Ratusan jenderal dan kolonel TNI menganggur: Antara dwifungsi dan 'anggaran gaji yang hangus sia-sia'

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Ratusan kolonel dan jenderal aktif di TNI kini tak memegang jabatan, tapi tetap mendapatkan gaji bulanan.

Ratusan perwira menengah dan tinggi TNI kini menganggur alias tak memegang jabatan karena kelebihan personel.

Akibatnya, para jenderal dan kolonel ini berkantor hanya untuk mengikuti apel harian, tanpa beban dan tanggung jawab pekerjaan.

Berlandaskan kondisi ini, pemerintah berwacana membuka puluhan jabatan baru untuk menampung para perwira ini, termasuk di lembaga sipil.

Namun usul itu memicu polemik soal kembali terjadinya dwifungsi militer era Orde Baru serta anggaran negara yang keluar sia-sia untuk gaji perwira tinggi yang tak memegang jabatan tersebut.

Anggota Komisi I DPR, Mohamad Arwani Thomafi, menyebut persoalan kelebihan perwira harus diselesaikan di dalam internal TNI.

Menurutnya kondisi ini tak bisa menjadi alasan pembenar agar militer berbondong-bondong keluar barak dan kembali bekerja di ranah sipil.

"Ada jabatan yang terbatas, itu kami pahami, tapi tidak perlu revisi undang-undang untuk memperbolehkan TNI duduk di jabatan sipil," ujar Arwani, Rabu (06/02).

"Langkah seperti itu akan jadi perdebatan di masyarakat dan TNI akan mundur ke belakang."

Sumber gambar, AFP

Keterangan gambar,

Jumlah personel TNI terus bertambah di luar kebutuhan seiring usia pensiun yang diubah dari 55 menjadi 58 tahun.

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Hingga akhir 2018, setidaknya 150 perwira berbintang dan 500 kolonel tanpa jabatan. Perwira itu tersebar di matra darat, laut, dan udara.

Padahal merujuk UU 32/2004 tentang TNI, selain bekerja di internal militer, hanya terdapat 10 lembaga sipil yang dapat menyediakan jabatan bagi para perwira tersebut.

Pakar militer, Salim Said, menganggap jumlah perwira dan jabatan yang tidak seimbang disebabkan kekacauan manajemen organisasi TNI.

Ia mengatakan persoalan ini tidak pernah tuntas sejak Orde Baru.

"Terlalu banyak perwira yang belum pensiun, tapi tidak ada jabatan. Harusnya ada perencanaan, kita sebenarnya perlu berapa jenderal, laksamana, dan marsekal," kata Salim.

Menurut Salim, nuansa dwifungsi akan begitu kentara jika permasalahan kelebihan personel TNI diselesaikan dengan menebar perwira ke lembaga sipil.

Salim khawatir banyak pejabat sipil akan kehilangan masa depan karena kedudukan tertentu dikhususkan bagi tentara.

"Dulu Soeharto menabrak kesempatan tokoh sipil, terutama jabatan duta besar. Banyak orang Kementerian Luar Negeri mengeluh karena posisi mereka diambil para perwira militer," kata Salim.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

UU TNI memberikan jabatan di 10 lembaga sipil untuk para perwira militer.

Apa tanggapan juru bicara TNI?

Namun juru bicara TNI, Brigjen Sisriadi, menyangkal keterlibatan mereka di lembaga sipil dapat mengulang rekam jejak dwifungsi ABRI yang dianggap militeristik oleh pegiat demokrasi.

"Ada kementerian tertentu yang menggunakan tenaga perwira TNI, mereka keuntungannya, yaitu militansi, tapi bukan militerisme."

"Dwifungsi menempatkan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia - sebutan TNI saat itu) sebagai kekuatan pertahanan, sosial, dan politik. Tapi politik sudah kami hindari sejak reformasi. Mencium bau politik saja kami sudah sakit gigi," ucapnya.

Sisriadi mengakui, pemberian jabatan sipil untuk perwira aktif TNI butuh proses panjang. Ia mengatakan kebijakan itu perlu bergulir ke DPR dengan revisi UU TNI.

Solusi terbaik untuk mempekerjakan kembali para perwira nirjabatan ini, kata Sisriadi, adalah pendirian lembaga lintas matra bernama Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) di tiga zona wilayah Indonesia.

Pembentukan badan komando ini digagas tahun 2010, tapi urung terealisasi karena anggaran pemerintah yang terbatas. Sisriadi mengatakan rencana itu kini telah disetujui Presiden Joko Widodo dan akan segera bergulir.

"Kalau sudah ada tiga Kowilhan, akan ada 60 jabatan jenderal baru dan 240 kolonel bisa terserap," kata Sisriadi.

Sumber gambar, Barcroft Media/Getty Images

Keterangan gambar,

Tanpa terjun ke ranah sipil, TNI yakin persoalan kelebihan perwira dapat tuntas dalam lima tahun ke depan.

Lebih dari itu, tanpa keterlibatan di ranah sipil pun Sisriadi mengklaim kerugian anggaran akibat organisasi TNI yang terlampau gemuk akan tuntas setidaknya tahun 2023.

Dasarnya adalah Peraturan Panglima TNI 40/2018. Ia menyebut beleid itu menyesuaikan masa kerja pangkat tertentu dengan usia pensiun perwira yang berubah sejak pengesahan UU TNI.

"Revisi undang-undang butuh waktu. Ketika selesai, mungkin sudah tidak ada lagi persoalan kelebihan perwira. Setelah perubahan masa pangkat, secara alamiah 3-5 tahun ke depan jumlah perwira akan kembali normal," ujarnya.