Lihat ke Halaman Asli

Merawat Kearifan Lokal, Merawat Indonesia Damai

Diperbarui: 18 September 2017   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gotong Royong - jakartass.net

Negara kesatuan republik Indonesia mempunyai berbagai macam karakter suku. Ratusan suku yang tersebar dari Aceh hingga Papua itu, tentu saling berbeda satu dengan yang lainnya. Meski mereka berbeda namun mereka tetap bersatu dalam NKRI. Masing-masing suku tersebut tentu mempunyai adat dan budaya masing-masing. 

Budaya lokal itulah yang kemudian banyak yang menyebut kearifan lokal. Memang seiring dengan kemajuan zaman, kearifan lokal bangsa semakin terkikis. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok radikal, untuk terus menyebarkan paham radikal. Ujung-ujungnya, mereka ingin mengganti Pancasila, karena dianggap tidak relevan lagi.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada semuanya, untuk terus menjaga kearifan kita masing-masing. Mari terus kita terus jaga dan pelihara kearifan lokal tiap-tiap suku, agar generasi selanjutnya juga bisa mengenal Indonesia. Tidak ada satupun budaya di Indonesia ini, yang mengajarkan kekerasan, saling membenci atau saling benar sendiri. Sebaliknya, melalui kearifan lokal masing-masing suku, masyarakat umumnya bisa hidup berdampingan tanpa mempersoalkan keberagaman yang ada.

Di Jawa, dikenal istilah tepo seliro. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai tenggang rasa. Bagi generasi tua, mungkin sangat akrab dengan budaya tepo seliro ini. Namun bagi generasi saat ini, bisa jadi tidak mengenal budaya tepo seliro atau tenggang rasa. Budaya ini mengajak semua masyarakat untuk menghormati perasaan orang, untuk bersosialisasi dengan baik, dan tidak saling membenci satu sama lainnya. Seperti kita tahu, internet saat ini telah memudahkan orang untuk saling membenci. 

Namun internet juga memudahkan bagi siapa saja untuk saling membantu dan bersolidaritas. Banyak kasus yang membuktikan, bahwa media sosial bisa memicu terjadinya konflik bersentimen SARA, tapi juga bisa mendorong jutaan orang saling membantu seperti solidaritas Rohingya.

Budaya saling menghargai ini nampaknya harus terus disuarakan di era yang serba modern ini. Maraknya provokasi kebencian di media sosial, telah membuat sebagian masyarakat begitu mudah membenci dan marak kepada pihak yang dianggap berseberangan. Orang berbeda agama dianggap kafir, orang berbeda pandangan dianggap kafir, orang berbeda ideologi dianggap kafir. 

Kenapa semua orang yang berbeda dianggap kafir? Bahkan, kemarin Lembaga Bantuan Hukum Jakarta diintimidasi oleh  sekelompok ormas, lantar LBH Jakarta memfasilitasi seminar tentang tragedi kemanusiaan 1965. Ormas tersebut tidak mau tahu dan masuk membubarkan, karena dianggap bisa menyebarkan paham komunisme.

Mari kita saling introspeksi diri. Mari kita berpikir waras. Bukankah komunisme memang dilarang di Indonesia? Bahkan kata presiden Joko Widodo peraturannya pun belum dicabut. Artinya apa? Jika memang terindikasi ada bangkitnya komunisme seperti yang dikhawatirkan sebagian orang, tentu pemerintah sudah bergerak. Jangan sampai berteriak komunisme tapi disisi lain berteriak khilafah. Sama juga bohong. Karena sistem khilafah dinilai bertentangan dengan Pancasila, yang merangkul semua kepentingan.

Mari kita merungkan diri, dan kembalilah pada kearifan lokal yang ada. Tepo seliro atau tenggang rasa, hanyalah sebagian kecil dari kearifan lokal yang ada. Dan Islam, juga merupakan agama yang rahmatan lil alamin. Yang menjaga hubungan baik sesama manusia, demi terjaganya kerukunan, persaudaraan dan persatuan. Dalam konteks Indonesia, lihatlah dari Wali Songo yang bisa mengadopisi nilai-nilai kearifan lokal dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Karena Islam sangat menghargai berbagai kearifan lokal, sepanjang tidak melanggar syariat Islam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline