05.06.2013 Views

10NEKiD

10NEKiD

10NEKiD

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Untitled-3 1 5/24/2012 5:23:59 PM


Untitled-3 1 5/24/2012 5:23:59 PM<br />

dengan dukungan:


Lewat Djam Malam Diselamatkan<br />

Penulis: Lintang Gitomartoyo, Totot Indrarto,<br />

Windu W Jusuf, Arie Kartikasari, Lee Chor Lin,<br />

Adrian Jonathan Pasaribu, Davide Pozzi, Lisabona<br />

Rahman, Amalia Sekarjati, Zhang Wenjie<br />

Editor: Adrian Jonathan Pasaribu, JB Kristanto<br />

Penerbit: Sahabat Sinematek<br />

Email: info@sahabatsinematek.org<br />

Website: sahabatsinematek.org<br />

Perancang Sampul: Rully Susanto<br />

Penata Letak: Dadang Kusmana<br />

Lewat Djam Malam Diselamatkan<br />

x + 118 hlm ; 17 cm x 24 cm


Daftar Isi<br />

Pengantar vii<br />

Restorasi Lewat Djam Malam 1<br />

Mencari Kembali Eratnya Hubungan Indonesia-Singapura 3<br />

Memulihkan Warisan Bersama 7<br />

Tentang Proses Restorasi 9<br />

Kronologi Restorasi Lewat Djam Malam 15<br />

Penayangan Internasional Hasil Restorasi 21<br />

Sebelum dan Sesudah Restorasi 25<br />

Lewat Djam Malam 35<br />

Kredit Lewat Djam Malam 37<br />

Sinopsis Lewat Djam Malam 39<br />

Tidak Mudah Menjadi Indonesia 41<br />

Biografi: Usmar Ismail 51<br />

Misbach Jusa Biran tentang Usmar Ismail<br />

dan Lewat Djam Malam 55<br />

Revolusi, Impian, dan Jalan Buntu 67<br />

Bulan Madu Panjang Militer dan Birokrasi 75<br />

Sinematek Indonesia 85<br />

Apa Kami Hanya Pantas Menonton Film-film Rusak? 87<br />

Hanya 14 Persen yang Tersimpan dan dalam<br />

Kondisi Memprihatinkan 93<br />

Inisiatif Warga Menyelamatkan Sejarah 103<br />

Terima Kasih 109<br />

Kredit Restorasi 112<br />

Para Penulis 114<br />

Panitia 117


Pengantar<br />

Semuanya berawal dari persahabatan. Lisabona Rahman dari Kineforum<br />

Dewan Kesenian Jakarta, yang bersama-sama mengerjakan buku Katalog<br />

Film Indonesia 2008, sudah lama mendesak saya untuk mengalihkan<br />

data-data buku Katalog Film Indonesia ke dalam bentuk media daring<br />

(online database). Ketika lembaga aktivis film Konfiden (Alex Sihar,<br />

Agus Mediarta, Dedy Arnov, Lintang Gitomartoyo) bersedia menjadi<br />

payung organisasi, maka tahun 2009 kami berdiskusi intens membuat<br />

peta rancangan web yang intinya adalah database film Indonesia yang<br />

ber sumber dari buku Katalog Film Indonesia dan data film pendek dan<br />

do kumenter yang dikumpulkan Konfiden. Rancangan peta ini sangat<br />

pen ting sebelum membangun situs webnya supaya jelas alurnya, karena<br />

begitu lah tuntutan alam internet.<br />

Di penghujung tahun itu, tepatnya 31 Desember 2009, muncul surel<br />

dari sahabat Singapura kami, Philip Cheah, sekarang jabatannya pemrogram/kurator<br />

pada lima festival film. Dia mengusulkan agar buku Katalog<br />

Film Indonesia diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris. Dia<br />

se dang membicarakan usulan ini kepada National Museum of Singapore<br />

untuk pembiayaannya. Tanggapan segera dilayangkan: bagai mana kalau<br />

pem biayaan itu dialihkan untuk penerjemahan data-data di situs web<br />

saja, karena situs web itu direncanakan tampil dalam dua bahasa.<br />

Gayung bersambut. Dalam surel berikutnya tertanggal 8 Januari<br />

2010 Philip bukan hanya menyebutkan masalah penerjemahan buku dan<br />

situs web, tapi juga menyinggung “A special screening of one restored


Indonesian classic film with English subtitles. After the screening, the<br />

museum will archive one 35 mm copy of the film” yang direncanakan<br />

diadakan pada Maret 2011. National Museum of Singapore nampaknya<br />

memang berniat untuk mengo leksi bukan hanya harta budaya<br />

nasionalnya, tapi juga Asia Tenggara. Surel berikut nya, 12 Januari 2010,<br />

Philip meminta kami mengusulkan satu judul film Indonesia yang akan<br />

direstorasi. Maka muncul dengan spon tan judul Lewat Djam Malam<br />

karya Usmar Ismail yang bisa disebut seba gai film terbaik sepanjang<br />

masa. Film ini bernilai tinggi bukan hanya karena nilai estetiknya, tapi<br />

juga nilai kesejarahannya. Sebagaimana dike tahui, dibanding artefak<br />

budaya lain yang “pasif” dan menuntut imaji nasi untuk memaknainya,<br />

maka film adalah artefak budaya yang “aktif”, hingga penonton bisa<br />

langsung berhadapan dengan masa lalu secara “hidup”.<br />

Semua sepakat dengan usulan itu. Berikutnya adalah kerja “administrasi<br />

dan birokrasi” baik di Indonesia maupun Singapura yang terkadang<br />

mem buat semangat sempat menciut. Sahabat-sahabat Singapura lain:<br />

Lee Chor Lin, Zhang Wenjie, Teo Swee Leeng, Warren Sin, Low Zu Boon,<br />

dan Jasmine Low mengurus bagian mereka dan memilih L’Immagine<br />

Ritrovata, Bologna, Italia, satu-satunya laboratorium film khusus restorasi<br />

di dunia. Direktur laboratorium ini, Davide Pozzi, dan Cecilia Cenciarelli,<br />

staf World Cinema Foundation— lembaga bentukan sutradara ternama<br />

Martin Scorsese di Cannes 2007—yang kemudian mengadopsi film menjadi<br />

bagian dari sejarah sinema dunia, menjadi sahabat-sahabat baru dalam<br />

proses selanjutnya yang berlangsung setahun penuh.<br />

Di Sinematek Indonesia, ditemukan bahwa negatif asli Lewat Djam<br />

Malam masih ada, tapi negatif asli suaranya hanya ada delapan reel dari<br />

yang seharusnya sepuluh. Beruntung masih ada duplikat kopi positif dan<br />

negatif. Semuanya dalam kondisi yang memprihatinkan. Kopi negatif<br />

asli, duplikatnya, dan kopi positif yang terbaik disiapkan untuk dikirim<br />

ke Bologna. Pemberitahuan kepada ahli waris dilakukan, Direktur<br />

viii


Sinematek Indonesia Berthy L Ibrahim dilibatkan, begitu juga Bapak<br />

Sinematek Indonesia, Misbach Jusa Biran yang memberi latar belakang<br />

pem buatan film itu.<br />

Rincian dari kisah restorasi bisa dibaca dalam artikel-artikel buku<br />

ini, baik mengenai kenapa restorasi film harus dilakukan maupun proses<br />

res torasinya. Selain itu, buku ini menjadi lengkap dengan adanya<br />

pem bi cara an film Lewat Djam Malam itu sendiri yang dilakukan oleh<br />

sahabat-sahabat muda, hingga kita bisa mendapatkan perspektif lain.<br />

Tidak ketinggalan tulisan tentang Usmar Ismail dan warisannya untuk<br />

perfilman Indonesia. Dia meletakkan dasar estetika film Indonesia. Juga<br />

tentang kondisi Sinematek Indonesia dan koleksinya yang masih tetap<br />

memprihatinkan, padahal ini adalah harta karun bu daya Indonesia.<br />

Sebagian masa lalu dan masa depan kita ada di sana.<br />

Karena itu, Lewat Djam Malam yang dibuat atas nama persahabatan<br />

dua bapak perfilman Indonesia, Usmar Ismail dan Djamaludin Malik,<br />

di res torasi lewat sebuah persahabatan, akan diteruskan dengan Sahabat<br />

Sinematek, sebuah perkumpulan nirlaba yang berniat membantu<br />

Sinematek Indonesia dengan cara persahabatan seperti yang telah dilakukan<br />

dengan restorasi Lewat Djam Malam. Semoga persahabatan ini<br />

makin meluas.<br />

JB Kristanto<br />

ix


Restorasi Lewat<br />

Djam Malam


Lee Chor Lin pada pembukaan pekan film<br />

Merdeka! di National Museum of Singapore.


Mencari Kembali<br />

Eratnya Hubungan<br />

Indonesia-Singapura<br />

LEE ChoR LIn<br />

RASA syukur kami panjatkan pada sahabat-sahabat kami di Indonesia,<br />

atas kesempatan yang diberikan untuk bekerja sama merestorasi Lewat<br />

Djam Malam. Meski kita sudah punya cukup informasi perihal signifikansi<br />

historis serta pencapaian artistik Lewat Djam Malam, baru setelah proyek<br />

restorasi kita bisa mengapresiasi secara utuh apa yang ingin disampaikan<br />

bapak perfilman Indonesia ini, mulai dari konfrontasinya yang berani<br />

terhadap hantu-hantu revolusi, hingga penggambarannya yang jujur akan<br />

konflik batin para individu yang terjebak dalam pusaran sejarah.<br />

Sebagai institusi nasional yang berdedikasi pada sejarah Singapura,<br />

kami terdorong oleh kebutuhan mendesak untuk menjaga warisan bersama<br />

sejarah film di Asia Tenggara. Karena itulah kami terlibat dalam<br />

pro yek restorasi ini. Kami juga tergerak oleh semangat dan keteguhan<br />

teman-teman kami di Indonesia, yang mampu mengatasi halanganhalang<br />

an teknis dan birokratis untuk tujuan mulia.<br />

Kami tak punya alasan untuk tidak terlibat dalam kolaborasi ini. Takdir<br />

National Museum of Singapore, sebelumnya bernama Raffles Museum,


tak bisa dipisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia. Hubungan his to ris<br />

dengan Indonesia sungguh terasa di National Museum Singapore. Ko-<br />

leksi museum kami bermula dari sumbangan para antropologis dan birokra<br />

si kolonial yang mampir di Singapura di tengah perjalanan mereka<br />

ke Indonesia. Pada tahun 1910, kolonial Belanda mengasingkan raja-raja<br />

Riau dan Lingga. Di waktu yang sama, sejumlah artefak macam mangkuk<br />

dan piring perak berukiran abjad Jawi mulai terdaftar di katalog museum<br />

kami.<br />

Gedung National Museum Singapore sendiri berlokasi di kaki<br />

Bukit Larang an (sekarang Fort Canning), di mana kerajaan Temasek<br />

dulu ber se mayam. Kami tahu kerajaan ini punya kedekatan dengan<br />

Jawa, mengingat ornamen-ornamen emas bergaya Majapahit pernah<br />

ditemukan di sekitar fondasi kuil dan pancuran di bukit ini. Ornamenornamen<br />

emas dan temuan lainnya menjadi pameran pertama kami di<br />

Galeri Seja rah Singapura museum kami. Konon, nama Singapura berasal<br />

dari se orang pangeran muda dari Palembang. Saat ia sedang berjalan di<br />

salah satu pesisir pulau ini, sebuah makhluk melompat di hadapannya.<br />

Ia ter kesima dengan keanggunan dan kegagahan makhluk tersebut. Tercetus<br />

lah nama Singapura. Inilah episode singkat dari pertautan sejarah<br />

Indonesia dan bangsa kami.<br />

Akhir Maret tahun 2012, kami menyaksikan film Lewat Djam Malam<br />

yang hampir selesai direstorasi. Bersamaan dengan itu diputar juga dua<br />

film Usmar Ismail dan tiga karya Garin Nugroho. Retrospeksi kecilkecilan<br />

ini bicara tentang arti kebangsaan di dua fase sejarah Indonesia,<br />

dan kami belajar banyak dari nya. Meski penontonnya yang hadir tak bisa<br />

dibilang banyak, kami per caya mereka datang karena mereka tahu dan<br />

peduli dengan Indonesia. Me reka paham adanya warisan bersama dan<br />

sejarah di antara Indonesia dan Singapura, mengapresiasi pentingnya<br />

film macam Lewat Djam Malam, dan oleh karenanya menyambut<br />

4<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM


gembira program kami yang ber judul Merdeka!. Kebetulan, “merdeka”<br />

adalah kata yang diserukan oleh leluhur kami ketika Singapura bebas<br />

dari penjajahan.<br />

Proyek restorasi film ini menjadi perjalanan mencari kembali eratnya<br />

hubungan kami dan dinamika perbedaan kami. Sekali lagi, kami<br />

ber syukur akan kesempatan bekerja sama dengan orang-orang hebat:<br />

Bapak dan Ibu Irwan Usmar Ismail dari keluarga Usmar Ismail, Berthy<br />

L Ibrahim dari Sinematek Indonesia, JB Kristanto, Lintang Gitomartoyo<br />

dan Alex Sihar dari Yayasan Konfiden, Lisabona Rahman dari Kineforum<br />

Dewan Kesenian Jakarta, serta L’Immagine Ritrovata Bologna.<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM<br />

5


Memulihkan<br />

Warisan Bersama<br />

Zhang WEnjIE Dan LISabona RahMan<br />

PADA tahun 2010, kritikus film Philip Cheah dan JB Kristanto berko laborasi<br />

dengan Yayasan Konfiden dan National Museum Singapore untuk<br />

menerjemahkan Katalog Film Indonesia, kumpulan data film Indonesia<br />

setebal 400 halaman, ke bahasa Inggris. Kolaborasi ini menghasilkan ide<br />

untuk merestorasi sebuah film Indonesia.<br />

Ketika diminta Cheah untuk memilih satu film Indonesia untuk<br />

direstorasi, Kristanto mengusulkan Lewat Djam Malam, karya Usmar<br />

Ismail tahun 1954. Selain terkesan dengan kualitas naratif serta signifi<br />

kansi historisnya, Kristanto percaya film tersebut memuat sejumlah<br />

wawasan penting tentang masyarakat Asia Tenggara dan transisinya<br />

men jadi bangsa yang merdeka. Ketika judul film untuk direstorasi sudah<br />

dipu tuskan, Cheah bekerja sama dengan Konfiden dan Kineforum Dewan<br />

Ke senian Jakarta untuk mengevaluasi ketersediaan dan kondisi filmnya<br />

di Sinematek Indonesia. Pada waktu bersamaan, National Museum<br />

Singapore mengontak L’Immagine Ritrovata, sebuah laboratorium restorasi<br />

film terkemuka di Bologna, Italia, untuk mempersiapkan pemeriksaan<br />

elemen-elemen film Lewat Djam Malam.<br />

Hasil riset menunjukkan bahwa kopi negatif gambar dan suara Lewat<br />

Jam Malam sesungguhnya komplit, namun beberapa di antaranya<br />

dalam kondisi mengkhawatirkan, akibat kesalahan penanganan selama


ertahun-tahun. Lewat Djam Malam sudah pernah dicetak ulang ke kopi<br />

positif di awal 90an untuk kebutuhan pemutaran, namun kerusakan dari<br />

kopi orisinil film juga turut tercetak di screening copies ini. Bagi yang<br />

sudah pernah menonton Lewat Djam Malam dengan screening copies<br />

tersebut, yang teringat pastilah gambar goyang, pencahayaan yang tak<br />

konsisten, goresan, serta suara yang buruk.<br />

Restu keluarga Usmar Ismail membuka jalan bagi National Museum<br />

Singapore, Konfiden, dan Kineforum untuk memulai proyek film Lewat<br />

Djam Malam. L’Immagine Ritrovata yang menjadi rekan kerja pun sudah<br />

berpengalaman dalam memperbaiki karya-karya penting sinema dunia,<br />

di antaranya adalah A Brighter Summer Day (Edward Yang, 1991) dan<br />

La Dolce Vita (Federico Fellini, 1960). Proses restorasi memakan waktu<br />

tujuh bulan dan lebih dari 2.500 jam reparasi digital hingga selesai.<br />

Pekerjaan restorasi yang ekstensif ini harus dijalani untuk memperbaiki<br />

kerusakan-kerusakan kopi film Lewat Djam Malam, sehingga kualitas<br />

asli audio visual Lewat Djam Malam bisa dikembalikan. Karena filmnya<br />

direstorasi dari kopi asli, kita pun bisa menyaksikan kembali Lewat Djam<br />

Malam seperti yang diniatkan Usmar Ismail beberapa dekade silam.<br />

Lewat Djam Malam adalah proyek pertama restorasi film Indonesia<br />

secara penuh. Proyek ini diinisiasi berdasarkan misi untuk memulihkan<br />

wa ris an bersama sinema Asia Tenggara. Proyek ini menjadi contoh bagaima<br />

na kecintaan pada sinema bisa menyatukan organisasi dan individu<br />

dari berbagai suku bangsa, saling membantu untuk memajukan sinema<br />

Asia Tenggara. Medium film tidaklah abadi. Kualitasnya bisa menurun apabila<br />

tidak dijaga dengan kondisi yang benar. Film-film di Asia Tenggara<br />

rawan mengalami hal tersebut karena kondisi iklim daerah ini. Mengingat<br />

sum ber daya untuk pengarsipan dan restorasi film masih sangat terbatas<br />

di Asia Tenggara, penting bagi para pegiat sinema di daerah ini untuk<br />

be kerja sama menjaga warisan bersama. Harta karun dari masa lalu kita<br />

patut lah dijaga dan dipertahankan dalam berbagai arsip di Asia Tenggara.<br />

Inilah tanggung jawab kita untuk generasi penerus.<br />

8<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM


Tentang<br />

Proses Restorasi<br />

DavIDE PoZZI<br />

Restorasi Lewat Djam Malam adalah proyek ambisius berskala inter-<br />

nasio nal yang melibatkan banyak orang dan lembaga. Di awal tahun<br />

2011, L’Immagine Ritrovata dilibatkan sebagai laboratorium restorasi.<br />

Menger jakan film-film dari berbagai negeri artinya mengurusi masalah-<br />

masalah spesifik terkait kondisi fisik dan iklim dari tempat asal sebuah<br />

film. Sejak awal kami sudah mengetahui betapa restorasi Lewat Djam<br />

Malam akan menjadi ikhtiar yang rumit dan intensif. Elemen-elemen<br />

film ini mengalami beberapa goresan, jamur dan jejak-jejak kelembaban,<br />

bagian-bagian yang rusak parah, frame yang hilang, serta vinegar<br />

syndrome, yakni sejenis pembusukan yang lazim terjadi pada film yang<br />

di sim pan dalam kondisi ruang yang lembab. Terjadi penyusutan pita,<br />

tekukan emulsi film, dan pembusukan sehingga sepanjang gambar di pita<br />

men jadi nyaris transparan. Langkah pertama melibatkan proses riset yang<br />

men dalam. Kami mempelajari dan membandingkan semua elemen film<br />

yang tersedia, yang terdiri dari pita negatif, interpositive, dan duplikat<br />

kopian negatif. Riset ini kemudian meluas seiring dengan ditemukannya<br />

unsur-unsur lain yang bisa dibandingkan, seperti kopi positif di mana<br />

kami menemukan soundtrack berdurasi 90 detik yang hilang dari semua


Elemen-elemen film yang asli mengalami bermacam-macam kerusakan akibat kondisi<br />

penyimpanan sehingga gulungan pita seluloid melengkung dan dan menciut.<br />

Sebelum proses pemindaian seluloid ke format digital, serangkaian perbaikan manual<br />

dilakukan, termasuk memperbaiki sambungan dan retakan seluloid.<br />

10<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM


Serangkaian perangkat digital digunakan untuk menyingkirkan efek-efek jamur,<br />

kotoran, goresan, efek kelap-kelip (flicker) dari elemen-elemen asli film.<br />

Setelah kerusakan diperbaiki secara digital, koreksi warna pun dilakukan supaya<br />

saturasi dan kedalaman optik antara warna hitam dan putih sesuai dengan karakteristik<br />

gambar yang asli.<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM<br />

11


Restorasi suara secara digital meliputi perbaikan atas ketidakhamonisan audio<br />

seperti clicks, crackle, noise, dan tingkatan suara yang tak seimbang.<br />

elemen lain yang ada. Kami menggunakan penyuntingan komparatif<br />

(decoupage) untuk mendokumentasikan banyak sekali shot dalam setiap<br />

gulung an pita, yang meliputi informasi seperti deskripsi narasi, deskripsi<br />

fisik, jenis elemen dan stok film, serta kerusakan yang terjadi. Fungsi<br />

penyuntingan komparatif ini berfungsi sebagai penyangga dan rujukan<br />

kunci yang memberikan petunjuk rekonstruksi film selama proses<br />

restorasi.<br />

Langkah kedua melibatkan restorasi fisik elemen-elemen asli filmnya<br />

agar dapat dipindai ke dalam format restorasi digital. Karena elemenelemen<br />

filmnya mengalami berbagai macam kerusakan fisik yang bakal<br />

mempengaruhi proses pemindaian, kami pun harus melakukan per baikan<br />

manual agar kondisi film kembali optimal sehingga gambar yang ditangkap<br />

melalui pemindaian berikutnya mampu mendekati kualitas yang asli<br />

12<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM


dan terbaik. Proses perbaikan manual juga dilakukan agar film dapat dimasuk<br />

kan ke alat pemindai tanpa harus menambah kerusakan. Langkah<br />

perbaikan ini terdiri dari merekatkan potongan pita, merekonstruksi<br />

lubang-lubang di pinggir pita dan menambal retakan. Semua elemen tersebut<br />

juga dibersihkan dengan mesin pencuci ultrasonik.<br />

Selanjutnya uji coba dilakukan untuk membantu kami memilih<br />

elemen-elemen terbaik mana yang bisa direstorasi secara digital serta menen<br />

tu kan resolusi yang diperlukan demi mendapatkan kualitas ter baik.<br />

Kami memutuskan untuk memindai elemen film ke dalam resolusi 4K<br />

(sekitar 4096x3112 pixel per frame), karena resolusi tersebut me mungkinkan<br />

kami melakukan restorasi yang lebih jauh lagi sembari tetap<br />

menjaga kualitas asli filmnya.<br />

Setelah proses pemindaian selesai, restorasi digital pun baru bisa dimulai.<br />

Alur kerja restorasi digital kami biasanya dimulai dengan memper<br />

baiki ketidakstabilan dan flicker, kemudian berlanjut ke proses yang<br />

sa ngat cermat di mana efek-efek vinegar syndrome, kotoran, dan cuka<br />

pada setiap frame diperiksa satu per satu dengan serangkaian dengan<br />

perangkat otomatis dan manual. Masing-masing dirapikan, diber sih kan,<br />

dan warnanya dikoreksi sesuai dengan karakteristiknya, sehingga detail<br />

gambar asli tetap terjaga dan terekonstruksi seakurat mungkin.<br />

Untuk restorasi soundtrack secara digital, kurangnya keseragaman<br />

bahan yang tersedia serta rupa-rupa kondisi yang menyertainya menjadi<br />

masalah utama. Soundtrack negatif yang asli tercetak dalam sejumlah<br />

pita film yang berbeda dan dihasilkan dengan teknologi yang berbeda<br />

pula. Selain itu, dua gulung pita hilang dari negatif sountrack yang asli.<br />

Maka, kami pun harus mengambil suara dari kombinasi interpositive<br />

prints.<br />

Dua menit terakhir gulungan seluloid kelima hilang dari negatif<br />

soundtrack dan seluruh duplikat. Untungnya semua dapat ditemukan<br />

da lam salah satu kopi positif. Soundtrack dipindai dengan menggunakan<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM<br />

13


tek nologi laser, sementara restorasi audio secara digital meliputi beberapa<br />

ta hap penyuntingan manual, de-clicker dan de-crackle beresolusi tinggi,<br />

dan beberapa lapis reduksi kebisingan secara otomatis.<br />

14<br />

Di akhir restorasi, ada dua produk yang dihasilkan: seluloid 35mm<br />

yang baru dan paket format kamera digital. Kami senang dengan hasil<br />

yang diperoleh, namun yang lebih berharga dari itu, kami merasa terhor<br />

mat telah mendapatkan kesempatan untuk menyelamatkan film<br />

yang penting nilainya bagi sinema nasional Indonesia. Proyek ini pun<br />

me nunjukkan pada betapa kesadaran dan inisiatif untuk merestorasi<br />

dan pemeliharaan film yang berkelanjutan amatlah penting. Lewat Djam<br />

Malam hanyalah satu dari episode dari luasnya sejarah sinema yang perlu<br />

direstorasi. Seiring berjalannya waktu, kondisi pita seluloid bakal terus<br />

memburuk jika tidak ada upaya untuk pemeliharaan dan restorasi.<br />

Kita harus bertindak cepat. Untuk saat ini, sangat menggembirakan bahwa<br />

Lewat Djam Malam akan kembali ke layar lebar. Kedudukannya dalam<br />

sejarah sinema pun kembali diperkokoh.<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM


Kronologi Restorasi<br />

Lewat Djam Malam<br />

L I n Ta n g g I T o M a R T o y o D a n<br />

aDRIan jonaThan PaSaRIbu<br />

Januari 2010<br />

Philip Cheah (National Museum of Singapore/NMS) mengontak JB<br />

Kristanto dan kemudian Lisabona Rahman (Kineforum Dewan Kesenian<br />

Jakarta) dengan tawaran untuk menerbitkan Katalog Film Indonesia<br />

karya JB Kristanto dalam bahasa Inggris. Penerbitan Katalog Film<br />

Indonesia versi Inggris ini rencananya akan dibarengi dengan pemutaran<br />

film Indonesia klasik yang sudah direstorasi. Sebelumnya, belum ada film<br />

Indonesia yang pernah direstorasi. Lisabona mengabari JB Kristanto perihal<br />

proyek restorasi ini. Setelah diskusi dan konsultasi, terpilihlah Lewat Djam<br />

Malam karya Usmar Ismail sebagai judul yang akan direstorasi.<br />

September 2010<br />

Lisabona mengadakan riset perihal teknis dan ketersediaan fisik Lewat<br />

Djam Malam. Riset ini diperlukan agar NMS dapat memperkirakan<br />

bujet restorasi yang dibutuhkan. Hasil riset kondisi Lewat Djam Malam<br />

di koleksi Sinematek Indonesia: original negative 10 reel, kopi negatif<br />

suara 8 reel (reel 8 dan 9 hilang), duplikat positif dan negatif lengkap<br />

(masing-masing 10 reel).


16<br />

NMS mengontak L’Immagine Ritrovata untuk menjadi rekan kerja.<br />

L’Immagine Ritrovata merupakan laboratorium di Bologna, Italia, yang<br />

khusus mengerjakan restorasi film. Salah dua karya bersejarah yang pernah<br />

pulihkan oleh laboratorium ini adalah A Brighter Summer Day (Edward<br />

Yang, 1991) dan La Dolce Vita (Federico Fellini, 1960). Atas spesialisasi<br />

dan track record inilah, L’Immagine Ritrovata dipercaya NMS untuk<br />

merestorasi Lewat Djam Malam.<br />

Januari 2011<br />

NMS mengontak L’Immagine Ritrovata untuk bersiap mengadakan<br />

pemeriksaan materi film Lewat Djam Malam, untuk mengetahui seberapa<br />

jauh kerusakannya. Pengiriman materi untuk dites dilakukan pada tanggal<br />

12 Januari oleh Lintang Gitomartoyo (Yayasan Konfiden). Materi yang<br />

dikirim adalah original negative (reel 1 dan 9), kopi duplikat negatif (reel<br />

1 dan 9), negatif suara (reel 1), kopi duplikat positif (reel 1 dan 9). Total<br />

tujuh reel dikirim ke Bologna.<br />

Maret 2011<br />

Davide Pozzi, direktur L’Immagine, mempresentasikan hasil pemeriksaan<br />

materi film Lewat Djam Malam, 3-4 Maret di National Museum of<br />

Singapore. Indonesia diwakili oleh Lisabona dan Lintang, sementara NMS<br />

oleh Zhang Wenjie. Davide memaparkan bahwa permasalahan utama Lewat<br />

Djam Malam adalah jamur di seluloid film. Apabila tidak dita ngani dengan<br />

benar, jamur ini bisa menyebabkan gambar di seluloid film hilang.<br />

Ada tiga pilihan hasil akhir restorasi yang ditawarkan: 2K, 3K, dan<br />

4K. Davide menyiapkan sampel (berdurasi sepuluh menit) untuk masingmasing<br />

pilihan hasil akhir, untuk memberi gambaran seperti apa jadinya<br />

Lewat Djam Malam setelah direstorasi. Setelah diskusi dan konsultasi,<br />

NMS memilih proses restorasi digital yang sifatnya menurun per tahap<br />

kualitasnya. Proses film scanning dilakukan dengan kualitas 4K, kemudian<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM


dibersihkan, dirapikan, dan diperbaiki dengan kualitas 3K. Hasil akhirnya<br />

adalah seluloid dan DCP (digital cinema package) dengan kualitas 2K.<br />

Pilihan hasil akhir DCP kualitas 2K dikarenakan proyektor yang le bih<br />

banyak dipakai (terutama di Asia Tenggara) adalah proyektor 2K. Proyektor<br />

4K masih terbatas. Hasil akhir berupa seluloid dipilih, karena masih<br />

di anggap sebagai bentuk penyimpanan data yang paling baik dan awet.<br />

Juni 2011<br />

Tanda tangan surat persetujuan antara NMS dan Irwan Usmar Ismail,<br />

pihak keluarga Usmar Ismail sekaligus pemilik hak film Lewat Djam<br />

Malam. Tiga poin yang terangkum dalam kontrak: 1) film Lewat Djam<br />

Malam akan direstorasi dengan dana NMS di L’Immagine Ritrovata,<br />

Bologna, Italia, 2) Indonesia akan menerima 1 kopi positif 35 mm dan<br />

DCP, sementara pihak NMS mendapat 1 kopi positif hasil restorasi Lewat<br />

Djam Malam, dan 3) NMS berhak menggunakan hasil restorasi film ini<br />

untuk kegiatan non-komersial.<br />

Agustus 2011<br />

Pengiriman sisa materi film untuk direstorasi pada tanggal 19 Agustus<br />

oleh Lintang. Materi yang dikirim adalah: negatif gambar (reel 2-8 dan<br />

10), negatif suara (reel 2-7 dan 10), duplikat negatif (reel 2-8 dan 10),<br />

duplikat positif (reel 2-8 dan 10), trailer (1 reel), title reel (1 reel). Total<br />

ada 33 reel yang dikirim ke Bologna. Lisabona mengirimkan film-film<br />

Usmar Ismail yang lain dalam bentuk DVD ke Bologna, sebagai acuan<br />

warna dan gambar bagi L’Immagine Ritrovata dalam merestorasi Lewat<br />

Djam Malam. Salah satu film yang dikirim adalah Darah dan Doa.<br />

Januari 2012<br />

Ketika berkunjung ke L’Immagine Ritrovata, Lisabona mengabarkan ada suara<br />

yang hilang pada menit ke-45 di reel lima. Durasi total suara yang hi lang<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM<br />

17


adalah 1 menit 46 detik. Setelah diperiksa kembali, semua materi film Lewat<br />

Djam Malam yang dikirimkan ke Bologna memiliki cacat yang sama.<br />

Februari 2012<br />

L’Immagine mempresentasikan proses kerja restorasi Lewat Djam Malam,<br />

7 Februari di National Museum of Singapore. Perwakilan dari Indonesia<br />

yang hadir adalah Irwan Usmar Ismail, JB Kristanto, dan Lintang. Film<br />

baru 70% direstorasi. Suara sudah selesai direstorasi (kecuali 1 menit 46<br />

detik yang hilang), sementara restorasi gambar hanya setengah dari total<br />

reel keseluruhan.<br />

Dari presentasi ini, teridentifikasi dua masalah. Pertama, ada jamurjamur<br />

yang tak dapat diangkat atau dikurangi sama sekali, karena<br />

jamur berada dalam frame-frame adegan yang mengandung gerakan di<br />

dalamnya. Pengangkatan jamur akan berdampak pada kualitas gambar.<br />

Kedua, belum ditemukan solusi untuk audio film yang hilang. Sempat<br />

muncul wacana untuk melakukan dubbing dan rekonstruksi suara,<br />

namun menurut pihak lab, hasilnya tidak akan sama. Solusi yang diajukan<br />

pihak lab adalah membuat dua subtitle sekaligus (bahasa Indonesia dan<br />

Inggris) apabila data audio yang dibutuhkan tidak ditemukan.<br />

Diskusi selama presentasi di Singapura membuahkan dua agenda<br />

untuk pihak lab. Pertama, riset tentang perfilman Indonesia. Kedua,<br />

membantu pencarian audio yang hilang. Pada tanggal 9 dan 10 Februari,<br />

Davide Pozzi dan Cecilia Cenciarelli mengunjungi Jakarta. Cecilia<br />

merupakan perwakilan dari Cineteca Bologna, arsip film di Bologna yang<br />

memiliki hubungan institusional dengan L’Immagine Ritrovata. Cineteca<br />

juga tergabung dalam jaringan World Cinema Foundation (WCF) yang<br />

diketuai Martin Scorsese. Pada hari pertama, Davide dan Cecilia bertemu<br />

dengan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, Sinematek Indonesia, dan<br />

Yayasan Konfiden untuk perkenalan institusi serta dialog tentang industri<br />

dan preservasi film di Indonesia. Pada hari kedua, Davide dan Lintang<br />

18<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM


mencari data audio yang dibutuhkan untuk restorasi komplet Lewat<br />

Djam Malam. Data tersebut akhirnya ditemukan di kopi D.<br />

Pengiriman kopi film Lewat Djam Malam yang bersuara komplet ke<br />

Bologna, dilakukan pada 22 Februari oleh Lintang. Materi yang dikirim<br />

adalah: kopi positif D (reel 1-5), dan negatif suara (reel 5/6). Total ada 6<br />

reel yang dikirim.<br />

Maret 2012<br />

Di awal Maret, World Cinema Foundation (WCF) menghubungi NMS dan<br />

Konfiden dengan permintaan untuk berpartisipasi dalam proyek restorasi<br />

Lewat Djam Malam, dengan menanggung sebagian dari keseluruhan<br />

biaya restorasi. Apabila tawaran WCF diterima Sinematek Indonesia dan<br />

NMS, maka karya Usmar Ismail tahun 1954 tersebut menjadi salah satu<br />

judul yang didistribusikan oleh WCF ke seluruh dunia.<br />

Terjadilah dialog antara NMS dan Sinematek Indonesia yang dime diasi<br />

oleh Konfiden. Irwan Usmar Ismail memberikan kuasa pada Sinematek<br />

Indonesia untuk menjalin kerja sama dengan WCF, sehingga dibuat lah<br />

kontrak antara Sinematek dan WCF. Terjadi dua perubahan dari persetujuan<br />

sebelumnya. Pertama, kredit restorasi yang tadinya dialamat kan<br />

pada Sinematek Indonesia dan NMS kini turut melibatkan WCF. Artinya,<br />

ketiga nama instansi tersebut akan ada di bagian pembuka hasil res torasi<br />

Lewat Djam Malam, di manapun film itu diputar. Kedua, lisensi film<br />

Lewat Djam Malam menjadi hak milik Sinematek Indonesia dan WCF.<br />

Perpindahan lisensi ini berdampak pada hak distribusi Lewat<br />

Djam Malam hasil restorasi. NMS tetap memegang hak distribusi nonkomersial<br />

untuk zona Asia, kecuali Indonesia. Sinematek Indonesia<br />

punya hak distribusi non-komersial di Indonesia, sementara WCF di<br />

seluruh dunia kecuali Asia. Untuk distribusi komersial, WCF adalah di<br />

seluruh dunia kecuali Indonesia. Hak distribusi komersial di Indonesia<br />

dipegang oleh Sinematek Indonesia.<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM<br />

19


Maret 2012<br />

Lewat Djam Malam dengan hasil restorasi 90 persen diputar di National<br />

Museum of Singapore, 28 Maret hanya untuk undangan. Total ada 240<br />

penonton memenuhi ruang pemutaran NMS yang berkapasitas 247 orang.<br />

Lewat Djam Malam menjadi film pembuka program Merdeka!, yang<br />

berlangsung dari 28 sampai 31 Maret di NMS. Dalam program yang sama,<br />

dua film Usmar Ismail lainnya (Darah dan Doa dan Tamu Agung) dan tiga<br />

film Garin Nugroho (Surat untuk Bidadari, Puisi Tak Terkuburkan, dan<br />

Mata Tertutup) turut diputar. Perwakilan Indonesia yang hadir di acara<br />

ini adalah JB Kristanto, Lintang Gitomartoyo, dan Alex Sihar dari Yayasan<br />

Konfiden, Irwan Usmar Ismail beserta istri, serta Berthy L Ibrahim dari<br />

Sinematek Indonesia, A Rahim Latif, importir dan distributor, yang juga<br />

sangat mengenal Usmar Ismail dan turut membantu proses restorasi, juga<br />

hadir dalam pemutaran ini JB Kristanto dan Lee Chor Lin (direktur NMS)<br />

memberikan sambutan sebelum pemutaran hasil restorasi Lewat Djam<br />

Malam.<br />

Mei 2012<br />

Festival Film Cannes ke-65 memutar hasil restorasi Lewat Djam Malam<br />

tanggal 17 Mei di ruang Bunuel, Palais des Festival, Prancis. Pemutaran ini<br />

menjadi pembuka Cannes Classics, program khusus untuk film-film klasik<br />

yang direstorasi. Setiap tahunnya, WCF punya slot khusus di Cannes<br />

Classics, terkait dengan status Cannes sebagai tempat terbentuknya WCF<br />

tahun 2007 silam. Tahun ini, Lewat Djam Malam mengisi slot milik WCF<br />

di Cannes bersama dengan satu film India, Kalpana karya Uday Shankar<br />

tahun 1948. Pemutaran film dibuka dengan sambutan lima orang: Thierry<br />

Frémaux (Direktur Festival Film Cannes), Kent Jones (Direktur Eksekutif<br />

WCF), Alex Sihar, Lee Chor Lin (Direktur NMS), dan Pierre Rissient<br />

(kritikus film senior dari Prancis).<br />

20<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM


Penayangan Internasional<br />

Hasil Restorasi<br />

ToToT InDRaRTo<br />

SEBELUM disaksikan masyarakat Indonesia mulai Juni 2012, hasil<br />

restorasi Lewat Djam Malam sudah diputar dua kali di luar negeri. Pena<br />

yang an pertama berlangsung di National Museum of Singapore (NMS)<br />

pada 28 Maret 2012. Saat itu sebenarnya baru 90 persen restorasi selesai.<br />

Malam itu 240 tamu memenuhi ruang pemutaran NMS yang berkapasitas<br />

247 tempat duduk.<br />

Lewat Djam Malam menjadi pembuka program Merdeka!, yaitu pemutaran<br />

enam film karya Usmar Ismail dan Garin Nugroho yang dianggap<br />

perintis dan pembaharu sinema Indonesia modern. Setelah acara dibuka<br />

oleh Direktur NMS Lee Chor Lin, penasehat proyek restorasi JB Kristanto<br />

mem perkenalkan Lewat Djam Malam ke hadapan penonton, “Usmar<br />

Ismail adalah sutradara Indonesia pertama yang memperlakukan film<br />

seba gai pernyataan personal atau komentar sosial. Ini adalah lompatan<br />

kuantum dari semua pendahulunya dan mayoritas pembuat film sampai<br />

sekarang, yang melihat film sebagai hiburan semata.”<br />

Hasil restorasi penuh ditayangkan pertama kali sebagai World Premiere<br />

dalam program Cannes Classics pada pada hari kedua Festival Film Cannes<br />

ke-65, 17 Mei 2012. Sekitar 300 penonton memenuhi Salle Buñuel, Palais


Katalog, pamflet, dan tiket Lewat Djam Malam di Cannes Classics.


des Festivals. Ikut menonton Alexander Payne, sutra dara pe me nang Oscar<br />

penulis skenario terbaik untuk filmnya, The Descendants, yang hadir di<br />

Cannes tahun ini sebagai anggota Dewan Juri kom pe tisi utama.<br />

Cannes Classics merupakan seleksi resmi Cannes untuk memutar<br />

resto rasi karya-karya klasik dan monumental dari berbagai penjuru dunia.<br />

Tahun ini Lewat Djam Malam dan Kalpana (Uday Shankar, India, 1948)<br />

diputar atas pilihan World Cinema Foundation (WCF) yang diketuai oleh<br />

Martin Scorsese. Lembaga yang berpusat di Jenewa dan New York itu<br />

di bentuk untuk menyelamatkan film-film yang dianggap layak menjadi<br />

ba gian dari sejarah perfilman dunia. Keduanya bersanding dengan film-<br />

film monumental karya John Boorman, Andrei Konchalovsky, Roman<br />

Polanski, Claude Miller, Alfred Hitchcock, Keisuke Kinoshita, Roberto<br />

Rosselini, Steven Spielberg, Agnes Varda, Sergio Leone, dan lain-lain.<br />

Pemutaran Lewat Djam Malam dalam gelaran bersejarah memperingati<br />

tahun ke-65 penyelenggaraan festival film paling ber geng si<br />

itu di buka oleh Thierry Frémaux, (Direktur Festival Cannes), Alex Sihar<br />

(Direktur Yayasan Konfiden), Kent Jones (Diek tur Eksekutif WCF), dan<br />

Lee Chor Lin (Direktur NMS).<br />

Thierry Frémaux, Kent Jones, dan Lee Chor Lin sepakat bahwa karya<br />

ter baik Usmar Ismail ini merupakan salah satu warisan perfilman dunia<br />

yang sangat pantas diselamatkan dan merasa beruntung bisa terlibat dalam<br />

restorasinya. Sementara Alex Sihar menekankan perjuangan ke ras<br />

para penggiat film Indonesia dalam mengupayakan restorasi dan kon ser-<br />

vasi film-film Indonesia yang sebagian besar dalam keadaan rusak dan<br />

ter ancam kepunahan.<br />

Penayangan perdana ini diantar oleh Pierre Rissient, salah satu kriti-<br />

kus film Prancis terkemuka, yang pernah menonton di Jakarta pada 1977<br />

dan sangat terkesan meski tanpa teks terjemahan. Ia bersyukur bisa menyak<br />

sikan hasil restorasi film ini dan akhirnya bisa memahami selu ruh<br />

dialognya 35 tahun kemudian. Rissient menekankan pentingnya me mu-<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM<br />

23


lih kan dan menonton kembali karya Usmar Ismail dan Asrul Sani, dua<br />

pem buat film Asia yang sangat ia hargai.<br />

24<br />

Film ini juga akan ditayangkan sebagai bagian dari konferensi ASEACC<br />

(Association for Southeast Asia Cinema Conference) di Singapura 19 Juni<br />

2012, dan dalam program Il Cinema Ritrovata di Bologna 2012 (Festival<br />

Film Klasik Bologna 2012) pada 23-30 Juni 2012.<br />

Semua pihak yang tertarik untuk melakukan pemutaran film ini<br />

selanjutnya untuk kepentingan non-komersial dan festival, dapat<br />

menghubungi Sinematek Indonesia (untuk wilayah Indonesia), NMS<br />

(untuk wilayah Asia di luar Indonesia), atau WCF (untuk wilayah lain di<br />

dunia di luar Asia). *Penyumbang bahan: Alex Sihar, Lisabona Rahman.<br />

Alamat kontak:<br />

Sinematek Indonesia<br />

Jl. H.R. Rasuna Said Kuningan, Kav. C-22 Jakarta 12940 INDONESIA<br />

Telp.: 021-5268455, Fax.: 021-5268454<br />

info@sinematekindonesia.com – www.sinematekindonesia.com<br />

atau melalui:<br />

Sahabat Sinematek<br />

info@sahabatsinematek.org – www.sahabatsinematek.org<br />

National Museum of Singapore (NMS)<br />

93 Stamford Road, Singapore 178897<br />

Special Attention to: Zhang Wenjie<br />

ZHANG_wenjie@nhb.gov.sg – www.nationalmuseum.sg<br />

World Cinema Foundation (WCF)<br />

110 W. 57th Street, 5th Fl., New York, NY 10019 USA<br />

Special Attention to: Douglas Laible<br />

info@worldcinemafoundation.org – www.worldcinemafoundation.org<br />

RESToRaSI LEWaT DjaM MaLaM


Sebelum dan Sesudah<br />

Restorasi


26<br />

SEbELuM Dan SESuDah RESToRaSI


SEbELuM Dan SESuDah RESToRaSI<br />

27


28<br />

SEbELuM Dan SESuDah RESToRaSI


SEbELuM Dan SESuDah RESToRaSI<br />

29


30<br />

SEbELuM Dan SESuDah RESToRaSI


SEbELuM Dan SESuDah RESToRaSI<br />

31


32<br />

SEbELuM Dan SESuDah RESToRaSI


SEbELuM Dan SESuDah RESToRaSI<br />

33


Lewat Djam Malam


Iskandar (AN Alcaff) dan Puja (Bambang Hermanto).


Kredit Lewat Djam Malam<br />

PELaKon<br />

AN Alcaff Iskandar<br />

Netty Herawati Norma<br />

Dhalia Laila<br />

Awaludin Gafar<br />

Rd Ismail Gunawan<br />

A Hadi Ayah Norma<br />

Bambang Hermanto Puja<br />

Aedy Moward Adlin<br />

Titien Sumarni Ida<br />

Astaman<br />

Lukman Jusuf<br />

S Taharnunu<br />

Wahid Chan<br />

KRu<br />

Srijani S Penata Busana<br />

Hanida Arifin Penata Rias<br />

E Sambas Perekam Suara<br />

Bob Saltzman Perancang Suara<br />

GRW Sinsu Penata Musik<br />

Soemardjono Penata Gambar<br />

Max Tera Penata Kamera<br />

Kasdullah Juru Kamera<br />

Abdul Chalid Penata Artistik<br />

MD Aliff Manager Unit<br />

Asrul Sani Cerita, Skenario<br />

Djamaludin Malik Produser<br />

Usmar Ismail Produser<br />

Usmar Ismail Sutradara<br />

Perfini Produksi<br />

Persari Produksi


Menjelang hukuman tembak.


Sinopsis Lewat Djam Malam<br />

Seorang bekas pejuang, Iskandar (AN Alcaff), kembali ke masyarakat<br />

dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah<br />

asing baginya. Pembunuhan terhadap seorang perempuan dan<br />

keluarganya atas perintah komandannya di masa perang terus<br />

menghantui dirinya.<br />

Tepat pada jam malam yang sedang diberlakukan, ia masuk<br />

rumah pacar nya, Norma (Netty Herawati). Itu awal film yang masa<br />

kejadiannya ha nya dua hari. Keesokannya ia dimasukkan kerja ke<br />

kantor gubernuran oleh calon mertuanya. Tidak betah dan malah<br />

cekcok. Dengan kawan lama nya, Gafar (Awaludin), yang sudah<br />

jadi pemborong, ia juga tak mera sa cocok. Ia masih mencari kerja<br />

yang sesuai dengan dirinya.<br />

Bertemu dengan Gunawan (Rd Ismail), bekas komandannya,<br />

ia se ma kin muak melihat kekayaan dan cara-cara bisnisnya. Apalagi<br />

setelah tahu bahwa Gunawan merampas harta perempuan<br />

yang ditembak Iskandar itu lalu dijadi kan modal usahanya sekarang.<br />

Kemarahannya memuncak. Ia lari dari pesta yang diadakan<br />

pacarnya untuk dirinya dan pergi mencari Gunawan, ditemani<br />

be kas anak buahnya Pujo (Bambang Hermanto), yang ja di centeng<br />

rumah bordil, yang dihuni oleh Laila (Dahlia), pelacur yang mengim<br />

pi kan kedamaian sebuah rumah tangga yang tak kunjung datang.<br />

Pulang ke pesta, ia melihat polisi datang. Ia curiga dirinya<br />

dicari-cari. Maka lari lagilah dia sampai kena tembak oleh Polisi<br />

Militer, karena me lang gar peraturan (lewat) jam malam, justru<br />

di saat dia menghampiri kem bali Norma, satu-satunya orang yang<br />

mau mengerti dirinya.<br />

Karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah kritik sosial yang tajam<br />

mengenai para bekas pejuang kemerdekaan pasca-perang. Maka<br />

di akhir film dibu buh kan kalimat: “Kepada mereka yang telah<br />

memberikan sebesar-besar pengor banan nyawa mereka, supaya<br />

kita yang hidup pada saat ini dapat me nik mati segala kelezatan<br />

buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun<br />

buat diri mereka sendiri.”


40<br />

LEWaT DjaM MaLaM


Usmar Ismail 1950-1970<br />

Tidak Mudah Menjadi Indonesia<br />

ToToT InDRaRTo<br />

1.<br />

“Sejarah film Indonesia tidak bisa ditulis tanpa menulis sejarah hidup<br />

Usmar Ismail,” kata Asrul Sani. Itu berarti, sejarah film Indonesia sebetulnya<br />

masih terbilang muda, lebih singkat dibanding pengalaman orang<br />

Indonesia menonton dan membuat gambar hidup, karena film yang diakui<br />

Usmar Ismail sebagai karya pertamanya baru dibuat setengah abad<br />

se sudah bioskop masuk ke negeri ini.<br />

Sejak bioskop pertama di Jalan Kebon Jahe, Tanah Abang, berdiri<br />

pa da 5 Desember 1900 penduduk Hindia Belanda sudah bisa merasakan<br />

sen sasi film. Bioskop berkembang terutama setelah pedagang Cina ma-<br />

suk ke bisnis tersebut dan mengimpor film-film Hollywood, Jerman, dan<br />

Cina. Tapi, dibutuhkan waktu 26 tahun sampai G Krugers, sutradara doku<br />

men ter Belanda bersama regent Bandung RAAHM Wiranatakusumah<br />

V, memproduksi film cerita pertama di Indonesia, Loetoeng Kasaroeng<br />

(1926).<br />

Setelah itu, 25 tahun berikutnya, setidaknya terdapat 124 film cerita<br />

lain dibuat oleh sutradara-sutradara berkebangsaan Belanda, Cina, dan


ke mu dian juga Indonesia. Dua mantan wartawan, Bachtiar Effendy (Njai<br />

Dasima, 1932) dan Andjar Asmara (Kartinah, 1940), menjadi pemula,<br />

yang disusul sejumlah sutradara pribumi lain termasuk Usmar Ismail. Ia<br />

waktu itu masih bekerja untuk South Pacific Film Corporation dan sempat<br />

membuat dua film pada 1949, Harta Karun dan Tjitra.<br />

Praktis dalam seperempat abad pertama kehadirannya, film-film<br />

Indonesia—sebagaimana motif utama pedagang Cina yang sejak 1925<br />

mengua sai usaha perbioskopan—dibuat semata sebagai barang hiburan<br />

dan komoditas dagang.<br />

Motif komersial yang terlampau kuat itu mendorong Usmar Ismail<br />

keluar dari perusahaan film Belanda itu dan bersama beberapa teman<br />

seni man mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Ia merasa gerah<br />

karena mesti mengakomodir banyak “pesanan” dari produser. Dengan<br />

modal dari kantung sendiri, ditambah persekot dari pemilik bioskop yang<br />

bersedia mengedarkan, pada 1950 ia membuat The Long March, yang<br />

lebih populer dengan judul Darah dan Doa. Film yang kemudian diakui<br />

sebagai film pertamanya.<br />

Dikembangkan dari cerita Sitor Situmorang, Darah dan Doa mengisahkan<br />

perjalanan pulang pasukan TNI Divisi Siliwangi dari Yogya ke Jawa<br />

Barat, setelah ibukota sementara itu diserang dan diduduki Belanda. Cerita<br />

berpusat pada pemimpin rombongan, Kapten Sudarto (Del Juzar).<br />

Meski pun sudah beristri, dalam perjalanan ia terlibat cinta dengan dua<br />

gadis. Film ini juga menggambarkan ketegangan terhadap ancaman serangan<br />

Belanda, selain berbagai persoalan kemanusiaan seperti ketakut an,<br />

keraguan, penderitaan, kesetiakawanan, pengkhianatan, dan lain-lain.<br />

Kendati menempati posisi istimewa dalam sejarah film Indonesia,<br />

Darah dan Doa bukanlah film terbaik Usmar Ismail. Ia sendiri mengakui,<br />

film ini terlalu banyak maunya, berhasrat menampilkan seluruh kejadian<br />

be sar yang berlangsung dalam Revolusi Indonesia akibat semangatnya<br />

yang meluap-luap. Ia juga mengakui masih sangat banyak kekurangan<br />

42<br />

LEWaT DjaM MaLaM


teknis, termasuk dalam penyusunan cerita dan penyutradaraan, karena<br />

minim nya pengetahuan dan pengalaman.<br />

Keistimewaan Darah dan Doa tercermin dari penahbisannya seba gai<br />

film Indonesia pertama, di samping hari pertama pengambilan gambar-<br />

nya (30 Maret) dijadikan Hari Film Nasional, Usmar Ismail dianggap<br />

Pelopor Film Nasional, dan bersama Djamaludin Malik diakui sebagai<br />

Bapak Perfilman Indonesia.<br />

2.<br />

Predikat “film Indonesia pertama” diberikan karena Darah dan Doa disutra<br />

darai oleh orang Indonesia asli, diproduksi oleh perusahaan film<br />

Indonesia, dan diambil gambarnya di Indonesia. Misbach Jusa Biran<br />

beralasan karena film itu mencerminkan kesadaran nasional dan mengisyaratkan<br />

lahirnya sejarah film Indonesia. Asrul Sani mendefinisikannya<br />

sebagai film yang menjurubicarai perjuangan rakyat Indonesia, film<br />

yang merupakan bagian integral dari kehidupan dan perjuangan rakyat<br />

Indonesia.<br />

Sejumlah pengamat dan peneliti film tidak sepakat dengan “pemujaan”<br />

terhadap Usmar dan film itu, karena berarti menafikan ke beradaan<br />

dan kontribusi produser serta sutradara lain yang telah membuat<br />

film di Indonesia sejak 25 tahun sebelumnya. Boleh dibilang merekalah<br />

yang membangun infratruktur perfilman Indonesia, termasuk melahirkan<br />

bintang-bintang film berkualitas yang disukai penonton serta pekerja film<br />

terampil seperti Usmar Ismail.<br />

Usmar sendiri mengatakan Darah dan Doa tidak dibuat dengan per hitungan<br />

komersial apapun dan semata-mata hanya didorong idealisme. Jadi,<br />

setidaknya ada tiga motif besar yang mendasari pengakuan pada Darah<br />

dan Doa sebagai film Indonesia pertama, yaitu sentimen nasional is me,<br />

politik identitas, dan hasrat idealisme yang sangat kuat. Tiga ob se si yang<br />

kerap menjadi kegelisahan warga sebuah bangsa yang baru merdeka.<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

43


44<br />

Tentu bukan kebetulan jika film itu dan film-film Usmar Ismail<br />

berikut nya juga memuat kegelisahan mengenai tiga hal tersebut. Isu na-<br />

sional isme mudah terbaca pada film-filmnya yang bertema revolusi dan<br />

politik: Enam Djam di Djogja (1951), Kafedo (1953), Lewat Djam Malam<br />

(1954), Tamu Agung (1955), Pedjuang (1960), Toha Pahlawan Bandung<br />

Selatan (1961), Anak-anak Revolusi (1964). Di sini Usmar mempunyai<br />

kecenderungan anti hero dengan menggambarkan para pejuang, yang<br />

dalam sejarah dianggap pahlawan, sebagai manusia biasa. Justru sebagai<br />

bekas pejuang berpangkat mayor ia berani jujur dan menolak mitos kepahlawanan<br />

yang serba suci dan sempurna.<br />

Dalam mengolah persoalan identitas, atau persisnya kegamangan kultural<br />

manusia-manusia yang baru menikmati kemerdekaan, Usmar lebih<br />

sering mengemas atau menyelipkan sentilan atau kritik sosial terhadap<br />

kecenderungan kebarat-baratan terutama kelas menengah Indonesia pada<br />

sebagian besar filmnya. Perkara-perkara sepele yang tidak pernah diangkat<br />

dalam film-film yang dibuat di Indonesia sebelumnya, namun senantiasa<br />

mengganggunya. Melalui sentilan, ia tidak semata mempersoalkan jatidiri,<br />

melainkan terus-menerus mengingatkan pentingnya memiliki ke pri-<br />

badian yang kuat sebagai sebuah bangsa merdeka.<br />

Adapun gagasan mengenai idealisme boleh dikata merupakan topik<br />

abadi pada hampir semua film Usmar Ismail, yang direpresentasikan<br />

da lam konflik antara karakter idealis dengan karakter pragmatis. Menarik<br />

nya, kendati terasa selalu menempatkan karakter idealis sebagai<br />

protagonis, ia tidak membabi buta membela mereka. Iskandar (AN Alcaff)<br />

dalam Lewat Djam Malam, misalnya, ditembak mati akibat kekerasan<br />

hati nya ketika hendak menemui satu-satunya orang yang dianggap bisa<br />

me mahami idealisme dan kegelisahannya.<br />

Penggambaran seperti itu justru memperlihatkan kecintaan dan pe-<br />

mihakan Usmar. Setelah menjadi manusia berdaulat kita mempunyai setidaknya<br />

dua pilihan: idealis atau pragmatis. Seorang idealis adalah anjing<br />

LEWaT DjaM MaLaM


penjaga kesadaran yang mesti terus ada buat memelihara keseimbangan,<br />

sehingga tidak boleh bersikap bodoh, frustrasi, dan fatalis, karena malah<br />

akan berakibat mematikannya. Dan itu jelas merugikan—dalam konteks<br />

film-filmnya—perjalanan kemerdekaan bangsa ini.<br />

Hal-hal tersebut di atas bisa menjadi argumentasi penguat mengapa<br />

Darah dan Doa serta semua film Usmar secara estetika sangat layak dianggap<br />

prototipe “film Indonesia.” Keberadaannya jelas-jelas menandai kehadiran<br />

film-film yang berakar dan tumbuh di tanah gembur masyarakat<br />

Indonesia, alias bukan sesuatu yang dipetik dari langit khayali.<br />

Usmar tidak sekadar memotret Indonesia dengan perspektif turistik,<br />

lalu mengeksploitasinya menjadi hiburan atau tontonan eksotis<br />

de ngan konteks yang dicari-cari. Ia merasakan kegelisahan, lalu mengolah<br />

pelbagai persoalan faktual bangsa dan masyarakatnya untuk kemudian<br />

diceritakan sebagai ekspresi personal dengan gagasan yang kuat.<br />

Ditambah lagi, ia mempunyai obsesi besar pada perfeksi teknis dan artistik,<br />

sehingga setelah membuat tiga film pada 1952 ia menerima tawaran<br />

bea siswa Yayasan Rockefeller untuk belajar film di UCLA, Los Angeles,<br />

Amerika Serikat.<br />

Setahun belajar dan berkeliling studio-studio Hollywood sempat<br />

seben tar mengubah Usmar. Film pertama yang dibuat seusai belajar,<br />

Kafedo, terasa menampilkan gaya dan ritme Amerika, termasuk adeganadegan<br />

perkelahian yang seru. Padahal film itu mengisahkan persaingan<br />

cinta pada masa revolusi fisik. Karakter utamanya seorang nasonalis yang<br />

ber mukim di Mentawai dan bergaul dengan orang-orang kota namun tetap<br />

teguh memegang adat-istiadat, atau dalam deskripsi Usmar kala itu,<br />

“Percampuran manusia alam dan manusia peradaban.”<br />

Tapi, ia cepat berubah lagi. Setelah itu ia membuat dua film de ngan<br />

konsep dan orientasi berbeda, yang sama berhasilnya. Dengan itu sebetulnya<br />

tugasnya sebagai perintis sudah selesai, karena telah mem buktikan<br />

mampu membuat dua jenis film yang selalu dipertentangkan: film<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

45


laris yang digemari penonton dan film bagus yang dipuji kritikus dan juri<br />

festival.<br />

Yang pertama Krisis (1953), komedi sketsa penghuni rumah kontrakan<br />

yang diniatkan sebagai film komersial. Film itu berhasil menjadi<br />

film terlaris setelah Terang Boelan (Albert Balink, 1938). Kedua, Lewat<br />

Djam Malam dibuat bekerja sama dengan Perseroan Artis Indonesia<br />

(Persari) se bagai film bermutu guna bertarung di Festival Film Asia<br />

(FFA). Walau pun batal mengikuti FFA karena dilarang pemerintah, film<br />

itu men dapat lima penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) 1955, ter-<br />

masuk Film Terbaik, dan hingga kini dianggap film Indonesia terbaik<br />

se panjang masa.<br />

Film yang baru selesai direstorasi oleh National Museum of Singapore<br />

dan World Cinema Foundation itu oleh produser dan anggota Komite<br />

Film DKJ (De wan Kesenian Jakarta) Abduh Aziz dinilai, “Menyampaikan<br />

isu paling kon tekstual zamannya. Ada soal pembangunan yang baru ber-<br />

jalan, ada soal frustasi para pejuang. Ada juga soal manusia sebagai kor-<br />

ban pergolakan sejarah zamannya. Film ini sangat baik menangkap semua<br />

persoalan itu.”<br />

Apresiasi dari orang-orang yang bahkan tidak hidup sezaman dengan<br />

pembuatnya itu semakin membuktikan bahwa ke-Indonesia-an filmfilm<br />

Usmar Ismail adalah sesuatu yang otentik dan menyatu erat seperti<br />

darah dalam daging, sehingga mudah dilihat dan dirasakan keunikannya.<br />

Indonesia sebagai semacam ruh sekaligus pembeda filmnya dengan 125<br />

film lain yang pernah dibuat selama 25 tahun sebelumnya, bahkan, ironisnya,<br />

juga dengan ribuan film berikut yang dibuat orang Indonesia sampai<br />

dengan hari ini, 62 tahun kemudian.<br />

3.<br />

Tidak pernah ada jalan mudah untuk menghasilkan sesuatu yang baru<br />

dan berarti, termasuk usaha Usmar Ismail membuat apa yang disebut<br />

46<br />

LEWaT DjaM MaLaM


“film Indonesia.” Bukan sekadar “film yang dibuat di Indonesia” atau “film<br />

yang dibuat oleh orang Indonesia.”<br />

Sebagai pengusaha ia harus berhadapan dengan kenyataan untuk<br />

berkompromi dalam banyak hal. “Barangkali filmnya yang paling murni<br />

hanya Darah dan Doa. Dalam film-film lain ia ‘belajar’ berkompromi<br />

biar pun dengan rasa sinis,” tulis Asrul Sani. Kompromi paling nyata ada-<br />

lah ketika ia terpaksa membuat film-film komersial yang, seberapa pun<br />

tidak disukai, tetap dikerjakan dengan pandangan kritis mengenai kehidupan<br />

masyarakatnya. “Bukan film hiburan yang asal-asalan,” dalam<br />

istilah Misbach Jusa Biran.<br />

Setelah Krisis yang laris manis, Usmar juga membuat Tamu Agung<br />

(1955), Lagi-lagi Krisis (1955), Tiga Dara (1956), Delapan Pendjuru<br />

Angin (1958), Asrama Dara (1958), Amor dan Humor (1961), dan Big<br />

Village (1968). Semuanya berjenis komedi, tetapi tidak satu pun menya<br />

mai kesuksesan Krisis. Tiga Dara, musikal yang melambungkan popularitas<br />

Indriati Iskak, adalah yang paling laku di pasar.<br />

Namun, Tamu Agung, satir politik mengenai Bung Karno, justru berhasil<br />

mencuri perhatian pengamat film di dalam dan luar negeri. “Film<br />

itu merupakan satir sosial dengan kompleksitas dan kecanggihan se buah<br />

film sekualitas film Jean Renoir, La Règle du Jeu (Aturan Main, 1939).<br />

Dua segi lain yang patut memperoleh perhatian: bermain-main de ngan<br />

kon vensi sinematik film musikal pada bagian pembuka diimbangi ber-<br />

main-main dengan konvensi retorikal Indonesia di bagian lain,” puji<br />

David Hanan, pengajar kajian film dan televisi dari Monash University,<br />

Melbourne.<br />

Toh, tantangan terbesar Usmar Ismail sebagai pencipta justru datang<br />

dari kondisi bangsanya sendiri, yang juga baru mengenal film sebagai<br />

me dium interpretasi dan dramatisasi persoalan kehidupan, tidak sekadar<br />

medium hiburan seperti biasanya. Akibatnya, film yang menggambarkan<br />

realitas sehari-hari dipandang sebagai generalisasi kenyataan.<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

47


Norma (Netty Herawati) di tengah pesta.<br />

48<br />

LEWaT DjaM MaLaM


Banyak adegan pertempuran Darah dan Doa dipotong sensor karena<br />

terlalu realistis dan dianggap sadis. Film itu juga diprotes TNI-AD kare na<br />

menggambarkan perwira yang terlalu manusiawi dan lemah, juga kisah<br />

percintaan sang perwira dengan gadis Eropa, serta bagian cerita mengenai<br />

Darul Islam (DI) yang dikhawatirkan bakal membangkitkan semangat<br />

jahat umat Islam lain. Sebaliknya, PKI memprotes karena orangorang<br />

komunis di dalam film itu digambarkan sebagai fanatik yang suka<br />

mem balas dendam.<br />

Menghadapi paradigma generalisasi seperti itu, dalam film-film<br />

berikutnya Usmar mesti berakrobat agar tidak ada yang tersinggung.<br />

Maka, “Orang-orang jahat hanyalah Belanda saja. Orang Indonesia semuanya<br />

baik dan kalau suatu waktu menjadi pengkhianat, tabu untuk menyebutkan<br />

asal golongannya. Itulah sebabnya dalam film-film Indonesia<br />

yang menjadi bandit selalu golongan yang paling lemah posisi sosialnya,<br />

antara lain pengusaha!” simpulnya.<br />

Lebih berat dari itu, sebagai seniman penting dan menonjol serta budawayan<br />

(pendiri dan ketua umum Lesbumi, 1962-1969), Usmar kemudian<br />

ikut terseret dalam pergolakan besar politik dan ekonomi, di mana perang<br />

ideologi kesenian dan kebudayaan antara kelompok komunis dengan<br />

nasionalis menjadi salah satu medan pertempuran terbesar dan mungkin<br />

ter dramatis, yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Soekarno. Tak<br />

meng herankan apabila ia konon masuk dalam daftar orang yang akan<br />

di tumpas PKI pada 5 Oktober 1965, karena dituduh antek CIA dan kaki<br />

ta ngan AMPAI, perwakilan film Amerika di sini.<br />

Jadi praktis tidak sampai sepuluh tahun Usmar Ismail bisa berkarya<br />

de ngan idealisme-yang-telah-dikompromikan, dan mencapai puncaknya<br />

da lam Asrama Dara, film pertama Suzanna yang meraih tiga penghargaan<br />

FFI 1960. Tapi, waktu yang relatif pendek itu rasanya sudah cukup buat<br />

meletakkan fondasi dasar estetika film Indonesia.<br />

Beruntung Indonesia memiliki Usmar Ismail. Di tangannya, film<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

49


Indonesia dilahirkan, dipelihara, dan senantiasa diperjuangkan sebagai<br />

estetika yang ideal dan mulia. Fakta itu memang bisa menjadi beban<br />

ter amat berat bagi pekerja film generasi selanjutnya. Penulis skenario<br />

Salman Aristo mengibaratkan, “Beratnya, film Indonesia dimulai dari<br />

puncak sekali, dan setelah itu grafiknya makin lama justru makin menurun.<br />

Bukan sebaliknya.”<br />

Pelbagai hambatan dan tantangan yang dihadapi Usmar pada zamannya<br />

masih tetap dan akan selalu ada, mungkin dalam bentuk berbeda.<br />

Namun, mata air gagasan seperti yang ia miliki dulu pun kini tersedia<br />

sa ma atau bahkan lebih luas dan beragam. Artinya, di atas kertas “film<br />

Indonesia” sebagaimana digagas dan dirintis Usmar dahulu tidak akan<br />

per nah mati.<br />

50<br />

LEWaT DjaM MaLaM


Biografi: Usmar Ismail<br />

Lahir: Bukittinggi, 20 Maret 1921<br />

Meninggal: Jakarta, 2 Januari 1971<br />

Pendidikan<br />

l 1928-1935 • HIS (Hollandsch-Inlandsche School), Batusangkar<br />

l 1935-1938 • MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) kelas<br />

BAfd, Padang<br />

l 1939-1941 • AMS (Algemeene Middelbare School) bagian A<br />

(Sastra-Budaya), Yogyakarta<br />

l 1952-1953 • UCLA (University California Los Angeles), Amerika<br />

Serikat, jurusan film<br />

Pekerjaan<br />

l 1942-1945 • Anggota staf pengarang Pusat Kebudayaaan Jakarta<br />

l 1945-1949 • Mayor TNI di Yogyakarta<br />

l 1949 • Sutradara di South Pacific Film Corporation<br />

l 1950-1970 • Direktur, Produser, dan Sutradara NV Pefini<br />

l 1950-1970 • Direktur Utama Biro Perjalanan Triple T<br />

l 1956-1960 • Direktur PT Bank Kemakmuran, Jakarta<br />

l 1966-1969 • Anggota DPRGR/MPRS (Dewan Perwakilan Rakyat<br />

Gotong Royong/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara)<br />

l 1967-1970 • General Manager Miraca Sky Club, Jakarta<br />

Aktivitas Lain<br />

l 1943-1945 • Ketua Sandiwara Penggemar Maja<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

