Istimewa

Pada Sebuah Kenangan Jawa Pos, Bonek dan Persebaya

jawapos

Selama setahun kurang jadi wartawan di Jawa Pos, mungkin ini liputan yang paling saya senangi. Hasil liputan itu akan saya papar di sini, karena kesulitan rekan mencarinya. Cerita dibalik layarnya, selama empat hari saya diberi keluluasaan meninggalkan beban berita-berita harian yang kadang menjemukan. Tapi bukan berarti saya bisa berleha-leha. Pekerjaan malah semakin berat.

Tapi itulah asyiknya. Selama empat malam suntuk saya bertungkus lumus dengan data. Informasi yang dikeruk dari arsip dan buku-buku lawas. Bolak-balik membukan lembaran kertas yang usang, kusam dan berdebu. Tapi itulah asyiknya. Proses yang rumit, sulit dan memakan waktu membuat kita banyak belajar.

Salah satu hal kecil itu diantaranya saya tau tipikal gaya bahasa media-media khususnya penulisan olahraga di era-80an, terutama style Jawa Pos pada dekade itu yang mirip seperti Majalah Tempo edisi harian: detail, naratif, penggunaan sudut pandang pertama dan jenaka. (akan saya tulis hal ini lain kali)

Apalagi setelah berjumpa dan mewawancarai orang-orang lawas, seperti Cak Amu, Pak Budiono, Cak Sho, Suhu dan Dahlan Iskan itu sendiri. Hal yang Menarik bagi saya yang notabene awam soal sepakbola di Surabaya dan Jawa Timur.

Saya tak bisa menilai pekerjaan saya ini berhasil atau gagal sama sekali. Tapi setidaknya saya bisa berbangga diri (hehehe..) kepercayaan diberi waktu yang cukup (sebenarnya tidak) panjang membuat saya bisa menemukan pelbagai hal-hal remeh temeh namun sebenarnya penting untuk diketahui: misalkan seperti awal mula logo bonek berasal, penamaan bonek dll. Selamat membaca..

*******************************************************

Menuliskan segala hal yang lampau tentang perkembangan sepak bola di Indonesia itu ngeri-ngeri sedap. Bukan tanpa apa, sebabnya betapa sulit merunutkan dan menuturkan sejarah itu secara benar. Pengarsipan yang buruk jadi pangkalnya.

Mengandalkan ingatan-ingatan saksi mata malah bisa membuat kita cilaka. Memori terkadang tak bisa merincikan hal-hal detail. Dalam konteks waktu, tempat ataupun runtutan kejadian. Apesnya tiap orang terkadang punya pengakuan berbeda. Belum lagi ditambah opini yang entah itu benar atau tidak.

Untuk mencari jawaban solusinya, ya kembali mengubek-ngubek arsip dan kliping lawas. Ini satu-satunya jalan agar ingatan dan kenyataan itu bisa diselaraskan. Laporan khusus edisi kali ini menitikberatkan pada dua hal itu. Kliping dan pengakuan pelaku sejarah.

Semua mantan awak redaksi Jawa Pos geleng-geleng saat disodorkan pertanyaan-pertanyaan detail asal muasal keterikatan Jawa Pos dengan sepak bola Surabaya, khususnya Persebaya.

Semua menyerah ketika ditanyai kapan logo “Ndas Mangap”, julukan “Green Force”, slogan “Kami Haus Gol Kamu,” gerakan “Tret tet tet”, sebutan “Bonek” kali pertama dipopulerkan dan dimuat di koran ini.

Bahkan masih banyak awak redaksi kami yang tak percaya jika sebutan-sebutan diatas dilahirkan oleh para wartawan Jawa Pos sendiri. Wuaduh!

Setelah Persebaya juara nasional 1976, prestasi mereka makin menukik. Pada kompetisi perserikatan 1985, malah duduk di peringkat sembilan dari sepuluh kontestan. Sang adik, NIAC Mitra pun sama. Digdaya di awal Galatama dekade 80-an. Memasuki tahun 1985, prestasi mereka sama seretnya.

Syahdan, Dahlan Iskan  dan walikota Surabaya dr Poernomo Kardisi pun turun tangan.Berembuk dengan stakeholder memikirkan cara sepak bola Surabaya supaya bangkit berjaya. Disepakatilah Jawa Pos ambil peran dalam bentuk pemberitaan di media. Di lain sisi, Jawa Pos memang butuh alat untuk mendompleng tiras koran. Hubungan yang menguntungkan.

