Opini

Sikap Peduli Lingkungan ‘Awak Geutanyoe’

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Oleh T. Muhammad Yasir

LINGKUNGAN adalah segala hal yang ada di Bumi, baik berbentuk benda mati seperti tanah, air, udara, bebatuan, udara, serta benda  atau makhluk hidup, yaitu flora dan fauna. Manusia adalah bagian dari lingkungan. Manusia sangat tergantung dengan lingkungannya, karena manusia mengambil Sumber Daya Alam (SDA) untuk menunjang kehidupannya. Manusia dan lingkungan juga saling mempengaruhi. Manusia dengan kecerdasannya dapat melestarikan lingkungan dengan baik atau malah merusaknya.

Sayangnya, kerusakan lingkungan yang diakibatkan manusia lebih jelas terjadi. Saat ini jumlah manusia di bumi sekitar 7 miliar jiwa dan akan terus bertambah menjadi 9 miliar jiwa pada 2050, sehingga manusia terus menyedot SDA secara berlebihan yang memperparah kerusakan lingkungan. Bagaimana manusia dapat berhubungan baik atau buruk dengan lingkungannya sangat terkait dengan perilaku peduli lingkungan. Ternyata perilaku peduli lingkungan awak geutanyoe (orang kita) masih buruk.

Kementerian Lingkungan Hidup melakukan survei dengan Indeks Perilaku Peduli Lingkungan Publik (PPL) terhadap 6.048 responden di 12 provinsi dan 24 kabupaten/kota selama Oktober-Desember 2012 lalu. Indikator PPL antara lain konsumsi listrik, pengelolaan sampah, pemanfaatan air, penggunaan bahan bakar, emisi karbon, dan perilaku hidup sehat. Dari berbagai indikator tersebut diperoleh skor hanya 0,57 dari rentang skor 1-10, yang berarti perilaku peduli lingkungan pada masyarakat Indonesia sangat rendah (Kompas, 15/5/2013).

Kenyataan sehari-hari
Hasil dari survei tersebut menurut saya wajar. Kenapa wajar? Karena realitas yang saya lihat sehari-hari. Dalam pengamatan saya banyak orang menggunakan SDA seperti air dan energi listrik dengan berlebihan seenaknya karena keduanya sudah tersedia, tinggal dipakai, apalagi jika orang tersebut tidak perlu membayar air dan listrik, karena dibayar orangtua atau menggunakan fasilitas umum. Banyak orang lebih suka menggunakan kendaraan bermotor daripada berjalan kaki atau bersepeda walaupun tujuannya dekat. Banyak orang menganggap bumi ini tong sampah raksasa sehingga seenaknya membuang sampah di sembarang tempat.

Ironisnya, perilaku antipeduli lingkungan ini tidak selalu terjadi pada ureung hana meuphom (orang yang tidak paham) tapi juga ureung meuphom (orang yang paham) seperti akademisi. Di kampus saya yang identik dengan kesehatan, sampah dibuang sembarangan di belakang gedung perkuliahan, termasuk limbah obat-obatan. Tidak ada yang peduli dengan sampah ini walaupun mahasiswa, dosen, bahkan mungkin dekan melewatinya berkali-kali. Bahkan, beberapa mahasiswa yang tergolong pintar pun tanpa beban membuang sampahnya di kelas, tidak ada bedanya dengan orang awam atau ureung hana teupeu sapeu (orang yang tidak tahu apa-apa).

Alat pengatur udara (AC) dan proyektor di kelas perkuliahan seringkali tetap hidup walaupun kuliah sudah selesai. Penghuni kelas tidak berpikir untuk mematikannya, malah keluar dari ruangan begitu saja. AC tetap digunakan termasuk ketika cuaca sedang dingin alih-alih membuka jendela. Lampu di kelas pun tetap digunakan berlebihan dari pada memanfaatkan cahaya alami masuk lewat jendela. Mahasiswa lebih senang mencetak (print) bahan kuliah di kertas dari pada mencatat kembali hal-hal yang penting saja atau membaca lewat notebook atau komputer. Setelah tak terpakai kertas itupun “menghiasi” lantai-lantai kelas.

Beberapa mahasiswa dan dosen juga lebih memilih menggunakan kendaraan daripada berjalan kaki ke tujuan yang sebenarnya masih di fakultas itu, seperti musholla atau ruang akademik. Dari yang saya lihat secara keseluruhan, penyediaan tong sampah masih sedikit di areal kampus seperti di taman, lapangan, kantin, atau tempat perparkiran sehingga memungkinkan adanya perilaku membuang sampah sembarangan. Mahasiswa yang menggunakan sepeda atau kendaraan umum ke kampus juga masih sedikit dibandingkan yang menggunakan kendaraan pribadi.

Fenomena di atas adalah cerminan dari perilaku peduli lingkungan yang masih rendah sesuai hasil survei PPL. Namun Asisten Deputi Komunikasi Kementerian Lingkungan Hidup, Siti Aini Hanun menyatakan tingkat pemahaman masyarakat menjaga lingkungan sebenarnya relatif baik. Dari survei PPL diketahui 61,8% responden tahu program menjaga lingkungan seperti penghijauan, normalisasi sungai, pengelolaan air, dan konversi hutan.

Di sini bisa kita lihat bahwa masyarakat tahu tentang isu-isu lingkungan serta kegiatan pelestariannya, namun tidak semuanya bertindak sesuai apa yang mereka tahu. Salah satu penyebab sebagian orang malas bertindak karena menganggap masalah lingkungan bukan hal yang utama, seperti diungkapkan Sonny Keraf, Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI (Kompas, 15/5/2013).

Proses perubahan
Bagaimana caranya agar pengetahuan yang ada pada masyarakat dapat direalisasikan dalam bentuk tindakan, dalam hal ini perilaku peduli lingkungan? Salah satunya diperlukan proses untuk mengubah sebuah perilaku yang diinginkan. Proses ini disebut Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP). Konsepnya adalah pesan disampaikan secara baik dan berkelanjutan kepada individu atau kelompok sehingga terjadi proses perubahan perilaku pada mereka sejak menerima pesan tersebut.

Proses perubahan tersebut bertahap, dimulai dari mendapatkan pengetahuan, persetujuan, kemauan atau niat, melakukan, hingga mengadvokasi. Pemberi pesan (komunikator) bisa dari dinas yang terkait di bidang lingkungan hidup, universitas, sekolah, pemerintahan desa, relawan peduli lingkungan, atau kepala keluarga. Penerima pesan (komunikan) adalah masyarakat umum, siswa, anggota keluarga atau teman kita sendiri.

Pesan yang disampaikan adalah seperti manfaat menjaga lingkungan, contoh perilaku sehari-hari yang mendukung peduli lingkungan, ajaran-ajaran agama yang terkait dengan menjaga lingkungan, konsekuensi yang akan terjadi, ajakan untuk membuang sampah pada tempatnya, berolahraga, membatasi penggunaan plastik, menghemat listrik dan air, dan sebagainya. Bisa juga memberikan reward yang bermanfaat bagi pelaku peduli lingkungan. Komunikasi yang dilakukan dapat berbentuk iklan, sosialisasi, ceramah, simulasi, dan sebagainya.

Dengan kondisi lingkungan yang semakin sekarat, sangat diharapkan semakin banyak orang yang peduli pada lingkungannya. Orang yang peduli akan mempengaruhi cara pikir serta perilakunya, dan pada akhirnya mengajak orang lain untuk juga peduli. Niscaya kondisi lingkungan akan lebih baik bila banyak orang yang peduli. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raaf: 85).

* T. Muhammad Yasir, Mahasiswa Jurusan Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: pagihujan@rocketmail.com

Berita Terkini