Transformasi Agama Pada Era Reformasi

  • Whatsapp

Oleh Dudung Abdul Rohman*

Menurut Richard Madsen (2011), bahwa tidak akan ada kekuataan apapun yang dapat menjinakkan agama. Karena agama adalah sesuatu yang inheren dalam kehidupan pribadi dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sosial. Ketika seseorang dihadapkan pada persoalan sulit dan pelik, maka yang menjadi sandarannya adalah kekuatan agama, yakni kekuatan supranatural di luar dirinya. Agama pun menjadi sumber inspirasi dan kekuatan moral (moral force) dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Sehingga tak mungkin agama benar-benar dapat hilang dalam kehidupan manusia di dunia.

Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, terdapat kenyataan yang dapat dikatakan paradoks. Di satu sisi masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis, karena seluruh masyarakatnya dapat dikatakan menganut agama dan kepercayaan tertentu, dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan kehidupan beragama dijamin dalam konstitusi, yakni dalam Pancasila Sila Pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Juga UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan melaksanakan agama sesuai dengan kepercayaannya itu”. Tetapi di sisi lain nampaknya Pemerintah membatasi kehidupan beragama ini pada persoalan-persoalan pribadi dan sebatas kehidupan ritual keagamaan. Apabila isu agama dibawa ke ranah publik, tak jarang dicurigai dan diawasi.

Richard Madsen (2011) dalam studi kasusnya di Indonesia tentang sekulerisme, perubahan agama dan konflik sosial merilis hasil penelitiannya. Di antara hasil penelitiannya tentang relasi agama dan penguasa pada masa pra-reformasi dan pasca-reformasi. Pada masa pra-reformasi penguasa menerapkan kebijakan kooptasi beragama. Artinya pemeluk agama dibatasi dan diawasi demi stabilitas politik dan ekonomi nasional. Penguasa mengontrol dan menekan para pemuka agama supaya jangan membawa-bawa agama ke ranah politik dan kekuasaan. Maka isu subversif (melawan negara) dan isu SARA (Suku, Agama Ras, dan Antargolongan) menjadi pengendali relasi agama dan penguasa pada masa itu. Sehingga masyarakat menjadi takut berbicara agama pada ruang-ruang publik, karena khawatir dituduh subversif.

Pada era ini kehidupan agama dapat dikontrol dan dikendalikan. Bahkan yang namanya konflik agama dapat diredam sedemikian rupa. Bahkan penguasa menerapkan kebijakan tentang pentingnya membina kerukunan umat beragama. Maka diadakanlah dialog-dialog antara pemuka agama sampai terbentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Juga dimunculkan trilogi kerukunan umat beragama, yaitu (1) kerukunan intern umat beragama; (2) kerukunan antar umat beragama; dan (3) kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Memang demi stabilitas pembangunan nasional, kerukunan umat beragama ini menjadi piranti penting yang harus dijaga bersama. Sehingga Indonesia menjadi satu negara yang dipandang berhasil dalam membina kerukunan umat beragama sampai mendapat penghargaan dari dunia internasional.

Tetapi realitas tersebut menjadi terbalik setelah terjadinya era reformasi. Karena era ini membuka keran keterbukaan dan kebebasan, termasuk dalam persoalan-persoalan agama. Sehingga pada awal era reformasi bermunculan paham-paham keagamaan bak jamur di musim hujan. Apalagi setelah terjadinya kontak dengan dunia luar dan terjadinya dialog-dialog agama secara global. Maka muncullah gerakan-gerakan agama yang bersifat radikal, liberal, dan progresif. Bahkan dinyalir terdapat kelompok-kelompok agama tran-nasional yang mengadopsi dan mengadaptasi paham-paham agama global seperti HT (Hizbut Tahrir), Salafi, dan IM (Ikhwanul Muslimin). Maka gesekan dan konflik antar umat  beragama bermunculan seperti di Aceh, Maluku, Ambon, dan Papua.

Pada era reformasi ini kontrol penguasa terhadap kehidupan beragama menjadi lemah. Apalagi penguasa dihadapkan pada persoalan-persoalan yang lebih fundamental yaitu krisis politik dan ekonomi. Maka kata Richard Madsen (2011), pada posisi ini penguasa menerapkan pola akomodasi dalam menerapkan kebijakan di bidang kehidupan beragama. Dalam hal ini pemerintah bersifat longgar dan mendengar aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, sesuai dengan kebijakan otonomi daerah, maka Aceh misalnya memiliki Undang-Undang tersendiri yang memuat tentang Syariah (Hukum Islam). Kemudian di daerah-daerah lain berkembang Peraturan-Peraturan Daerah (Perda-Perda) yang berbasis dan bernuansa syariah.

Dengan demikian, telah terjadi transformasi agama pada era reformasi. Yang pada awalnya agama hanya diperbincangkan dalam etalase-etalase pribadi, sekarang ini agama sudah merasuk pada ruang-ruang publik. Misalnya dalam ruang politik sekarang ini masyarakat tidak tabu lagi berbicara tentang agama. Bahkan agama menjadi isu yang seksi dalam dunia politik untuk merebut simpati masyarakat. Misalnya dalam kasus Pilkada Jakarta 2017. Betapa agama menjadi kekuatan sosial-politik yang dapat menghantam kekuatan-kekuatan lainnya. Melalui Aksi Bela Islam (ABI) #411 dan #212 misalnya, aspirasi umat Islam secara politik dapat tersampaikan secara efektif dan dapat mengalahkan kekuatan-kekuatan yang dianggap sebagai lawan politiknya.

Transformasi agama pun terjadi pada ajang Pemilu Pilpres 2019. Sebelum pengumuman Pasangan Capres/Cawapres diumumkan oleh KPU, sudah beredar dan menguat isu-isu agama di masyarakat. Bahkan menurut beberapa pengamat politik, bahwa agama akan menjadi isu seksi yang berpotensi mendulang suara pada Pilpres 2019. Maka sebelumnya muncullah acara Ijtima Ulama di satu kubu dan kubu lainnya menggelar acara serupa yang disebut Ittifaq Ulama yang beraroma dan bernuansa dukungan politik. Kemudian muncullah di antara rekomendasinya supaya Capres disandingkan dengan Ulama. Maka pada faktanya Capres petahana benar-benar menggandeng Ulama.

Menarik untuk mencermati bagaimana selanjutnya agama dapat bertransformasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diharapkan agama bukan semata-mata dijadikan alat legitimasi kekuasaan yang dapat menciderai sakralitas dan nilai kesucian agama. Tetapi kata Kuntowijoyo (2011), agama diharapkan dapat menjadi moral force (kekuatan moral) yang memberikan spirit, arah, dan nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama dapat menjadi sumber inspirasi, motivasi, dan etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat agar lebih beradab dan bermartabat. Apalagi Indonesia dikenal sebagai bangsa yang agamis, yakni bangsa yang menjunjung tinggi dan berusaha untuk dapat mengamalkan agama dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang diungkapkan Alquran, bahwa kemakmuran suatu negeri sangat bergantung pada nilai keimanan dan ketakwaan penduduk negeri tersebut. Maka dalam konteks ini, Penguasa dan Tokoh Agama harus bersinergi untuk membina kehidupan keagamaan  yang lebih baik demi mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh masyarakat Indonesia. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raaf [7]:96).

Dalam konteks ini peran institusi-institusi agama termasuk di dalamnya ormas-ormas keagamaan sangat dibutuhkan untuk mengawal transformasi agama ini supaya tidak melenceng dari jalur yang seharusnya. Misalnya ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) supaya tetap berperan sebagai kekuatan moral dan sosial untuk menjaga kekuatan agama supaya tetap berjalan dan bersinergi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga masyarakat Indonesia yang agamis tetap dapat dipertahankan dan kerukunan antar umat beragama dapat dijaga dengan baik. Wallahu A’lam Bish-Shawaab. ***

*Pegiat Kajian di Forum Kajian Paramuda Persis (FKPP)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *