Kisah Forever 21 yang Tidak Bisa Bertahan Selamanya

Penulis: Dea Chadiza Syafina tirto.id - 08 Oct 2019 07:00 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Ritel pakaian besar di AS, Forever 21 mengajukan perlindungan kepailitan karena terbelit utang. Apa penyebabnya?

tirto.id - Banner berukuran sedang dengan latar belakang warna merah bertuliskan kata SALE UP TO 70% OFF menyambut saya di pintu masuk gerai Forever 21 di sebuah mal kelas menengah atas kawasan Jakarta Pusat.

“Welcome to Forever 21,” sapa dua orang pramuniaga menyambut setiap pengunjung yang datang.

Gerai tersebut cukup luas, namun sudah mengalami perubahan dari dua lantai menjadi hanya satu lantai. Sejumlah tanda bertuliskan SALE dan berbagai penawaran harga menghiasi sudut ruang. Menurut Ayu (bukan nama sebenarnya) salah seorang pramuniaga, potongan harga berlangsung sejak awal bulan September lalu.

"Diskonnya sampai barang habis, Mbak. Jadi enggak ditentuin waktunya sampai kapannya," jawab Ayu ramah kepada Tirto.

Sebelum penawaran ini, Forever 21 juga memberikan promosi buy 2 get 1 free atau beli dua, gratis satu barang lainnya kepada pelanggan. Berbagai potongan harga dan promosi tersebut, menurut sejumlah pramuniaga yang saya temui satu per satu, bukan dikarenakan persoalan pailit yang membelit Forever 21 pusat yang bermarkas di Los Angeles, California, America Serikat (AS).

"Untuk Forever 21 di sini setahu saya franchise [waralaba], jadi kalaupun di sana [AS] bangkrut, di sini enggak ada pengaruhnya. Kita di sini enggak bakalan tutup dan sudah dapat kepastian. Barang-barang yang dijual di sini datangnya dari berbagai negara," tutur Ninda (bukan nama sebenarnya), seorang kasir ramah menjawab rasa penasaran saya.

Jika keterangan itu benar, maka gerai Forever 21 di Grand Indonesia menjadi salah satu gerai yang tidak ditutup meski telah mengalami perampingan. Berbeda nasib, gerai Forever 21 di Pondok Indah Mall 2 sudah tidak ada lagi dan diisi oleh penyewa lainnya.

Beberapa gerai Forever 21 global yang dipastikan tidak ditutup antara lain gerai di Uni Emirat Arab, Singapura, India, dan Filipina. "Mitra Forever 21 di Singapura, Uni Emirat Arab, India, dan Filipina tidak terpengaruh oleh pengajuan pailit di AS dan terus menjalani bisnis seperti biasa," ucap Alecia Pulman, Juru Bicara Forever 21 mengutip The National.

Pengajuan Perlindungan Kepailitan

Hari itu, Minggu, 29 September 2019, bagi sebagian besar orang merupakan hari libur biasa. Namun bagi manajemen Forever 21, hari itu adalah hari 'spesial.' Mereka mengajukan permohonan perlindungan kepailitan secara sukarela kepada panitera pengadilan distrik Delaware, AS, pada malam hari waktu setempat.

Langkah-langkah kepailitan yang harus ditempuh Forever 21 termuat dalam dokumen setebal 75 halaman (PDF). Mengutip Reuters, anak perusahaan Forever 21 di Kanada juga mengajukan perlindungan kepailitan kepada Pengadilan Tinggi Ontario, Toronto, Kanada, dan menutup 44 gerai di negara tersebut.

Pengajuan perlindungan kepailitan secara sukarela di AS seperti yang dilakukan Forever 21 diatur dalam Bab 11 (Chapter 11) Undang-Undang Kepailitan AS, tentang reorganisasi dan restrukturisasi sesuai hukum kepailitan negeri Paman Sam.

Berdasarkan kententuan dalam UU tersebut, Forever 21 kemudian menutup 178 gerai dari sekitar 500 gerai yang beroperasi di AS. Di tingkat global, manajemen berencana menutup 350 gerai dari 815 gerai yang ada di 57 negara seperti di Asia, Eropa, Jepang serta Kanada.

Mengutip Guardian, Forever 21 juga keluar dari pasar Jepang melalui penutupan seluruh 14 gerai yang ada di negeri sakura sampai dengan akhir Oktober 2019. Sementara itu, manajemen masih akan mempertahankan gerai di Meksiko dan Amerika Latin.

Restrukturisasi ini memungkinkan manajemen untuk fokus dalam memaksimalkan penjualan di gerai-gerai utama di AS. Juru Bicara Forever 21 menyatakan tutupnya gerai di pasar domestik AS berjalan seiring dengan diskusi yang masih dilakukan dengan pemilik lahan terkait perjanjian sewa.

"Kami berharap sejumlah besar toko akan tetap buka dan beroperasi seperti biasa, karena kami tidak mengharapkan untuk keluar dari pasar utama di AS," kata juru bicara perusahaan, seperti dilansir Time.

Executive Vice President Forever 21 Linda Chang menambahkan, pernyataan pailit sukarela merupakan langkah penting untuk mengamankan masa depan perseroan. "Ini memungkinkan kami untuk melakukan reorganisasi dan reposisi Forever 21," jelas Linda dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Forbes.

Seperti dilaporkan CNBC, untuk mengatasi persoalan pailit, Forever 21 menerima kucuran dana senilai USD350 juta, masing-masing senilai USD275 juta dari kreditur eksisting seperti JP Morgan Chase Bank dan USD75 juta dari TPG Sixth Street Partners. Dana segar ini dibutuhkan, mengingat aset perusahaan sebesar USD1 miliar sedangkan kewajiban perseroan mencapai USD10 miliar.

Menyerah karena e-Commerce?

Kesulitan yang tengah dihadapi Forever 21 salah satunya disebabkan oleh berubahnya pola belanja konsumen melalui kemunculan platform e-commerce. Pailitnya Forever 21 mencerminkan masalah yang menimpa penjual ritel konvensional di seluruh dunia.

Sejak awal 2017, lebih dari 20 perusahaan ritel besar di AS termasuk Sears dan Toys R US telah menyatakan kebangkrutan mereka. Salah satu penyebabnya adalah cara belanja pelanggan banyak beralih dengan menggunakan jasa e-commerce seperti Amazon.

Data yang disampaikan Coresight Research menunjukkan, perusahaan ritel skala besar di AS mengumumkan telah menutup 7.567 gerai sampai dengan Juli 2019. Angka itu lebih besar dibanding penutupan gerai ritel yang terjadi sepanjang 2018 dengan angka sebanyak 5.524 gerai.

Secara sektoral, gerai ritel spesialis pakaian menduduki peringkat pertama yang banyak mengalami penutupan. Angkanya mencapai 2.750 gerai. Merek Gymboree, Dressbarn, Charlotte Russe, dan Charming Charlie berkontribusi besar terhadap masifnya penutupan gerai ini.

Sampai dengan akhir 2019, Coresight Research memperkirakan pelemahan aktivitas ritel masih akan terus berlanjut dengan penutupan gerai diperkirakan menyentuh angka 12 ribu pada akhir 2019 di AS.

Laporan Coresight Research tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Neil F. Doherty dan Fiona Ellis-Chadwick dari Loughborough University yang berjudul "Internet Retailing: The past, the Present and the Future."

Dalam studi tersebut disebutkan bahwa era internet kiwari mewakili gelombang paling penting dalam revolusi informasi. Gaya hidup belanja daring dengan cepat menjadi kegemaran masyarakat selama lima belas tahun terakhir.

Studi tersebut menyebutkan bahwa meninjau dampak pertumbuhan dari penjualan ritel secara daring yang tumbuh signifikan, maka seluruh pengusaha atau perusahaan ritel harus mengembangkan strategi pemasaran melalui situs jejaring sosial, dan memastikan situs perusahaan memberikan pengalaman belanja yang menyenangkan dan dapat diandalkan oleh konsumen.

"Perusahaan ritel yang sudah lebih mapan juga perlu mempertimbangkan efektivitas dari integrasi antara saluran online dengan offline, untuk menyediakan tingkat layanan yang sangat tinggi kepada konsumen," tulis Neil dan Fiona.

Peningkatan angka pertumbuhan belanja via daring disebabkan pula karena adanya kemudahan pembayaran berupa 'bayar kemudian' atau 'pay later.' Hal ini disebutkan dalam laporan eMarketer berjudul "The Future of Retail 2019, Top 10 Trends that Will Shape Retail in the Year Ahead" (PDF).

Laporan tersebut menuliskan bahwa pembayaran cicilan dengan menggunakan model 'bayar kemudian,' merupakan win-win solution bagi konsumen maupun juga pengusaha ritel. Sebab, dari perspektif perusahaan ritel, tidak akan ada dampak terhadap arus kas perseroan.

Sedangkan dari sudut konsumen, "Masyarakat ingin membeli lebih banyak secara online tanpa harus repot membayar dengan uang simpanan di bank mereka,” sebut Vice Presiden of Global Retail & B2B di Worldpay Maria Prados dalam studi tersebut.

Baca juga artikel terkait Retail atau tulisan menarik lainnya Ign. L. Adhi Bhaskara
(tirto.id - ign/dcs)

Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara