Masuk Daftar
My Getplus

Soeharto, Astra, dan Sepeda Federal

Astra sempat rugi ketika diminta Soeharto menjual sepeda secara kredit. Kembali berbisnis sepeda untuk menghindari PHK.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 14 Jun 2020
William Soeryadjaya, pendiri Grup Astra, bersama Presiden Soeharto meresmikan pabrik Gaya Motor pada 1969. (Repro Man of Honor).

Suatu hari di tahun 1971, William Soeryadjaya, pendiri Grup Astra, menceritakan kepada Teddy Thohir, general manager pertama Honda, bahwa dirinya baru dipanggil Presiden Soeharto. Soeharto meminta William untuk menjual sepeda secara kredit supaya rakyat tidak jalan kaki ke sawah dan ladang.

"Saudara lihat tidak, di kampung-kampung, petani kalau ke sawah jalan kaki, memikul hasil panen? Saudara tolong carikan sepeda, dikreditkan kepada petani," kata Soeharto kepada William dalam biografinya, Man of Honor karya Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko.

William menugaskan Teddy Thohir dan Teddy Rachmat untuk mencari sepeda dari Jepang, India, atau negara lain. Lewat Martani, seorang keturunan India di Pasar Baru, Jakarta, diperoleh info ada pabrik sepeda murah di India.

Advertising
Advertising

Mereka pergi ke India bersama karyawan Astra lainnya, Tjan Swie Yong. Pabrik sepeda itu cikal bakal pabrik yang sekarang terkenal, Bajaj Auto, yang kemudian bermarkas di Pune, Maharastra. Astra mengimpor sepeda dari pabrik itu. Namun, sepeda itu kurang laku di pasar. William pun rugi.

Baca juga: William Soeryadjaya Menggapai Bintang di Langit

Pada 1974, Soeharto meresmikan pabrik sepeda milik Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN) di Batu Ceper, Tangerang. Pabrik ini memproduksi sepeda merek Turangga. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan alat pengangkutan sederhana.

"Sepeda itu akan memenuhi kebutuhan rakyat kecil, termasuk pegawai negeri golongan rendah di daerah-daerah, sepeda itu sangat berguna," tulis Anhar Gonggong dalam R.P. Soeroso: Dokumen-dokumen Terbatas tentang Dirinya.

Sepeda Turangga hanya bertahan enam tahun karena terus merugi.

Baca juga: Soeharto dan Sepeda Turangga

Gagal di tahun 1971, Astra kembali melirik usaha sepeda pada 1983, justru ketika pemerintah melakukan devaluasi nilai rupiah. Padahal, baru lima tahun sebelumnya pada 1978, pemerintah mendevaluasi rupiah dari Rp415 menjadi Rp625 terhadap dolar Amerika Serikat.

Menurut Teguh dan Harmanto, dunia usaha yang masih tertatih-tatih mencoba bangkit dari devaluasi tahun 1978 harus terjungkal dihajar devaluasi tahun 1983. Sementara itu, William meminta kepada Budi Setiadharma, Presiden Direktur PT. Federal Motor (sekarang PT Astra Honda Motor), tidak boleh ada karyawan yang di-PHK.

Budi pun menyuruh semua karyawan masuk seperti biasa. Awalnya masih banyak yang bisa dikerjakan, seperti pemeliharaan peralatan, merapikan pabrik, dan bersih-bersih. Namun, lama-kelamaan, pekerjaannya habis. Bahkan, dalam seminggu karyawan hanya masuk satu atau dua hari. William pun memintan Budi untuk tidak menyerah dan mencari jalan keluar.

Baca juga: Orang yang Mengusulkan Soeharto Bersepeda

Budi memutar otak untuk mencari solusi, di antaranya memanfaatkan kapasitas mesin untuk memproduksi barang lain. Budi memutuskan memproduksi sepeda merek Federal. Idenya muncul ketika dia melihat pameran sepeda di Inggris.

"Wah, gila juga ya. Kok bisa sampai begini sepeda di Eropa, padahal bikinnya gampang sekali. Tidak ada apa-apanya dibandingkan bikin motor. Frame (rangka) sepeda, misalnya, gampang sekali dibuat menggunakan mesin yang ada dibandingkan dengan frame motor. Tingkat keamanan frame motor lebih tinggi dibanding sepeda," kata Budi.

PT Federal Motor kemudian mendirikan PT Federal Cycle Mustika untuk memproduksi sepeda Federal. Awal memasarkan sepeda Federal tidak mudah. Para pedagang sepeda di Sawah Besar, Jakarta, tidak mau menjualnya. Akhirnya, Budi meminta kepada Hermawan, Direktur Pemasaran Honda, untuk menjual sepeda Federal melalui agen sepeda motor. Tim pemasaran juga gigih mengadakan acara-acara bersepeda. Sepeda pun booming.

"Begitu booming, kerjaan saya cuma dipanggil ke kantor polisi terus, karena sepeda Federal banyak dipalsukan oleh para pedagang sepeda. Sepeda Federal paling laku waktu itu," kata Budi.

Baca juga: Jurus Brompton Menjadi yang Tersohor

"Akan tetapi, yang terpenting buat Budi, kalau dulu karyawan banyak menganggur dan masuk kerja hanya sekali atau dua kali dalam seminggu, sekarang mereka pelan-pelan sibuk lagi. Tidak ada seorang pun karyawan Federal Motor yang di-PHK," tulis Teguh dan Harmanto.

Menurut Ahmad Arif (editor) dalam Melihat Indonesia dari Sepeda, berbeda dengan sepeda Turangga yang tamat dalam enam tahun, hingga tahun 1990-an, sepeda Federal masih sangat populer di Indonesia, khususnya dalam acara-acara sepeda gembira. Peminatnya biasanya anak-anak muda.

Tak hanya meramaikan pasar dalam negeri, sepeda Federal juga pernah berjaya di pasar Eropa. Pada 1987 ekspor sepeda Federal ke berbagai negara Eropa mencapai 7.028 unit. Tahun berikutnya, ekspor sepeda Federal meningkat menjadi 26.656 unit.

Baca juga: Budaya Sepeda Orang Indonesia

Namun, industri sepeda dalam negeri surut pada awal tahun 1994 sejak diberlakukannya sanksi bea masuk produksi Indonesia oleh negara-negara Eropa. "Alasannya, produsen sepeda asal Indonesia melakukan dumping atau menjual barang ekspor lebih murah dibandingkan yang dijual di dalam negeri," tulis Ahmad Arif.

Akibatnya, jika sebelumnya sepeda Indonesia yang diekspor ke Eropa bebas dari segala jenis pajak dan bea, sejak 1994 terkena bea masuk sebesar 11,7 persen plus denda sebesar 28,4 persen. Penjualan sepeda ke Eropa pun menukik tajam. Produsen sepeda dalam negeri rontok dan satu per satu undur diri dari bisnis ini. Astra menghentikan produksi sepeda Federal pada 1996.

"PT Astra pun fokus mengimpor mobil dan sepeda motor asal Jepang ke Indonesia, dan sepeda tidak dilirik lagi," tulis Ahmad Arif.

TAG

soeharto sepeda

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Ledakan di Selatan Jakarta Supersemar Supersamar Sudharmono Bukan PKI Dianggap PKI, Marsudi Dibui Dulu Rice Estate Kini Food Estate Bersepeda Keliling Dunia Dari Petrus ke Kedung Ombo Soeharto Nomor Tiga, Mendagri Murka pada Lembaga Survei Soeharto Nomor Tiga, Lembaga Survei Ditutup