TRIBUN-MEDAN.COM - Puluhan tahun fakta di balik peristiwa 1965 terkunci rapat.
Ia hanya mengalir dari ruang kelas kedokteran satu ke kelas kedokteran yang lain.
Tak banyak yang tahu fakta medis penyebab tewasnya korban kekejaman Gerakan 30 September (G30S) PKI.
Akibatnya, muncul berbagai versi tentang penyebab meninggalnya mereka.
Apalagi film G30S PKI yang para era Orde Baru wajib diputar di televisi, secara jelas menginformasikan para korban disilet.
Intisari September 2009 dalam judul “Saksi Bisu dari Ruang Forensik” mencoba mengurai itu; mengungkap faktra-fakta yang tersembunyi di balik bangsal-bangsal forensik.
Cerita “pencungkilan” mata dan “pemotongan” penis sejatinya sudah terlebih dahulu terdengar di masyarakat sekitar.
Baca: Mengenang G30S: Ilham Aidit Selamat dari Eksekusi Tentara hingga Bertemu Pastor
Tetapi, hasil autopsi tidak menyebutkan adanya pencungkilan mata para korban.
Tepatnya setelah para korban G30S ditemukan di dalam sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur, 4 Okotober 1965.
Tujuh mayat jenderal itu lantas dibawa ke RSPAD guna diautopsi.
Untuk menangani mayat-mayat tersebut, dibuatlah tim yang terdiri dari dua dokter RSPAD, yaitu dr Brigjen. Roebiono Kartopati dan dr. Kolonel. Frans Pattiasina; lalu ada tiga dari Ilmu Kedokteran Kehakiman UI, Prof. dr. Sutomi Tjokronegoro, dr. Liau Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay.
Hasil autopsi ini menjawab kekeliruan pemberitaan saat itu yang diangkat ke layar film dan seolah donesia, juga buat seluruh masyarakat Indonesia..
Media-media cetak kala itu, yang dipelopori media milik pemerintah militer ramai-ramai memuat kekejaman perisitwa penculikan enam jenderal yang kelak disebut sebagai Pahlawan Revolusi.