“Awalnya posisi JP itu menjadi pengritik persebaya.Apalagi terjadi kekisruhan pengurus saat itu. Tapi dikritik keras, digebuki tiap hari tidak membuat persebaya lebih baik,” ucap Dahlan Iskan. “Lantas saya ingat teori pendidikan. Orang itu kalau dimarahi terus tambah tertekan. Maka kita coba cara lain, diberi kebanggaan.”

Jawa Pos bukanlah media cetak pionir yang memberi ruang untuk pelaku dan pendukung sepak bola seluas-luasnya. Koran Pikiran Rakyat di Bandung dan Koran Analisa di Medan melakukannya lebih dulu saat Persib Bandung dan PSMS Medan lolos secara beruntun di final Perserikatan 1983 dan 1985

“Nilai plus Jawa Pos adalah kami tak hanya memberitakan tapi ikut juga terlibat mengkoordinir suporter dan menjadi bagian internal dalam tim,” kata Slamet Oerip Prihadi, mantan redaktur olahraga senior Jawa Pos.

Selain mengkoordinir gerakan tret-tet-tet dengan memobilisasi ribuan suporter melakukan awaydays, Jawa Pos melibatkan diri secara langsung dengan tim. Dahlan Iskan bahkan sempat didapuk mengurusi tim dalam kurun waktu 1987 -1991.

Jawa Pos punya turut andil besar membesarkan nama Persebaya hingga digilai banyak orang. Stadion penuh, loyalitas pun tumbuh subur di sana. “Euforia masyarakat Surabaya dan Jawa Timur terhadap Persebaya di dasawarsa 70-an tak seheboh apa yang terjadi pada akhir 80-an. Faktor Jawa Pos yang tak henti memberitakan bisa jadi alasan utama,” ucap Fajar Junaedi, dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang juga sempat menulis buku “Bonek”.

Pada laporan khusus kali ini, kami akan mencoba kembali mengingat apa yang kami lakukukan saat menjalani memori manis bersama Persebaya. Senang rasanya jika mengingat momen itu, terlebih sejak musim 1987 sampai 1994, kegagalan Persebaya paling mentok terjadi di semifinal. Sebuah sejarah ketika kami menjadi saksi mata sejarah kejayaan Persebaya.

II

Sulit melacak kapan dan oleh siapa kata “Bondo Nekat” pertama kali disebut. Sebutan yang mengarah pada suporter Surabaya itu katanya muncul sendiri di tengah publik. Ada pula yang mengatakan pencetusnya penyiar Radio Gelora Surabaya, Amin Istigfarin.

Namun kapan pertama kali Jawa Pos menulis kata “Bonek”?  Jawabnya ada di edisi 8 November 1988. Ada satu berita yang mengkritisi banyaknya penumpang gelap yang ikut saat tret-tet-tet menghadapi PSIS Semarang pada kualifikasi wilayah timur di Stadion Citarum, Semarang.

Suporter yang terdaftar mencapai 1000 orang. Namun yang datang mencapai 1500 orang. Istilah penumpang gelap itu disebut dengan Bondo nekat alias “Bonek”.

Munculnya Bonek tak lepas dari gerakan tret-tet-tet yang dipopulerkan Jawa Pos. Keseruan mendukung Persebaya saat berlaga tandang begitu tak terbendung bagi mereka yang tak punya modal. Minimnya bekal membuat mereka jadi ngotot, termasuk berbuat onar. Bonek selalu dicap sebagai negatif.

Euforia terhadap Persebaya yang semakin besar membuat tret-tet-tet menjadi suatu budaya pop yang digemari anak muda. Semakin banyaknya bondo-bondo nekat membuat Jawa Pos menyetop gerakan tret-tet-tet. Kesulitan mengontrol fans jadi sebab. Terakhir kali tret-tet-tet yang dikoordinir secara murni oleh Jawa Pos terjadi pada final Perserikatan 1990 menghadapi Persib Bandung.

Kalah 2-0 dari Persib memang menyakitkan. Kekalahan itu ditambah dengan lemparan batu dan ledekan orang di Cikampek yang meneriaki suporter Persebaya sebagai “Rombongan suporter kalah main”. Sontak saja arek-arek Suroboyo mengamuk dan merusak 35 statsiun dari Cikampek hingga Jogjakarta.

“Jawa Pos kalau tidak salah meski menanggung biaya kerugian ke PJKA sekitar 55 juta rupiah. Waktu itu Pak Dahlan pun tampaknya ditekan dari pusat agar jangan terlalu depan dalam koordinir suporter,” kata Slamet Oerip Prihadi, redaktur senior olahraga Jawa Pos.

Sampai Perserikatan 1993/1994 Jawa Pos tetap ikut andil memberitakan gerakan tret-tet-tet. Tapi hanya sebatas itu. Pengelolaan diserahkan kepada pihak lain.

Minimnya pengorganisasian keberangkat suporter, tak semasif seperti yang dilakukan Jawa Pos membuat hasrat dukungan itu tak sepenuhnya bisa tersalurkan. Gerakan suporter semakin tak terkendali, Alhasil publik selalu mengeneralisasi bonek sebagai hal yang negatif.

Meski mulai diperkenalkan pada tahun 1988, penyebutan suporter Persebaya dengan sebutan Bonek mulai sering dilakukan Jawa Pos pada saat Liga Indonesia I 1994/1995.  ”Saya putuskan ejekan itu saya jadikan sesuatu yg tidak terasa sebagai ejekan, bahkan sebagai perekat. Ini biasa di Surabaya. Bukankah kata jancuk itu awalnya kotor tapi lantas jadi lambang keakraban?” kata Dahlan Iskan.

III

Proses terciptanya logo “Ndas mangap” tak lepas dari perjalanan tret-tet-tet pertama kali yang dilakukan Jawa Pos pada laga Persebaya versus Persija Jakarta, 1 Maret 1987. Pada Tret-tet-tet itu, semua yang ikut meski memakai ikat kepala bertuliskan “Persebaya 1987”.

Dengan memakai ikat kepala, Dahlan Iskan berada di garda terdepan memimpin rombongan. Dia hadir di tribun ikut berjingkrak bersama suporter.

Dalam setiap pemberitaan, Jawa Pos mempunyai template selalu memunculkan logo/ikon kecil di bawah judul sebagai ciri khas. Dalam pemberitaan Persebaya, logo Persebaya dengan hiu dan buaya selalu ada menghiasi.

Namun pasca, tret-tet-tet kali pertama itu, pada 3 Maret 1987, logo Persebaya mulai tergantikan dengan foto Dahlan Iskan memakai ikat kepala bertuliskan “Persebaya 87”. Foto yang didapat saat tret-tet-tet melawan Persija. Pada edisi itu, setiap berita yang berkaitan dengan Persebaya, selalu memunculkan foto Dahlan berukuran 2 x 3 cm.  Secara artistik koran, hal itu amat menganggu.

Mengingat gambarnya buram dan gelap. Jelek juga jika foto dijadikan sebuah ikon dan direpetisi pada tiap halaman. Sadar akan hal ini, Dahlan pun meminta grafis Jawa Pos, Mister Muchtar untuk mereproduksi foto itu menjadi sebuah coretan tangan.

“Saya tahu dia asli  Makassar yg eksplosif dan punya selera baik. Dia juga cinta sepakbola. Saya minta ciptakan logo yang bisa memberi semangat. Maka dia buat sketsa supporter yg lagi berteriak. Dengan ikat kepala. Saya langsung setuju. Sangat ekspresif.” Kata Dahlan.

Secara ekspersif, sosok pemuda yang berteriak itu mirip-mirip seperti karya pelukis terkenal asal Jogjakarta, Affandi yang berjudul “Bung ajoe, Bung!” Betulkah itu? Mister mengaku sosok itu merupakan reprentasi dari Dahlan Iskan sendiri. “Bos memperagakan ekspresi seperti berteriak, jadi logo itu adalah gambaran ekspresi pak Dahlan berteriak.”

Pada edisi 4 Maret 1987. Iulah kali pertama si “Ndas mangap” tampil di publik. Semakin sering tampil, Ndas mangap semakin lekat dengan suporter surabaya. “Maskot Persebaya 87 yang diciptakan dan dipopulerkan Jawa Pos kini sudah jadi milik umum. Penjual kaos, stiker dan pemilik kendaraan menggunakan maskot itu secara luas,” tulis wartawan Jawa Pos, sebelum laga final Persebaya versus PSIS Semarang. (11/3/1987)

Tulisan di ikat kepala si “Ndas mangap” akan berganti-ganti seiring dengan bergantinya musim kompetisi. Seiring dengan bergantinya zaman, si “Ndas mangap” pun ikut dipermak. Posisi wajah yang dulu menghadap ke kiri dibuat lebih simetris ke tengah. Gambar dipoles dengan warna agar lebih hidup.

Emosi yang tertuang di mimik dibuat lebih meledak. Rambutnya yang dulu pendek karena menggambarkan sosok Dahlan Iskan, dibuat jadi lebih gondrong dan sangar. Mirip Silvester Stalone di film-film Rambo.

“Sebenarnya bukan Rambo, tapi sosok pahlawan arek-arek Suroboyo di zaman kemerdekaan. Gambaran pejuan itu kan rambutnya panjang, pakai ikat, pakai sarung atau bawa bambu runcing, itu yang ingin saya sampaikan,” ucap Boediono, grafis Jawa Pos yang merombak gambar mister Muchtar ini.

Jika dirunut dari awal, sudah hampir 28 tahun si “Ndas mangap” hadir. Kini dia sudah dimodifikasi sedemikian rupa, mulai dari bentuk tengkorak, perempuan ataupun gambar anak-anak. Meski banyak mengalami evolusi, ada satu yang membuat logo ini tetap spesial: dari dulu sampai sekarang si “Ndas mangap” itu ternyata tak pernah mingkem. Hehe..

IV

“Kita bentangkan kain rentang yang lebih besaaaaaar lagi. Kita tiupkan terompet yang lebih nyaring. Kita pukul genderang yang lebih keras. Mari kita kembali ke Jakarta: Tret tet teeettt!”

Kalimat ini muncul di koran Jawa Pos edisi 4 Maret 1987. Tak tanggung dicantumkan di halaman depan di pojok kiri bawah menghabiskan dua kolom. Pada edisi itulah untuk kali pertama istilah tret-tet-tet dipopulerkan.

Dahlan Iskan sosok dibalik berita itu. Isi berita nya mengajak para pembaca mendukung perjuangan Persebaya melawan PSMS Medan di  babak 6 besar Perserikatan musim 1986/87. Laga diadakan di Stadion Senayan., Jakarta.

Sebenarnya, ini bukan yang pertama awak redaksi JP melakukan tret-tet-tet. Lima hari sebelumnya perjalanan ke Jakarta dilakukan ketika Persebaya melawan Persija (1/4/1987). Tapi perjalanan ini tak diumumkan di koran. Lebih bersifat internal dan yang berangkat pun hanya empat bus.

Meski begitu, kali pertama itulah pengkoordiniran suporter mulai dilakukan. Selain membayar uang Rp,30.000 (Jika dikurskan saat ini berkisar Rp 200.000,-), tiap-tiap yang mau berangkat diwajibkan membuat ikat kepala berwarna hijau bertuliskan “Persebaya 87” dan rumbai-rumbai warna kuning tua. 180 terompet untuk meriuhkan stadion di siapkan panitia. Sayang banyak yang tidak mau nurut. Terompet pun enggan ditiup. Capek, katanya.

Meski cukup sukses banyak yang mengeluh, tret-tet-tet pertama itu berangkat terlalu malam. Apa sebab? Si supir dan awak redaksi JP ternyata ingin lebih dulu menyelesaikan pertandingan tinju Elyas Pical.

“Kalau Elly tak kalah, keluhan ini pasti tak akan muncul, huh, toh mereka juga asyik nonton bareng dengan kami,” ucap salah seorang awak redaksi JP. Elly kala itu memang kalah dari petinju Thailand, Khaosai Galaxy.

Saat melakukan tret-tet-tet kedua melawan PSMS Medan, animo orang begitu membludak. Informasi yang disebar lewat koran ditambah biaya perjalanan yang disubsidi membuat orang berebut ingin ikut.

Tak tertarik bagaimana coba, biaya tret-tet-tet ini, itu sudah termasuk perjalanan PP, tiket stadion dan makan empat kali! Selain disubsidi JP, bos PT Sinar Galaxy, Bambang Wiyanto ikut urunan.

Jawa Pos semakin bingung setelah Persebaya lolos ke grandfinal dan akan berjumpa PSIS Semarang di Senayan. Ya namanya juga suporter, lewat surat pembaca mereka meminta biaya tret-tet-tet dikorting lagi.

Tak dikorting saja sudah rugi, apalagi dikorting. Kerugian pun semakin besar seiring dengan peminat yang semakin banyak. Alamak! “Karena sudah ditakdirkan begitu. Ide ini lahir secara spontan. Bahkan dalam penentuan biaya per orang pun tidak dihitung cukup atau tidak cukup. Tapi dengan harga segitu, orang terjangkau atau tidak,” tulis Dahlan Iskan.

Semua karyawan Jawa Pos dikerahkan untuk menangani administrasi suporter yang membludak. Bekerja lembur sampai menjelang subuh. Banyak karyawan wanita yang sakit.  Sekretaris redaksi, Bu Oemijati muntah-muntah. Bagian Keuangan, Bu Sulikah nyaris pingsan dan banyak lagi yang tergelatak di kantor. Karyawan wanita strees menghadapi suporter yang banyak mau: ingin satu bis dengan pacarlah, keluarga lah, atau teman-nya.

“Tuhan, Kami 3000 orang berangkat ke Jakarta. Selamatkan, Tuhan” itulah judul berita keberangkatan suporter yang muncul pada edisi 10 Maret 1987.  Pada edisi itu ada tiga halaman full yang mencantumkan nama-nama yang ikut berangkat ke Jakarta. Iklan ini mirip-mirip pengumuman SMPTN.

Puluhan bis dan belasan gerbong kereta api dari surabaya menyerbu Jakarta. Persebaya memang kalah dari PSIS Semarang 0 – 1. Kekalahan itu diterima secara legowo. Tak ada tawuran antar suporter. Tak ada pemain Persebaya yang dimaki atau dikejar-kejar pendukungnya sendiri. Itulah tahun perdana tret-tet-tet dilakukan.

Musim Perserikatan 1987/1988 , Jawa Pos semakin sering melakukan tret-tet-tet. Ikat kepala dan kaus yang seragam jadi ciri khas suporter Surabaya yang dikoordinir Jawa Pos. Primodialisme dan etnosentrisme yang melekat di arek-arek Jawa timur membuat pendukung Persebaya tak lagi tersekat kelas sosial. Jawa Pos sempat membuat tret-tet-tet untuk kaum jetset, diantaranya dengan mencarter dua pesawat tipe McDonnell Douglas C-9.

“Titik puncak semangat kebersamaan mendukung Persebaya, saya pikir terjadi pada akhir 80-an hingga awal 90-an. Jawa Pos punya andil besar,” kata Abdullah, atau yang akrab di sapa Cak Doel. Kata, dia momen-momen lawas itu akan sulit terulang. Sangat sulit. Teramat sulit.

V

Pada tahun 1996, foto “Semburat” karya fotografer Jawa Pos, Sholihuddin didapuk jadi foto terbaik pada kategori Spot Photo di Word Photo Contest. Sangat membanggakan mengingat penghargaan tahunan ini amat bergensi bagi seluruh wartawan foto di Dunia.

Ada kisah menarik dibalik foto ini. Terutama soal lokasi pemotretan.  Bila salah tempa membidik, fotografer bisa dijadikan objek bonek. Kamera ditarik-tarik atau dimintai uang. Ketika lagi memotret bisa saja saku digerayangi suporter. Dan ini pengalaman yang biasa dialami wartawan.

Karena itulah sosok yang akrab disapa Sho ini memilih tempat aman, di depan Mapolsekta Genteng, di Jalan Ambengan. Lokasi yang srategis, 300 meter dari Stadion Tambaksari membuat arus suporter yang pulang pasti lewat sana.

Kebetulan saat itu, Kodam V/Brawijaya dan Polda Jatim mengerahkan truk untuk mengangkut bonek agar segera lekas pulang. Biasanya mereka lama-lama nongkrong di jalan menyebabkan macet.

bonek

Diberi tumpangan gratis, tentu saja mereka langsung menyerbu dan berebut naik truk. Truk pertama berangkat. Giliran truk kedua, truk milik Kodam itu dinaiki lebih banyak orang.  Bahkan sampai desak-desakan di dalam. “Istilah Jawa nyebutnya sampai munjung,” kata Shollihudin yang kini jadi Direksi Radar Kediri.

Ya namanya juga suporter, dengan kondisi itu mereka malah bersorak-sorai. Dengan berani mereka merobek terpal milik tentara. Hingga meluber ke atas. Suporter yang diatas malah loncat-loncat kegirangan. Tak henti nyanyi yel-yel Persebaya. Maklum kala itu, Persebaya bisa menang dari PSIS Semarang dengan skor 2-0.

Tingkah suporter itu membuat keadaan truk seperti orang mabuk. Oleng kanan, oleng kiri. Untungnya si sopir, Prada Munib, sadar diri. Truk dijalankannya dengan pelan. Tau mau jatuh, bonek-bonek malah semakin bertempik sorak. Ketawa cekikikan.

Alhasil buspun oleng ke kanan. sudut kemiringan pun lama-lama mengecil. Ban di sebelah kiri terangkat. Bak seperti sedang freestyle, truk pun maju dengan hanya ban di sebelah kanan saja..Ehhh..ehhh.. byuarrr.. semburat truk pun terguling. Puluhan suporter yang diatas truk meloncat menyemalatkan diri.

Untungnya Sholihuddin sudah memprediksi momen ini. Temaram senja yang semakin gelap membuatnya memutuskan memakai blitz. Beberapa detik sebelum ambruk, Pret, dengan sekali jepretan fotopun jadi.

“Saat memotret itu saya terjengkang ditabrak suporter yang loncat. Posisi saya dekat dengan truk. Hanya 10 meter. Polisi yang bersiaga langsung bantu menyelmatkan suporter yang terjepit,” ucapnya.

Sesampai dicetak di kantor alangkah kagetnya dia dengan hasil foto yang menakjubkan. Pemred Jawa Pos, Solihin Hidayat memintanya memasang di halaman satu. Suatu hal yang berbahaya mengingat truk itu milik TNI AD. Di era orde baru, terlalu sensitif jika menjelek-jelekan tentara. “Setelah foto itu dimuat saya sempat diteror agar foto itu tak disebarkan, hehehe,” kata dia terkekeh.

Lantas bagaimana dengan para korban? beruntung pada Jawa Pos edisi 18 Mei 1995. Ke-12 korban yang dibawa ke RSUD Dr Soetomo dicantumkan nama dan alamat lengkapnya. Dari klipin itu penelusuran pun dilakukan.

Dari 12 orang itu hanya Fauzi, Budi dan Samsul Hadi yang mencamtumkan alamat yang valid. Tak hanya jalan, nomor rumah pun disertakan.

Kami coba datangi rumah Fauzi dan Budi yang terletak di Jalan Jinten nomor 31 Surabaya. Rumah itu memang betul rumah mereka. Namun sang pemilik rumah mengatakan Fauzi dan Budi sudah pergi dari Surabaya. “Entah pergi kemana,” kata si pemilik rumah.

Kami coba datangi Samsul Hadi di Jalan Gadukan Utara VIIB/26, Gresik. Setelah tanya sana-sini, akhirnya alamat yang dituju berhasil ditemukan. Terletak hampir di ujung gang VIIB. Perlu keluar masuk gang untuk menuju sana. Setelah mengetuk dan menunggu beberapa lama, sesosok ibu tua keluar bertanya. Dia tampak panik, saat kami membeberkan identitas sebagai wartawan. “Ada apa dengan anak saya?”

Setelah dijelaskan panjang lebar, diapun memberikan nomer kontak Samsul Hadi. Saat ini Samsul sudah berdomisili di Jogjakarta. “Ada apa mas? Ibu saya telepon saya nangis-nangis. Jawa Pos datang ke rumah. Nyangkanya ada apa,” kata dia mengawali pembicaraan di telepon. “Ohh gitu ya, saya pikir ada apa,” ucapnya saat dijelaskan maksud kami mencarinya.

Ketika truk itu terguling, Samsul berada di kap bagian dalam. “Memang penuh banget, ya namanya juga suporter, ndak mau pada diem,” ucap dia.

Beberapa detik sebelum jatuh, kepala Samsul nongol ke luar jendela truk. Jika saja dia tak menarik kepalanya itu, lehernya bisa saja patah. “Untung banget itu. Untung. Meski begitu ya tetap saja saya cedera. Tapi ya gak begitu parah,” selorohnya.

*Artikel ini pernah tayang di Jawa Pos, 31 September 2015. Pada tulisan kali ini saya sengaja tampilkan keseluruhan yang saya tulis tanpa disunting dalam proses editing.

Tinggalkan komentar