Opini

Pergub Meugang

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Oleh Mizaj Iskandar

BELUM lama ini, Gubernur Aceh melalui media sosial mengeluarkan peringatan tentang akan beredar kupon daging meugang yang sengaja dibagikan oleh oknum-oknum jahat tertentu dengan mencatut nama gubernur, wakil gubernur dan pejabat-pejabat Aceh. Sebelumnya, pada Oktober 2017 lalu, marak tersiar kabar di beberapa media daring bahwa gubernur meminta ulama Aceh agar meninjau ulang tradisi meugang.

Sontak saja kekhawatiran dan permintaan gubernur ini mendapat berbagai respons di tengah masyarakat, ada yang pro dan ada yang kontra. Padahal sebelum berita ini heboh, gubernur tidak pernah terlepas dari kontroversial. Mulai dari Pergub APBA sampai Pergub Cambuk. Dalam imajinasi liar penulis, muncul pertanyaan, apakah kekhawatiran atau permintaan gubernur tersebut akan kembali melahirkan pergub meugang?

Dalam tulisan ini penulis mencoba memetakan gerak tradisi meugang dalam sejarah panjang Aceh. Dari sini kemudian dapat dipahami kekhawatiran gubernur itu. Walaupun kekhawatiran tersebut, menurut hemat penulis, tidak perlu sampai mendorong ulama harus “mempergubkan” tradisi meugang.

Tradisi meugang
Di masa kesultanan Aceh, meugang atau makmeugang, demikian tradisi ini disebut. Merupakan tradisi yang digunakan oleh masyarakat Aceh untuk kembali berkumpul dengan keluarga. Jika ditelisik, sebenarnya tradisi ini disemangati oleh sebuah hadis yang mengatakan, celaka orang yang didatangi bulan Ramadhan, tetapi belum saling maaf-memaafkan dan berbakti kepada orang tuanya (HR Tirmidzi). Di Aceh, hadis ini diterjemahkan ke dalam tradisi meugang.

Untuk merayakan hari tersebut, biasanya mereka membawa pulang beberapa potong daging untuk dikonsumsi bersama keluarganya. Hal ini menjadi wajar, karena bagi masyarakat Aceh yang berdomisili di pesisir pantai, pada hari biasa, mereka mengonsumsi ikan sebagai sumber protein. Tetapi pada hari spesial tersebut, mereka menggantikannya dengan mengonsumsi daging.

Dari sini dapat dipahami kenapa tradisi meugang itu marak terjadi di masyarakat pesisir Aceh. Pada saat itu, Kesultanan juga mengambil peran dalam menghidupkan tradisi meugang. Sultan memerintahkan para uleebalang untuk menyubsidi masyarakat miskin yang tidak sanggup membeli daging.

Setelah berakhirnya rezim kesultanan Aceh pada 1903, tradisi meugang mengalami pergeseran makna. Ia tidak lagi dijadikan sebagai wadah silaturrahmi. Tradisi ini sudah dianggap sebagai prestise untuk mengukur kesuksesan seseorang. Seorang yang tidak mampu membawa sepotong daging pada hari meugang, dianggap tidak sukses dan diikuti dengan tergadainya harga diri orang tersebut.

Pada masa ini, jamak terdengar kisah seorang ibu yang berpura-pura memasak daging dengan menumis bawang dan beberapa daun pandan agar aroma daging tetap berhembus dari dapurnya. Atau kisah yang lebih ekstrem, seseorang yang rela memotong kemaluannya untuk menutupi kegagalannya membawa pulang sepotong daging pada hari meugang.

Terlepas dari benar atau tidaknya cerita-cerita itu, pada masa tersebut tradisi meugang sebagai wadah silaturrahmi berubah menjadi tradisi seumajoh sie meugang (makan daging). Setelah kemerdekaan, tradisi seumajoh sie meugang masih tetap hidup di tengah masyarakat.

Setelah bencana tsunami pada 2004 dan diikuti dengan membanjirnya kedatangan NGO (non government organization) yang memberikan bantuan ke Aceh. Tradisi sie meugang beralih kepada peng meugang (uang meugang). Hampir dalam setiap kegiatan, NGO-NGO selalu memasukkan peng meugang sebagai satu item yang didanai. Kebiasaan NGO ini kemudian disadari atau tidak juga menular pada instansi pemerintahaan.

Beberapa tahun terakhir, pilkada dilakukan hampir setiap tahun di Aceh. Peng meugang mulai digunakan sebagai alat membujuk konstituen untuk memilih kandidat-kandidat tertentu. Kandidat yang kurang “gizi politiknya” biasanya akan mematikan HP atau lari keluar kota pada hari meugang. Dalam keadaan ini peng meugang disulap oleh politikus menjadi money politic.

Spirit meugang
Peng meugang yang telah menjelma dalam money politic inilah mungkin yang dikhawatirkan gubernur. Jika ia, tentu tidak ada yang salah dengan permintaan gubernur kepada beberapa ulama Aceh untuk meninjau tradisi ini. Jika tidak, maka suatu tindakan gegabah dari seorang gubernur yang ingin meninjau ulang tradisi meugang yang sangat islami ini.

Namun begitu, yang menjadi substansi sebenarnya bukanlah meninjau tradisi ini. Tetapi bagaimana mengembalikan tradisi ini pada spirit awalnya. Tradisi meugang memiliki spirit sebagai sarana menerjemahkan ajaran agama, bukan sebagai sarana unjuk prestise. Meugang juga merupakan media silaturrahmi, bukan sebagai wadah transaksi money politic.

Untuk tujuan ini yang dibutuhkan adalah kesadaran dari setiap lapisan masyarakat (civil consciousness). Seorang pimpinan seharusnya sadar tidak menjadikan meugang sebagai wadah transaksi money politic. Aparatur negara sadar dengan tidak memasukkan item peng meugang dalam anggaran kegiatan. Ulama juga sadar dengan mengajarkan silaturrahmi sebagai substansi meugang dan bukannya seumajoh sie meugang.

Dan terakhir, masyarakat pun harus sadar untuk tidak ‘mengemis’ peng atau sie meungang. Sehingga mereka terdorong untuk rajin bekerja agar mampu membawa pulang daging meugang sendiri. Jika kesadaran kolektif masyarakat ini hilang, jangan salahkan siapa-siapa jika ada yang tergadaikan harga dirinya demi setumpuk daging. Nah!

* Dr. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M., Dosen pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: mizaj.iskandar.usman@gmail.com

Berita Terkini