantara, bahkan lebih jauh
bertebaran di jajaran etnis dari belahan dunia yang lain. Ricikan sejenis saronn itu memiliki
nama yang beragam. Di Jawa Timur, ricikan tersebut dinamakan selompret atau slomprt;
Kunst juga menjelaskan bahwa selompret/saronn berasal dari kebudayaan Persi-Arab (kata
surnai [bahasa Arab], di Nusantara berubah menjadi serunai atau sarune (di Sumatra) dan
saronn (di Madura dan Jawa Timur). Namun, sebagaimana diketahui dari rangkaian
peristiwanya selama periode Jawa-Hindu, baik di Jawa, Bali dan juga di Batak, fenomena
sebutan tersebut telah diadopsi pula oleh kelompok-kelompok kebudayaan non Islami. Hal
serupa juga terjadi pada beberapa pengadopsian istilah lainnya, seperti: rebab, terbang
(rebana) dan gambus(Jaap Kunst, Music in Java, 1973)
Agar pembahasan terkait (musik saronn) tidak melebar, penulis akan membatasi
wilayah kajian dalam dua variabel, tekstual dan kontestual. Wilayah tekstual akan
meletakkan musik saronn dalam ruang pembahasan: ensambelisasi, pelarasan, dan
keberadaan gending-gendingnya. Sementara untuk wilayah kontekstualnya, penulis akan
meletakkan musik saronn dalam ruang pembahasan: kehidupan sang musisi dan fungsi
musik saronn dalam masyarakat Madura khususnya Sumenep.
Nama-nama ricikan yang ada dalam gamelan saronn tidaklah baku. Menurut
pengakuan beberapa nara sumber, Atrawi dan Puasan, antara satu daerah dengan daerah lain,
satu kelompok dengan kelompok lainnya, memiliki klasifikasi kosakata yang berbeda dalam
menyebut berbagai ricikan musik saronn. Untuk memudahkan dalam memaparkan ricikan
yang ada pada musik saronn tersebut, penulis mencoba menggunakan pendekatan
etnomusikologis, yakni pendeskripsian suatu fenomena kesenian (termasuk di dalamnya
nama ricikan) berdasar atas kacamata sang pemilik kebudayaan (emik). Perhatikan dua
metode etik dan emik (pada Heddy Shri Ahimsa Putra Ethnoart: Fenomenologi Seni Untuk
Indiginasi Seni dan Ilmu dalam Waridi (ed). Menimbang Pendekatan: Pengkajian &
Penciptaan Musik Nusantara). (Surakarta: Jurusan Karawitan bekerjasama dengan Program
Pendidikan Pascasarjana dan STSI Press Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. 2005).
Guna memudahkan dalam membaca dan meraih gambaran agar tidak terkesan asing,
penulis di sisi lain akan melakukan pendeskripsian dengan metode etik, yakni dengan
menempatkan kosakata asli setempat didampingi dengan kosakata lain yang lebih umum
sebagai analoginya. Adapun ricikan musik saronen dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Ricikan struktural
Adalah ricikan yang dalam gamelan saronn fungsinya sebagai penanda pada tingkatan
apa gending yang bersangkutan dimainkan (pembentuk struktur), lancar, lamba, rangkep
dan lain sebagainya. Indikasinya dapat dilihat dari pengaruh waktu yang dibutuhkan
untuk membunyikan instrumen struktural ini, semakin panjang jarak pukulan, berarti
semakin lebar wilayah irama gending, dan berarti pula gending tersebut berada dalam
kisaran irama lambat atau rangkep, begitu juga sebaliknya. Adapun ricikan struktural
tersebut meliputi:
- ghung raja = seukuran gong suwukan
ricikan pendung
panyolcol
Jenis ricikan struktural tersebut di atas sangat lazim dijumpai pada bentuk kesenian
prosesional yang ada di Jawa. Beberapa kesenian tersebut diantaranya seperti jaran
bumbung, jaran pogogan, jaran breng, jaran kencak dan lain-lain, serta bentuk
pertunjukannya hampir selalu sama. Biasanya pertunjukan diawali dengan penyajian
gending-gending untuk mengumpulkan orang, kemudian melakukan pertunjukan
prosesional dan sesekali berhenti di tempat-tempat strategis untuk melakukan atraksi.
Tentu saja tidak totalitas sama, setiap daerah yang memiliki status lokalitas berbeda akan
berbeda/berubah berdasar atas kultureis (lingkaran budaya) yang mereka miliki. Sehingga
sangat dimungkinkan instrumen-instrumen tersebut di atas berasal dari satu rumpun
kebudayaan. Tidak pernah diketahui wilayah mana yang memberi stimulan awal dalam
mempengaruhi yang lain. Dengan demikian konsep awal yang dibangun oleh Merriam
yang menekankan bahwa musik adalah budaya dalam konteks ini telah terbukti.
saronen
Ricikan Saronn Madura termasuk alat musik tiup. Cara membunyikannya dengan ditiup
vertikal (end-blown flute). Menuut bentuknya ricikan saronn seperti corong yang
merupakan jenis aeroponik yakni sumber bunyinya dihasilan melalui getaran udara. Cara
membunyikannya dengan mengaliri udara melalui mulut secara langsung dan terusmenerus (sirkuler), kemudian masuk ke dalam celah yang tipis (cleret), nada-nada diatur
melalui lubang-lubang kecil dengan menggunakan ujung jari.
4. Ricikan Pendukung
Ricikan pendukung dalam musik saronn fungsinya memberikan warna bunyi pada sajian
gending-gendingnya. Ricikan ini meliputi korsa = korca = krca = crcr = kecer dan
ghendhang gedh serta ecek-ecek (tambourin). Kecer merupakan instrumen idioponik
semacam piring mini (lepek) yang cara membunyikannya dengan diadu diantaranya,
sedangkan ghendhang gedh merupakan ricikan yang dirangkap oleh pemain ghendhang
raja..
10
B. Pelarasan
Menurut penuturan Achmad Darus, kebanyakan musik saronn untuk kategori ricikan
strukturalnya terbuat dari besi (tong) yang biasanya digunakan untuk mengemas minyak dan
oli. Bahan besi digunakan karena musik saronn merupakan musik prosesi, membutuhkan
beban ringan, fleksibel dan se-efisien mungkin, yang akan memberikan satu kenyamanan
dalam acara prosesi, yang tidak jarang harus dengan jalan kaki hingga ber jam-jam.
Bandingkan jika terbuat dari perunggu yang jauh lebih berat.
Pemain musik saronn sangat menyadari bahwa bahan dari plat besi membuat ricikan
tersebut mudah terkontaminasi oleh kelembaban suhu udara yang mengakibatkannya berkarat
(teyengen), berubahnya konsistensi gaungnya, jika dipukul mudah lentur (penyok) hingga
berubahnya laras yang ada. Sementara seperti apa laras dalam kategori musik saronn? Darus
dan beberapa pemain saronn seperti Atrawi, Puasan, Asnawai, Darsono, Ahmad, Moyo,
Sumarwi dan Lianto. memaparkan bahwa dalam perangkat musik yang mereka miliki tidak
ada ketentuan khusus bahwa ricikan (struktural) terkait harus dilaras dengan nada berapa. Hal
tersebut tergantung dari kesukaan tiap-tiap kelompok gamelan.
Namun bukan berarti pelarasan musik saronn terkesan asal. Pelarasan ricikan
dilakukan dengan jalan dipukul dan dikikir. Pelarasan musik saronn berbeda-beda. Pelaras
umumnya memakai ukuran-ukuran tertentu dalam memastikan apakah nada gaungnya sudah
layak atau belum. Untuk kepentingan klenengan (in door) dibutuhkan suara yang lembut,
sedangkan untuk prosesi (arak-arakan, out door) membutuhkan materi bunyi yang nyaring.
Umumnya laras dalam musik saronn adalah slendro. Ketika diamati laras yang ada
pada kelompok musik saronn Sumber Baru, ukuran interval ricikan saronn dan ricikan
struktural sangat berbeda. Untuk ghung raja (gong suwukan) dilaras dalam nada 5 (slendro)
dan ghung kn (kempul) dalam nada 6 (slendro), hampir mendekati nada 5 dan 6 yang ada
11
pada ricikan saronn, walaupun jarak intervalnya (menurut penulis) relatif jauh. Sementara
untuk ricikan saronn sendiri, karena dilagukan pula dalam laras slendro sehingga jarak
interval antar nadanya hampir sama.. Sedangkan menurut Darus, Samarwi dan Yasin untuk
ricikan struktural lainnya (pendung, panenga, panyolcol) dan ricikan pelengkap (kecer), tidak
harus dilaras, asalkan masih memiliki keserasian dengan nada gong dan kempul, jadi nadanya
dapat saja 2 untuk pendung, 6 untuk panenga dan 3 untuk panyolcol, semua dalam intervensi
wilayah slendro.
12
waktu terbatas atau sempit. Pada aplikasinya dapat berubah, semua tergantung dari kencan
para pemainnya. Perbedaan dua jenis gending tersebut dapat dilihat dengan jelas melalui
analisis musikalnya. Gending lorongan dan sarka untuk buka (introduksi) dilakukan oleh
ricikan saronn. Kedudukan saronn dalam konteks ini layaknya rebab atau gender di Jawa,
ia yang akan menentukan jenis gending apa yang akan dibawakan. Dengan demikian para
musisi diharapkan tanggap oleh orkestrasi musikal yang dilakukan pemain ricikan saronn.
Dalam gending lorongan, ricikan saronn dapat dengan leluasa berimprovisasi dan
melakukan loncatan nada dari laras slendo ke pelog, dengan teba wilayah seleh yang sama.
Pemain saronn, dalam konteks gending lorongan dituntut memiliki kreativitas dan kepekaan
orkestrasi musikal yang tinggi dibanding dengan gending sarka. Adapun sebabnya, gending
lorongan dibawakan pada irama lamba atau tanggung. Karena dibawakan dengan irama
tanggung, setidaknya ricikan melodius saronn, dapat dengan leluasa mengembangkan pola
permainannya, karena tersedianya ruang yang cukup. Sedangkan pada gending sarka karena
dibawakan pada irama lancar, peran ricikan melodi saronn, terbentur dengan tempo dan
ritme yang relaif cepat sehingga ruang untuk mengembangkan orkestrasi musikalnya menjadi
sempit dan terbatas. Akan tetapi apabila kita amati secara sepintas, tanpa didasarkan atas
analisis yang dalam, gending lorongan terkesan lebih cepat dan rapat dibandingkan dengan
gending sarka. Hal ini disebabkan oleh frekuensi pukulan ricikan struktural lebih banyak
pada gending lorongan sehingga terkesan lebih cepat dari pada gending sarka. Gending sarka
dalam satu gongan terdapat dua pukulan kenong dan satu pukulan kempul, sedangkan dalam
lorongan terdapat dua kali pukulan kempul dan empat kali pukulan kenong. Hal tersebutlah
yang melatari gending lorongan terkesan lebih padat dan cepat.
Musik saronn tampak fleksibel dan seolah begitu terbuka dalam dialek persentuhan
dengan kebudayaan yang berbeda. Hal ini terlihat dalam penyajiannya juga dapat
membawakan musik-musik berirama dangdut. Menurut Atrawi, (sang penabuh kendang),
13
percampuran dengan musik dangdut terjadi sudah sejak lama yakni pada dekade tahun 70-an
ketika musik saronn ramai dibawa dari panggung prosesi untuk acara sape sono dan karapan
sapi. Dalam acara-acara tersebut, musik saronn tidak hanya diperuntukkan sebagai musik
prosesi saja namun juga sebagai media hiburan, dalam konteks inilah pola-pola dangdut
dalam setiap gendingnya mulai dimasukkan.
14
menggairahkan. Pada posisi inilah seniman musik saronn sangat diuntungkan. Masa panen
tembakau yang rata-rata tiga bulan, membuat para pemain musik saronn merasa paling
sibuk dibanding petani yang lain. Selain panen yang melimpah, job dan frekuensi manggung
musik saronn pun banyak permintaan.
Di satu sisi mereka terlibat dalam kesibukan panen tembakau, di sisi lainnya mereka
saat itu sedang kebanjiran tanggapan. Mereka harus pandai-pandai mengatur waktu.
Menurut Darus dan beberapa pemain musik saronn, jika waktu itu tiba, mereka lebih
memprioritaskan posisinya sebagai seorang seniman daripada petani. Hal tersebut terlihat
dari sikap mereka yang senantiasa menyanggupi jika ada permintaan pentas. Bagi Atrawi,
Yasin dan Moyo, sebenarnya pertimbangan prioritas sebagai seorang seniman daripada petani
bukan berdasarkan materi atau uang semata. Melainkan karena keterikatan komitmen
individu dengan kelompok mereka, di samping mereka menghargai kelompok orang yang
nanggap.
Dalam konteks menerima dan menolak permintaan tanggapan, kelompok musik
saronn memiliki sorang pemimpin. Pemimpin dalam konteks ini biasanya juga menjadi
pemain. Posisi seorang pemimpin menjadi begitu vital pada saat negosiasi menjalin kontrak,
misalnya ketika pihak penanggap tidak menyediakan mobil jemputan maka di sini peran
pemimpin yang harus mengusahakan transportasi untuk para anggotanya. Begitu pula untuk
hal-hal yang lain seperti pengaturan pembagian gaji, pengorganisasi waktu latihan, dan lain
sebagainya. Manyadari bahwa diri mereka adalah penjual jasa, maka kelompok tersebut
senantiasa bersikap ramah dalam menerima maupun menolak permintaan pentas.
B. Proses Latihan
Ketika musim kemarau telah usai dan panen tembakau mulai surut, di musim hujan,
para pemain dalam satu kelompok menyempatkan untuk berkumpul dan latihan.
15
Berkumpulnya mereka pemain gamelan saronn Sumber Baru, Desa Pabrasan Kec. Kota,
Kab. Sumenep disebutnya dengan acara arisan. Melalui acara tersebut mereka, kelompok
saronn dapat berkumpul, berembug dan pada akhirnya melakukan proses latihan. Latihan
biasanya diadakan di tempat pimpinan (ketua). Hal ini dipandang efektif karena, mereka
(para anggota) merasa sungkan jika tidak datang, karena sangsinya harus berhadapan dengan
pimpinan langsung.
Pada acara arisan tersebut, selain digunakan sebagai ajang evaluasi, proses latihan
yang ada dipandang penting untuk membenahi kelemahan-kelemahan yang selama ini
muncul, baik dari segi penyajian, referensi gending, hingga yang paling terpenting adalah
pembenahan sistem organisasi yang ada. Dalam setiap arisan tersebut, semua anggota
diwajibkan datang. Anggota biasanya berasal dari satu kelompok, keluarga, atau bahkan satu
desa, dengan demikian koordinasi dapat berjalan mudah.
Proses latihan biasanya terfokus pada ricikan-ricikan yang dianggap memiliki tingkat
kesulitan tinggi, yaitu saronn, kendang serta panyolcol. Dalam memainkan ricikan saronn
ini seorang pemain harus memiliki ketrampilan khusus, bagaimana cara meniupnya, teknik
apa yang digunakan. Hal ini menjadi penting karena hampir setiap komposisi gendinggending musik saronn, ricikan saronn memiliki peran penting dan kehadiran musikalnya
hampir memenuhi setiap bagian komposisi. Kedua adalah kendang, ricikan ini tugasnya
dalam mengatur tempo, dan pemain diharapkan mampu melakukan improvisasi dalam
mengisi setiap komposisi gendingnya. Terakhir adalah panyolcol (bonang terkecil), pemain
diharapkan mampu mempertahankan tempo dan ritme dan mampu mempertahankan
ketepatan pukulan dalam berbagai irama. Lebih tepatnya kombinasi ketiga ricikan tersebut
menjadi tumpuhan utama sajian musik ini. Pelatih biasanya adalah yang benar-benar
memiliki
kompetensi, dan
tidak
jarang
saling
memberi
masukan
materi.
Cara
pembelajarannya dengan lisan, yakni bertutur, didengarkan dan kemudian dipraktekkan. Hal
16
semacam ini sering pula disebut oral, yakni transfer ilmu melalui medium suara dan
penglihatan.
Kesimpulan
Dari sudut pandang antropologi musik, kesenian musik saronn bukanlah suatu
fenomena material, tetapi berupa pengorganisasian dari hal-hal yang berkait dengan bendabenda, manusia, perilaku, atau emosi. Kemudian dalam perjalanannya, kesenian ini
merupakan suatu model dari pelaku untuk mempersepsikan, menghubungkan dan
menginterpretasikan segala hal yang berkait dengan kehidupan yang dialaminya (termasuk
juga lingkungan). Oleh karena itu setidaknya dengan memahami rentan perjalanan musik
saronn kita dapat mempresepsikan seperti apa psikologis pelaku dari masyarakat
pendukungnya. Bukankah dalam studi etnomusikologis sering kali meletakkan pemahaman
bahwa karya seni (termasuk di dalamnya adalah musik saronn) dalam perjalanannya selalu
memiliki konstelasi yang erat dengan masyarakatnya.
Dengan demikian berbagai penjelasan yang telah diuraikan di atas menunjukkan,
bahwa perjalanan musik saronn sebagai pengakuan entitas tradisi lokal adalah wadah mikro
yang mampu menunjukkan secara makro budaya masyarakat Madura, khususnya Sumenep.
Akhirmya, sudah selayaknya musk saronn tidak hanya dilihat sebagai pencapaian estetis
musikal semata, lebih dari itu musik saronn sebagai sebuah entitas lokal sudah seharusnya
dilihat sebagai alat ukur objektif budaya yang apabila dikaji dan dianalisis secara lebih
mendalam dapat digunakan untuk membedah dan mengetahui determinasi budaya
masyarakat pengkultusnya.
17
Daftar Pustaka
Alan P. Merriam, The Anthropology of Music, (Northwestern: University Press, 1964).
Depdikbud, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Monografi Daerah Jawa Timur, jilid
III. (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1977).
Heddy Shri Ahimsa Putra Ethnoart: Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni dan Ilmu
dalam Waridi (ed). Menimbang Pendekatan: Pengkajian & Penciptaan Musik
Nusantara. (Surakarta: Jurusan Karawitan bekerjasama dengan Program Pendidikan
Pascasarjana dan STSI Press Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. 2005).
Jaap Kunst, Music in Java: Its History, Its Theory and Its Technique, (vol. I, The Hague
Martinus Nijhoff, 1973).
Wawancara
Darus, Atrawi, Puasan, Asnawi, Darsono, Ahmad, Moyo, Yasin, Sumarwi dan Lianto.
Mereka adalah para pemain gamelan saronn Sumber Baru, Dusun Salosa, Rt. 11 Rw.
11, Desa Pabrasan, Kec. Kota Sumenep, Kab. Sumenap. Berdiri Tahun 1982.
wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juni 2009.
BIODATA:
nama lengkap sabar, ultah 27 januari, pekerjaan tetap di sekolah tinggi kesenian wilwatikta
(stkw) surabaya, pendidikan strata I pada sekolah tinggi kesenian wilwatikta (stkw) surabaya
jurusan seni karawitan, pascasarjana penciptaan musik pada institut seni indonesia (isi)
surakarta, pengalaman berkesenian hingga kini masih gemar ngamen.
18