Mohon tunggu...
RuRy
RuRy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lahir di Demak Jawa Tengah

Orang biasa dari desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Ungkapan "Bejo" yang Sebenarnya

10 Desember 2017   08:03 Diperbarui: 10 Desember 2017   16:13 1712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi masyakarat Jawa mungkin sudah familiar dengan ungkapan atau kata bejo, kata yang sering diucapkan untuk sesorang yang dianggap mendapat keberuntungan. Contoh, bisa dalam urusan karier, cinta, bisnis, dan sebagainya.

Namun, yang perlu dicatat. Ungkapan bejo tidak selalu identik dengan status atau karier sosial saja. Bejo sebenarnya  komprehensif. Mengapa? Bukan cuma masalah status sosial saja, terhindar kecelakaan contohnya juga bisa dikatakan bejo, punya istri cantik atau punya suami tampan itu juga bisa dikatakan bejo. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.

Orang yang kita anggap mendapatkan keberuntungan atau bejo belum tentu orang tersebut merasakan hal yang sama seperti yang orang lain katakan.

Yang sering kita abaikan ialah keberuntungan dari cara kita mengambil makna, mampu merangkum dan mengambil intisari dari apa yang pernah kita jalani di setiap ritme kehidupan. Itulah bejo yang sesunggunya. Semua itu dimulai dari sudut pandang dan cara berfikir kita, karena ada orang yang kita lihat enjoy enak hidupnya, namun dirinya tidak merasa bahagia masih mengeluh merasa selalu kurang dan bersudut pandang sempit. Apa itu bisa dikatakan bejo? Tentu tidak.

Hidup dalam zona nyaman memang sering kali melalaikan. Sebuah kejadian yang sebenarnya membutuhkan perhatian serius bisa dipetik hikmahnya dan bisa dijadikan pelajaran, namun sebagian orang kadang menganggap itu biasa-biasa saja. Bahkan tak jarang malah mengambinghitamkan orang lain. Untuk bisa mengasah kepekaan hati memang tidak bisa instan, butuh proses perjalanan panjang. Sudut pandang mindset  sangat krusial sekali. Sebab, dari itu kita bisa melihat, menilai, dan merangkum sesuatu dari berbagai sisi dan membuat kita bisa memaknai ungkapan bejo yang sebenarnya.

Kita menilai sesuatu berdasarkan wujud formalitas itu memang normatif, bahwa keberuntungan yang bersifat lahir jadi acuan bejo atau tidaknya seseorang.

Pengalaman pribadi

Saya termasuk orang yang tidak bejo karena dulu tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang tinggi. Kondisi ekonomi keluarga yang morat-marit pada waktu itu, memaksa saya harus bisa sabar dan menerima. Tidak mudah memang untuk bisa mengambil makna intisari dari lakon kehidupan ini. Saya membutuhkan proses panjang untuk bisa sedikit demi sedikit memaknai mengapa ya saya kok begini, kok begitu. Ternyata banyak poin-poin lain yang saya dapatkan selama ini. Dan belajar tidak hanya dilingkup ruang kelas dan kampus saja. Saya bisa berubah dari berfikir cekak dan migrasi ke berfikir multidemensional dari pengalaman hidup.

Jadi, bejo atau tidaknya, bahagia dan tidaknya kita dimulai dari sudut pandang dalam memandang dan menyikapi sesuatu. Bisa jadi saat ini kita sudah mencapai dan mempunyai apa yang kita inginkan selama ini, namun kita tidak menyadari bahkan masih terus menyangkal, apalagi bersyukur. Kalau sudah begini rasanya bejo sulit menghampiri.

Ahmad Rury

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun