Keranjingan Illuminati

Kata Pakar Begini Alasan Orang Indonesia Selalu Demen Sama Konspirasi Illuminati

Sedikit spoiler wawancara kami: yang diuntungkan maraknya isu kayak gitu adalah mereka yang mempolitisasi agama.
Kata Pakar Begini Alasan Orang Indonesia Selalu Demen Sama Konspirasi Illuminati
Screenshot dari hati2diinternet via YouTube.

Ada terlalu banyak hoax dan teori konspirasi yang susah diterima nalar beredar di Indonesia. Apalagi kalau sudah dicampur agama. Rame banget. Zaman Suharto masih presiden, beredar surat berantai mengatasnamakan imam Masjidil Haram menyebar kutukan. Di era Orde Baru pula, banyak penduduk di Tanah Air mengenal satu buku legendaris karangan Muhammad Isa Dawud yang membuat pembacanya familiar sama kombinasi konsep absurd berikut: Dajjal+Segitiga Bermuda+UFO+Jin Muslim.

Iklan

Berkat akses Internet yang semakin murah didukung menjamurnya warnet, lahir generasi pertama 'netizen lokal' yang siap memamah informasi apapun dari dunia maya. Termasuk teori dan diskusi seputar Illuminati atau Freemason dari forum Internet indocropcircle atau KasKus. Plus, kalian masih pada ingat ga, film Zeitgeist yang bikin kalian percaya dunia ini dikuasai rezim kadal berambisi menanam chip di tubuh umat manusia? Hehehe…

Intinya, memasuki Abad 21, perbendaharaan teori konspirasi kita makin canggih sekaligus beragam. Tapi Illuminati dan Dajjal (atau kombinasi keduanya) terasa punya kesan lebih besar dibanding teori konspirasi lain. Nyatanya, penerbit mayor dan toko buku besar masih mau memberi ruang untuk buku bombastis macam ini. Buku tersebut laris manis pula.

Illuminati berulang kali memicu masalah. Tentu saja yang beberapa kali dibahas sebelumnya adalah serangan terhadap Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang terpaksa melayani debat dengan seorang pendakwah seputar rancangan Masjid Al Safar. Masjid di kawasan rest areaKM 88 B Jalan Tol Cipularang itu, dibikin firma arsitektur milik Kang Emil, kata Ustaz bernama Rahmat Baequni, penuh simbol-simbol iluminati, misalnya segitiga dan mata satu.

"Ini pintu masuknya, dan lihat ini segitiga semua, bahkan ketika masuk ke dalam. Ini segitiga, satu mata," kata Rahmat dalam video tersebut.

Klarifikasi Ridwan Kamil berusaha memberi bantahan ilmiah, berdasarkan kajian sejarah dan disipilin arsitektur. Al Safar sejak awal dirancang dari inspirasi geometri yang lazim dalam arsitektur, termasuk pola rancang bangunan yang dihasilkan peradaban Islam.

Iklan

"Tidak bisa dihindari yang namanya bentuk segitiga, yang namanya bentuk jajaran genjang, yang namanya lingkaran. Ini keindahan arsitektur Islam. Sampai ada tutorial membentuk kaligrafi Islam," ujar Ridwan.

Nyatanya, bagi pendukung Ustaz Rahmat, pemaparan itu tak penting lagi. Kang Emil adalah pendukung Illuminati. Selesai perkara. Diskusi hanya kembang-kembang pelengkap saja.

Tudingan seputar tata kota, karya seni, atau bentuk bangunan yang diasosiasikan dengan simbol yang ofensif bagi umat mayoritas (baca: Islam) berulang kali terjadi, menimpa pemerintah, pejabat publik, hingga pesohor dari dunia hiburan.

Sebelumnya, taman di sekitar simbol Kota Bukittinggi, monumen Jam Gadang disebut mirip juga dengan simbol mata dajjal. Dalam eskatologi Islam, dajjal merupakan makhluk jahat, pembawa fitnah terbesar sekaligus ujian terbesar umat Islam menjelang kiamat. Hal tersebut ditanggapi serius oleh DPRD dan Pemerintah Kota Bukittingi. Dua aparatur kota ini saling berbeda pendapat. DPRD Bukittinggi meminta agar desain arsitekturnya diubah, sementara itu pemerintah Kota membantah keras tudingan adanya desain yang disebut mirip mata Dajjal tersebut.

