Semua Berasal dari Nilai-nilai Keluarga

Senin, 15 Oktober 2018 | 23:06 WIB
Jauhari Mahardhika, Devie Kania / B1
Garibaldi Thohir, Presiden Direktur dan CEO PT Adaro Energy Tbk Foto: Investor Daily/UTHAN A RACHIM

Apa yang membuat Garibaldi Thohir sukses sebagai pengusaha? Ternyata jawabannya simpel saja: keluarga! Ya, berkat keteguhannya memegang dan menjalankan nilai-nilai moral yang diwariskan orang tuanya, Garibaldi kini tercatat sebagai salah satu pengusaha paling sukses di Tanah Air.

Pria yang akrab dipanggil Boy Thohir ini berupaya mengimplementasikan nilai-nilai dasar yang ditanamkan orang tuanya secara konsisten, ke dalam budaya perusahaan (corporate culture). Nilai-nilai itu di antaranya menghormati atasan dan menghargai bawahan, santun, disiplin, serta punya kasih sayang.

"Sejak kecil saya dididik orang tua untuk disiplin, santun, dan punya kasih sayang. Ketika besar, saya sadar memang fondasi asalnya sudah benar. Itu yang membuat saya paham bahwa hidup tidak mudah dan harus menghargai keadaan," tutur Presiden Direktur dan Chief Executive Officer (CEO) PT Adaro Energy Tbk (ADRO) itu kepada wartawan Investor Daily Jauhari Mahardhika dan Devie Kania di Jakarta, baru-baru ini.

Nilai-nilai lainnya yang diterapkan Boy Thohir di perusahaan adalah integritas. Bagi Boy, integritas merupakan kebutuhan yang tak bisa ditawar dalam perusahaan. Maju-mundurnya sebuah perusahaan bahkan turut ditentukan oleh integritas manajemennya.

"Saya tegaskan itu kepada semua teman-teman di Grup Adaro. Integritas adalah hal yang diajarkan ayah saya dulu kepada ketiga anaknya. Kita dipercaya orang karena integritas dan kredibilitas kita. Jadi, jangan pernah berpikir bahwa hal itu dapat ditawar," ujar dia.

Boy Thohir adalah tipe pengusaha ‘petarung’ dan pekerja keras. Ia selalu berupaya untuk beberapa langkah lebih maju dari para pesaingnya. "Terkadang saya suka bekerja hingga larut malam dan baru pulang ke rumah pukul 01.30 atau 02.00 (dini hari). Saya sadar, kalau mau lebih unggul, berarti saya harus kerja lebih keras lagi. Katakanlah, lebih keras dari pesaing saya. Soalnya, kapan kita mengejar jika kita cuma lari pelan di belakang orang? Maka saya harus berlari lebih cepat," papar dia.

Tapi Boy Thohir bukan tipe pengusaha yang menjadikan uang di atas segala-galanya. "Prinsip saya, uang bukanlah segalanya. Orang bisa punya banyak uang, tapi dia bisa juga tidak bisa tidur di malam hari. Atau, dia banyak uang, tapi kehidupan anaknya berantakan. Jadi, bagi saya, penting untuk menerapkan keseimbangan," kata dia.

Apa lagi nilai-nilai dan filosofi yang dijalankan Boy Thohir? Apa obsesinya? Mengapa ia percaya bahwa prinsip mengelola perusahaan, bahkan negara, sejatinya mirip dengan keluarga? Berikut petikan lengkapnya:

Bagaimana perjalanan karier Anda?

Almarhum ayah saya, Teddy Thohir, merupakan seorang muslim yang taat. Tapi, karena ingin mendisiplinkan anak-anaknya, beliau menyekolahkan kami di sekolah Katolik saat SD dan SMP. Nah, ketika SMA, saya baru mengenyam pendidikan di sekolah negeri.

Kemudian, ketika lulus dari bangku SMA, saya langsung berangkat ke Amerika Serikat (AS) untuk kuliah di University of Southern California. Saya juga melanjutkan pendidikan strata dua (S2) di Northrop University dan sampai akhirnya pulang ke Indonesia pada 1991.

Di Indonesia, saya mengutarakan keinginan kepada ayah untuk bekerja di perusahaan multinasional, seperti Citibank atau American Express. Namun, setiap kali saya mengajukan nama tersebut, beliau selalu menolak.

Saya bingung dan bertanya, apa yang ayah saya inginkan? Akhirnya, dia menjawab bahwa beliau ingin saya kreatif. Ayah saya ingin agar anaknya menjadi seorang pengusaha. Singkat cerita, saya memilih untuk berbisnis di bidang properti.

