Mahasiswa dihukum karena buku kiri: 'Paranoid akibat ketidaktahuan'

Sumber gambar, Lintang

Keterangan gambar, Lapak buku ini digelar sejak akhir 2014 di selasar kampus, tempat sekelompok mahasiswa menggelar sekira 50-70 buku filsafat, novel, dan ilmu sosial, serta menggelar diskusi informal bersama dosen.

Tindakan pimpinan sebuah perguruan tinggi di Bandung yang menghukum tiga mahasiswanya karena dianggap menyebarkan paham Komunisme melalui buku dianggap sebagai tindakan yang dilatari ketidaktahuan.

Sikap pimpinan perguruan tinggi tersebut juga menunjukkan adanya paranoia berlebihan yang terus dilestarikan, menurut Ronny Agustinus, pemimpin redaksi penerbit Marjin Kiri.

Namun, pihak kampus menyatakan tindakan ketiga mahasiswa melanggar Tap MPRS nomor 25 tahun 1966 yang melarang penyebaran komunisme di Indonesia.

Ketiga mahasiswa Universitas Telkom Bandung itu adalah Sinatrian Lintang Rahardjo, Fidocia Wima Adityawarman, dan Lazuardi Adnan Faris. Mereka dihukum skorsing enam dan tiga bulan tidak boleh mengikuti perkuliahan karena disangka berpotensi menyebarkan paham Komunisme lewat buku.

Sumber gambar, Perpustakaan Apresiasi

Keterangan gambar, Sekelompok mahasiswa memprotes pelarangan Perpustakaan Apresiasi di Telkom University, 15 November 2016.

Pimpinan Universitas Telkom Bandung menyatakan mereka dihukum karena, antara lain, disangka berpotensi menyebarkan paham komunisme lewat buku-buku yang digelar di lapak alternatif yang mereka sebut sebagai 'Perpustakaan Apresiasi'.

Lapak tersebut rutin digelar sejak akhir 2014 di selasar kampus, tempat mereka menggelar sekira 50-70 buku filsafat, novel, dan ilmu sosial, serta menggelar diskusi informal bersama dosen.

Ditegur

Pada 9 November tahun lalu pihak Universitas menegur aktivitas tersebut karena, "selasar kami (tempat lapak digelar) harus steril, tidak boleh ada rokok, kemudian dijadikan sebagai tempat yang menurut kami melanggar. Kami menegur," Kata Kepala Bagian Humas Telkom University, Dedi Kurnia Syah Putra kepada wartawan di Bandung Julia Azka untuk BBC Indonesia, Rabu (08/03).

Di saat itulah Universitas "meminjam" tiga buku yang dianggap berbau propaganda; Manifesto Partai Komunis yang ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels serta dua buku terbitan Tempo, yakni Buku Edisi Orang Kiri Indonesia: Njoto-Peniup Saksofon di Tengah Prahara dan Musso Si Merah di Simpang Republik.

Sumber gambar, Dokumentasi Humas Telkom University

Keterangan gambar, Pimpinan Universitas Telkom Bandung menyatakan tiga mahasiwa itu dihukum karena berpotensi menyebarkan paham komunisme lewat buku-buku yang digelar di lapak alternatif yang mereka sebut sebagai 'Perpustakaan Apresiasi.

Para mahasiswa yang menggelar acara perpustakaan apresiasi menyebut buku-buku itu "diambil paksa".

Tetapi kata Dedi, "Kami tidak pernah menyita buku. Itu tendensius," katanya, "Kami melihat ada beberapa materi propaganda. Tentang komunisme. Kemudian kami meminjam, aktivitas mereka 'kan meminjam. Jadi tidak melanggar aktivitas mereka juga,"

Lepas dari insiden tersebut, sekelompok mahasiswa yang bersolidaritas terhadap kasus ini kemudian menggelar aksi protes. Universitas Telkom Bandung kemudian memanggil tiga mahasiswa tadi untuk menjalani sidang etik.

Dan pada Februari 2017 lalu, pimpinan Universitas Telkom mengeluarkan keputusan pemberian sanksi kepada tiga mahasiswa tersebut.

Sumber gambar, Faris

Keterangan gambar, Pemberian hukuman skorsing terhadap tiga mahasiswa Universitas Telkom Bandung itu menimbulkan kemarahan mahasiswa. Mereka menggelar demo menolak tindakan tersebut

Salah-seorang mahasiswa yang dihukum skorsing, Lintang Rahadrjo mengatakan, berdasarkan surat keputusan yang diterimanya, sanksi itu dijatuhkan karena kegiatan mereka "berpotensi menyebarkan paham komunisme."

Selain itu, pihak pimpinan kampus menilai tindakan dirinya dan teman-temannya telah "memutarbalikkan fakta dan mencemarkan nama baik kampus."

"Kami juga dianggap melakukan aksi dengan ujaran kebencian dan melakukan kegiatan tanpa izin," kata Lintang kepada wartawan di Bandung, Julia Azka, untuk BBC Indonesia.

Tak bisa kuliah

Akibat sanksi tersebut, Lintang mengaku dirinya tidak akan bisa lulus pada tahun ini.

"Waktu itu saya sedang mengerjakan proposal skripsi. Karena skorsing ini nilai proposal saya belum kelar. Daftar sidang enggak bisa. Seharusnya semester ini saya bisa lulus," katanya.

Sumber gambar, Perpustakaan Apresiasi

Keterangan gambar, Lintang menolak tuduhan bahwa dirinya dan kawan-kawan sebagai aktivitas menyebarkan paham komunisme, "(Buku-buku yang dipinjam) Itu buku resmi. Kok bisa-bisanya disebut menyebarkan. Aneh,"

Sementara itu, Lazuardi Adnan Faris- meski cuma kena skorsing tiga bulan - mengaku terancam kehilangan satu semester.

"Aturan akademik di kampusku itu absensi minimal itu 75% untuk ikut UAS (Ujian Akhir Semester). Kalau tiga bulan diskorsing, aku tidak bisa ikut UAS, Itu sama saja satu semester aku di skors," ujarnya.

Menurutnya, kampus juga menelepon orang tuany dan mendesak agar dia meminta maaf.

Membuka Akses Atau Menyebarkan Paham?

Lintang menyebut apa yang dilakukan dia dan teman-temannya untuk "memberikan akses bacaan alternatif yang mayoritas tidak ada di perpustakaan."

Dia mengatakan, lapak tempat mereka menggelar buku-buku tersebut di dekat kantin sehingga "teman-teman bisa nyaman membaca,"

Tetap, Kepala Bagian Humas Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah Putra mengatakan, "Koleksi (perpustakaan) yang kami punya ribuan."

Dalam surat keputusannya, pimpinan Universitas Telkom menegaskan, dasar pemberian sanksi adalah Tap MPRS nomor 25 tahun 1966 yang melarang penyebaran komunisme di Indonesia.

Sumber gambar, Perpustakaan Apresiasi

Keterangan gambar, Pelarangan buku-buku yang berbau kiri atau Marxisme tak perlu terjadi, apalagi kampus menjunjung tinggi kebebasan akademis, kata pengamat.

"Salah satu unsurnya adalah tindakan menyebarkan propaganda yang dilarang di Indonesia, bukan di Kampus kami," kata Dedi.

Namun demikian, Lintang menolak tuduhan bahwa dirinya dan kawan-kawan sebagai aktivitas menyebarkan paham komunisme, "(Buku-buku yang dipinjam) Itu buku resmi. Kok bisa-bisanya disebut menyebarkan. Aneh,"

"(Berkat buku) Manifesto Partai komunisme itu ada kawan saya dari jurusan saya lulus. Buku itu jadi referensi skripsinya," tegasnya.

Melarang apa yang tidak bisa dilarang

Pelarangan buku-buku yang berbau kiri atau Marxisme, menurut Ronny Agustinus, pemimpin redaksi penerbit Marjin Kiri, tak perlu terjadi, apalagi kampus menjunjung tinggi kebebasan akademis.

"Dalam universitas mana pun ada kebebasan untuk mencari belajar dan untuk mematangkan ide-ide apa pun itu. Saya pikir itu aneh saja, pelarangan dilakukan di lingkungan kampus," kata Ronny kepada Hilman Handoni untuk BBC Indonesia, Rabu (08/03).

Ronny Agustinus bersama rekan-rekannya mendirikan penerbit Marjin Kiri yang menerbitkan buku-buku "kiri".

Menurutnya, buku-buku "kiri" yang beredar saat ini, termasuk yang dipublikasi penerbitannya, belum sampai menyebarkan paham apa yang disebut sebagai Marxisme atau Komunisme.

Sumber gambar, publishingperspectives.com

Keterangan gambar, Di Indonesia, menurut Ronny Agustinus, ada paranoia yang ditumbuhkan, dikelola dan dilestarikan puluhan tahun sehingga orang tidak tahu apa yang sebenarnya.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

"Tapi pelurusan sejarah. Puluhan tahun dicekoki bahwa kiri itu seperti itu atau indoktrinasi Orde baru yang keliru," tegasnya.

Tap MPRS tahun 1966, menurutnya, juga tidak dapat digunakan sebagai basis pelarangan buku-buku kiri, "Tap MPRS tahun 1966 itu dimaksudkan untuk penyebaran paham lewat kegiatan politik, ada perkecualian untuk akademik," katanya.

Di Indonesia, menurutnya, ada paranoia yang ditumbuhkan, dikelola dan dilestarikan puluhan tahun sehingga orang tidak tahu apa yang sebenarnya. Ketidaktahuan itu juga yang ia duga melatarbelakangi penyitaan buku-buku kiri (meski telah dikembalikan) oleh Universitas Telkom.

"Apakah mereka membaca buku-buku itu? Apakah mereka membaca soal Njoto?"

"Ketika kita berbicara tentang kebangkitan bangsa, pemikiran Bung Hatta, Bung Karno, semuanya terpengaruh dengan Marxisme. Kalau kita belajar sosiologi pasti bersinggungan dengan sosialogi Marxis. Tidak mungkin dihilangkan," tutupnya.