Lisensi Alih Teknologi sebagai Strategi Peningkatan Partisipasi dalam Global Value Chain

Konten dari Pengguna
27 Oktober 2017 20:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raditya Adibrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Posisi Indonesia dalam Global Value Chain
Perekonomian dunia semakin terhubung satu sama lain akibat adanya globalisasi. Fragmentasi produksi yang terjadi memungkinkan semakin banyak pihak ikut terlibat dalam perdagangan internasional. Contoh klasik studi kasus fragmentasi produksi telah dilaksanakan oleh IKEA. Perusahaan furnitur asal Swedia tersebut bekerja sama dengan Cina sebagai pemasok barang mentah, memiliki pabrik pembuatan di daerah Eropa Timur, hingga mendistribusikan produksinya di 340 toko pada 28 negara di dunia. Melalui strategi pemasaran yang sejenis, yaitu membuka showroom dengan interior berwarna biru dan kuning, IKEA mampu memanfaatkan globalisasi dengan baik. Pasar pun dapat mencapai target secara optimal. Fragmentasi produksi hingga pemasaran produk yang dilakukan IKEA merupakan contoh nyata implementasi value chain. Tidak hanya transformasi fisik namun juga mencakup pentingnya kegiatan lain seperti desain dan branding yang dapat memberi nilai tambah pada suatu produk.
ADVERTISEMENT
Global value chain (GVC) menekankan pada pentingnya keunggulan kompetitif yang dimiliki tiap negara. Mayoritas perusahaan di Asia memiliki keunggulan kompetitif dengan menyewa atau membeli kemampuan teknologi dari negara lain. Proses pembelajaran didapat dari akuisisi pengetahuan yang meningkatkan kemampuan teknologi secara internal dan eksternal. Perusahaan juga dapat melakukan investasi langsung dengan mendirikan operasi penelitian pengembangan. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang memungkinkan mereka menjadi lebih inovatif.
Inovasi teknologi saat ini dianggap sebagai salah satu penentu kemajuan sebuah bangsa. Memasuki revolusi teknologi keempat, Indonesia dianggap masih harus mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju lainnya dalam hal kemajuan teknologi. Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, akuisisi teknologi asing yang efektif menjadi prasyarat penting untuk membangun kemampuan teknologi. Akuisisi teknologi dianggap sebagai elemen penting untuk membentuk keunggulan kompetitif dalam ekonomi global.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan sebuah negara dalam GVC dapat dilihat dari besarnya value added atau nilai tambah yang dihasilkan dari ekspor maupun impor. Banga (2013) mencoba untuk melihat partisipasi beberapa negara dalam GVC berdasar data OECD-Trade in Value Added pada 2013. Tabel 1 menunjukkan kontribusi pada GVC berdasarkan forward linkage dan backward linkage. Terlihat pada data, partisipasi Indonesia dalam GVC masih terbilang rendah. Kontribusi nilai tambah Indonesia hanya sebesar 0.8% dari seluruh negara dunia. Angka ini juga tidak lebih tinggi dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Meskipun begitu, persentase kontribusi forward linkage yang lebih besar dibandingkan backward linkage mengindikasikan bahwa Indonesia dapat dikatakan produktif. Hal ini dikarenakan Indonesia dapat mengekspor barang dengan nilai tambah yang lebih besar dibanding nilai tambah dari impor di seluruh sektor. Persentase nilai tambah yang masih kecil mencerminkan Indonesia belum terlibat secara optimal dalam GVC. Indonesia perlu meningkatkan kualitas teknologi agar lebih produktif dan memiliki keunggulan kompetitif di pasar global.
Lisensi Teknologi
ADVERTISEMENT
Technology licensing atau lisensi alih teknologi dapat menjadi salah satu cara bagi negara domestik mengaplikasikan teknologi yang digunakan di negara asing. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan perjanjian kontrak pembelian hak paten berupa teknologi dengan penjual lisensi. Pada umumnya, negara berkembang membeli hak paten teknologi dari negara maju, mengingat perkembangan teknologi di negara maju yang lebih pesat daripada negara berkembang. Pembelian lisensi dapat menjadi jawaban bagi negara berkembang untuk mendapatkan teknologi dengan cepat dan relatif lebih mudah (Correa, 2003). Penelitian dari Asia-Pacific Trade and Investment Report, menunjukkan perusahaan yang menerima hak paten dari luar negeri 48% lebih produktif dibandingkan perusahaan yang tidak mendapatkan. Pembelian lisensi teknologi dapat meliputi pembelian hak produksi atau distribusi dan informasi teknis dasar. Kemudian, pengetahuan baru dari alih teknologi dapat dikembangkan dan dimodifikasi sesuai kebutuhan dari perusahaan tersebut untuk memenuhi pasar. Penulis melihat prospek lisensi teknologi dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan produktivitas tanpa adanya risiko seperti ketika melakukan investasi.
Meskipun demikian, implementasi lisensi alih teknologi memang tidak mudah khususnya di Indonesia. Biaya lisensi yang mahal juga menjadi perhitungan baik tidaknya melakukan kontrak pembelian hak paten. Selain itu, beberapa tantangan yang dapat muncul antara lain informasi asimetris dan munculnya eksternalitas. Negara pembeli lisensi tidak seutuhnya mengetahui nilai teknologi yang dijual oleh negara pembeli lisensi (misal, berapa harga riset yang diperlukan). Hal ini dapat menyebabkan biaya transaksi membesar dan menghambat transfer teknologi karena pembuatan kontrak lebih sulit dicapai. Sementara itu, eksternalitas mungkin timbul jika biaya dan manfaat pertukaran teknologi tidak sepenuhnya diinternalisasi oleh pihak yang terlibat. Membeli lisensi teknologi dapat tidak menguntungkan apabila sumber daya untuk mengaplikasikan teknologi tersebut kurang mumpuni (Martinez, 2010). Banyak aspek yang perlu diperhatikan demi kesiapan perusahaan lokal untuk dapat membeli lisensi agar produktivitas yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Dimulai dari Pemerintah
Indonesia perlu mengubah paradigma ekonomi berbasis efisiensi (efficiency-driven economy) yang sangat bergantung pada sumber daya asing, menjadi ekonomi berbasis inovasi (innovation-driven economy) yang mengandalkan produk hasil inovasi anak bangsa serta alih teknologi (Ramadhan, 2017). Menurut Martinez (2010), penerapan alih teknologi yang efisien bergantung pada kemampuan tenaga kerja, sumber daya, dan keterampilan suatu negara. Agar lisensi teknologi berhasil terserap, diperlukan usaha mulai dari pemerintah untuk menciptakan suasana yang kondusif.
Transfer yang berhasil pada umumnya membutuhkan kapasitas untuk belajar yang adaptif oleh perusahaan lokal untuk menerapkan teknologi. Guna meningkatkan kapasitas kemampuan, negara atau perusahaan dapat meningkatkan arus informasi tentang teknologi tersebut. Aliran informasi tidak hanya dibuat satu arah saja. Sinergi interdisiplin ilmu perlu diterapkan untuk meningkatkan arus informasi. Di sisi lain, institusi hukum dapat ikut mengawasi penggunaan hak paten khususnya alih teknologi untuk mencegah pelanggaran dalam kontrak. Lemahnya pengawasan hak paten merupakan penentu keputusan pemberi lisensi untuk memberikan lisensi kepada suatu negara. Mengawasi lisensi yang akan dibeli membuat penyedia lisensi merasa aman akan memberikan hak patennya ke negara pembeli lisensi. Sehingga, institusi hukum yang kondusif menjadi prasyarat yang utama agar kerjasama melalui lisensi alih teknologi dapat terjalin.
ADVERTISEMENT
Selain melakukan perbaikan dalam bidang hukum, pemberian stimulus fiskal dapat dilakukan untuk memotivasi pengembangan inovasi dalam perusahaan. Stimulus tersebut dapat berupa pengurangan tarif pajak untuk impor teknologi dan pemberian insentif seperti subsidi dalam berbagai sektor. Dalam upaya intervensi untuk memudahkan impor teknologi, tepatnya sasaran dalam implementasi kebijakan juga perlu diperhatikan. Alih lisensi teknologi yang baik dapat terjadi apabila industri tersebut memiliki sumber daya yang mampu mengaplikasikan teknologi baru yang didapat. Implementasi intervensi baiknya difokuskan kepada sektor industri yang dinyatakan siap secara modal sumber daya manusianya, dan sumber daya terkait yang dibutuhkan. Mengupayakan adanya alih teknologi pada sektor yang tidak produktif mengakibatkan tidak menghasilkan output yang lebih baik dikarenakan ketidakmampuan sumber daya untuk mengelola teknologi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan GVC merupakan revolusi sistem produksi dan distribusi suatu barang yang diselenggarakan secara bersama-sama oleh beberapa negara. Revolusi teknologi komunikasi dan logistik membuat barang dan jasa dapat berpindah nyaris tanpa hambatan dari satu negara ke negara lain. Indonesia sebagai negara berkembang dan padat penduduk menjadi pasar potensial bagi investor asing. Namun keterlibatan Indonesia dalam GVC masih sangat minim. Salah satu cara meningkatkan partisipasi dalam GVC adalah dengan menambah persentase nilai tambah komoditas ekspor impor. Alternatif yang dapat dilakukan adalah melalui transfer teknologi, spesifiknya dengan lisensi alih teknologi.
Pembelian lisensi teknologi akan lebih menguntungkan bagi Indonesia selaku negara berkembang. Perusahaan domestik akan mempelajari penggunaan teknologi terbaru dan dapat mengembangkannya menjadi lebih inovatif. Peran pemerintah penting sebagai penyedia dukungan dasar terjadinya peningkatan kualitas teknologi. Dukungan tersebut dapat berupa pemberian stimulus fiskal, perbaikan sistem hukum, dan peningkatan arus informasi. Harapannya, penerapan lisensi alih teknologi dapat mendorong pemikiran inovatif yang mendorong produktivitas perusahaan. Lebih lanjut, produktivitas tersebut akan menaikkan persentase nilai tambah yang akan paralel dengan peningkatan partisipasi Indonesia dalam GVC.
ADVERTISEMENT
Esai ini juga digunakan untuk kompetisi Indonesian Challenge on Economic Ideas yang merupakan rangkaian acara Forum Studi dan Diskusi Ekonomi 2017