"Jika memungkinkan dan sesuai dengan aturan yang ada, kami minta kepada pemerintah daerah untuk dapat mengubah desain taman Jam Gadang ini. Sehingga tidak ada lagi desain yang mengarah kepada simbol yang meresahkan warga, seperti yang dihebohkan para netizen di sosial media," kata Ketua DPRD Bukittinggi, Beny Yusrial saat diwawancarai media lokal.

Iklan

Walikota Bukittinggi, Ramlan Nurmantias, menyebut tuduhan tersebut tak usah dihiraukan. Dia pun meminta masyarakat agar tidak percaya begitu saja dengan informasi di Internet yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.

"Kalau dilihat dari atas, banyak di Jakarta tempat berkumpul seperti setengah lingkaran, apakah itu Dajal? Ada juga air mancur seperti itu dilihat dari atas, apa itu Dajal juga?" ujarnya. "Kami ingin mempercantik Kota Bukittinggi, tidak mungkin seperti yang dihebohkan."

Kota kelahiran Presiden Joko Widodo, Surakarta, sempat mengalami tuduhan serupa. Bedanya, tuduhan bagi Solo bukanlah soal Iluminati, melainkan pola desain jalan yang di perdebatan dunia maya dianggap mirip dengan lambang salib. Intinya, masalah ini laten banget.

Mengapa masyarakat Indonesia mudah sekali percaya dengan doktrin konspirasi teori yang dipertentangkan dengan agama? Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sunyoto Usman, memberi beberapa alternatif jawaban. VICE ngobrol bersamanya, mencari kira-kira apa ya akar dari pandangan sempit macam itu.

Dari perspektif kajian sosiologi, Sunyoto melihat kita harus membaca fenomena sosial tersebut dari perkembangan wacana keagamaan di Tanah Air. Sebab, sejak belum merdeka sampai sekarang, masyarakat Indonesia memang sudah secara aktif menggabungkan politik dan agama. Artinya, agama adalah instrumen mobilisasi massa, mobilisasi wacana. Illuminati, yang dioplos dengan semua narasi anti-Islam, tentu akan cepat meraih perhatian kalangan mayoritas di republik ini.

Iklan

Siapa sih yang untung dari penyebaran teori konspirasi kayak gini? Lantas mengapa bangsa kita seakan "kerajingan" wacana konspiratif macam illuminati? Berikut cuplikan obrolan kami bersama Sunyoto.

VICE: Fenomena apa sih yang bisa anda baca dari kasus tudingan Ridwan Kamil dan Illuminati itu? Seperti apa karakter persebaran wacana di masyarakat kita, sehingga isu begini bisa dipercaya banyak orang?
Sunyoto: Di agama itu ada elemen-elemen penting. Pertama, keyakinan. Kedua, simbol. Ketiga, ritual. Lalu ada pengikut. Nah pengikut itu sikap, tindakan, dan kesadarannya bereferensi pada keyakinan, simbol, dan ritual. Kalau dipahami, elemen-elemen yang ada dalam agama bisa menjadi semacam gerakan. Gerakan itu ada dua, gerakan menyebarkan doktrin agama, nah gerakan ini biasanya penuh toleransi. Artinya mereka bisa menerima perbedaan-perbedaan. Kalau di Jawa misalnya zaman Wali Songo, "apakah boleh selamatan [seperti adat Jawa Hindu]?", jawabannya boleh. Tapi doanya harus Islam, padahal selamatan itu ritual Hindu. Toleransi oleh para wali dulu hanya bentuknya saja, isinya Islam.

Kedua, agama itu memang memungkinkan untuk gerakan politik. Tujuannya untuk merebut, memelihara, mengembangkan kekuasaan. Inilah yang biasanya toleransinya rendah dan keras.


