Aksi Bela Tauhid, Jaket Milenial Jokowi, dan Poin Positif untuk JK

Reporter: Felix Nathaniel tirto.id - 28 Oct 2018 08:00 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Saat Jokowi memilih hadir di acara festifal IdeaFest 2018, langkah JK mengumpulkan ormas-ormas Islam guna meredam kasus pembakaran bendera dinilai langkah positif.

tirto.id - Joko Widodo (Jokowi), presiden sekaligus kontestan petahana di Pilpres 2019 mendatang punya kegiatan sendiri saat seribuan orang turun ke jalan ibu kota memprotes kasus pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid yang dilakukan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU).

Jokowi memilih hadir dalam pembukaan acara festifal IdeaFest 2018 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (26/10/2018). Di sana ia menyempatkan diri menghampiri salah satu kios dan membeli jaket model jas hujan atau parka di toko Ame Raincoat. Saat memberikan pidato pembukaan, jaket itu masih dikenakan Jokowi. Alhasil, jaket yang dikenakan Jokowi jadi pembahasan di media sosial.

Kepada wartawan, Jokowi menyampaikan bahwa pembelian dan pemakaian jaket itu ia lakukan secara spontan. “Ini bisa dipakai untuk pas hujan, untuk enggak hujan juga bisa,” kata Jokowi setelah menyampaikan pidatonya.

Sikap Jokowi menuai pro-kontra. Di satu sisi, spontanitasnya dipuji, tetapi di sisi lain ia dikritik karena dianggap kurang bisa menempatkan diri. Berjarak sekitar 8 kilometer dari gedung tempatnya memamerkan jaket baru, ada seribuan orang sedang berdemonstrasi di patung kuda Arjuna Wijaya menuju kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan. Mereka berteriak dan menuntut Banser NU dibubarkan karena telah menyinggung umat Islam dengan membakar bendera bertuliskan kalimat tauhid.

Satu-satunya komentar Jokowi soal kasus pembakaran bendera diucapkan pada hari Rabu 24 Oktober 2018 lalu atau dua haris sebelum unjuk rasa bertajuk Aksi Bela Tauhid. “Itu [kasus pembakaran bendera] sudah disampaikan ke Menko Polhukam, sudah. Serahkan ke kepolisian, sudah,” kata Jokowi saat sedang berada di Tangerang.

Hingga saat ini polisi belum menetapkan tiga orang anggota Banser NU yang membakar bendera sebagai tersangka. Polisi malah justru membidik Uus Sukmana, orang yang dituduh membawa bendera bertuliskan kalimat tauhid pada peringatan Hari Santri Nasional dengan tuduhan menjadi provokator dan membawa bendera organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Namun, jika benar Uus ditangkap karena dua dalil itu, kenapa polisi justru membiarkan massa mengibarkan bendera bertuliskan kalimat tauhid saat Aksi Bela Tauhid Jumat lalu?

Satu Poin Buat JK

Pada hari Jokowi asyik dengan jaket barunya, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Penasihat Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf malah bergerak cepat mengundang perwakilan ormas-ormas Islam, kementerian, dan institusi keamanan negara ke kediamannya sekitar pukul 18.30.

Turut hadir dalam acara itu antara lain Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Mensesneg Pratikno, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin, Wakil Ketua Umum MUI Zainud Tauhid Saadi, dan Bendahara Umum Muhammadiyah Anwar Abbas, serta Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini.

Pertemuan itu menghasilkan lima seruan yakni: menyelesaikan persoalan secara musyawarah dan tetap menjaga persatuan kesatuan, menyesalkan pembakaran bendera dan tetap menjaga kedamaian, NU dan GP Anshor meminta maaf dan memberi sanksi kepada pelaku pembakar bendera, menyerukan rakyat Indonesia menolak upaya adu domba, menyerahkan kepolisi jika ada pelanggaran hukum.

Meski tidak ada yang baru dari seruan itu, namun inisiatif JK mengumpulkan ormas Islam bersama aparat dan pejabat pemerintahan merupakan satu langkah positif yang menguntungkan Jokowi. “Ini memang nilai plus dan mengkonfirmasi memang Pak JK bapak Bangsa. Namun, dia memang sudah mempunyai pribadi Pak JK yang sudah nilai plus,” kata Direktur Eksekutif Populi Center Usep S. Ahyar.

Direktur Indonesia Political Review Ujang Komarudin menyatakan langkah JK mengundang ormas Islam dan jajaran pemerintah sudah sangat tepat. JK dianggap merupakan sosok yang bisa diterima semua kalangan ormas Islam dan kedua kubu yang bersaing dalam pilpres 2019.

“JK ini jaringan sangat luas dikenal dengan semua kekuatan politik di Indonesia termasuk jaringan ormas-ormas Islam. Dia juga memimpin Dewan Masjid Indonesia. Artinya JK lah yang memang bisa diterima oleh ormas-ormas tersebut. Beda dengan Jokowi yang turun, pasti ada tuduhan negatif terhadap Jokowi,” kata Ujang kepada reporter Tirto.

Dosen Ilmu Politik Universitas Negeri Jakarta Ubeidilah Badrun mengatakan, isu Jokowi anti Islam bisa kembali menguat. Sebab Jokowi belum menunjukkan sikap untuk membereskan kekisruhan akibat pembakaran bendera.

“Kalau misal Pak Jokowi membiarkan perkara ini menjadi liar seperti sekarang. Itu akan muncul lagi sentimen anti Islam. Pandangan sebagian umat akan menguat kembali bahwa Jokowi anti Islam karena membiarkan Banser tidak minta maaf,” kata Ubeidilah saat dihubungi reporter Tirto.

Tanda-tanda bahwa penyelesaian dampak pembakaran bendera tidak cukup selesai di level elite tampak dari penjagaan kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat pada Jumat (26/10). Kabar yang beredar melalui media sosial dan whatsapp, akan ada massa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta yang berunjuk rasa menuntut pembubaran GP Ansor dan Banser. Untungnya massa dari HMI tidak jadi datang. Para penjaga gedung PBNU hanya sempat cekcok dan bersitegang dengan pengunjuk rasa Aksi Bela Tauhid yang melintasi gedung tersebut.

Selain itu, Kantor Pengurus Wilayah GP Ansor Sulawesi Tengah mengalami penyerangan pada hari Aksi BelaTauhid oleh orang tak dikenal. Akibat peristiwa itu, tiga orang anggota Banser dan GP Ansor mengalami luka akibat pukulan kayu. “Kalau tidak mundur, bisa ada yang mati itu. Karena ada yang membawa parang,” jelas LBH PW GP ANsor Sulteng Risky Lembang kepada Tirto Jumat malam.

Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin menyatakan Jokowi seharusnya bertindak dengan adanya kejadian ini. Bagi Novel, kasus ini sudah sangat sensitif karena melibatkan kekisruhan antara umat agama mayoritas di Indonesia.

Ia menilai banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Jokowi terkait kasus ini, bukan malah sibuk pencitraan.

“Jokowi malah melakukan pencitraan agar dilihat milenial dengan pamer jaket yang sangat tidak berpengaruh apapun dengan kebangsaan yang sedang menangis ini,” ujar Novel.

Baca juga artikel terkait Aksi Bela Kalimat Tauhid atau tulisan menarik lainnya Muhammad Akbar Wijaya
(tirto.id - jay/fel)

Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Muhammad Akbar Wijaya