Mengapa bisnis properti?

Saat itu, saya memandang bisnis properti sedang tren. Apalagi, kebetulan, sebelumnya ibu saya memang suka berinvestasi tanah. Pernah suatu ketika saya bertanya dan ibu saya bilang bahwa investasi membeli tanah tidak pernah tidak naik harganya.

Jadi, karena itu juga, akhirnya saya menggarap bisnis properti. Meski sebetulnya, itu hanya istilah kerennya. Ketika itu saya justru baru belajar menjadi broker tanah.

Bahkan ketika itu ada candaan atau pelesetan bahwa para broker tanah adalah RCTI alias Rombongan Calo Tanah Indonesia. Namun sepanjang perjalanan menggarap bisnis tersebut, saya alami banyak jatuh bangun. Banyak hal yang saya pelajari. Saya tahu, melalui pengalaman itu, saya ditempa. Misalnya membebaskan lahan bukan perkara mudah.

Yang paling berkesan selama karier Anda?

Saya ini bukan generasi kedua. Sebab, ayah saya seorang perantau asal Lampung dan memulai semuanya dari minus. Kemudian beliau bekerja di PT Astra International Tbk (ASII), sampai akhirnya dipercaya dan diajak Pak William Soerjadjaja untuk mengembangkan bisnis bersama.

Jadi, ketika saya pulang dari AS, sebetulnya ayah saya sudah menggeluti beberapa bisnis. Namun, saya tidak tertarik dan tetap memilih properti. Sebagai salah satu lulusan universitas di AS, saya berpikir punya ilmu yang bagus. Cuma faktanya, dengan niat menjadi pengusaha properti, saya harus belajar dari nol. Ya, ilmu saya mungkin hanya terpakai 10-20%.

Sebab, ujungnya, saya harus mulai belajar dan menerapkan ‘ilmu lapangan’ saat ingin bernegosiasi untuk pembelian lahan. Intinya, sekolah tinggi memang bagus, tapi tidak ada artinya jika saat itu kita tidak berusaha belajar lagi. Bagi saya, percuma jika saya tidak berusaha belajar ‘ilmu lapangan’ dan tidak paham tentang kearifan lokal.

Di mana proyek properti yang Anda garap dulu?
Salah satu lahan yang saya bebaskan kala itu adalah kawasan yang kini dikenal dengan Casablanca, Jakarta Selatan. Berbeda dengan kondisi saat ini, dulu wilayah Casablanca masih berupa kuburan dan belum ada jalan raya seperti sekarang. Nah, salah satu lahan yang saya bebaskan kala itu menjadi apartemen sampai saat ini.

Pada awal-awal menggeluti bisnis properti, ada kejadian menarik. Suatu ketika saya mengendarai mobil jenis hardtop dari Tebet ke Menteng Pulo, tengah malam. Saya harus bertemu calon penjual lahan.

Saya membawa uang untuk transaksi. Ketika berkendara, saya melihat ada semacam portal kayu. Saya pun turun dan memindahkan portal kayunya. Saat itu mobil dan lampu mobil masih saya nyalakan. Tapi ketika mau naik ke mobil, justru pintu mobil tidak bisa dibuka. Saya terkunci dari luar. Waduh.

Saya pun bingung. Sudah malam dan wilayahnya seperti itu. Namun, akhirnya dari kejauhan saya lihat ada penjual sate sedang mendorong gerobaknya. Perlahan-lahan dia mendekat dan saya perhatikan itu ternyata memang benar penjual sate. Akhirnya, orang itulah yang membantu membukakan pintu mobil saya.

Pesan moralnya adalah kerja keras, seberapa hebat aral melintang. Betul, seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak. Ketika kesulitan, pasti ada jalan berkat kerja keras, termasuk kehadiran teman dan keluarga.

Kapan Anda mulai masuk bisnis batu bara?
Pada 1992, saya sudah berkecimpung di bisnis batu bara. Ketika itu, saya memulainya dengan menjadi rekanan lokal dari perusahaan asal Australia yang ingin menggarap bisnis batu bara di wilayah Sawahlunto, Sumatera Barat. Melalui kerja sama tersebut, saya mengambil porsi 20% di perusahaan yang kami bentuk bersama.

Alasan Anda beralih ke batu bara?
Kebetulan ada yang mengenalkan saya dengan perusahaan Australia yang kemudian menjadi rekanan. Ya, di awal saya juga tidak paham soal batu bara. Hanya berdasarkan literatur yang saya baca, rupanya banyak batu bara di Indonesia.