Tonton dokumenter VICE soal sekte keagamaan yang menyembah alien sebagai Tuhan:


Artinya, tudingan terhadap Kang Emil, atau beberapa pemkot yang tata kotanya dianggap melambangkan simbol anti-agama itu dampak politisasi? Memangnya masyarakat Indonesia segampang itu disetir isu agama?
Kalau dari sejarah dulu kan perjuangan-perjuangan politik melawan kolonial, dilakukan pula oleh para ulama. Jadi bukan hal baru. Zaman melawan kolonial dulu, jargon-jargon agama yang sifatnya eskatologis [menggambarkan janji baik kehidupan sesudah mati jika mau berbuat baik] sudah digunakan. Pidato Bung Tomo itu menyebut “Allahu Akbar”. Dulu juga disebut jihad melawan kolonial. Jadi sudah lama sebetulnya di indonesia [agama] digunakan memobilisasi massa buat kepentingan politik, dan berhasil. Salah satu rumus yang sederhana, sesuatu yang dipakai berhasil, akan digunakan untuk menghadapi situasi yang kurang lebih sama. Keberhasilan [politisasi agama] akan dipakai lagi.

Iklan

Apakah kecenderungan ini buruk?
Ya enggak juga. Partai-partai islam kan indikasi bahwa agama digunakan untuk meraih, mengembangkan kekuasaan. Bukan hal baru, jadi itu sebagai modal politik perjuangan juga. Meskipun, ada sebagian kalangan yang menempatkan agama tidak lebih dari ritual. Selalu ada tiga kategori. Kalau dilihat dari segi organisasi keagamaan. Pertama, ibadah sebagai penyebar doktrin, kedua modal politik karena punya massa besar. Ketiga, ada unsur ekonomi karena ada beberapa organisasi keagamaan yang punya amal usaha yang memang secara ekonomi signifikan.

Lantas kenapa di Indonesia agama masih efektif dipertentangkan sama teori konspirasi macam Illuminati, Dajjal, atau lambang salib yang sebetulnya tidak masuk akal?
Dalam upaya meraih atau merebut kekuasaan, metode-metode analogi menjadi penting. Metode analogi itu mengambil doktrin yang kira-kira dapat memperkuat integritas, memperkuat komitmen. Makanya masyarakat sering menganalogikan sesuatu. Misalnya kalau di budaya Jawa, ada orang bukan dari latar elit jadi kepala daerah kadang dijuluki "Petruk dadi Ratu". Sementara orang yang suka membuat analisis yang menimbulkan konflik dipanggil Durno atau Sengkuni.

Nah itu agama juga bisa dipakai demikian. Menganalogikan suatu peristiwa, untuk memberi keyakinan bahwa perjuangannya benar. Kedua, kalau mau ditarik ke konspirasi, memang ada gerakan-gerakan macam itu di hampir semua agama yang fundamentalis. Itu kan sebetulnya ingin mengganti aturan manusia menjadi God’s rule, karena aturan yang dibuat manusia dianggap usang dan harus diganti.

Biasanya siapakah dedengkotnya aturan manusia dan rasio itu? Maka disebutlah “Barat” misalnya. Nah maka jadilah siapa saja yang kira-kira “Kebarat-baratan” maka menjadi bagian dari musuh. Karena dianggap mengubah tatanan aturan. Itu terdapat di hampir semua agama terdapat gerakan seperti itu. Penguasa di sebuah negara yang ingin mengubah salah satu rule-nya lalu dianggaplah berkonspirasi dengan "Barat". Lalu dianggaplah musuh. Dugaan saya demikian.

Apakah fenomena tudingan konspiratif ini cenderung lahir di masyarakat konservatif? Menimbang lokasi masjid Safar di Jabar atau kasus Bukittinggi, kok sepertinya mengarah ke asumsi macam itu.
Dulu tempat-tempat itu memang basis dari tempat ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. DI/TII dan Kartosuwiryo basisnya di Jawa barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Jadi secara historis, memang memiliki pengalaman politik sama yang biasanya dijadikan referensi dalam merespons situasi politik. Bukan tidak mungkin pengalaman historis tadi masih terus didayagunakan [oleh elit politik setempat].