Opini

Aceh, Kemiskinan dan Anggaran Melimpah

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

kemiskinan

Oleh Tasdik Ilhamudin

KALAU kita menuliskan kata ‘APBD’ di mesin pencari Google, maka akan ditemukan sebanyak 9,6 juta kata. ‘Dana desa’ ditemukan sebanyak 960.000 kata di wilayah Indonesia (7 Januari 2018). Sementara ‘dana gampong’ diperoleh 148.000 kata. Angka ‘dana desa’ ini barangkali cukup setara dengan nilai besarannya yang mencapai Rp 60 triliun pada 2017 lalu dan pada 2018 ini dijanjikan hingga Rp 120 triliun. Sedangkan alokasi dana gampong besarnya 10% dari APBD masing-masing kabupaten/kota. Secara total sendiri APBD Aceh 2017 sebanyak Rp 46,7 triliun.

Khusus Provinsi Aceh, selain Alokasi Dana Desa (ADD) yang dialokasikan dari APBN, Pemerintah Daerah juga menggulirkan Alokasi Dana Gampong (ADG) yang berasal dari APBD. Tentu saja ADD dan ADG diselenggarakan dengan tujuan untuk mempercepat dan memperkuat desa sebagai subjek pembangunan yang pada akhirnya dapat membawa kesejahteraan rakyat. Hal tersebut tidak berbeda dengan adanya APBD yang didelegasikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Sesuai UU Desa No.6 tahun 2014, bahwa dana desa untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada desa agar dapat menjadi mandiri. Dana desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.

Jumlah penduduk kategori miskin seperti yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2017 sebanyak 829 ribu orang atau 15,92% dari total penduduk Aceh (Serambi, 3/1/2018). Gubernur Aceh sendiri menargetkan penurunan angka kemiskinan setidaknya 1% per tahun dalam masa pemerintahannya hingga 2022 nanti. Hal ini ditegaskan kembali oleh Wagub Aceh dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Aceh, saat membuka workshop Penajaman Program/Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan Tahun Anggaran 2018 (acehprov.go.id). Bahkan diharapkan bisa di bawah 10% pada akhir masa jabatan lima tahun mendatang.

Seharusnya tak miskin
Senator Aceh yang juga Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Ghazali Abbas Adan menyebutkan bahwa Aceh seharusnya tidak miskin. Karena sejak beberapa tahun terakhir Aceh telah memperoleh dana transfer dari pusat dalam bentuk dana otonomi khusus (Serambi, 5/1/2018).

Pemerintah pusat pun mengantisipasi agar tidak terjadi kenaikan penduduk miskin Maret 2018. Kemiskinan per September 2017 (10,12%) dianggap sebagai momentum yang baik untuk mencapai target besaran kemiskinan. Melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Sosial misalnya, dilakukan perbaikan penyaluran bantuan sosial yang lebih tepat sasaran, termasuk pembagian beras sejahtera (rastra) pada awal tahun ini (antaranews.com).

Di Provinsi Aceh sendiri, rilis kemiskinan per September 2017 membawa daerah ini sebagai provinsi ke-6 termiskin di Indonesia, sekaligus sebagai provinsi dengan persentase penduduk miskin terbanyak di Sumatera (BPS, 2/1/2018). Sebaliknya, dari sisi anggaran APBA 2017 merupakan yang terbesar di Sumatera. Sedangkan secara keseluruhan APBK di Aceh nomor 2 terbesar setelah Sumatera Utara (BPS, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah 2016).

Berbagai kajian akademik mungkin kita pernah membaca atau bahkan mengkajinya. Ternyata fakta bahwa anggaran besar belum mampu membawa penurunan kemiskinan yang berarti di bumi Serambi Mekkah ini. Misalnya besaran anggaran pendidikan terhadap kemiskinan dan atau anggaran kesehatan terhadap kemiskinan.

Barangkali secara parsial anggaran kesehatan berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan atau mungkin hanya angka kebetulan saja. Demikian pula halnya dengan alokasi dalam anggaran kesehatan. Atau anggaran pembangunan atau pengeluaran modal secara keseluruhan. Namun, mengapa kemiskinan masih begitu-begitu saja? Secara teori mungkin banyak alasan yang dapat dikemukakan. Akan tetapi ada fakta yang tidak bisa dibantah bahwa anggaran yang besar belum mampu mengurangi kemiskinan secara signifikan.

Dalam lima tahun terakhir, kemiskinan di Provinsi Aceh hanya berkurang 2,66 poin dari 18,58% (September 2012). Praktis hanya berkurang 0,53% per tahun, jauh dari target yang diusung pemerintah. Mungkinkah target pemerintah saat ini dengan penurunan 1% per tahun hingga 2022 mendatang? Secara teori tentu saja hal ini sangat mungkin, namun bukan hal yang mudah untuk merealisasikannya.

Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) misalnya, ini merupakan satu program unggulan dan dirasakan banyak manfaatnya bagi masyarakat. Baik masyarakat miskin ataupun tidak miskin dapat memperoleh fasilitas ini. Selama beberapa tahun program ini berjalan, seolah tidak mengurangi masyarakat yang berobat ke rumah sakit.

Bagaimana jika anggaran kesehatan nanti berkurang (terutama setelah dana Otsus habis). Mengapakah orang sakit seolah tiada habisnya? Apakah karena adanya jaminan berobat gratis? Ataukah karena masyarakat masih mudah terserang penyakit, alias kondisi kesehatannya belum bagus. Bisa jadi karena sumber air minum yang tidak higienis atau sumber air bersih yang belum tersedia dalam rumahtangga. Atau barangkali karena sarana MCK (mandi, cuci, dan kakus) yang belum tersedia/memadai.

Data BPS (Statistik Kesejahteraan Rakyat 2016) mengungkapkan bahwa lebih dari 25% penduduk Aceh mengalami keluhan kesehatan (sebulan yang lalu) dan 55% dari mereka mengaku menjadi terganggu kegiatannya sehari-hari. Fakta lainnya adalah bahwa 19,22% rumah tangga di Aceh tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar dan sekitar 11% lainnya menggunakannya bersama dengan rumahtangga lain atau merupakan jamban umum.

Halaman
12

Berita Terkini