Keluarga Korban Lion Air JT 610 Gugat Boeing di Amerika Serikat

Boeing 737 Max 8
Sumber :
  • Dokumentasi Lion Air.

VIVA – Keluarga korban penumpang Lion Air JT 610 mengajukan gugatan hukum terhadap Boeing, produsen pesawat Boeing 737 Max 8, yang jatuh di Kerawang pada 29 Oktober 2018. 

Firma hukum Colson Hicks Eidson dan BartlettChen LLC mengumumkan gugatan itu atas nama salah satu penumpang pesawat di sebuah pengadilan di Amerika Serikat, Rabu 14 November 2018. 

“Kami telah mengajukan gugatan terhadap The Boeing Company di pengadilan Circuit Court of Cook County, Illinois, Amerika Serikat. Gugatan ini kami ajukan atas nama klien kami yaitu orang tua dari almarhum Dr. Rio Nanda Pratama yang tewas ketika pesawat Boeing 737 MAX 8 jatuh ke laut,” kata Curtis Miner dari Colson Hicks Eidson, dikutip dari siaran persnya, Kamis 15 November 2018.

Pratama adalah seorang dokter muda dalam perjalanan pulang dengan Lion Air JT 610 dari sebuah konferensi di Jakarta dan hendak menikah pada tanggal 11 November 2018. 

Pesawat Lion Air JT 610 berangkat dari Bandara Internasional Soekarno–Hatta, Jakarta menuju Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang dan terjatuh 13 menit setelah lepas landas pada tanggal 29 Oktober 2018. Seluruh 189 penumpang dan awak pesawat tewas dalam kecelakaan tersebut. 

Pada tanggal 7 November 2018, Federal Aviation Administration (FAA) menerbitkan Emergency Airworthiness Directive (Petunjuk Layak Terbang Darurat) untuk pesawat Boeing 737 MAX. FAA menilai bahwa pesawat Boeing 737 MAX memiliki kondisi yang “tidak aman” dan kondisi ini juga mungkin ada dan dapat terjadi pada pesawat Boeing 737 MAX lainnya.

Pihak yang berwenang melakukan investigasi  terhadap sistem kontrol penerbangan otomatis yang terpasang pada pesawat Boeing 737 MAX. Sistem ini tergolong baru dan tidak dipasang pada pesawat versi 737 sebelumnya.

Sistem kontrol penerbangan tersebut dirancang untuk mencegah agar awak penerbangan tidak salah mengangkat hidung pesawat terlalu tinggi. Namun dalam kondisi tertentu, sistem tersebut dapat tiba-tiba mendorong hidung pesawat ke bawah dengan kuat sehingga awak pesawat kehilangan kontrol dan tidak dapat menarik hidung pesawat kembali ke atas pada waktu yang tepat sehingga terjadi kecelakaan.

Sistem ini dapat menyala secara otomatis bahkan jika pilot menerbangkan pesawat secara manual, dan tidak akan menduga apabila sistem dapat sewaktu-waktu aktif.

Para regulator penerbangan AS telah memerintahkan peninjauan kembali terhadap prosedur keselamatan pesawat Boeing dan mencari tahu mengenai informasi apa saja yang telah disampaikan ataupun tidak disampaikan kepada maskapai penerbangan mengenai sistem kendali penerbangan yang baru ini.

Austin Bartlett dari BartlettChen LLC, yang juga ikut mengajukan gugatan ini menyatakan, para ahli keamanan dan kepala serikat pilot menyatakan bahwa The Boeing Company telah gagal memperingatkan klien dan pilot pesawat 737 MAX mengenai perubahan sistem kontrol penerbangan yang signifikan ini dan gagal menyampaikan instruksi yang benar dalam manualnya.

Terkait dengan investigasi kecelakaan ini, Curtis Miner menyatakan bahwa sesuai dengan perjanjian internasional, pihak penyelidik dari Indonesia  dilarang untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atau siapa yang bersalah, dan hanya diperbolehkan untuk membuat rekomendasi keselamatan untuk industri penerbangan di masa depan.  

"Inilah sebabnya mengapa tindakan hukum atas nama keluarga korban harus dilakukan," ujar Curtis Miner,

Dia menegaskan, investigasi oleh lembaga pemerintah biasanya tidak akan memutuskan siapa yang bersalah dan tidak menyediakan ganti rugi yang adil kepada para keluarga korban. “Inilah pentingnya gugatan perdata pribadi dalam tragedi seperti ini," ujarnya.

Ayahanda dari almarhum  Pratama mengatakan, semua keluarga korban ingin mengetahui kebenaran dan penyebab tragedi ini.

“Kesalahan yang sama harus dihindari ke depannya dan pihak yang bertanggung jawab harus dibawa ke pengadilan. Saya menuntut keadilan untuk putra saya dan semua korban jiwa dalam kecelakaan tersebut, ” ujarnya.

Firma hukum Colson Hicks Eidson telah menangani puluhan kecelakaan penerbangan yang terjadi di seluruh dunia atas nama penumpang selama hampir 50 tahun. Perusahaan telah berhasil menyelesaikan sejumlah kasus kecelakaan pesawat sebelumnya di Indonesia, seperti kasus Garuda Penerbangan 152, kasus Adam Air Penerbangan 574, dan kasus Lion Air pada tanggal 30 November 2004 di mana pesawat Lion Air Penerbangan 583 melakukan pendaratan darurat di Solo.