'Ganja untuk obat,' terbukti atau sekadar akal-akalan?

  • Jerome Wirawan dan Oki Budhi
  • BBC Indonesia
Keterangan video, Kisah seorang perempuan yang mengonsumsi ganja untuk obat.

Fidelis Ari Sudarwoto, terancam hukuman antara lima tahun penjara hingga hukuman mati, karena menanam ganja di kebun rumahnya untuk digunakan merawat istrinya yang menderita penyakit berat -dan akhirnya meninggal. Kisah orang yang menggunakan ganja untuk keperluan medis.

Dengan cekatan, jari jemari Ifa bergerak melilitkan benang pada jarum rajut. Matanya menatap tajam lilitan benang, tanpa berkedip. Bagi Ifa, aktivitas merajut adalah kesenangan tersendiri. Dia bisa melakoni hobi tersebut setelah rutin mengonsumsi ganja demi meredakan sakit luar biasa yang dia derita sejak tujuh tahun lalu.

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Ifa mengaku ganja bisa meredakan sakit luar biasa yang dialaminya.

Pada tahun 2010, Ifa didiagnosa mengidap pelebaran pembuluh darah atau aneurysma di bagian tengkorak belakang mata. Dia mengaku telah berobat ke mana-mana, tapi hasilnya nihil.

"Saya sudah ke berbagai rumah sakit dan berkonsultasi dengan sejumlah dokter yang sangat ahli di bidangnya. Tapi letaknya sulit sekali, kalau dibuka tengkorak saya dan pendarahan, itu lebih bahaya. Rumah sakit di Singapura saja sudah bilang 'Ini tidak bisa diapa-apain'," kata Ifa.

Selama bertahun-tahun perempuan itu menahan rasa sakit luar biasa. Penderitaannya membuat dia berkenalan dengan ganja pada 2016.

"Tiba-tiba saya kejang, kejang yang hebat sekali sampai mulut saya berbusa. Saya kemudian dibawa ke rumah sakit dan diopname dua minggu sekali. Saya bolak-balik ke rumah sakit sampai semua orang di rumah ini stres. Suatu hari anak saya bilang, 'Mau nggak coba?' Dan saya mencobanya."

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Ifa mulai mengonsumsi ganja sebagai obat sejak 2016.

Setelah mengonsumsi ganja, Ifa mengaku merasa jauh lebih baik.

"Saya menjadi nyaman, enak tidur. Saya perhatiin, sakitnya nggak kayak ditusuuuk. Sakitnya kadang-kadang muncul, tapi nggak sesakit sampai harus diopname," tuturnya.

Ifa membantah anggapan bahwa ganja yang dia konsumsi membuatnya fly.

"Itu jadi pertanyaan saya waktu saya pakai. Takutnya fly. Ternyata nggak ada sama sekali. Jadi dia sifatnya benar-benar medis. Nggak ada fly atau high, nggak ada sama sekali. Menyamankan, ya. Menenangkan, ya."

Bagaimanapun, tindakan Ifa dalam mengonsumsi ganja tetap saja tergolong melanggar hukum, mengingat ganja masuk kategori narkotika yang tidak bisa dipakai untuk keperluan medis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009.

Nasib Fidelis

Jika ketahuan aparat, nasib Ifa bisa sama seperti yang dialami Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, yang mendekam di sel tahanan sejak 19 Februari lalu.

Sumber gambar, AFP/GettyImages

Keterangan gambar, Ganja termasuk narkotika Golongan 1 di Indonesia, dan penyalur ganja dapat dikenai pidana maksimal hukuman mati.

Fidelis menanam ganja untuk diberikan kepada istrinya, Yeni, yang didiagnosa mengidap Syringomyelia -penyakit di sumsum tulang belakang. Yeni meninggal dunia pada 25 Maret lalu setelah Fidelis ditahan.

Kepala Humas Badan Narkotika Nasional, Sulistyandriatmoko, menyatakan perbuatan Fidelis tidak bisa dibenarkan.

"Sifat dari ganja itu, salah satunya yang jahat, kan adiktif. Sampai sejauh ini kan belum ada yang menyatakan secara ilmiah—di dalam jurnal kah, di dalam penelitian kah—bahwa itu bisa digunakan sebagai obat."

Akan tetapi, Ifa—yang memilih tidak mempublikasikan identitasnya—menepis pernyataan BNN.

"Berdasarkan apa dia nangkap saya? Ini buat obat kok, sama sekali bukan buat madat. Salah besar kalo dia bilang itu membuat addict, madat, apa itu. Ini buat obat."

Ganja untuk obati diabetes

Sejumlah ilmuwan melakukan penelitian untuk mengkaji apakah benar ganja tidak memberikan manfaat pada tubuh manusia.

Musri Musman, ahli kimia dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, meneliti khasiat medis ganja terhadap penyakit diabetes.

Profesor Musri sudah melakukan kajian literatur, namun belum meneliti di lapangan.

"Ada bagian dalam zat yang terkandung di dalam ganja, terutama minyaknya, yang bisa mereduksi atau menghambat terjadinya oksidasi. Dengan dia bersifat anti-oksidan, maka pembentukan gula berlebihan pada darah dan tidak dapat dinetralisir oleh insulin, itu dihambat olehnya. Dengan demikian terjadi keseimbangan gula dalam darah," papar Musri.

Menurut Musri, dalam kajian literatur, khasiat medis ganja berasal dari senyawa kimia dalam ganja bernama cannabinoid atau disingkat CBD.

CBD diyakini berdampak pada tubuh sejak 1990-an ketika sejumlah ilmuwan menemukan keberadaan dua reseptor CBD dalam tubuh manusia. Reseptor pertama terhubung dengan rasa nyeri, sedangkan reseptor kedua terhubung dengan sistem kekebalan tubuh.

Kedua reseptor ini akan aktif seiring dengan masuknya CBD ke dalam tubuh dan memicu reaksi kimia. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan hingga kini, apa manfaatnya pada proses pemulihan penyakit dan bagaimana mekanismenya?

Dorong penelitian

Ryu Hasan, seorang dokter bedah syaraf, membenarkan temuan kedua reseptor CBD dalam tubuh manusia, beberapa dekade lalu. Namun, menurutnya, belum ada penelitian yang bisa menjelaskan secara rinci mekanisme CBD dalam menghilangkan nyeri dan cara kerja CBD pada reseptor di tubuh manusia.

Lebih sederhana, kata dia, belum ada penelitian yang membuktikan ganja bisa menyembuhkan penyakit.

"Mengurangi keluhan nyeri, iya. Banyak laporan, misalnya, orang-orang dengan HIV/AIDS yang mengonsumsi ganja kualitas hidupnya lebih bagus. Tapi kan sekarang diteliti, sekian ratus orang dengan HIV/AIDS mengonsumsi ganja kemudian dibandingkan dengan pengidap HIV/AIDS yang mendapat obat standar tanpa mengonsumsi ganja. Perbedaannya bermakna atau tidak? Ini belum ada penelitian seperti itu," kata Ryu.

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar, Dokter bedah syaraf, Ryu Hasan, menyatakan belum ada penelitian yang membuktikan ganja bisa menyembuhkan penyakit.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Ganja baru bisa dipertimbangkan menjadi opsi pengobatan jika sudah terbukti menyembuhkan ribuan kasus, pengonsumsinya multi etnis, diketahui dosisnya, hingga efek sampingnya. "Ini kan belum."

Ryu mengatakan, pada satu sisi orang-orang yang pro-legalisasi ganja mengklaim banyak penyakit yang bisa diobati dengan ganja. Padahal, klaim tersebut belum bisa dibuktikan secara ilmiah.

Dalam kasus Fidelis, misalnya, Ryu menekankan bahwa penyakit Syringomyelia yang diderita mendiang Yeni tidak bisa disembuhkan ganja.

Cannabis, kata Ryu, hanya meringankan sakit tanpa mengobati sumber penyakit. "Kalau benar Syringomyelia, maka yang bisa dilakukan adalah operasi untuk mengangkat penumpukan cairan di sumsum tulang belakang," ucap Ryu.

Di sisi lain, pihak-pihak yang anti-ganjamenurutnya menutup mata tentang manfaat ganja. "Padahal ganja tidak sama dengan narkotika, seperti morfin atau heroin. Belum ada penelitian yang menyebutkan ganja menyebabkan ketagihan," kata Ryu.

Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan izin penelitian ganja pada 2015, melalui surat yang ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan nomor LB.02.01/III.03/885/2015 tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis.

Hingga kini penelitian tersebut belum terlaksana.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek beralasan biaya penelitian ganja besar dan banyak hal lain untuk diteliti dibanding ganja.

"(Penelitian) mahal kan, jadi kita harus prioritas lah. Penelitian yang menghasilkan benefitnya besar kita lakukan tapi kalau penelitian sudah mahal dan benefitnya kecil rugi dong. Dan kita masih bisa pikir yang lain. Dan penelitian yang lain masih banyak."

Pernyataan Menteri Kesehatan itu disayangkan Ifa, pengonsumsi ganja untuk medis.

"Yang menderita itu harusnya dibantu. Kalau memang nggak percaya khasiatnya, bikin eksperimen. Tolong dibantu, daripada jadi meninggal. Ya semua orang pasti meninggal, Cuma caranya jangan sampai menderita."