Ngopi Sore

Dulu Bela Islam Sekarang Bela Hary Tanoe

Penulis: T. Agus Khaidir
Editor: T. Agus Khaidir
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

CEO MNC Group, Hary Tanoesoedibjo memenuhi panggilan penyidik untuk diperiksa sebagai tersangka di kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (7/7/2017). Hary Tanoesoedibjo dijerat dalam kasus dugaan ancaman melalui pesan singkat kepada Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto.

PERKARA bela-membela tentulah hak pribadi. Hak prerogatif yang tidak dapat diatur-atur, diarah- arahkan, terlebih dipaksa-paksakan. Idealnya demikian. Siapa atau apa yang hendak dibela berangkat dari sikap, ideologi, dan kepentingan masing-masing.

Karena itu sesungguhnya tidak ada yang perlu diherankan dari aksi membela Hary Tanoesudibjo oleh sekelompok orang mengatasnamakan Presidium Alumni 212. Percayalah, mengulik-ulik aksi ini, apalagi dengan serius, lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat. Misalnya, sudah pasti akan mengemuka pembanding-bandingan.

Kelompok yang ramai-ramai datang ke kantor Komnas HAM di Jakarta ini, sekali lagi, mengatasnamakan Presidium Alumni 212. Nama yang pada dasarnya terbilang aneh, untuk tidak pula menyebutnya keliru, dari sisi bahasa. Silakan memeriksa makna 'presidium' dan 'alumni' di KBBI, lalu kaitkan dengan '212'.

Setelah selama puluhan tahun hanya melekat pada Wiro Sableng, sosok pendekar setengah gila dalam komik yang ditulis (dan digambar) oleh Bastian Tito, akhir tahun lalu deretan angka ini mendapatkan identitas yang lain. Identitas yang lebih penting lantaran tak lagi sekadar berada di ranah imajinatif dan filosofi berbungkus guyon. Identitas baru ini tidak main-main. Yakni agama yang --langsung tidak langsung-- berkelindan dengan politik.

Jika Bastian Tito memaknai '212' sebagai kehidupan dalam kematian dan kematian dalam kehidupan dan Tuhan adalah asal-muasal segenap keniscayaan, makna baru ini berhenti pada tanggal dan bulan, tanggal 2 bulan 12, waktu penyelenggaraan aksi unjuk rasa.

Disebut-sebut sebanyak tujuh juta orang dari berbagai daerah di Indonesia hadir di Jakarta dalam aksi memprotes tindakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur (kini mantan) Jakarta yang dinilai melakukan penistaan terhadap agama Islam lantaran mengutip --dan kemudian secara gegabah dan serampangan menafsir-nafsir-- ayat Alquran.

Sampai di sini tak ada masalah. Terlepas dari motif Ahok yang sebagaimana disebutnya berulangkali tidak pernah punya maksud menyinggung atau menghina, umat Islam tetap berhak merasa tersinggung dan terhina dan karenanya berhak pula melancarkan protes.

Bahwa kemudian aksi ini dilakukan sampai berjilid-jilid, itu saya kira bukan bentuk kengototan. Bukan pula kenyinyiran. Melainkan representasi dari semangat umat yang tak rela agamanya, kitab sucinya, dan tuhannya dihina. Sama sekali tak ada hubungannya dengan Pilkada Jakarta.

Pun bahwa kemudian ternyata aksi ini berlanjut kepada aktivitas-aktivitas di luar unjuk rasa dan terbentuk pula kelompok 'Alumni 212' dan 'Presidium Alumni 212', rasa-rasanya tidak perlu dipersoalkan juga. Toh, ini semua sekadar untuk menampung aspirasi umat. Tak apa, sepanjang garis semangat dan perjuangannya masih sama.

Lalu tiba-tiba mengemuka kabar ada kelompok mengatasnamakan 'Presidium Alumni 212' bakal turun ke jalan lagi. Pada hari baik yang telah dipilih, hari Jumat, usai salat, mereka berencana melakukan long march dari Masjid Sunda Kelapa ke kantor Komnas HAM.

Agendanya menyuarakan pembelaan terhadap orang-orang yang mereka sangkakan dikriminalisasi oleh aparat hukum dan negara. Termasuk Hary Tanoe, taipan dan politikus yang sedang dihadapkan pada kasus dugaan pengancaman terhadap jaksa. Hary Tanoe berstatus tersangka.

Sampai di sini muncul tanda tanya besar. Apa korelasi antara aksi bela agama Islam dari penistaan yang dilakukan oleh Ahok dengan dugaan kriminalisasi yang diduga melibatkan Hari Tanoe sehingga orang-orang dalam kelompok mengatasnamakan Presidium Alumni 212 ini merasa perlu terlibat?

Apakah garis semangat dan arah perjuangan memang sudah melebar ke arah yang lain? Apakah sekarang mereka sudah menjadi pegiat HAM?

Pertanyaan tadi belum terjawab. Apa kira-kira yang jadi tolok ukur pemikiran yang membuat orang-orang dari kelompok mengatasnamakan Presidium Alumni 212 ini masih merasa perlu turun ke jalan dan berunjukrasa membela Hary Tanoe, yang notabene konglomerat papan atas, seorang multimilyuner, yang sudah barang tentu sanggup membayar pengacara paling mahal di dunia sekali pun untuk membelanya?

Halaman
12

Berita Terkini