Upaya Diversifikasi Pangan di Gorontalo

Konten Media Partner
14 Maret 2020 17:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi buah dan sayuran. Sabtu, (14/3). Foto: banthayo.id (Wawan Akuba)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buah dan sayuran. Sabtu, (14/3). Foto: banthayo.id (Wawan Akuba)
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID, GORONTALO - Data Badan Ketahanan Pangan (BPK) Kementerian Pertanian (Kementan) RI menyebutkan, hingga 1945 pemenuhan pangan pokok, dari beras hanya mencapai 53,5 persen dari konsumsi nasional. Selebihnya, dari ubi kayu sekitar 22,26 persen, jagung 18,9 persen, dan kentang 4,99 persen. Namun saat ini, beras kemudian mendominasi kebutuhan pokok, menyebabkan konsumsi selain beras nyaris hilang.
ADVERTISEMENT
Padahal sebagai negara tropis, Indonesia dikaruniai kekayaan biodiversitas agraris. Salah satunya ketersediaan ragam sumber hayati penghasil karbohidrat. Potensi ini yang kurang dimanfaatkan oleh masyarakat karena hanya menggantungkan kebutuhan karbohidrat dari beras.
Melalui program Global Environment Facility-Small Grant Program (GEF-SGP) di Gorontalo, Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) bersama Marsudi Lestantun-- kelompok masyarakat lokal--, menekan ketergantungan masyarakat akan beras, dengan pelatihan diversifikasi pangan lokal di UPT SP3 Pabuoto belum lama ini. Pabuoto adalah salah satu dari 25 dusun di Desa Saritani, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo.
Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) bersama kelompok masyarakat lokal menekan ketergantungan masyarakat akan beras, dengan pelatihan diversifikasi pangan lokal di UPT SP3. Foto: banthayo.id (Wawan Akuba)
Pelatihan diversifikasi pangan melibatkan kelompok masyarakat. Dari 50 peserta, sekitar 45 persennya adalah perempuan. Masyarakat ini dilatih untuk dapat mengolah hasil kebunnya menjadi berbagai olahan produk yang siap dijual dan dikonsumsi.
ADVERTISEMENT
Pelatihan ini selain untuk menekan ketergantungan konsumsi beras, juga untuk memberi kemampuan kepada masyarakat agar memiliki alternatif ekonomi. Selain itu, juga sebagai wujud menciptakan ketahanan pangan dari lokal.
Ahmad Bahsoan, koordinator program tersebut menyampaikan, bahwa pelatihan ini juga melatih masyarakat bagaimana mengelola pertanian di lahan miring dengan menerapkan terasering. Selain itu juga, ada pelatihan pembibitan dan penamanan bibit tanaman buah dan kayu. Dengan begitu, lahan pertanian bisa lebih produktif sehingga hasilnya dapat diolah dengan baik.
“Kami melatih masyarakat ini untuk bagaimana menggenjot hasil pertanian. Sehingga kemampuan mengolah hasil pertanian juga didukung oleh ketersediaan hasil pertanian itu sendiri,” kata Ahmad.
Masyarakat dilatih agar bisa menggenjot hasil pertanian. Foto: banthayo.id (Wawan Akuba)
Tidak hanya melatih bagaimana mengelola lahan pertanian dan mengelola hasilnya, Ahmad juga mengungkapkan, masyarakat dilatih oleh salah satu pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) dalam berwirausaha. Menurutnya, penting untuk masyarakat juga tahu bagaimana produk yang mereka buat mampu diterima pasar, atau mampu menciptakan pasarnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Adalah Vivi Suaib, salah satu pemilik produk olahan pisang. Kepada masyarakat, ia memberi semangat untuk masyarakat dalam menciptakan produk olahan sendiri. Sebagai pelaku IKM yang sudah lebih dahulu memulai usaha, Vivi memberi motivasi untuk masyarakat agar dapat secara konsisten mencoba mengolah hasil kebun yang mereka tanam.
Dengan ubi jalar, ubi kayu, pisang, buah naga, dan hasil kebun lainnya, Vivi bersama masyarakat langsung mempraktikan berbagai teknik dalam pengolahan hasil kebun tersebut. Beberapa ada yang dibuat menjadi kripik, selai, dan susu.
“Ya, harapan kami melalui kegiatan ini, sedikitnya masyarakat dapat memanfaatkan sumber karbohidrat lainnya berupa ubi kayu, ubi jalar, pisang, dan lainnya sebagai pengganti beras,” katanya.
Masyarakat dilatih agar bisa menggenjot hasil pertanian. Foto: banthayo.id (Wawan Akuba)
Beras kata Ahmad, dipasok oleh masyarakat dari luar desa. Sedangkan untuk ke sana, selain jauh, juga akses jalannya sulit. Sehingga tepat menurutnya ketika masyarakat dilatih untuk memanfaatkan sumber daya alam yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat di sini harus menempuh waktu berjam-jam untuk berbelanja beras dan kebutuhan hidup lainnya. Jadi, kalau bisa mengganti beras dengan komoditi lain yang tumbuh di halaman, kenapa tidak,” ucap Ahmad.
Apa yang dilakukan oleh Japesda dan Marsudi Lestantun sebenarnya sesuai dengan misi Kementan RI. Dikutip dalam laman online resminya, Kementan RI mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi sumber pangan lokal, dan mengajak masyarakat agar mengubah pola pikir tentang beras. Bahwa beras atau nasi bukan satu-satunya sumber karbohidrat. Masih banyak sumber lokal. Seperti umbi, sukun, jagung, sagu, dan lainnya yang nilai gizinya setara dengan beras.
"Berdasarkan data pola konsumsi, menunjukkan, bahwa beras atau nasi masih mendominasi porsi menu konsumsi masyarakat hingga 60%. Idealnya maksimal 50% agar masyarakat dapat hidup lebih sehat, aktif, dan produktif," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, Agung Hendriadi kepada pers seperti yang dikutip dalam lama resminya di pertanian.go.id.
Pelatihan diversifikasi pangan melibatkan kelompok masyarakat. Dari 50 peserta, sekitar 45 persennya adalah perempuan. Foto: banthayo.id (Wawan Akuba)
Menurut Agung, dukungan penanganan masalah pangan dan gizi tidak hanya oleh dinas yang menangani pangan dan kesehatan, tapi juga melibatkan mitra kerja dinas. Baik pemerintah, swasta, bahkan lembaga masyarakat untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi.
ADVERTISEMENT
Konsumsi beras di Indonesia ketimbang negara di kawasan Asia dari setiap penduduk di Indonesia mencapai 139,15 kg per kapita per tahun, sementara rata-rata konsumsi beras dunia hanya 60 kilogram. Kondisi tersebut mendorong BKP Kementan RI menargetkan penurunan konsumsi beras minimal 1,5 persen per kapita per tahun.
-----
Reporter: Wawan