Saat itu, sebetulnya yang sedang ramai adalah bisnis minyak dan gas. Cuma saya berpikir, susah berkompetisi kalau sudah banyak pemain. Akhirnya saya mulai menggarap bisnis batu bara. Jadi, memang dikasih jalan seperti itu, oleh Allah SWT. Saya jalani, walaupun sebelumnya tidak terpikir bakal menjadi pemain batu bara seperti sekarang.

Ketika memulai bisnis batu bara, saya masih tahap belajar. Lalu, pada 1998, Indonesia menghadapi krisis moneter. Kala itu, saya sudah banyak berbisnis dan dalam lima tahun belum balik modal. Malah, lahan yang sudah dibebaskan diklaim pihak lain.

Namun, berbekal ilmu yang dimiliki sebelumnya, saya bernegosiasi soal lahan dan berbagai hal terjadi. Ketika itu, saya merasa beruntung dididik orang tua untuk paham sopan santun dan bersikap bijak.

Jadi, semua berkat ajaran orang tua?

Hidup ayah saya dulu susah, prihatin. Bahkan, ketika ayah saya masih kecil, bapaknya sudah meninggal. Karena itu, ayah saya selalu mengajarkan agar ketiga anaknya disiplin dan saling menyayangi, serta harus dapat menjadi contoh.

Ketika kecil, saya dan adik saya, Erick Thohir, pernah naik becak dan tahu rasanya berdesak-desakan di metromini. Bahkan, kami juga pernah main layangan hingga naik ke genteng. Berbagai pengalaman yang kami alami bersama membuat saya paham bahwa hidup tidak mudah. Itulah yang membuat kami bisa menghargai keadaan sekarang ini.

Nah, berbicara soal ajaran orang tua, ibu kami pun mengajarkan kami harus disiplin, paham sopan santun, rajin, dan ulet. Sekali lagi, ayah kami juga mengajarkan tentang menjadi umat muslim yang baik, penuh kesabaran dan kearifan. Pelajaran itulah yang membentuk karakter saya, kakak perempuan saya, dan adik saya. Kami sangat berterima kasih atas fondasi yang diberikan ayah dan ibu.

Saat kecil, ayah saya selalu mengajarkan bahwa sesukses apa pun seorang adik harus hormat pada kakaknya. Sebaliknya, sang kakak harus sayang kepada adiknya. Jadi, karena itu, saya selalu menghormati kakak perempuan saya. Selain itu, bagi saya, berapa pun usia adik saya, ya dia tetap adik kecil, yang saya sayangi sejak dulu.

Bagaimana gaya kepemimpinan Anda?
Seperti nilai-nilai yang ditanamkan di keluarga, anak buah harus respek kepada atasan, tapi atasan juga harus sayang kepada bawahannya. Selama memimpin Adaro, saya selalu tegaskan bahwa saya tidak suka kepada pimpinan yang sok jago atau merasa dirinya paling hebat.

Saya pun mengatakan kepada semua jajaran pimpinan di Grup Adaro bahwa hal yang utama dan paling penting adalah integritas. Integritas adalah hal yang ayah saya ajarkan dulu kepada ketiga anaknya dan menjadi modal bagi saya. Kita dipercaya orang karena integritas dan kredibilitas kita. Jadi, jangan pernah berpikir hal itu dapat ditawar-tawar.

Cara Anda mengaktualisasikan integritas?
Bagi saya, jika ada anak buah yang kurang paham atau tidak mengerti, ya masih bisa diajari. Cuma, lain persoalan jika terkait integritas. Bagi saya, karakter dan integritas merupakan hal yang sangat penting.

Sebagai pemimpin, kita harus mampu menjadi contoh. Apa yang dikatakan dan diperbuat harus sama. Saya tidak bisa berpura-pura, dan saya akui saya bukan dewa. Namun, setidaknya, saya berusaha mencoba menjadi yang terbaik. Saya juga paham pentingnya menerapkan sopan santun dan low profile, sehingga itu yang saya lakukan.

Obsesi yang masih ingin Anda capai?
Saya selalu berpikir, sebelum Indonesia menjadi negara maju, saudara, ayah-ibu saya belum maju, pegawai, maupun pegawai saya belum maju, berarti saya tidak boleh egois. Sekalipun saya merasa cukup, bagaimana dengan orang lain?

Jika pernyataan ini condong dianggap terlalu filosofis, sebetulnya tidak. Sebab, berdasarkan pengamatan saya, setelah mengunjungi beberapa negara, terlihat jelas bahwa di suatu negara yang tidak maju, kota dan kehidupan masyarakatnya pun sama, tidak maju atau tidak nyaman. Ketika kita ingin negara ini maju, ya kembali ke hal kecil dulu, yakni Adaro Energy harus nomor satu.

Berpatokan pada hal itu, harapan saya, pegawai tidak melakukan kesalahan karena egonya, begitu pula pimpinannya. Soalnya, jika kedua pihak berbuat salah karena ego, perusahaan nantinya malah kolaps. Apabila itu terjadi, bagaimana kehidupan kita?

Maju atau runtuhnya perusahaan, seperti halnya keluarga, ditentukan oleh pemimpinnya. Meski penerapan strategi beragam, jika leader tidak cakap, cepat atau lambat perusahaannya bisa kolaps. Maka good corporate governance (GCG) sangat penting.

Untuk menerapkan GCG, SDM harus benar. Namun, hal itu ditentukan oleh pemimpinnya. Saya ingat ajaran keluarga bahwa bawahan harus respek pada atasan dan atasan harus sayang kepada bawahannya. Dengan begitu, kami bisa menjadi yang terbaik dalam hal operational excellent dan Insya Allah bisa sukses.

Untuk mengembangkan bisnis lebih lanjut serta memperbaiki kekurangan, kami sudah sepakat membuat dan mengkaji soal Adaro Management System. Saya ingin Adaro mampu bertahan dan berkembang dalam 50 tahun, 100 tahun, 200 tahun, atau bahkan hingga 1.000 tahun dari sekarang.

Saya berharap Adaro dapat menjadi salah satu perusahaan asal Indonesia yang dikenal di level global. Karena itu, kami mulai berinvestasi di tambang batu bara kokas di Australia sebagai langkah awal. Kemudian, saya juga ingin Adaro berada di wilayah di Asia Tenggara.

Walaupun itu masih target jangka panjang, kami ingin dapat membangun pembangkit listrik atau mengakuisisi tambang batu bara di kawasan Asia Tenggara. Adaro telah berulang kali menghadapi tantangan. Ke depan, saya berharap perusahaan ini masuk menjadi salah satu perusahaan di daftar Fortune Global 500.

Kiat Anda meraih kesuksesan?

Terkadang saya suka bekerja hingga larut malam dan baru pulang ke rumah pukul 01.30 atau 02.00 (dini hari). Saya sadar, kalau mau lebih unggul, berarti saya harus bekerja lebih keras lagi. Katakanlah, lebih keras dari pesaing saya. Soalnya, kapan saya bisa mengejar jika cuma lari pelan di belakang orang?

Filosofi hidup Anda?

Prinsip saya, uang bukanlah segalanya. Orang bisa punya banyak uang, tapi dia bisa juga tidak bisa tidur di malam hari. Atau, dia banyak uang, tapi kehidupan anaknya berantakan.

Bagi saya, dalam hidup, penting untuk menerapkan keseimbangan. Segilanya-gilanya saya bekerja, ya pasti harus ada waktu untuk keluarga, termasuk anak.

Saya katakan juga kepada teman atau pegawai yang lebih muda dari saya bahwa jangan sampai waktu terlewat, karena waktu tak bisa berjalan mundur.

Bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga?
Saya selalu merasa bersyukur atas semua ajaran ayah dan ibu. Meskipun saya dan kedua saudara saya masing-masing sudah berkeluarga, setiap akhir pekan kami selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul. Hal yang sama saya terapkan kepada anak dan istri saya.

Karena itu, jika ditanya apakah saya puas atau tidak dalam hidup ini terkait keluarga? Jawabannya, ya! Kebersamaan yang kami ciptakan antarkeluarga dapat membangun bounding (keterikatan). Prinsip saya, hidup perlu berimbang.



Garibaldi Thohir

Simak berita dan artikel lainnya di
Google News

Bagikan

BERITA LAINNYA

ARTIKEL TERPOPULER

Seluruh Etnis Rohingya di Aceh Barat Melarikan Diri
NUSANTARA
600 Balon Isi Sampah Kiriman Kim Jong-un Masuk ke Korea Selatan
INTERNASIONAL
Ucapan Presiden Xi Jinping 10 Tahun Lalu Terbukti, Kini Semua Negara Waspadai Mobil Listrik China
OTOTEKNO
Dubes Inggris Ini Dipecat Gara-gara Bercanda Todong Senapan Serbu ke Stafnya
INTERNASIONAL
Kasus Pembunuhan Vina, Kuasa Hukum Pegi Setiawan Sebut Saksi Melmel Cari Sensasi
NASIONAL