Asa Baru di Laut Simeulue

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SEJAK tahun 2014 mulai sering disebut bahwa di perairan antara Meulaboh, Aceh Barat, dengan Kabupaten Simeulue ditemukan deposit hidrokarbon yang jumlahnya mencengangkan: 320,79 miliar barel.

Data tentang dugaan deposit minyak dan gas (migas) di lepas pantai Simeulue itu, pertama kali dirilis oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) RI, setelah dilakukan survei oleh lembaga itu terhadap perubahan struktur dasar laut perairan Simeulue-Aceh Barat menggunakan teknik uji seismik tiga dimensi selepas gempa besar tahun 2004.

BPPT tidak sendiri dalam survei itu, tapi menggandeng BGR Germany (semacam LIPI-nya Jerman). Survei itu pada dasarnya untuk meneliti bagaimana sebetulnya kondisi dasar laut perairan Simuelue-Aceh Besar sebagai titik episentrum setelah gempa berkekuatan 9,3 (bukan 8,9) skala Richter memicu tsunami dahsyat pada 26 Desember 2004.

Soalnya, berdasarkan citra satelit, para geolog akhirnya tahu bahwa gempa dahsyat itu menyebabkan bongkahan dasar laut ambrol (masuk ke perut bumi) sepanjang 1.000 km dan lebarnya 152 km. Ini menimbulkan lubang besar dan menyedot air laut dari berbagai penjuru Aceh masuk ke rongga tersebut. Itulah yang menyebabkan munculnya fenomena laut surut pascagempa, sebelum kemudian tsunami menghantam daerah pesisir Aceh termasuk kawasan pantai di 12 negara.

Nah, di bekas rongga yang terkuak oleh gempa dahsyat itulah tim BPPT bersama BGR Germany melakukan uji seismik tiga dimensi. Hasilnya, ditemukan massa hidrokarbon yang terperangkap dalam sebuah ceruk yang volumenya 320,79 miliar barel. Tapi, yang namanya hidrokarbon di dalam sebuah ceruk, tentulah tidak seluruhnya terdiri atas gas. Bisa saja ada minyaknya, juga ada airnya.

Untuk memastikan persentase minyak dan gas di dalamnya, Total Indonesia dalam waktu dekat akan melakukan pendataan di seputaran lepas pantai Simeulue, Aceh Barat, sampai ke Aceh Selatan. Ujung dari ceruk tersebut bahkan mengarah hingga ke perairan Aceh Singkil, tempat ditemukan empat sumber migas baru.

Meski volume di perairan Simeulue tersebut, menurut Kepala BPPT Said Jenie, baru mempresentasikan ruang dalam batuan (tangki), tapi belum tentu seluruhnya diisi oleh hidrokarbon. Namun, melihat berbagai indikasi yang berasosiasi dengan hadirnya migas, ia mengaku cukup optimistik pada nilai ekonomi dari massa hidrokarbon tersebut.

“Memang penelitiannya masih perlu ditindaklanjuti. Tapi, jika memang terbukti benar, kita bisa bayangkan penerimaan negara yang tidak terkira jumlahnya dari penemuan ini,” ujarnya di Jakarta, tahun lalu.

Ia jelaskan, temuan yang didapati di daerah cekungan busur muka Sumatera itu setelah dilakukan survei seismik di perairan barat Aceh dalam kedalaman 500-800 meter dari dasar laut yang mempunyai kedalaman 1.100 meter. Alhasil, didapati perkiraan volume cadangan antara 17,1-10 miliar kubik.

“Bila diketahui 1 meter kubik cadangan 6,29 barel, maka volume total minimumnya adalah 107,5 miliar barel dan volume maksimum 320,79 miliar barel,” jelasnya, waktu itu.

Inilah asa (harapan) baru bagi Aceh, khususnya dalam bisnis migas, setelah berakhirnya era gas alam cair (LNG) oleh ExxonMobil di Aron, Aceh Utara pada Oktober 2015.

Nah, apabila survei yang dilakukan Total di Aceh nantinya membuktikan bahwa hidrokarbon tersebut memiliki nilai keekonomian yang tinggi, maka dengan demikian masa depan Aceh berada di laut, tepatnya di perairan Simeulue.

Oleh karenanya, seperti diingatkan Kepala Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA), Marzuki Daham, kerja tim survei dari Total dan lainnya di perairan Aceh jangan sampai dipersulit atau bahkan dipalaki. “Soalnya, kalau investor ini sampai lari, kita kehilangan harapan,” ujarnya. (sjk/dik)

Berita Terkini