K.H. Sahal Mahfudh, Begawan Fikih Sosial dari Kajen

Reporter: Fariz Alniezar tirto.id - 24 Jan 2018 00:00 WIB
Diperbarui 17 May 2018 12:35 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Cahya penuntun.
Di luas belantara 
fikih nan rimbun.

tirto.id - Pagi belum benar-benar lunas, namun lelaki itu sudah duduk di selasar ndalem dalam keadaan rapi. Sementara masih banyak yang bermalas-malasan mengawali aktivitas, lelaki itu, sesubuh itu, sudah sangat siap untuk menghadapi rentetan acara yang padat.

Lelaki itu berperawakan kurus. Banyak tirakat, banyak merokok, dan sedikit makan. Gaya bicaranya berwibawa. Sekali buka suara, satu forum bisa terkesiap. Namun, di balik karisma dan kewibawaanya itu, lelaki bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh adalah sosok alim yang tidak begitu gemar berbicara. Irit. Ringkas. Sederhana.

Bahkan, untuk kategori yang terakhir disebutkan, Sahal punya pengalaman yang sangat menarik. Diceritakan, pada saat akan masuki gedung perhelatan Muktamar Ke-28 Nahdlatul Ulama (NU) di Yogyakarta tahun 1989, Kiai Sahal dilarang masuk oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser), yang menjaga acara.

Sampeyan siapa?” Banser itu menjulurkan pertanyaan. “Kula Sahal (Saya Sahal),” demikian Sahal menjawab. Banser tersebut mengalami kebimbangan sesaat. Bagaimana pun, ia sudah diberi kabar oleh panitia bahwa Kiai Sahal akan segera hadir. Namun, ia tidak yakin sosok yang sedang mematung di hadapannya itu adalah Kiai Sahal Mahfudh.

“Kiai Sahal Mahfudh kok tampilannya begini,” pikir sang Banser. Maklum saja, sebab Kiai Sahal datang ke acara tersebut dengan pakaian sederhana. Tidak mengenakan pakaian lazimnya kiai dan ulama lainnya yang bergamis, bersorban, dan berudeng.

Lahir dari Keluarga Ulama

Sahal Mahfudh dilahirkan pada 17 Desember 1937 di desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa tengah. Ia tumbuh besar di pusaran keluarga pesantren yang selama beberapa generasi memiliki tradisi "melahirkan" ulama. Kiai Sahal adalah putra K.H. Mahfud Salam, adik sepupu salah satu pendiri NU K.H. M. Bisri Syansuri.

Lahir di lingkungan santri membuat Sahal kecil terbiasa dengan didikan ala pesantren yang mengedepankan disiplin penguasaan ilmu-ilmu agama. Setelah belajar di bawah asuhan kedua orang tuanya, Sahal muda beringsut ngangsu kawruh pada Kiai Muhajir di Pesantren Bendo, Kediri. Ia kemudian hijrah ke Sarang, Rembang, ngaji di bawah asuhan Kiai Zubair.

Setelah menuntaskan dahaga keilmuannya di Sarang, Sahal melanjutkan petualangan intelektual ke Saudi Arabia. Di sana, ia bertemu langsung dengan Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani, ulama kharismatik yang menjadi guru bagi banyak kiai dari Indonesia.

Tidak seperti ulama-ulama pesantren yang kebanyakan berdakwah melalui ceramah dan pengajian, Kiai Sahal adalah sosok yang memilih tulisan sebagai wahana untuk menguarkan gagasan sekaligus sebagai media perjuangan. Ia memilih "jalan sunyi".

Puluhan karya dihasilkan dari pemikiran dan permenungannya. Untuk menyebut beberapa saja, antara lain: Tharīqātul Ushûl ilā Ghāyatil Ushûl, Al-Bayānul Mulamma an Alfadzil Lumudz, Tsamāratul Hājiniyyah, Luma’aul Hikmah, Farāidul Ajibah, Ensiklpoedi Ijmak, Nuansa Fikih Sosial, dan Pesantren Mencari Makna.

Pada sebuah kolomnya berhulu “Kiai Pencari Mutiara” yang termuat dalam Melawan Melalui Lelucon (2007), Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa Kiai Sahal adalah sosok yang jago dalam bidang fikih sejak usia muda. Kiai Sahal kerap—kalau tidak dikatakan selalu—menjadi rujukan tempat bertanya yang acap kali menjelma sosok pemecah kebuntuan dalam forum-forum pembahasan masalah fikih (bahtsul masail) di lingkungan NU dan pesantren (hlm. 86)

Memperjuangkan Fikih yang Kontekstual

Yang menarik dari sosok Kiai Sahal—selain keluasan bacaannya yang menembus sekat-sekat disiplin keilmuan—adalah kegigihannya dalam memperjuangakan gagasan fikih sosial. Kiai Sahal bertungkus lumus memperjuangkan bagaimana fikih bukan semata didudukkan sebagai "kebenaran ortodoksi", namun dijadikan sebagai wahana "pemaknaan sosial".

Dalam pandangan Kiai Sahal, fikih sebagai kebenaran ortodoksi berujung pada pola "mendudukkan realitas kepada kebenaran fikih". Sebaliknya, fikih sebagai pemaknaan sosial berarti menjadikan fikih sebagai wacana pembanding dan penyanding dalam bingkai kehidupan sosial kemasyarakatan.

Maka jelas, fikih tidak hanya memiliki corak hitam-putih. Di tangan Kiai Sahal, fikih menjadi lebih berwarna. Ia bukan saja memberikan jawaban yang tidak hitam-putih, tapi sekaligus selalu berupaya mencari solusi bagi problematika kemasyarakatan secara luas.

Kiai Sahal juga memelopori paradigma bermazhab yang terhitung baru di kalangan pesantren. Jika selama ini umat Islam, utamanya warga NU, kukuh bermazhab secara qauli (ucapan) dengan cara mengambil kaul para ulama terdahulu, maka Kiai Sahal menawarkan gagasan bermazhab secara manhaji atau metodologis. Tentu saja piranti yang digunakan adalah segenap ilmu yang berkaitan dengan fikih seperti ilmu ushul fiqh dan qawaid fiqhiyyah.

Paradigma bermazhab yang demikian ini berangkat dari pandangan progresif Kiai Sahal dalam menelaah fenomena sosial. Pada sebuah tulisannya yang terkumpul dalam Nuansa Fikih Sosial (2004), Kiai Sahal menyatakan, “[...] pembacaan terhadap realitas sosial akan menghantarkan pada satu kesimpulan bahwa pengembangan fiqh merupakan suatu keniscayaan. Teks al-Qur’an maupun Hadis sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya. Banyak permasalahan sosial budaya, politik, ekonomi dan lainnya yang muncul belakangan perlu segera mendapatkan legalitas fiqh" (hlm. 78).

Cara pandang yang sedemikian luwes itu menjadikan Kiai Sahal dikenal sebagai ulama yang memiliki pemikiran jeli dan titis. Ia juga tidak pernah kaku dalam menyikapi fenomena sosial yang kontroversial.

src="https://mmc.tirto.id/image/2018/01/22/mozaik-mbah-sahal--sabit_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1523" alt="infografik mozaik mbah sahal" /

Dalam menyikapi praktik lokalisasi prostitusi, misalnya, Kiai Sahal berprinsip bahwa persoalan tersebut sesungguhnya adalah persoalan sosial, bukan persoalan agama saja. Sebagai sebuah persoalan sosial yang sangat kompleks, maka ia tak mudah untuk dihilangkan, apalagi dengan menggunakan pendekatan dakwah fikih yang cenderung hitam-putih.

Kiai Sahal menawarkan pendekatan kaidah fikih yang berbunyi idzā taāradhā mafsadatāni ru’iya a’dhamuhā dhārran birtikābi akhaffihimā. Artinya kurang lebih: dalam kondisi menghadapi dua persoalan yang sama-sama mengandung unsur mafsadah, maka jalan terbaik adalah memilih yang unsur mafsadahnya lebih ringan.

Dalam konteks lokalisasi dan prostitusi, kita dihadapkan pada dua pilihan mafsadah, yakni membiarkan prostitusi dengan segala rangkaian kejahatannya di tengah masyarakat atau melokalisasinya sehingga mudah untuk melakukan kontrol dan menentukan kebijakan.

Dengan paradigma fikih sosial sesungguhnya pilihan melokalisasi adalah hal yang bisa ditoleransi. Sebab dampak serta mafsadah yang dikandung dalam lokalisasi prostitusi lebih kecil dibandingkan jika kita membiarkannya begitu saja.

Perhatian Kiai Sahal dalam mengupayakan gagasan fikih sosial dalam bingkai gerakan kemasyarakatan ditempuh dengan, salah satunya, bergabung dalam proyek pengembangan masyarakat oleh LP3ES. Kiai Sahal juga pernah menjadi anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) pada periode 1993-2003.

Di Nahdlatul Ulama, Kiai Sahal pernah mengemban amanat sebagai Rais Aam Syuriah 1999-2014. Ia juga merupakan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia 2000-2010. Atas kegigihannya dalam memperjuangkan gagasan fikih sosial dan komitmennya dalam mengupayakan pemberdayaan masyarakat melalui fikih, Kiai Sahal diganjar gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2003.

Kiai Sahal Mahfudh meninggal dunia pada 24 Januari 2014, tepat hari ini empat tahun lampau. Begawan fikih sosial itu bukan saja meninggalkan keteladanan dan kisah kebijaksanaan, tapi juga warisan keilmuan yang begitu mendalam.

Baca juga artikel terkait Nahdlatul Ulama atau tulisan menarik lainnya Ivan Aulia Ahsan
(tirto.id - ivn/frz)

Reporter: Fariz Alniezar
Penulis: Fariz Alniezar
Editor: Ivan Aulia Ahsan