KOTA TUA JAKARTA YANG SELALU MENGGODA DAN TAK TERDUGA

1.jpg

DKI Jakarta,

Minggu pagi, aku sendiri tidak dapat mengingat kapan tepatnya.

Cuaca yang cerah di pagi hari ini membuat setiap orang tidak ingin berdiam diri di dalam rumah saja, tak terkecuali aku. Tidak sabar rasanya diriku ingin menjelajahi indahnya ibukota negara ini. Tapi tunggu dulu, tampaknya aku terlalu bersemangat saat ini untuk segera keluar dari rumah. Padahal aku sendiri tidak tahu ke mana aku ingin pergi. Setelah bergegas mengambil handuk dan segera mandi kini aku sudah berada di pinggir Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan. Angkutan kota yang biasanya kusebut angkot bertuliskan nomer 36 di kaca depannya segera berhenti tepat di hadapan ku ketika tangan ini melambai. Cara yang unik yang dilakukan oleh penduduk di kota ini dalam memberherhentikan angkot dan anehnya setiap supir angkot sudah tau bagaimana caranya berekasi. Angkutan kota tersebut diperlambatnya seketika di depan calon penumpang tanpa memikirkan pengendara lain di belakangnya. Menyebalkan memang, apalagi jika pengendara di belakang angkot tersebut adalah kita.
Namun, tidak sepenuhnya sang supir yang salah. Calon penumpang tersebut pun tidak tau tempat yang tepat untuk membuatnya memberhentikan angkotnya. Padahal tidak jauh dari sana terdapat halte yang diperuntukan bagi angkutan kota yang ingin menaik-turunkan penumpang.

3.jpg

Masuk ke dalam angkutan kota yang memiliki tempat duduk berkapasitas 6 orang dan 4 orang untuk saling berhadapan serta 2 orang yang menghadap ke bagian belakang mobil menjadi keunikan tersendiri fenomena angkutan kota di ibukota ini. Apalagi penumpang yang menaiki kendaraan umum tersebut pun sangat beragam jenisnya. Mulai dari yang muda dan hobi membuka telepon genggamnya sambil tersenyum sendiri, hingga orang tua yang suka tertidur dan tidak ia sadari kepalanya menyender pada bahu seorang gadis yang duduk di sebelahnya. Lamunanku sembari memandangi kaca belakang angkot pun terbuyarkan ketika mendengar suara seorang ibu yang berteriak sambil menelpon seseorang, seolah-olah orang yang berada di seberang telpon tidak dapat mendengar suaranya bila ia hanya berbicara dengan volume suara biasa. Setelah sampai di sebuah perempatan di daerah pejaten, aku pun memberhentikan angkot tersebut dan membayarkan 3000 rupiah pada supirnya (pada tahun itu). Segera aku menuju halte Bus Transjakarta terdekat dan membeli tiket seharga 3500 rupiah. Cukup lama aku menunggu bus yang akan membawaku pergi, kira kira sudah tiga buah lagu yang aku dengarkan dari earphone yang menempel di telinga ku.

Pagi. Sunyi. ‘gak ada burung bernyanyi.

Putih embun pun kini telah terkontaminasi.

Aku seperti terbang ‘gak memijak bumi.

Di antara merahnya emosi Jakarta.

Yang s’makin ternodai.

Tepat saat lirik lagu dari salah satu band legendaris Indonesia, Jakarta pagi ini – Slankterdengar di telinga ku, sebuah bus pun berhenti tepat di depan pintu shelter (sebutan untuk halte Transjakarta). Aku pun bergegas masuk dan duduk senyaman mungkin di bangku paling belakang.

Aku di sini. Sendiri. Aku di sini. Uh sepi.

Mengapa aku di sini.

Jakarta pagi ini.

Seketika lirik ini terdengar di telinga ku dan membuatku berpikir, mungkin kita semua terkandang mengalami hal yang sama. Tiba-tiba terlintas sebuah pemikiran ketika kita sedang dalam perjalanan, entah karena mendengar, atau melihat sesuatu di sekitar kita. Namun kali ini sesuatu yang aku dengar sangat mengena, seolah alam mencoba untuk memberikan pertanyaan kepadaku. Mau ke mana aku hari ini? Awalnya aku hanya ingin pergi, hanya sekedar keluar rumah untuk menikmati ibukota dengan cuacanya yang sedang bersahabat ini. Tapi mengapa aku di sini?

Ke mana tujuan ku?

Mungkin beberapa keluarga kecil lebih memilih untuk berplesir ke kebun binatang Ragunan, Taman Mini Indonesia Indah atau ke Dunia Fantasi, Ancol. Namun, aku merasa bosan dengan tempat itu, entah mengapa. Mungkin karena terkadang aku merasa tempat tersebut kurang diperhatikan oleh pihak pemerintah dan pengelolanya. Sehingga tidak dapat menawarkan hiburan yang menjanjikan. Padahal potensi tempat tersebut sangatlah tinggi untuk menjadi tempat bertualang. Banyak hal yang bisa terus dikembangkan jika tempat itu terus ditingkatkan sarana dan prasarananya.

Bus pun tetap melaju membelah jalan. Hingga terdengar suara yang memberitau bahwa sebentar lagi bus akan berhenti di halte warung jati. Bus pun berhenti sejenak, pintunya tebuka lebar seolah mempersilakan setiap orang untuk masuk ke dalamnya. Tak terkecuali seorang gadis yang mengenakan kaos oblong dan celana jeans pendek lengkap dengan sebuah topi menutupi kepalanya. Ia berjalan sambil membuka tasnya, badannya limbung karena bus segera berjalan kembali tapi ia tidak peduli dan berusaha mengeluarkan handuk sambil mengelap mukanya yang berkeringat. Mungkin nasibnya sama dengan ku, menunggu bus yang terlalu lama datang. Ia pun duduk tepat di sebelah kanan ku. Meduga bahwa ia bernasib sama dengan ku, segera aku menyapanya. Kurasa ia tipe gadis yang ramah, pikiranku yang sok tau mencoba menduga-duga.

4.jpg

“Panas ya nunggu bus yang datengnya lama di halte sempit kaya gitu. Apalagi pas masuk ternyata AC busnya ‘gak dingin.”, ucapku sambil melepas earphone.

“Padahal cuacanya lagi enak, tapi busnya ‘ga dateng-dateng. Akhirnya jadi kesel sendri karena haltenya pengap banget.”, katanya.

“Wira.”, kusebut namaku sambil menyodorkan tangan kanan.

“Ra. Naik dari halte mana tadi?”, jawabnya sambil memegang tangan yang ku sodorkan.

“Ya? Kenapa? Dari halte pejaten. Oia, siapa nama kamu?”, tanya ku sambil bingung mengapa ia memanggil nama panggilan ku.

“Ra itu nama aku. Bukan manggil kamu.”, jawabnya sambil tersenyum.

Aku pun tertawa kecil, ku kira ia memanggil namaku.

“Kirain tadi manggil nama aku. Habisnya sama gitu panggilannya.”, jawabku.

Ia pun tertawa kecil. Sungguh kebetulan yang aneh. Bertemu dengan orang yang mempunyai panggilan yang sama. Terbayang kalau ada orang di sekitar kami menyebut kata Ra, tentu kami berdua akan menyahut bersamaan.

“Jadi mau ke mana, Ra? Sampe rela dan sabar nunggu bus yang lama dateng kaya gini.”, aku bertanya padanya sekaligus menanyakan hal yang sama pada diri sendiri.

“Pengen naik bus Transjakarta saja sampai ke halte ujungnya. ‘Ga ada tujuan khusus. Iseng aja, daripada diem di rumah. Cuacanya lagi enak gini masa leha-leha di rumah doang.”

“Kamu sendiri mau pergi ke mana? Bawa tas sama bungkusan hitam gitu, itu bungkus gitar ya? Tapi kok kayanya lebih kecil?”, jawabnya sekaligus bertanya sambil menunjuk bungkusan hitam yang aku pangku sejak tadi.

“Ini bukan gitar, tapi Guitalele. Mungkin yang nyiptain pengen gabungin gitar sama ukulele. Hehehe.”, ucapku sambil mengangkat bungkusan itu. Entah kenapa kutambahkan tawa kecilku yang bersuara.

“Boleh lihat?”

“Nanti saja kalau sudah turun dari bus.” Kataku.

“Lho, kalau kamu keburu turun duluan sebelum halte terakhir gimana?

“Aku turun di halte Dukuh Atas kok.” Jawabku.

“oh, naik sampai ujung juga ternyata.”

Pemberhentian selanjutnya, halte dukuh atas. Perhatikan dan bawa barang bawaan anda serta hati-hati melangkah.

Suara dari speaker bus terdengar kembali, menandakan bahwa bus sebentar lagi akan memasuki halte. Aku pun segera turun ketika bus berhenti di halte tersebut. Di belakangku, Ra mengikuti perlahan karena penumpang berdesakan untuk keluar dari satu pintu saja.

“Lanjut ke halte Kota atau halte Pulo Gadung?, tanyaku tiba-tiba.

“Halte Kota sepertinya. Eh, mana guitalele-nya? Lihat dulu dong sebelum kamu ganti bus!”, pinta Ra padaku.

“Kalau begitu di halte Kota aja lihatnya!”, jawabku.

“Lho? Memang kamu mau ke mana?”, tanyanya.

“Halte Kota juga.”, jawabku seadanya, padahal baru aku putuskan untuk melanjutkan perjalananku ini ke daerah Kota begitu mendengar jawabannya.

“Lho? Yaudah kalau begitu.”, ucapnya tidak bertanya lagi. Kadang sering kali para wanita menyimpan pertanyaan akan hal-hal yang sebenarnya membuat ia bingung atau tidak sesuai dengan yang ia mengerti. Namun, ia tidak mau menanyakannya lebih lanjut. Mungkin karena malu atau malas bertanya lagi. Mungkin juga takut dikira terlalu ingin tau tentang lawan bicaranya, takut dianggap begitu oleh pria yang ia ajak bicara. Mungkin.

“Oke, Ra.”, jawabku singkat. Pria pun terkadang suka menjadi sok misterius, tidak mau menjelaskan bagaimana sebenarnya rencana yng ia miliki, atau bahkan terlalu gengsi juga untuk memberitau bahwa ia sebenarnya juga tidak punya rencana. Hanya mengikuti saja kesempatan yang ada untuk dia ikuti dan kembangkan lagi. Hampir sama apa yang dilakukan dan apa yang tidak mau diakui oleh keduanya hanya saja itu semua dilakukan dengan cara yang berbeda. Sungguh aneh memang, tapi begitulah adanya, pria dan wanita.

“Sering ke Kota? Ke tempat apa aja di Kota Tua?” tanya ku setelah duduk di dalam bus menuju Kota, kali ini bus yang ditunggu lebih cepat datangnya walaupun harus berdesakan dengan penumpang lain ketika memasukinya.

“hmm. Palingan ke Museum Fatahillah tempatnya asik buat gabut (gaji buta, maksudnya ketika senggang dan tidak ada kerjaan), banyak jajanan pula di lapangan depannya. Kalau bingung mau ke mana, biasanya aku ke sana. Suka nemu hal-hal lucu di sana soalnya. Pernah ada pertunjukan abang-abang yang bikin semacam puppet show. Itu lho panggung boneka tali yang dibuat gerak sama abangnya dan yang bikin lucu bonekanya itu berbentuk satu grup band yang mirip sama Soneta Grup dan backsound-nya lagu dangdut koplo. Ada-ada aja.”, ia pun bercerita pengalamannya.

2.jpg

“Hahaha, bisa ada yang begituan juga ya di Staadhuis. Baru tau aku. Sering tuh ada yang kaya gitu? Jadi pengen lihat.”, ucapku yang entah mengapa lagi-lagi diawali dengan tawa kecil.

“Haaah? Staadhuis? Apaan tuh?”, Ra bertanya.

“Staadhuis itu nama aslinya Gedung Museum Sejarah Jakarta yang kamu sering sebut Museum Fatahillah. Dulu dibangun pada 27 April 1626 oleh Gubernur Jendral Pieter de Carpentier dan digunakan sebagai balai kota dan merupakan gedung balai kota kedua yang dibangun pada masa pemerintahan VOC di Batavia. Makanya arsitekturnya bergaya Belanda. Katanya sih mirip dengan balai kota di negeri asalnya. Padahal iklim di Jakarta yang waktu itu bernama Batavia kan sejatinya tropis, tapi gaya bangunannya tetap dibuat seperti arsitektur di negeri kincir angin tersebut. Hingga pada tanggal 25 Januari 1707 direnovasi kembali pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Joan van Hoorn dan baru selesai pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Abraham van Riebeeck pada tanggal 10 Juli 1710. Gedung itu juga digunakan untuk pengadilan, kantor catatan sipil, dan kantor dewan kota praja yang disebut juga College van Scheppen. Baru diresmikan jadi museum pada tahun 1936 oleh Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Bernama Museum Oud Batavia sewaktu dibuka untuk umum pada tahun 1939.” Jelasku padanya.

5.jpg

“Sampai hapal begitu, Pak! Saya aja yang berulang kali ke sana belum sehapal dan tau itu semua. Taunya hanya Museum Fatahillah. Ikut waktu bangun gedungnya ya? Atau jangan-jangan saya lagi ngobrol sama pengurus museumnya? Haha” ucapnya bercanda.

“Cuma kebetulan saja tau. Hehe” Jawabku sambil tertawa seraya menyamarkan mukaku yang sumringah. Padahal aku sudah beberapa kali datang ke sana dan ikut tur yang disertai oleh pemandu sehingga tau cerita tentang hal itu. Entah kenapa aku jadi bersemangat seperti itu di depannya. Mungkin karena ingin terlihat pandai olehnya. Pada pria suka jika ia dapat memberi informasi dan dianggap punya pengetahuan luas oleh lawan bicaranya, terlebih lagi bila yang ia ajak bicara adalah seorang wanita.

Kami pun tiba di Halte Kota. Bergegas turun dan langsung berjalan menuju ke kawasan Kota Tua sambil membicarakan banyak hal tentang tempat tersebut. Tanpa ada yang bertanya mau ke mana atau sebenarnya aku akan ada acara apa. Hingga aku tiba di halaman Museum Sejarah Jakarta. Berdiri di pelataran ini sungguh seperti menaiki mesin waktu. Semua serba bergaya kolonial, bahkan beberapa orang menyediakan jasa penyewaan sepeda onthel tua yang umurnya lebih tua dari orang tua ku lengkap dengan topi bergaya tempo dulu. Tidak lupa pasar kaget yang isinya orang berjualan kaca mata hitam, aneka makanan dan minuman, bahkan sampai ada yang menawarkan hal unik seperti jasa membuat tattoo, pijat tradisional atau pun jasa meramal jodoh dan peruntungan. Namun, ada saja beberapa muda-mudi yang menggunakan jasa peramal tersebut, beberapa pasangan malah tidak malu untuk menanyakan apakah pacarnya itu adalah jodohnya yang ada pada ramalan, serta meminta diramal apakah mereka akan langgeng sampai ke pelaminan. Unik memang keyakinan pada warga kota ini. Tidak mudah percaya pada orang yang tidak ia kenal tapi dapat percaya pada hasil ramalan pada peramal kaki lima tersebut.

6.jpg7.jpg

Berjalan-jalan di pelataran museum seolah kita seperti kembali ke masa lalu, saat Kota Jakarta masih berada di jaman kolonial. Beberapa orang yang mengenakan kostum seperti tentara hijau “green army toy” menambah kesan bahwa masa perjuangan masih ada. Tidak lupa beberapa orang mencoba berfoto dengan seorang perempuan yang mengenakan busana nona belanda tempo dulu. Bangunan-bangunan tua ikut membuat kita menghayati suasana tersebut.

89.jpg

“Ra, pernah jelajah kota tua? Kata orang sih serunya pas malam hari. Bagaimana kalo sekarang kita coba? Kita saja yang menjelajah jangan pakai tur yang ada.”, tiba-tiba aku bicara begitu saja.

“Wah, memang jelajah kota tua itu ke mana saja? Kalau museum keramik dan seni rupa aku sudah pernah.” Jawabnya.

“Bukan ke sana, Ra. Kita kunjungi semua tempat lain yang ada di peta Kota Tua! Bagaimana? Pasti seru.”, aku pun mencoba mengajaknya.

“Hmm. Bolehlah, kita coba saja dulu. Tapi tidak usah masuk ke Museum Fatahillah, sudah sering rasanya masuk ke sana.” Jawab Ra.

“Oke, berangkat kita!” ucapku seraya mengajaknya pergi dari tempat kami berdiri. Saat itu aku sedikit bingung, jawabannya seolah ia ingin ikut dengan ajakan ku tapi bersamaan dengan itu aku juga merasa ia tidak ingin. Mungkin karena kata “kita coba saja dulu” membuat seolah seseorang tidak 100% yakin dengan keputusannya. Ah sudahlah buat apa aku pikirkan, toh dia sudah mau ikut petualangan ku.

“Kita ke Museum Wayang yuk! Dulu terkahir kali aku ke sana waktu masih sekolah di bangku SD (sekolah dasar). Sudah lupa bagaimana di dalamnya. Katanya museum itu baru direnovasi.”

“Oh iya, minggu lalu aku baru baca sebuah buku yang mengatakan ada beberapa simbol-simbol tersembunyi yang ada di Museum Fatahillah lho, siapa tau kamu tertarik kalau suatu saat pergi ke sana untuk melihatnya. Salah satunya simbol bunga mawar di atas pintu masuk utamanya. Dan letak bunga itu tepat di tengah 13 batu yang disusun melengkung di atas pintu. Termasuk salah satu simbol yang penuh konspirasi. Masih banyak yang lainnya tapi kamu harus cari sendiri. Hehehe.”, ucapku sambil tertawa kecil berharap ia penasaran.

10.jpg

Gedung yang tampak unik dan menarik ini telah beberapa kali mengalami perombakan. Pada awalnya bangunan ini bernama De Oude Hollandsche Kerk (“Gereja Lama Belanda”) dan dibangun pertamakali pada tahun 1640. Tahun 1732 diperbaiki dan berganti nama De Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Baru Belanda) hingga tidak dapat dipakai lagi tahun 1808 akibat hancur oleh gempa bumi pada tahun yang sama. Di atas tanah bekas reruntuhan inilah dibangun gedung Museum Wayang dan diresmikan pemakaiannya sebagai museum pada 13 Agustus 1975.

Masuk ke dalam Museum Wayang seolah kita berada hampir di setiap tempat di dunia. Beragam koleksi wayang atau boneka dari seluruh penjuru dunia terpajang rapi di sana. Dan apakah kau tau kawan berapa biaya tiket masuk untuk tempat semenarik ini?

2000 rupiah untuk orang dewasa, 1000 rupiah untuk mahasiswa dan 600 rupiah untuk anak-anak.

Sungguh membuat saya tercengang. Bagaimana bisa sebuah museum dengan fasilitas yang sungguh menarik seperti ini hanya memberikan harga tiket dengan jumlah yang sangat terjangkau. Sungguh sangat disayangkan bila kita tidak menikmatinya. Karena para petugasnya mau mengurus tempat ini dengan baik dan menyajikan wahana yang menarik. Dan sangat disayangkan apabila tidak dilestarikan tempat ini.

12.jpg

11.jpg

Saya pribadi sangat kagum dengan cerita pewayangan, walaupun belum tau cerita lengkapnya hingga sekarang. Dulu saya berpikir untuk dapat mengerti cerita wayang saya harus memahami bahasa jawa halus dan itu sulit, sehingga tertunda lah keinginan saya untuk mempelajarinya. Padahal itu semua sangat menarik sebenarnya. Bahkan yang saya tau Sunan Kalijaga menggunakan budaya wayang saat ia menyebarkan ajaran agama Islam di tanah jawa. Ketika saya masuk ke dalam museum ini sungguh saya seperti diberikan pendahuluan tetang dunia pewayangan, saya bisa membaca bagaimana silsilah dan cerita setiap tokoh wayang dari cerita mahabarata dan ramayana, dari kurawa hingga pandawa, serta yang lainnya. Memasuki lorong-lorong lain, saya disuguhkan berbagai koleksi antik beberapa boneka baik yang modern dan yang sangat kuno dari berbagai belahan dunia, bahkan ada boneka atau wayang yang hanya terbuat dari rumput saja. Sungguh sangat luar biasa bagaimana orang terdahulu mencoba memvisualisasikan imajinasi (atau kenyataan) yang mereka punya dalam bentuk tiga dimensi.

Susan susan susan

Besok gede mau jadi apa

Aku kepingin pinter

Biar jadi dokter

Kalau kalau benar

Jadi dokter kamu mau apa

Mau suntik orang lewat

Jus jus jus

Lagu Susan punya cita-cita – Susan feat Ria Enes seolah dinyanyikan di gedung ini, membuatku bernostalgia akan masa kecilku saat boneka susan mengisi hari-hari kami yang sangat menyenangkan. Hanya ada lagu anak-anak yang menyenangkan yang belum terkontaminasi oleh lirik yang berbau percintaan orang dewasa. Ah sudahlah itu hanya masa lalu. Mungkin anak-anak jaman sekarang sudah lebih cepat dewasa.

Pada ruangan selanjutnya kami menemukan wayang dan boneka dari ukuran yang sangat mini hingga yang sangat besar. Ada yang disusun apa adanya dan ada pula yang dibuat berbentuk diorama. Masuk lebih dalam lagi, ada sebuah larangan di depan sebuah pintu yang mengatakan bahwa dilarang menggunakan kamera dan mengabadikan apa saja yang ada di dalamnya. Aku pun dibuat penasaran karenanya, apa yang akan disuguhkan oleh tempat ini setelah melewati tempat ini.

“Wah, ada apa ya dibalik pintu? Jangan-jangan serem lagi, Ra. Sampai dilarang pakai kamera begitu.”, ucap Ra padaku.

“Pasti seru, Ra! Makanya kita dilarang pakai kamera. Kita cobain aja yuk!” ajak ku padanya.

Pintu bergeser, dan aku mencoba mengintip ke dalam. Boneka yang mungkin berskala 1:1 disusun dalam bentuk diorama dalam sebuah adegan suatu cerita. Awalnya kukira benda itu dapat hidup. Benar juga dugaan Ra, campuran antara hal yang membuat tegang tapi sangat menarik. Ternyata diorama tersebut adalah cerita tentang beberapa tokoh-tokoh besar di dalam dan di luar Indonesia. Lanjut ke ruangan berikutnya, masih berbentuk diorama tapi kali ini bercerita tentang legenda atau cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Tiba-tiba cahaya seperti kilat menyala di sebelah ku dan Ra. Sangat unik, ada saja kejutan yang diberikan oleh tempat ini. Kali ini diorama yang ada tidak hanya diam mematung. Namun mereka bergerak, ditambah beberapa efek visual pada setiap adegannya. Dan yang paling menarik ada sebuah proyektor yang menayangkan sebuah film tentang salah satu legenda rakyat. Aku pun terpana menyaksikannya. 2000 RUPIAH dan kita mendapatkan hal-hal yang sangat ajaib seperti ini. Luar biasa memang apa yang ditawarkan oleh tempat wisata dan museum di Jakarta ini.

Ruangan terakhir sudah kami lewati, kami melewati lorong yang menurun hingga tiba di ruangan yang ada di lantai dasar. Ternyata kami tiba di tempat penjualan cinderamata. Berbagai benda dari gantungan kunci hingga wayang kulit dijual di sana. Tergoda aku untuk membeli salah satunya. Sebuah pembatas buku dan wayang mini. Lanjut untuk berjalan ke luar museum, tapi langkah ku terhenti sejenak. Aneh rasanya, seperti ada yang terlewatkan, ada satu ruangan yang belum aku kunjungi.

“Ra, kita sudah ke dalam ruangan itu belum ya? Pintunya kok sepertinya besar ya.”, tanyaku pada Ra.

“Kayanya belum deh, Ra. Ada apa ya di sana? Masuk yuk. Sebelum kita lanjut ke luar.”, ajak Ra.

Kami pun masuk ke dalam ruangan tersebut, lagi-lagi aku dibuat terkejut oleh tempat ini. Satu set wayang golek yang terdiri dari berbagai macam tokoh lengkap tersusun rapi. Dan yang paling menarik ada dua buah wayang yang sangat besar berdiri di tengah ruangan tersebut. Baru kusadari ternyata di ruangan ini sering dilakukan pertunjukan wayang. Sebuah aula dimana kita dapat menikmati berbagai lakon cerita pewayangan saat mereka menggelar pertunjukan.

15

Lengkap sudah rasa penasaranku pada tempat ini. Mungkin lain kali aku harus menghadiri salah satu pertunjukan yang mereka buat. Kami pun keluar dari museum dengan senyum puas menghiasi wajah kami. Tempat yang kami kira kecil pada awalnya ternyata menawarkan suatu kemegahan budaya yang tidak bisa kami duga.

Perjalanan pun segera kami lanjutkan.

Images & informations : Koleksi pribadi, Samsung I9500 Galaxy S4, mobilkomersial.com, museumwayang.com annisaamaliaapriliani.wp, kresn0-tinjauandesain2.bs

Location : Jakarta Utara, Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang

4 thoughts on “KOTA TUA JAKARTA YANG SELALU MENGGODA DAN TAK TERDUGA

Leave a comment