51


52<br />

l 1946-1947 • Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)<br />

l 1946-1948 • Ketua BPKI (Badan Permusyawaratan Kebudayaan<br />

Indonesia), Yogyakarta dan Ketua Serikat Artis Sandiwara<br />

Yogyakarta<br />

l 1955-1965 • Pendiri dan Ketua ATNI (Akademi Teater Nasional<br />

Indonesia), Jakarta<br />

l 1956-1970 • Ketua PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia)<br />

l 1962-1969 • Pendiri dan Ketua Lesbumi (Lembaga Seniman<br />

Budawajan Muslimin Indonesia), Jakarta<br />

l 1964-1969 • Pengurus PB NU (Nahdatul Ulama), Jakarta<br />

Penghargaan<br />

l 1962 • Hadiah seni Widjajakusuma dari Pemerintah RI,<br />

penghargaan tertinggi dalam bidang Kebudayaan<br />

l 1970 • Penghargaan Warga Teladan Jakarta dari Pemda DKI<br />

Jakarta<br />

l 1975 • Namanya diabadikan sebagai nama pusat perfilman yang<br />

dibangun Pemda DKI Jakarta bersama masyarakat perfilman<br />

Filmografi<br />

1. Harta Karun (1949) • Sutradara, Penulis Skenario<br />

2. Tjitra (1949) • Sutradara, Penulis Cerita<br />

3. The Long March (Darah dan Doa) (1950) • Sutradara, Penulis<br />

Skenario<br />

4. Enam Djam di Djogja (1951) • Produser, Sutradara, Penulis<br />

Skenario<br />

5. Embun (1951) • Penulis Cerita<br />

6. Dosa Tak Berampun (1951) • Produser, Sutradara, Penulis<br />

Skenario<br />

7. Terimalah Laguku (1952) • Produser<br />

LEWaT DjaM MaLaM


8. Kafedo (1953) • Produser, Sutradara, Penulis Skenario<br />

9. Krisis (1953) • Produser, Sutradara<br />

10. Harimau Tjampa (1953) • Produser<br />

11. Lewat Djam Malam (1954) • Produser, Sutradara<br />

12. Heboh (1954) • Produser<br />

13. Tamu Agung (1955) • Sutradara<br />

14. Lagi-lagi Krisis (1955) • Produser, Sutradara, Penulis Cerita,<br />

Penulis Skenario<br />

15. Tiga Dara (1956) • Produser, Sutradara, Penulis Cerita, Penulis<br />

Skenario<br />

16. Tiga Buronan (1957) • Produser<br />

17. Sengketa (1957) • Produser, Sutradara<br />

18. Delapan Pendjuru Angin (1957) • Produser, Sutradara, Penulis<br />

Skenario<br />

19. Asrama Dara (1958) • Produser, Sutradara<br />

20. Tjambuk Api (1958) • Produser<br />

21. Djenderal Kantjil (1958) • Produser<br />

22. Pedjuang (1960) • Produser, Sutradara, Penulis Cerita, Penulis<br />

Skenario<br />

23. Laruik Sandjo (1960) • Produser, Sutradara, Penulis Skenario<br />

(Tidak pernah diedarkan)<br />

24. Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961) • Produser,<br />

Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario<br />

25. Korban Fitnah (1961) • Sutradara<br />

26. Amor dan Humor (1961) • Sutradara, Penulis Cerita, Penulis<br />

Skenario<br />

27. Bajangan Diwaktu Fadjar (1962) • Produser, Sutradara,<br />

Penulis Cerita, Penulis Skenario<br />

28. Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962) • Produser,<br />

Sutradara, Penulis Skenario<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

53


54<br />

29. Masa Topan dan Badai (1963) • Sutradara<br />

30. Anak-anak Revolusi (1964) • Sutradara, Penulis Cerita, Penulis<br />

Skenario<br />

31. Liburan Seniman (1965) • Sutradara, Penulis Cerita, Penulis<br />

Skenario<br />

32. Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966) • Produser<br />

33. Menjusuri Djedjak Berdarah (1967) • Produser<br />

34. Ja Mualim (1968) • Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario<br />

35. Big Village (1969) • Produser, Sutradara, Penulis Cerita,<br />

Penulis Skenario<br />

36. Ananda (1970) • Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario<br />

37. Bali (1970) • Sutradara, bersama Ugo Liberatore<br />

LEWaT DjaM MaLaM


Misbach Jusa Biran<br />

tentang Usmar Ismail dan<br />

Lewat Djam Malam<br />

aMaLIa SEKaRjaTI<br />

MISBACH JUSA BIRAN adalah pendiri dan direktur pertama Sinematek<br />

Indonesia. Sebelumnya, ia aktif terlibat produksi di Perfini, perusahaan<br />

yang memproduksi Lewat Djam Malam. Beliau tutup usia 11 April<br />

2012 silam di umur 78 tahun. Sebenarnya, Misbach direncanakan akan<br />

menyampaikan pidato kehormatan di malam peluncuran hasil restorasi<br />

Lewat Djam Malam bulan Juni 2012 nanti.<br />

Wawancara ini terjadi di kediaman Misbach, Bogor, pada tanggal 14<br />

Februari 2012. Tujuannya untuk melengkapi gambaran mengenai Usmar<br />

Ismail dan Lewat Djam Malam. Pengalamannya di Perfini merupakan<br />

wawasan yang berharga perihal konteks historis Lewat Djam Malam dan<br />

sejarah perfilman Indonesia.<br />

Bisakah Anda bercerita tentang awal pembuatan Lewat Djam<br />

Malam? Bagaimana Perfini dan Persari bisa sampai bekerja<br />

sama, mengingat keduanya punya pendekatan yang saling<br />

bertolak belakang? Perfini membawa ideologi tertentu dalam


56<br />

LEWaT DjaM MaLaM


produksi filmnya, sementara Persari lebih dekat dengan filmfilm<br />

hiburan populer.<br />

Pada masa pendudukan Jepang, Usmar pernah menjadi wakil Armijn<br />

Pane yang menjadi ketua bidang Teater di Pusat Kebudayaan di Jogja.<br />

Waktu itu ia berusia 21 tahun. Ada ketidakcocokan antara Armijn dengan<br />

Usmar. Menurut Armijn, anak muda pada saat itu, termasuk Usmar dan<br />

Chairil Anwar (mereka berdua adalah kerabat), membuat karya yang<br />

keluar dari pakem. Hal yang dianggap aneh atau unik pada saat itu mereka<br />

coba. Lalu Usmar membuat Maya, sebuah perkumpulan sandiwara, dan<br />

pernah di salah satu cerita yang dibuat, ada tokoh yang karakternya mirip<br />

Armijn, yang bisa dibilang galak [Tertawa]. Armijn pun tahu.<br />

Pada zaman revolusi, dengan pertumbuhan yang baik, yaitu pernah<br />

menjadi Mayor di Yogyakarta (yang pada saat itu menjadi pusat<br />

pemerintahan RI), juga pernah menjadi ketua PWI (Persatuan Wartawan<br />

Indonesia) pada usia mudanya, setelahnya ia kembali ke Jakarta dan<br />

hendak masuk ke suatu institusi yang ternyata ada Armijn di dalamnya.<br />

Maka, sulit baginya untuk masuk ke dalam institusi tersebut. Begitu juga<br />

dengan Djamaludin, karena bisa dibilang dia memang ‘orang dagang’. Ia<br />

membuat film semata-mata untuk menolong artis, karena pada saat itu<br />

banyak yang hidup miskin. Persari, rumah produksi yang didirikannya,<br />

jadi semacam perserikatan artis film dan ada untuk menolong mereka,<br />

untuk hiburan saja. Jadi, Djamal lebih punya bakat industri, pengusaha<br />

yang baik, sedangkan Usmar lebih baik secara pemikiran. Di situlah<br />

mereka seperti bertolak belakang.<br />

Namun, tahun 1953, mereka berdua pergi ke Jepang mengikuti<br />

konferensi produser-produser se-Asia. Ada cerita, ketika sedang jamuan<br />

makan dan Djamal melakukan pidato, ia berpidato dalam bahasa<br />

Padang yang isinya memaki-maki orang Jepang bahwa mereka penjajah<br />

[Tertawa]. Usmar yang sedang makan lalu kebingungan, bagaimana<br />

menerjemahkan pidato itu. “Saya ngomong pakai bahasa saya saja, lah.”<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

57


kata Djamal yang kelahiran Padang.<br />

58<br />

Sepanjang konferensi tersebut, beredar wacana kalau Festival Film<br />

Asia pertama akan diadakan tahun depannya, tahun 1954, di Tokyo,<br />

Jepang. Djamal mau ikut, tapi tidak punya film untuk dikirim. Mereka<br />

bingung mengirimkan film apa karena merasa film yang pernah dibuat<br />

masih kurang baik. Namun Djamal tetap bilang ikut. Jadi, ia minta<br />

Usmar produksi filmnya, sementara ia sendiri mencari uang.<br />

Kecuali AN Alcaff dan Bambang Hermanto, Persari menyediakan<br />

semua pemain untuk Lewat Djam Malam, sedangkan Dhalia dari<br />

luar keduanya. Bambang Hermanto dulunya seorang pemain hiburan.<br />

Kemudian ia masuk Perfini, namanya naik setelah bermain di Harimau<br />

Tjampa. Sedangkan Alcaff memang pertama kali berakting untuk Perfini.<br />

Film pertamanya adalah Dosa Tak Berampun. Dulunya ia tentara dari<br />

Jambi, datang ke Perfini dan bilang mau main film. Saat itu, Usmar<br />

sudah punya pemain. Alcaff pun dites untuk akting dan ternyata suaranya<br />

bagus, mantap. Akhirnya, Alcaff bergabung. Untuk film Dosa Tak<br />

Berampun, pada awalnya peran utama akan dimainkan Rendra Karno,<br />

tetapi kemudian ia diganti Alcaff. Di situ mulai friksi antara Usmar dan<br />

Rendra Karno, karena ia merasa sakit hati.<br />

Jadi begitulah, film Lewat Djam Malam dibuat bersama. Modal<br />

uang dari Persari, karena film seperti ini tetap butuh modal yang besar.<br />

Film ini bisa dibilang tidak ada hiburannya, tidak ada nyanyi-nyanyinya.<br />

Lalu untuk pemain gabungan dari keduanya. Untuk urusan artistik dan<br />

produksi, Usmar yang mengarahkan. Semua kru dari Perfini. Saya akui,<br />

Perfini isinya seniman-seniman besar pada mulanya. Termasuk Gajus<br />

Siagian, Basuki Resbowo, dulu pernah di Perfini. Kalau Rosihan Anwar<br />

hanya punya saham.<br />

Ide siapakah cerita Lewat Djam Malam? Apakah Usmar Ismail,<br />

sutradaranya, atau Asrul Sani, penulis naskahnya?<br />

LEWaT DjaM MaLaM


Tugas pembuat cerita adalah Asrul. Cerita, skenario, itu dari Asrul. Saya<br />

tidak tahu persisnya siapa yang mencetuskan ide pertama kali. Namun<br />

pada intinya, dua orang besar pada saat itu yaitu Djamal dan Usmar, ingin<br />

membuat film yang bisa dibawa ke festival film besar di Asia.<br />

Usmar dan Asrul sendiri sempat kurang begitu baik hubungannya.<br />

Pada tahun 1952, Usmar menentang sensor. Menurutnya, kalau karya<br />

memang dibuat begitu, ya begitu. Sudah bagus-bagus dibikin, masa<br />

disensor? Sedangkan Asrul menyetujui adanya sensor. Alasannya, untuk<br />

menghindari bahaya-bahaya paham dan dampak buruk. Menurut dia,<br />

film Usmar memang dibuat baik, tetapi bagaimana dengan film-film<br />

asal yang dibuat hanya untuk mencari uang? Diperlukan sensor. Usmar<br />

sendiri ada berangkai-rangkai tulisannya tentang anti-sensor.<br />

Ketika itu Asrul mengatakan film bukanlah semata-mata alat<br />

penerangan, tetapi juga merupakan alat kebudayaan. Makanya, lembaga<br />

sensor pindah dari Departemen Penerangan ke Departemen Pendidikan<br />

dan Kebudayaan. Kemudian ada perubahan pandangan. Bayangkan, duaduanya<br />

punya pemikiran seperti itu pada saat mereka masih muda dulu.<br />

Bagaimana kemudian kiprah Lewat Djam Malam di Festival<br />

Film Asia?<br />

Filmnya tak jadi masuk festival. Ketika Usmar dan Djamal akan<br />

berangkat Jepang untuk menghadiri festival, pemerintah melarang.<br />

Tentu, ada agenda politik di balik semua ini. Ini adalah cara pemerintah<br />

kita untuk memprotes orang-orang Jepang, karena pampasan perang<br />

belum dibayar. Karena ini, Djamal mengadakan Festival Film Indonesia<br />

pertama pada tahun 1955.<br />

Berapa biaya produksi Lewat Djam Malam?<br />

Kira-kira 300 ribu, ya. Film-film Usmar dan Perfini rata-rata segitu.<br />

Kalau film-film dari rumah produksi Cina biasanya di bawah 100-200<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

59


ibu. Lalu bagaimana Usmar yang film-filmnya tidak begitu menghibur,<br />

berhadapan dengan film yang murah? Film murah tadi ada penontonnya,<br />

tapi film Usmar lebih banyak ditanya, “Film apa, nih?” Tamu Agung yang<br />

lucu saja, filmnya tidak laku. Padahal sudah setengah mampus dibuat<br />

lucu [Tertawa]. Di film itu ada tokoh tukang obat yang dibuat mirip<br />

Bung Karno, tapi orang-orang tidak melihat itu, karena tidak ada latar<br />

belakang pengetahuan mengenai Soekarno. Lagi-lagi Krisis, nggak laku<br />

juga. Orang-orang pada tidak tertawa, nggak ngerti yang mana yang<br />

bikin tertawa.<br />

Usmar dengan sadar menggunakan filmnya sebagai wacana politik.<br />

Ia ingin filmnya menjadi ekspresi personal dari ideologinya. Namun, bisa<br />

dibilang film-filmnya itu lahir terlalu ‘cepat’, karena penonton belum<br />

bisa menerima yang ia maksudkan lewat film tersebut. Tidak nyambung<br />

antara film dengan penontonnya. Dalam Lewat Djam Malam, tidak ada<br />

perempuan cantik, tidak ada nyanyi-nyanyi, sehingga tidak laku di kota<br />

kecil. Di kota besar mungkin.<br />

Ketika membuat Lewat Djam Malam, Usmar sudah belajar di<br />

Amerika?<br />

Sudah. Ia belajar skenario sekitar dua tahun di sana. Namun, ada satu<br />

gelombang, ketika ia kembali kemari, film-film yang dibuatnya mirip film<br />

koboi. Salah satunya Kafedo. Ada sedikit pengaruh Amerika, tetapi segala<br />

macamnya agak dipaksakan. Namun, di film Long March, ceritanya<br />

lebih mengalir. Memang tidak lebih dramatik, tetapi ada problem yang<br />

berkembang. Sedangkan pada film Lewat Djam Malam, lebih menghibur<br />

sedikit.<br />

Sebelum Lewat Djam Malam, Perfini pernah membuat Embun, dan<br />

dua-duanya tentang orang yang kembali dari revolusi lalu mengalami<br />

kesulitan bersosialisasi. Belakangan, orang yang dulunya pejuang, ketika<br />

sudah hidup enak malah jadi koruptor. Ini justru lebih bagus dari film<br />

60<br />

LEWaT DjaM MaLaM


Amerika yang jadi inspirasi, yaitu The Best Years of Our Lives, yang<br />

menggambarkan setelah perang dunia kedua ada perubahan sikap yang<br />

aneh sekali. Namun di Lewat Djam Malam, ada perbaikan simbolsimbol.<br />

Menjadi pejuang tuh seperti tidak ada pilihan lain. Proses<br />

revolusi jelas digambarkan dengan begitu adanya. Menggambarkan satu<br />

fase di masyarakat itu. Saya kira itu kelebihan film ini. Bagaimana terjadi<br />

perubahan-perubahan dalam perjuangan. Tokoh-tokoh yang tadinya<br />

orang berpendidikan menjadi mata duitan, atau kapten yang ragu-ragu.<br />

Ada yang bilang film ini dipengaruhi neorealisme?<br />

Itu filmnya yang pertama. Jadi, Usmar mengajak teman-temannya,<br />

bersama-sama membuat film. Akhirnya patungan dan terkumpul 150 ribu.<br />

Dibuatlah Long March. Di dalamnya ada percintaan antara pimpinan<br />

tentara dengan orang asing yang dia rawat. Filmnya mau mengatakan<br />

bahwa bukan bangsanya yang bermusuhan, tapi pemerintah. Dulu<br />

menyebar stereotip bahwa semua Belanda jahat jadi cerita percintaan<br />

itu tidak boleh. Usmar bilang, kenapa tidak boleh? ‘Kan sesama manusia?<br />

Beberapa kru kurang setuju, tapi tetap dibikin.<br />

Untuk Long March, bisa dibilang film itu dibuat Usmar tanpa<br />

pengetahuan. Walaupun, ia sempat bekerja menjadi asisten sekitar dua<br />

tahun di Australia, di perusahaan Belanda yang memiliki kongsi film.<br />

Usmar sendiri bekerja melatih dialog, salah satunya di film Andjar<br />

Asmara yaitu Djauh di Mata. Tugasnya begitu, menjadi partner orang<br />

berlatih dialog. Pada masa ini, ia sempat membuat dua film, Harta Karun<br />

dan Tjitra. Namun, selama itu, ia melihat bahwa banyak keputusan yang<br />

diambil penata kamera, termasuk penata kamera yang bilang cut, cut,<br />

cut. Dengan sistem kerja seperti itu, Usmar merasa itu bukan film dia.<br />

Artinya Usmar sudah sadar soal auteur sebelum ada teorinya,<br />

ya.<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

61


62<br />

Itu terbentuk karena pengalaman. Bukan berdasar kata siapa atau<br />

menurut siapa. Mau bikin apa, ya dia bikin saja. Usmar ini memang pintar,<br />

berbeda dengan sutradara lain yang besar di kampung. Lingkungannya<br />

memungkinkan dan ia termasuk elit. Usmar masuk sekolah Belanda dan<br />

bisa berbahasa Inggris aktif. Namun, lama-lama muncul orang seperti<br />

Bachtiar Siagian, yang muncul dari daerah dengan membawa misi<br />

kebudayaan.<br />

Film Indonesia selalu punya dimensi kritiknya sendiri, tetapi ketika<br />

dua tahun sesudah merdeka dan filmnya begitu-begitu saja, kritik mulai<br />

hilang. Namun, belakangan memang terjadi perubahan. Ada upaya<br />

menjadikan film bukan sebagai tontonan kampungan seperti dulu,<br />

misalnya ada Dardanella, tetapi film-film yang mengandung pemikiran.<br />

Salah satunya Usmar.<br />

Djamal memang bukan seniman, dia hanya menolong artis saja.<br />

Namun, Persari juga berkembang karena ia pandai mencari uang. Ia<br />

biasa dipanggil Big Boss. Di Persari, setiap pemain film mendapat mobil.<br />

Sedangkan Perfini cuma punya satu mobil kecil, mobilnya Usmar. Jadi,<br />

Perfini itu biasanya pakai tiga kendaraan. Untuk para pemain perempuan,<br />

naik mobil Usmar. Pemain laki-laki naik mobil pick-up, sedangkan kru<br />

naik truk. Bayangkan, kami diantar bergantian. Belakangan, Bambang<br />

Hermanto, nggak mau naik pick-up, karena sudah jadi top star. Rendra<br />

Karno juga begitu. [Tertawa]<br />

Berapa lama Usmar Ismail bisa berkarya sesuai idealismenya<br />

sebelum akhirnya mentok dengan tuntutan ekonomi industri<br />

film?<br />

Saya rasa sampai tahun 1960an. Tahun 1957, ada krisis finansial.<br />

Banyak yang gulung tikar, pegawai keluar atau diberhentikan, karena<br />

bangkrut. Studio diambil alih oleh bank dan pemerintah. Pada saat<br />

itulah kemudian ia membuat film Tiga Dara, yang bisa dibilang film<br />

LEWaT DjaM MaLaM


hiburan. Namun, ia diserang Lekra, dianggap pelacur kebudayaan. DN<br />

Aidit bilang bahwa itu film bagus tapi jelek. Itu bagaimana maksudnya?<br />

Saya tak paham. Kemudian, dia bikin juga Asrama Dara. Yang main<br />

Bambang Hermanto, banyak lagu-lagu daerah, menggarap pesan yang<br />

kuat. Bukan film hiburan yang asal-asalan. Dibuat agar pemerintah mau<br />

membantu, dan pemerintah akhirnya membantu. Kemudian bekerja<br />

sama dengan Departemen Kehutanan, Usmar membuat film di hutanhutan<br />

Kalimantan, lalu membuat Pedjuang dan Anak-Anak Revolusi.<br />

Namun, tetap saja Usmar dicela.<br />

Akhirnya keadaan ekonomi ambruk. Ada gagasan anti-Barat<br />

sehingga semua studio film ditutup. Produksinya di rumah-rumah<br />

orang, dubbing di kamar yang kecil. Maka ia mulai masuk politik dengan<br />

menjadi Ketua Pelaksana di Lesbumi, sebuah lembaga di bawah NU.<br />

Posisinya begitu kuat karena itu lembaga kebudayaan. Bung Karno,<br />

sebagai orang muslim, juga nggak terlalu berani. Pada masa Bung Karno<br />

ada tiga kekuasaan: PKI, PNI, NU. Lalu, Bung Karno pidato mendekritkan<br />

kembali ke UUD ’45 dan merumuskan konsep NASAKOM (Nasionalis,<br />

Agama, dan Komunis). Ia merasa didukung kekuatan nasional dan<br />

menyatakan Presiden adalah penguasa, bukan hanya lambang.<br />

Namun di NU ada Asrul Sani, Usmar Ismail, Farouk Afero. Orang<br />

pada gila-gilaan. Ya, senang-senang saja lah. Namun, ya ada pergerakan<br />

sosial itu. Bambang Hermanto mendapat penghargaan aktor terbaik di<br />

Moskow lewat film Pedjoeang, lalu dibilang politis sama Lekra. Bambang<br />

yang tidak berpendidikan langsung drop. Lalu, ditolong oleh Lekra.<br />

Orang-orang gelisah ditarik. Seniman khususnya, banyak masuk Lekra<br />

karena situasi, bukan ideologi.<br />

Jadi ya itu, suka dukanya membuat film. Kemudian ada masanya<br />

kepentingan politik masuk ke dalam film. Khususnya PKI yang<br />

mempengaruhi dan memakai kebudayaan. Dari situlah berubah cara pikir<br />

orang kita. Bukan penjajahan ekonomi, tapi penjajahan buah pikiran.<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

63


Kalau orang-orang PKI bicara, dimuat. Kalau bukan orang-orang PKI,<br />

tidak dimuat.<br />

Buat orang komunis, pengalaman itu bisa berguna untuk belajar,<br />

orang-orang politik pakai film sebagai alat untuk berkampanye. Ya, buat<br />

orang-orang komunis, sejarah adalah ilmu. Mereka belajar dari sejarah.<br />

Kalau buat kita, sejarah adalah kenang-kenangan.<br />

Kalau pribadi Usmar bagaimana?<br />

Sudah saya bukukan, judulnya Peran Anak Muda dalam Film<br />

Nasional. Saya kembangkan, tapi tidak ada yang mau biayain buku itu,<br />

jadinya saya simpan di Sinematek. Periodenya sekitar 1950-1956. Di situ<br />

saya tulis, seperti apa tujuan pembuatan film untuk dia. Saya kira kalau<br />

baca buku ini, sebagian besar ada semua. Termasuk latar belakang Lewat<br />

Djam Malam, yang memang ingin dibuat untuk go international, tapi<br />

tidak jadi.<br />

Namun, bisa dibilang, ia banyak digodok pada zaman Jepang. Pada<br />

zaman Belanda, yakni waktu dia SMA juga sudah belajar dan sudah<br />

kenal karya-karya besar di sekolah. Usmar tergugah oleh suasana ketika<br />

Jepang datang karena pada saat itu Jepang selalu bilang, “Mengapa takut<br />

sama Belanda?”. Bahkan Jepang memposisikan bahasa Belanda sebagai<br />

bahasa kampungan. Jadi, berubahlah itu, Belanda yang digambarkan<br />

kejam, tiba-tiba dibilang kampungan. Hasil pendidikan intelektual Usmar<br />

di zaman Belanda, berubah sama sekali di zaman Jepang.<br />

Perfini sendiri menjadi tempat kumpul seniman-seniman?<br />

Pada mulanya. Pada awal tahun 50an, banyak seniman yang pindah<br />

ke Jakarta. Lalu, sebagian besar berniat menjadikan film sebagai alat<br />

pengucapan baru. Jika tadinya lewat sastra, teater, lalu film. Ingin<br />

menunjukkan bahwa ini modern. Ada juga yang berusaha mengubah citra<br />

teater yang dianggap pertunjukan kampungan. Peralihan dari Belanda<br />

64<br />

LEWaT DjaM MaLaM


ke Jepang juga membawa perubahan. Usmar melihat film-film Jepang<br />

yang isinya adalah orang-orang berperang untuk bangsanya. Jika film<br />

Amerika isinya nyanyi-nyanyi, film-film Jepang isinya perang melawan<br />

penjajahan Eropa di Asia.<br />

Jadi, peralihan dari Belanda ke Jepang memang sempat membuat<br />

shock. Yang selama ini diagung-agungkan, tiba-tiba hilang. Itu mengubah<br />

sikap orang kita. Setiap hari putar film dan sebelum film dimulai<br />

ada gambar bendera merah putih, lalu tulisan “Alhamdulillah, Asia<br />

telah kembali.” Lagu yang diputar Indonesia Raya. Bagaimana tidak<br />

berubah? Pada zaman Jepang, orang Inggris atau Amerika Serikat masih<br />

diperhitungkan, tapi kalau Belanda tidak masuk hitungan sama sekali.<br />

Memang diakui bahwa Jepang yang memengaruhi anak-anak muda tadi<br />

untuk berkarya.<br />

Bagaimana dukungan pemerintah terhadap perfilman pada<br />

saat itu?<br />

Tahun 50an dulu, ada upaya mengubah dari film yang tidak di kenal<br />

menjadi dikenal. Namun, tidak ada satu pun berhasil. Pajak su dah<br />

dikurangi, sudah ada subsidi. Lalu, apa yang berhasil? Ya sejak pen didikan<br />

digalakkan, sejak ada sekolah film, apresiasi lumayan meningkat.<br />

Upaya-upaya seperti itu yang dibutuhkan, bukan dikasih uang peme rintah<br />

untuk membuat film. Perubahan terjadi karena pendidikan. Da tanglah<br />

ke Sinematek, baca-baca di sana. Jadi, bantuan dana ini hanya un tuk<br />

mendidik orang film. Seperti dulu saya membuat asosiasi pekerja film<br />

KFT. Semua harus belajar terlebih dahulu di situ, baru membuat film.<br />

Mau nggak mau, harus belajar. Hasilnya, 99% orang film yang ke mu di an<br />

berkembang, belajar di situ. Saya yakin, dengan pendidikan film bisa berkembang.<br />

Bukan karena dikasih uang. Kalau dikasih uang ya dihabisin.<br />

Makanya, untuk selanjutnya perlu dirumuskan supaya film bisa<br />

menjadi banyak penggunaannya. Kita bisa lebih maju berpikirnya,<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

65


maju nuraninya, maju taste-nya. Setiap film setidaknya punya pesan<br />

itu. Agar penonton juga berkembang pemikirannya. Tentang keluarga<br />

atau tentang apapun. Kedua, film juga bisa menangkap keindahan, yang<br />

mungkin susah dijelaskan. Abstrak. Nah, kalau bagi komunis, abstrak<br />

itu dimusuhi, karena tidak bersentuhan langsung dengan rakyat. Ketiga,<br />

film juga bisa dibuat untuk memenuhi rasa takut, senang, lucu, sedih,<br />

pada saat menonton, selama itu tidak berbahaya. Untuk memenuhi<br />

kebutuhan-kebutuhan alamiah manusia. Intinya, film ini mau ngomong<br />

apa dan bagaimana mau ngomongnya? Film sekarang kadang-kadang<br />

berat kemasannya daripada isinya.<br />

Bagaimana tanggapan Bapak terhadap kondisi Sinematek<br />

sekarang?<br />

Orang-orang yang bekerja di Sinematek sebenarnya bukan tenaga<br />

kerja profesional. Kerja bukan karena dia pintar, tapi orang-orang kecil<br />

yang mau diajak kerja, jadi dia bisa punya pekerjaan yang lebih baik.<br />

Masih banyak yang kerja sampai sekarang, tapi ya semua pegawai tidak<br />

ada yang profesional. Jadi, ke depannya harus bisa lebih baik. Kalau ada<br />

uang, atau bisa minta bantuan, mengajak mereka belajar dari orangorang<br />

luar. Sinematek cukup banyak masalahnya.<br />

66<br />

LEWaT DjaM MaLaM


Revolusi, Impian,<br />

dan Jalan Buntu<br />

aDRIan jonaThan PaSaRIbu<br />

RUMORNYA setiap pemimpin negara dunia ketiga membisikkan hal<br />

se rupa sehari setelah kemerdekaan: “Sekarang masalah sebenarnya dimulai”.<br />

Indonesia tak terkecuali. Revolusi mendatangkan kemerdekaan<br />

dan ke mer dekaan membuka jalan untuk pembangunan. Masalahnya,<br />

pem bangun an bergantung pada prinsip-prinsip yang dulu para pejuang<br />

atasi: eks ploitasi dan dominasi. Berarti ada harga tersendiri yang harus<br />

diba yar para pejuang untuk mengisi kemerdekaan. Bagaimanakah mereka<br />

se pantasnya bersikap?<br />

Usmar Ismail menyuarakan pendapatnya pada tahun 1954 melalui<br />

Lewat Djam Malam. Menurut Sitor Situmorang, film yang dibuat Usmar<br />

tersebut adalah “drama psikologis modern” pertama di Indonesia. Dalam<br />

bacaan lebih lanjut, Lewat Djam Malam sebenarnya mengikuti cetak<br />

biru film-film noir di Amerika sana. Selain terpengaruhi oleh neorealisme<br />

Italia, paling kentara di Darah Dan Doa (1950), Usmar mengakui ketertarikannya<br />

pada metode produksi Hollywood. “Hampir secara tidak<br />

sadar, saya mulai menerapkan prinsip kerja Hollywood,” tulis Usmar di<br />

harian Pedoman tahun 1953, sekembalinya ia dari studi penulisan naskah<br />

di Amerika Serikat. Seperti yang dituturkan sejumlah catatan sejarah,


Laila (Dhalia).<br />

68<br />

LEWaT DjaM MaLaM


1953 adalah tahun kejayaan film noir di Hollywood, sebuah periode yang<br />

berlangsung dari 1944 sampai 1958. Melihat pola visual dan penokohan<br />

dalam Lewat Djam Malam, bisa jadi Hollywood yang Usmar maksud<br />

adalah film noir.<br />

Layaknya film noir, Lewat Djam Malam terstruktur atas kegelisahan<br />

moral seorang protagonis laki-laki. Plot film tersebut menggambarkan<br />

kejatuhan tragis seorang individu di sebuah tatanan sosial yang<br />

dicengkeram oleh para borjuis. Gambar pertama yang kita lihat adalah<br />

sepasang kaki berjalan perlahan-lahan di suatu malam yang kelam. Inilah<br />

Iskandar, bekas pejuang dan mahasiswa kedokteran. Sekembalinya dari<br />

zona perang, ia mendambakan kehidupan yang lebih tenang dan damai.<br />

Keinginannya sederhana: menikahi kekasihnya, membangun sebuah<br />

peternakan di desa, lalu menghabiskan sisa hidupnya dalam damai.<br />

Sayangnya, realita ekonomi pasca perang tak sesederhana itu.<br />

Lima tahun pasca kemerdekaan tercatat sebagai periode Revolusi<br />

Fisik, periode transisi kuasa dari kolonial Belanda ke pemerintah<br />

Indonesia. Periode ini diwarnai sejumlah kekacauan sipil dan pertempuran<br />

bersenjata di sejumlah daerah. Militer kesulitan menanganinya. Jam<br />

malam pun diberlakukan di kota-kota untuk menegakkan peraturan. Di<br />

saat yang bersamaan, pembangunan juga sudah dirintis. Fasilitas publik<br />

mulai menjamur, perusahaan nasional mulai untung, dan tenaga kerja<br />

sedang hidup-hidupnya dengan energi anak muda.<br />

Panggung sudah tersedia bagi Iskandar. Dia punya masa muda,<br />

pengalaman kerja praktis, dan latar belakang akademis. Lebih<br />

signifikannya lagi, Norma, tunangannya adalah seorang borjuis,<br />

sebuah kelas sosial yang sedang tumbuh-tumbuhnya di ekonomi pasca<br />

kemerdekaan. Kegiatan waktu senggangnya adalah pesta dan dansadansi<br />

semalam suntuk. Atas semua ini, Iskandar menikmati dua hal yang<br />

sulit diakses mayoritas rakyat: kesejahteraan material dan koneksi sosial.<br />

Tidak ada yang bisa menghentikan Iskandar menjadi penanggung hajat<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

69


hidup, baik bagi bangsa maupun keluarganya.<br />

70<br />

Pahlawan kita tak cocok dengan orang-orang kaya baru ini. Sepanjang<br />

film, meletus perang tak berkesudahan dalam batinnya. Di satu sisi dia<br />

masih mengimani nilai-nilai kebangsaan yang ia perjuangkan dulu, di<br />

sisi lain dia merasa dihantui oleh kematian-kematian yang ia sebabkan<br />

selama perang. Masalah kian pelik ketika ia harus berhadapan dengan<br />

fakta bahwa revolusi gagal melahirkan keadilan. Yang kejadian malah<br />

tatanan masyarakat dengan korupsi dan konspirasi sebagai pilar-pilar<br />

penyokongnya. Salah dua lakonnya adalah Gafar dan Gunawan, rekan<br />

Iskandar waktu perang dulu. Rekan satunya lagi, Puja, sudah jadi bandit<br />

yang lebih akrab dengan judi, alkohol, dan bentuk-bentuk hiburan<br />

malam lainnya. Pahlawan kita jelas tak terima. Revolusi bukan lagi soal<br />

kepentingan bersama dan semua orang punya idenya sendiri untuk<br />

menang. Ide Iskandar melibatkan sebuah pistol dan konfrontasi dengan<br />

rekan-rekan kerjanya.<br />

yang Terkasih dan yang Tersisih<br />

Dalam Lewat Djam Malam, status sosial menjadi garis tegas antara orangorang<br />

yang terkasih dan yang tersisih. Mereka yang terkasih diwakili oleh<br />

Norma dan teman pestanya, sementara pihak yang tersisih ditubuhkan<br />

melalui figur Laila, wanita panggilan yang dirawat Puja di kediamannya.<br />

Laila adalah satu-satunya wajah non-borjuis yang kita lihat sepanjang<br />

film. Laila punya katalog kliping koran yang ia jaga dengan sepenuh<br />

hati. Katalog ini menjadi pengingat Laila akan mimpi-mimpi kecilnya,<br />

semacam kegiatan menghabiskan waktu sampai seorang lelaki datang<br />

menggandeng tangannya ke pelaminan. Bagi Laila, Iskandar adalah lelaki<br />

itu dan Norma (yang nantinya ia temui sekilas) adalah perempuan yang<br />

pantas ia jadikan panutan.<br />

Dalam konteks yang lebih luas, tarik-ulur antar-kelas dalam Lewat<br />

Djam Malam menyiratkan suatu bangsa yang terpisah antara mimpi-<br />

LEWaT DjaM MaLaM


mimpi tak kesampaian dan jalan buntu politis. Dalam tatanan masyarakat<br />

yang disetir oleh kaum elit dan borjuis, mobilitas sosial hanyalah sebuah<br />

mitos bagi kelas bawah. Satu-satunya jalan naik, seperti yang dibayangkan<br />

oleh Laila, adalah dengan masuk ke dalam sistem atau menggantikan<br />

sistem tersebut dengan sistem baru yang lebih demokratis. Solusi<br />

terakhir sesungguhnya yang ingin dicoba oleh Iskandar. Sayangnya, ia<br />

gagal. Usahanya mengganyang ketimpangan sosial diganjar oleh sebutir<br />

peluru di dadanya. Tak ada yang menangisi tragedi ini, kecuali Iskandar<br />

seorang.<br />

Satu pertanyaan yang belum terjawab: apakah Lewat Djam<br />

Malam memang benar potret Indonesia pasca revolusi kemerdekaan,<br />

atau hanyalah mimpi kekiri-kirian sang pembuat film? Patut diingat<br />

Usmar Ismail sejatinya adalah seorang intelektual sosialis, yang dalam<br />

beberapa kesempatan menulis untuk harian partai komunis. Baru di<br />

akhir kariernya, bertahun-tahun setelah Lewat Djam Malam, Usmar<br />

mendekatkan diri dengan organisasi sayap kanan macam Lesbumi.<br />

Patut diingat juga bahwa Lewat Djam Malam diproduksi tak lama<br />

setelah insiden Oktober 1952. Insiden ini berawal dari tuntutan dua<br />

pemimpin tertinggi TNI, AH Nasution dan TB Simatupang, untuk menata<br />

ulang militer. Hanya para prajurit yang berlatar belakang pendidikan<br />

kemiliteran Belanda (KNIL) yang akan diperhitungkan. Lainnya, mulai<br />

dari prajurit eks PETA hingga relawan, akan tersingkir. Campur tangan<br />

DPR menggagalkan rencana ini dengan mencopot jabatan Nasution<br />

beserta tujuh perwira daerah. Pihak militer merasa kaum politisi terlalu<br />

campur tangan dengan rumah tangga militer. Jadilah, pada tanggal<br />

17 Oktober 1952, sejumlah petinggi militer memprakarsai sebuah<br />

demonstrasi di Jakarta.<br />

Semula massa mendatangi gedung parlemen, kemudian ganti<br />

haluan ke Istana Negara. Tuntutan mereka: pembubaran parlemen<br />

dan pengadaan pemilu sesegera mungkin. Tuntutan ini berpuncak<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

71


Iskandar (AN Alcaff) dan Norma (Netty Herawati).<br />

72<br />

LEWaT DjaM MaLaM


pada sejumlah tank mengarahkan moncong meriam ke Istana Negara.<br />

Peristiwa 1952 ini berujung buntu dan sejarah mencatatnya sebagai<br />

kudeta gagal. Pada momen historis macam inilah Lewat Djam Malam<br />

berteriak lantang, momen-momen kritis ketika pilihan yang tersedia<br />

hanyalah perubahan total, atau impian-impian revolusioner bapak dan<br />

ibu negara kita hanya akan berulang menemui jalan buntu.<br />

Lewat Djam Malam merupakan sketsa tentang revolusi salah jalan,<br />

ketika nilai-nilai kolektif yang dulu diperjuangkan kini telah beralih fungsi<br />

menjadi sarana pemuas diri. Di tahun 2012, 14 tahun setelah reformasi<br />

1998, Indonesia tak juga lebih baik. Korupsi dan konspirasi masihlah<br />

menjadi pilar penyangga kehidupan bangsa negeri ini. Melalui Lewat<br />

Djam Malam, Usmar Ismail sesungguhnya menyuarakan penantiannya<br />

akan kedatangan Iskandar-Iskandar baru, Iskandar-Iskandar yang bisa<br />

mengadakan perubahan.<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

73


Bulan Madu Panjang<br />

Militer dan Birokrasi<br />

WInDu W juSuf<br />

I<br />

Bagaimana membaca Lewat Djam Malam sebagai dokumentasi era<br />

pasca-perang dan sebagai kritik sosial yang masih bersuara di zaman<br />

kita?<br />

Ingatan orang biasanya langsung tertuju pada sutradaranya, Usmar<br />

Ismail. Ia dikenang karena tiga alasan: tiga film pertamanya bertema<br />

se putar revolusi fisik, keterlibatannya dalam prahara kebudayaan pada<br />

dekade 1960-an, dan keberadaan dia di kubu Kanan. Ketiganya sahih.<br />

Namun tidak relevan rasanya membaca Lewat Djam Malam hanya<br />

dengan meng andal kan rujukan ke sang sutradara beserta afiliasi<br />

politiknya. Rujukan sebatas itu bisa berujung pada kesimpulan sembrono.<br />

Analisis yang baik ti dak mengandalkan kecurigaan belaka yang disa markan<br />

sebagai konteks historis. Terlebih lagi ketika kita menyadari fakta<br />

bahwa tiga film pertama Usmar Ismail diproduksi ketika polarisasi politik<br />

belum meruncing. Pun, ti dak seharusnya pula konteks mengurung teks<br />

dalam fakta-fakta keras ma sa lampau. Karya seni yang baik selalu bisa<br />

bicara dalam konteks zaman yang berbeda.


76<br />

II<br />

Seandainya esai ini ditulis tahun 1998 hingga awal 2000-an, mungkin<br />

isu yang akan diangkat tidak akan jauh-jauh dari hubungan sipil-militer.<br />

Terlebih lagi jika kita ingat bahwa di tahun 1952 tank-tank diarahkan ke<br />

Istana Negara. Peristiwa ini adalah salah satu momentum penting dalam<br />

relasi sipil-militer di zamannya. A.H. Nasution dan T.B. Simatupang, dua<br />

pim pinan TNI tertinggi, menuntut restrukturisasi dan reorganisasi militer.<br />

Dalam rencana mereka, hanya para prajurit yang berlatar belakang pendidikan<br />

kemiliteran Belanda (baca: KNIL) yang boleh masuk struktur.<br />

Arti nya, para prajurit bekas PETA, laskar, atau relawan akan tersingkir.<br />

Ren cana tersebut gagal oleh campur tangan DPR, dan affair Oktober 1952<br />

itu pun sekadar mengingatkan sipil untuk tidak mengutak-atik urusan<br />

militer.<br />

Puja (Bambang Hermanto).<br />

LEWaT DjaM MaLaM


Sejarah mencatatnya sebagai kudeta yang gagal. Nasution dan<br />

Simatupang memang tersingkir, namun militer, terutama pada paruh<br />

kedua dekade 1950-an, semakin kokoh posisinya. Rujukan konflik sipilmili<br />

ter yang lain tentunya adalah klaim kedua pihak tentang siapa yang<br />

ber hak memegang kepemimpinan politik—sebuah sengketa yang telah<br />

berlangsung bahkan pada periode Revolusi Fisik.<br />

Namun apakah masalah sipil-militer dalam Lewat Djam Malam<br />

hanya terkait klaim kepemimpinan? Rasa-rasanya tidak. Melalui cerita<br />

Iskandar, bekas pejuang yang dihantui rasa bersalah, Lewat Djam<br />

Malam menuntun pembacaan yang berbeda mengenai konflik tersebut.<br />

Salah satunya menyangkut munculnya kelas-kelas baru pasca-Revolusi<br />

Fisik, yakni birokrasi dan militer. Karakter-karakter Lewat Djam Malam<br />

ada lah representasi kelas yang sangat gamblang. Sebagai mahasiswa<br />

Puja (Bambang Hermanto), Iskandar (AN Alcaff), dan seorang petani.<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

77


teknik yang terjun ke kancah perang, Iskandar tergolong bagian dari<br />

kelas menengah era kolonial. Keluarga pacar Iskandar adalah keluarga<br />

biro krat yang hobi menggelar pesta akhir pekan semalam suntuk. Kita<br />

pun menyaksikan dua sosok bekas tentara (eks-komandan Iskandar)<br />

yang setelah perang menduduki pucuk pimpinan perusahaan negara. Di<br />

luar itu masih ada Puja, rekan seperjuangan Iskandar yang kini menjadi<br />

penjudi merangkap germo.<br />

Periode Revolusi Fisik sendiri sedikit banyak mengubah konfigurasi<br />

kelas-kelas sosial di Indonesia. Dalam skema umum revolusi di negaranegara<br />

Dunia Ketiga pasca-Perang Dunia II, Indonesia menempati posisi<br />

unik semenjak absennya kelas borjuasi dalam perjuangan nasional.<br />

Berbeda dari revolusi-revolusi serupa di negara-negara lain, tidak ada kekuat<br />

an borjuasi nasional yang terbilang kokoh untuk menopang proyekproyek<br />

pembangunan pasca-revolusi. Sebagian besar perusahaan di<br />

Indonesia pada tahun 1950 adalah milik Belanda, sementara elit-elit non-<br />

Belanda cenderung bergerak dalam usaha dagang. Kondisi ini menuntut<br />

negara menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang puncaknya<br />

terjadi pada tahun 1958. Upaya ini didukung oleh sebagian besar partai<br />

poli tik, militer dan nasionalis radikal. 1<br />

Dukungan militer untuk menasionalisasikan perusahaan asing di sini<br />

harus dibaca dalam kaitannya dengan tindakan pendudukan jabatanjabatan<br />

bisnis perkebunan dan politik lokal oleh tentara reguler, laskarlaskar,<br />

dan bandit selama Revolusi Fisik2 . Artinya, langkah-langkah yang<br />

kemudian diambil negara telah diantisipasi jauh lebih dulu oleh angkatan<br />

bersenjata. Adapun kelompok elit lainnya duduk di jajaran birokrasi,<br />

yang struk turnya semakin mapan semenjak akhir masa kolonial Belanda.<br />

Sepan jang Revolusi Fisik, keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk<br />

1 Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, Allen and Unwin, 1986.<br />

2 Lihat catatan Robert Cribb dalam The Jakarta People’s Militia and The Indonesian<br />

Revolution, 1945-1949, Asian Studies of Australia, 1991.<br />

78<br />

LEWaT DjaM MaLaM


mengu kuhkan legalitas republik di mata dunia. Selain itu, berbeda dari<br />

elit-elit Belanda dan Tionghoa yang menjadi sasaran kemarahan massa<br />

di tahun-tahun 1945-46, posisi mereka relatif tidak terusik oleh revolusi.<br />

Pada perkembangannya terdapat banyak perusahaan negara yang berada<br />

di bawah kendali militer, sementara awak birokrasi, yang telah menjadi<br />

lahan usaha tersendiri, membengkak hingga dua kali lipatnya di masa<br />

Orde Baru. 3<br />

Kita pun mendapati borjuasi yang tidak berada di luar aparatus negara<br />

melainkan sudah ada sejak awal pendirian republik dalam tu buh birokrasi<br />

dan militer sendiri. Relasi-relasi kelas dalam Lewat Djam Malam dapat<br />

dipahami sejauh dua kelas elit tersebut melahirkan pariah nya masing-<br />

masing: para sukarelawan yang harus kembali ke ma sya rakat dan bekerja<br />

(atau menganggur), laskar-laskar sipil, serta bekas bandit yang kembali<br />

ke dunia hitam. Iskandar sendiri tidak akan men dapatkan pekerjaan<br />

seandainya keluarga sang pacar bukan birokrat (sekali pun ia hanya<br />

betah duduk di meja kerja satu hari). Sementara peker jaan kedua yang<br />

segera ditampiknya berasal dari Gunawan, bekas koman dannya yang kini<br />

menjabat direktur. Sewaktu perang, Gunawan pernah memerintahkannya<br />

mengeksekusi satu keluarga yang dicurigai mata-mata. Namun tentu saja<br />

Iskandar dijamin oleh statusnya yang pernah kuliah sebelum perang4 .<br />

Tanpa status dan jaringan sosial tersebut, nasib nya tidak akan berbeda<br />

jauh dari Puja, temannya seperjuangannya dulu.<br />

III<br />

Melalui karakter Iskandar dan Puja inilah Usmar Ismail meletakkan dimensi<br />

kritik Lewat Djam Malam. Iskandar adalah kelas menengah yang<br />

3 Benedict Anderson, “Exit Soeharto, Obituary for A Mediocre Tyrant”, New-Left<br />

Review 50, Maret- April 2008.<br />

4 Dan status mahasiswa ini nampaknya juga menandakan latar belakang elit<br />

Iskandar.<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

79


gagal mengidentifikasi diri dengan kelasnya sendiri, sementara Puja mewakili<br />

sosok prajurit yang dibuang dari kastanya sendiri dan akhirnya<br />

men jadi prototipe sempurna lumpenproletarian yang serba pragmatis.<br />

Peranan Puja tidak hanya sampai di situ. Kedudukannya dalam narasi<br />

Lewat Djam Malam adalah sebagai pembanding posisi Gunawan.<br />

Singkatnya, seolah hanya ada dua macam kehidupan yang menanti<br />

seorang veteran setelah perang berakhir: kaya luar biasa atau melarat.<br />

Dua-duanya ditentukan oleh pangkat kemiliteran semasa perang serta<br />

kejelian mengail di air keruh. Tidak heran jika stigma melekat adalah<br />

“bekas pejuang jadi bandit” atau “bekas pejuang hidup enak”.<br />

Bagi Iskandar, status tersebut tentu sangat menyulitkan. Hari pertama<br />

kerjanya sudah diusik oleh cibiran “bekas pejuang” yang terlontar dari<br />

rekan-rekan sekantor. Ia merasa mirip dengan Gunawan yang cepat<br />

kaya dengan bermodalkan reputasi perang. Ia jijik ketika menyaksikan<br />

mantan komandannya itu mulai memakai retorika-retorika revolusioner<br />

untuk menjustifikasi diri sebagai “penguasa pribumi”. Sialnya lagi, dua<br />

lingkungan elit yang ditampik Iskandar pun senantiasa berkumpul di<br />

rumah kekasihnya, dalam pesta semalam suntuk yang dihadiri sosialita<br />

dan para hero revolusi pujaan para gadis. Bulan madu panjang antara<br />

militer dan birokrasi tidak pernah tergambar seintim ini.<br />

Tanpa membaca relasi kelas yang melatarbelakangi kisah tokohtokoh<br />

Lewat Djam Malam, sengketa sipil-militer hanya akan selesai pada<br />

pembacaan klise soal “dendam sejarah”, pada pertanyaan “siapa yang<br />

layak memegang kepemimpinan politik? Mereka yang berdiplomasi atau<br />

yang angkat senjata?” Tanpa membaca konteks ekonomi politik ini pula,<br />

ekspresi kekecewaan Iskandar hanya akan nampak sebagai kritik moral<br />

biasa yang lahir dari, misalnya, pilihan sutradara untuk menampilkan<br />

“pesimisme Barat limapuluhan” yang dipindahkan ke konteks lokal. Bisa<br />

juga terlihat seperti kritik legalistik-liberal yang menyerang korupsi dan<br />

ekses-ekses penyelewengan kekuasaan lainnya tanpa mempertanyakan<br />

80<br />

LEWaT DjaM MaLaM


asal-usul dan cara beroperasi kekuasan itu sendiri. Dua-duanya terlalu<br />

simplisistis.<br />

IV<br />

Hubungan antarkelas sosial adalah satu ihwal yang absen dari film-film<br />

propaganda bertema “kembali ke masyarakat” yang marak di tahun<br />

1950-an. Namun jika soal antagonisme kelas ini dibawa ke bingkai politik<br />

pasca-revolusi yang lebih besar, persoalan yang diangkat dalam Lewat<br />

Djam Malam adalah bagaimana dinamika revolusi menentukan kondisikondisi<br />

sosial dan politik setelahnya, serta bagaimana pemerintahan baru<br />

harus mengkonfrontir berbagai macam masalah yang muncul sebagai<br />

ekses-ekses kekerasan revolusi maupun sisa-sisa kolonialisme (baca:<br />

menyelamatkan capaian-capaian revolusi itu sendiri). Maka ketika kita<br />

di zaman sekarang menyaksikan Lewat Djam Malam, pertanyaaan yang<br />

harus diajukan bukanlah “seperti apa wajah korupsi di zaman itu?”,<br />

melainkan “mengapa korupsi lahir bersama Republik dan terus langgeng<br />

secara struktural hingga kini?<br />

Tidak heran jika nyaris tidak ada film tentang Indonesia pascarevolusi<br />

fisik semenjak Orde Baru sampai sekarang. Apa yang terjadi<br />

sepanjang dekade 1950-an (perpecahan politik, kebingungan menentukan<br />

arah pembangunan, marjinalisasi para veteran) adalah cermin terdekat<br />

dari apa yang terjadi selama pendirian Republik lima tahun sebelumnya.<br />

Proses-proses yang harus dilewati untuk menyebut diri sebagai sebuah<br />

bangsa ternyata mirip dengan apa yang harus dialami seorang anak<br />

dalam fase pertumbuhannya: sama-sama traumatis dan memalukan.<br />

Dalam korpus sinema Orde Baru dan setelahnya, Revolusi Fisik adalah<br />

proses yang padu dan beradab, dengan prajurit-prajurit Republikan<br />

bermoral luhur melawan Belanda yang bejat. Di antara kedua kubu<br />

tidak ada yang lain, kecuali wartawan Belanda yang simpatik, mata-mata<br />

pribumi, atau pemberontak yang menggembosi kekuatan Republik (DI/<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

81


TII, PKI, dan sebagainya). Tugas revolusi pun direduksi sebagai upaya<br />

mengusir Belanda yang ingin kembali bercokol setelah kemerdekaan<br />

diproklamasikan. Lewat Djam Malam menunjukkan yang sebaliknya:<br />

Revolusi Fisik ternyata adalah proses yang brutal dan jauh dari tertib.<br />

Banyak eksekusi ilegal di sana-sini oleh kubu Republikan serta kerusuhan<br />

yang menyasar warga kulit putih/indo dan Tionghoa. Terdapat berbagai<br />

macam pihak yang ambil bagian dalam revolusi dan tak jarang saling<br />

bersengketa karena perbedaan-perbedaan kepentingan dan ideologi<br />

politik. Tugas-tugas sejati revolusi untuk membentuk masyarakat baru<br />

pun tidak banyak diceritakan. Dengan kata lain, dalam rezim representasi<br />

Orde Baru, revolusi pun mengalami depolitisasi. Ia tidak beda jauh dari<br />

jamuan makan malam yang rapi dan santun.<br />

V<br />

Jika Lewat Djam Malam masih punya sesuatu yang ingin disampaikan<br />

hari ini, itu artinya peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya ceritanya<br />

harus dibuang. Hanya dengan itu ia masih tetap relevan sebagai sebuah<br />

bingkai, dengan segala potensi dan keterbatasannya, dalam mana epos<br />

di zaman kita diuturkan. Kita pun bisa berandai-andai momentum<br />

sejarah mana yang bisa dibincangkan lewat film ini—dengan kata lain,<br />

membayangkan sebuah remake Lewat Djam Malam.<br />

Yang pertama kali harus dilakukan adalah menempatkannya ke dalam<br />

jajaran tradisi film disiden alih-alih sekadar film perang. Subjek veteran<br />

tidak harus dipersempit ke dalam karakter eks-prajurit yang bernasib<br />

buruk, melainkan para pembaharu rezim atau pemberontak yang kecewa<br />

setelah perubahan politik yang disongsongnya gagal menepati janji.<br />

Adapun momentum historis yang dipilih tentunya, disadari atau tidak,<br />

mengandaikan sikap partisan. Sebagai contoh, film-film Sjuman Djaya,<br />

sang sutradara disiden, banyak mengkritik korupsi dan penyelewengan<br />

kekuasaan Orde Baru. Namun di satu sisi, kritik-kritiknya masih berada<br />

82<br />

LEWaT DjaM MaLaM


dalam wacana kepolitikan Orde Baru. Dalam film Si Mamad, misalnya,<br />

kemiskinan digambarkan sebagai ekses buruk pembangunan sementara<br />

penderitaan orang kecil disuarakan oleh kelas menengah. 5 Film ini seolah<br />

menuntut agar birokrat lebih jujur dan teknorat bersikap lebih populis,<br />

sekalipun telah diketahui bahwa Orde Baru sudah korup semenjak<br />

pendiriannya. Ketika menyaksikan Si Mamad, orang bisa tahu betapa<br />

kritik yang paling radikal terhadap rezim pada waktu itu mungkin<br />

hanya mendambakan semacam “Orde Baru yang berwajah manusia.”<br />

Maka, boleh jadi pertaruhan film-film disiden periode 1970-an adalah<br />

perubahan sistem dari dalam tanpa mengubah ruling ideology-nya.<br />

Di sisi lain, dengan adanya gambaran kelas menengah urban yang sadar<br />

politik dan mengartikulasikan kepentingan kelas bawah, film Sjuman<br />

Djaya justru menyiratkan relasi kelas yang timpang, yang peng gam baran<br />

nya diharamkan dalam rezim representasi Orde Baru. Si Mamad pun<br />

menjadi counterpoint dari gerakan massa kelas bawah pra-1965, ketika<br />

isu-isu politik progresif yang (sayangnya) di zaman kita ter lanjur di-<br />

identifikasi sebagai wacana elit liberal urban seperti ge rakan perem puan<br />

dan anti-kekerasan justru diartikulasikan dalam nama kelas pekerja.<br />

Dari situasi yang terbalik ini orang pun terpancing untuk bertanya<br />

lebih lanjut: mengapa gerakan massa yang otentik dan ter organisir<br />

hilang dalam lanskap politik setelah 1965 dan digantikan oleh bentukbentuk<br />

perjuangan yang serba legalistik? Inilah potensi yang layak di sela<br />

matkan.<br />

Apa kabar Indonesia pasca-1998? Ketika semua langkah-langkah<br />

legal untuk mengubah rezim relatif berhasil namun dalam praktiknya<br />

am bu radul, bagaimana film serupa Lewat Djam Malam bisa meng ekspre<br />

si kan kekecewaan politik mereka yang berperan dalam perubahan<br />

5 Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order, Zed Books, New York,<br />

1994.<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

83


ter sebut? Lagi-lagi yang bisa diambil dari Lewat Djam Malam adalah<br />

re pre sentasi sosial karakter-karakter di dalamnya: Iskandar sebagai<br />

borjuis kecil yang kecewa, Puja si penjudi dan germo, dan Gunawan yang<br />

opor tunis namun tetap memakai slogan-slogan revolusioner? Orang bisa<br />

me la kukan klasifikasi serupa di zaman ini: Tokoh A, mantan mahasiswa<br />

radikal yang kecewa dan memilih tidak berpolitik; tokoh B, rekan tokoh<br />

A, yang sekarang jadi bos preman; dan tokoh C, juga mantan mahasiswa,<br />

yang kini masuk dalam nomenklatura partai dan masih memakai sloganslogan<br />

aktivis.<br />

Lewat Djam Malam berakhir pesimis. Kita tahu Iskandar mati ditem<br />

bak patroli polisi—bukan kematian yang heroik. Kita juga tahu bahwa<br />

kemarahan Iskandar adalah ledakan biasa dan tidak politis. Dia<br />

tidak seperti karakter Johan, mantan pejuang yang segera menggalang<br />

ge rakan perdamaian begitu revolusi selesai dalam film Tjorak Dunia<br />

(Bachtiar Siagian, 1956) 6 —sebuah “sekuel” Lewat Djam Malam, jika<br />

ada. Sosok Iskandar—ini juga yang menjadi keterbatasan Lewat Djam<br />

Malam—sekadar terpuruk dalam melankoli berkepanjangan. Tapi dari<br />

pesimisme itu kita pun senantiasa dituntut mengoreksi kegagalan-kegagalan<br />

perubahan politik yang pernah terjadi seraya membayangkan kemung<br />

kin an lain. Sebuah posisi yang tidak nyaman, tentunya.<br />

6 Salim Said, “Revolusi Indonesia dalam Film-film Indonesia”, dalam Pantulan Layar<br />

Putih, Sinar Harapan, Jakarta, 1991.<br />

84<br />

LEWaT DjaM MaLaM


Sinematek Indonesia<br />

LEWaT DjaM MaLaM<br />

85


Rak-rak penyimpanan film di Sinematek Indonesia.


Apa Kami Hanya Pantas<br />

Menonton Film-film Rusak?<br />

Sinematek Indonesia dan<br />

Generasi Indonesia Masa Depan<br />

LISabona RahMan<br />

PERAYAAN untuk restorasi film Lewat Djam Malam hari ini tak bisa tidak<br />

akan membuat kita mengenang almarhum Misbach Jusa Biran, pendiri<br />

Sinematek Indonesia (SI). Sungguh sayang ia tidak sempat menyaksikan<br />

film ini pulih dan pulang ke Usmar Ismail Hall bersama kita semua. Tentu<br />

tidak berlebihan jika saya katakan bahwa tanpa inisiatif almarhum<br />

Misbach bersama SM Ardan sejak tahun 1970 hingga berdirinya SI pada<br />

1975, kita semua tak akan berada sini dan merayakan keberhasilan kerja<br />

sama kita semua. Tulisan ini adalah penghargaan bagi upaya kedua almarhum,<br />

sekaligus upaya untuk meneruskan kerja keras mereka.<br />

Kita patut bangga punya arsip film seperti SI. Almarhum Misbach<br />

ingin membuat suatu tempat untuk orang bisa menonton dan belajar<br />

dari film-film Indonesia klasik untuk mencegah ”orang film dewasa ini…<br />

meng ulangi salah langkah yang dilakukan orang pada masa lampau.”


Meskipun jelas bahwa almarhum ingin memberi tempat belajar bagi pembuat<br />

film Indonesia, tapi sesungguhnya yang ia hasilkan lebih dari sekadar<br />

itu. SI adalah rumah bagi harta budaya pecinta film dunia, pembuat<br />

film maupun bukan, yaitu kita semua yang hadir pada perayaan ini dan<br />

siapapun yang bersua dengan Lewat Djam Malam sebelum dan sesudah<br />

hari ini.<br />

Bagi saya dan kawan-kawan segenerasi, pembuat film maupun bukan,<br />

kali pertama menyaksikan karya-karya klasik film Indonesia adalah<br />

saat-saat magis yang bukan saja menggetarkan, tapi hampir selalu juga<br />

me nyakitkan. Film-film berharga dari masa lalu itu kami tonton dalam<br />

keadaan terputus-putus, penuh goresan dengan suara yang kadang cempreng<br />

kadang hilang sama sekali. Betapa irinya kami pada orang-orang<br />

yang menontonnya di masa lalu dengan gambar yang mulus dan suara<br />

yang merdu.<br />

Pada hari ini, kita tak bisa tidak menengok ke belakang dan kagum<br />

akan gagasan bagus almarhum Misbach dan Ardan yang begitu maju dan<br />

menjadi inspirasi bagi masyarakat Asia. Gagasan luar biasa inilah yang<br />

me mungkinkan saya dan generasi saya merasa bahwa kami pun punya<br />

akar dan kami adalah bagian dari sejarah panjang seni film Indonesia<br />

dan ikut merawatnya. Kami jadi bisa percaya bahwa sejarah bukan hanya<br />

nyata bagi bangsa lain sementara kami hanya bisa menatap iri dan<br />

kagum. Kami, para penonton, memanjangkan nafas saat-saat bersejarah<br />

yang pernah diciptakan sebelum kami ada.<br />

Bersamaan dengan itu kita akan terhenyak sebentar dan bertanya,<br />

bagai mana kiranya masa depan gagasan maju dan inspiratif itu pada hari<br />

ini, sesudah hampir empat puluh tahun lewat? Koleksi SI tidak terawat<br />

dan makin hari makin rusak. Koleksi yang dikumpulkan satu demi satu<br />

oleh al marhum Misbach dan SM Ardan adalah harta budaya yang tak ternilai,<br />

tapi saat ini dalam keadaan terpuruk dan tak terurus dengan baik.<br />

Barangkali paling tidak satu kali dalam setahun, kita membaca tulisan di<br />

88<br />

SInEMaTEK InDonESIa


koran atau majalah nasional tentang kondisi SI yang makin hari makin<br />

buruk. Karena sudah terlalu sering diberitakan, mendengar kabar kondisi<br />

SI memburuk rasanya seperti mendengar rekaman ratapan usang tanpa<br />

ke sudahan. Apakah ini berarti bahwa kami, saya dan generasi saya, hanya<br />

boleh menonton film-film klasik Indonesia dalam keadaan rusak? Apakah<br />

ini berarti bahwa generasi sesudah kami bahkan tidak diberi kesempatan<br />

menonton film-film itu sama sekali?<br />

Kondisi menyedihkan SI dan koleksi film klasik Indonesia bisa diubah.<br />

Hari ini kita merayakan salah satu kabar gembira bahwa satu<br />

judul dari koleksi SI, Lewat Djam Malam, telah dipulihkan dengan kerja<br />

bersama berbagai pihak dari dalam negeri maupun antar-bangsa yaitu<br />

SI, Yayasan Konfiden, Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, National<br />

Museum of Singapore, L’immagine Ritrovata Bologna, Italia dan World<br />

Cinema Foundation, AS/Swiss. Memulihkan harta budaya yang telanjur<br />

rusak adalah kerja skala besar yang melibatkan bantuan banyak pihak,<br />

baik dari dalam maupun dari luar negeri. Kerja restorasi film ini adalah<br />

langkah pertama yang harus disusul langkah-langkah selanjutnya dengan<br />

judul-judul film lain yang penting untuk ingatan bersama akan budaya<br />

sinema Indonesia. Saya kira kami dan juga generasi setelah kami punya<br />

hak dan ingin ikut bangga serta merawat harta warisan budaya kami untuk<br />

meneruskannya pada generasi berikutnya.<br />

***<br />

Ketertarikan dunia internasional terhadap proses restorasi dan pemutaran<br />

Lewat Djam Malam menunjukkan bahwa koleksi SI sangat penting untuk<br />

diapresiasi, dirawat, dan dipertunjukkan. Lima belas judul dalam koleksi<br />

ini sudah menjadi bagian dari ”Memory of The World: National Cinematic<br />

Heritage” UNESCO sejak tahun 1995 atas prakarsa almarhum Misbach<br />

yang masih menjabat sebagai Kepala SI pada waktu itu.<br />

SInEMaTEK InDonESIa<br />

89


90<br />

Keberadaan SI sebagai pelaku aktif arsip film merosot tajam setelah<br />

Misbach Jusa Biran tidak lagi menjabat sebagai Kepala. Sejak itu hingga<br />

sekarang SI cenderung bekerja secara pasif, tidak lagi aktif mendorong<br />

apresiasi di dalam negeri maupun secara internasional. Ruang pemutaran<br />

film khusus sudah tidak ada lagi, kegiatan apresiasi film berhenti, kegiatan<br />

perawatan koleksi film hanya terbatas pada penyimpanan dengan kondisi<br />

yang kurang baik dan pembersihan kimiawi dengan alat-alat yang sama<br />

sekali tidak memadai. SI yang tadinya adalah salah satu pencetus se kaligus<br />

pemula, pun tidak lagi bisa mempertahankan keanggotaannya di<br />

asosiasi arsip film internasional.<br />

Melihat skala kerja yang begitu besar dan mendesak, kiranya kita<br />

memerlukan langkah-langkah aktif untuk memulihkan harta budaya<br />

yang lama tidak dirawat. Koleksi SI yang berharga dalam bentuk buku,<br />

nas kah, film, dan lain-lain membutuhkan tata kelola yang dirancang<br />

dan dijalankan oleh tenaga ahli yang saat ini belum ada dalam struktur<br />

lem baga nya. Sebagai lembaga, SI memerlukan rancangan kinerja baru<br />

dan bentuk pengelolaan yang baru supaya dapat memenuhi tantangan<br />

pengelolaan harta budaya sinema Indonesia saat ini dan untuk masa<br />

de pan. Jika bentuk kelembagaan yang menaungi SI saat ini tidak lagi<br />

membuka kesempatan untuk menerima bantuan dan kerja sama demi<br />

perawatan koleksi SI, maka sudah saatnya SI diberi rancangan pengelolaan<br />

dan kelembagaan yang lebih baik.<br />

Mengelola arsip film seperti SI pada hari ini, 112 tahun setelah film<br />

tiba di tanah Nusantara, adalah tugas penting kita sebagai war ga dunia.<br />

Memasuki abad yang lalu, film dan bentuk ciptaan gambar ber gerak<br />

lainnya sudah menjadi bagian penting dari peradaban manusia. Para ahli<br />

warisan budaya dunia mengakui bahwa gambar bergerak telah men jadi<br />

media paling berpengaruh dalam sejarah manusia modern yang telah<br />

membentuk cara pikir manusia sejak abad ke-20. Kita, warga Nusan tara,<br />

bukan saja telah ikut menikmati jutaan karya cipta gambar bergerak dari<br />

SInEMaTEK InDonESIa


seluruh dunia, tapi telah ikut pula mencipta. Hingga hari ini tercatat<br />

hampir 3.000 judul film cerita panjang pernah diciptakan sejak tahun<br />

1926. Sejak saat itu hingga hari ini karya cipta dari wilayah Nusantara<br />

sudah menghibur dan memukau jutaan penonton di seluruh dunia.<br />

Sejarah yang diciptakan oleh karya film cerita Nusantara telah hidup<br />

hampir 90 tahun, melampaui masa susah dan senang, kejayaan dan<br />

kehancuran, waktu damai dan perang. Sesulit apapun keada an, ribuan<br />

pencipta film Nusantara senantiasa menghasilkan karya film. Sejak abad<br />

yang lalu, tentu sudah lebih dari ratusan juta orang di seluruh dunia<br />

terpesona, menangis, tertawa, dan (tentu pula) ditakut-takuti oleh buah<br />

tangan para pencipta Nusantara. Bukankah daftar panjang penca paian ini<br />

sudah sepatutnya kita hargai sebagai harta budaya yang bernilai tinggi?<br />

Bukankah upaya menyimpan, merawat, dan memutarkan film-film itu<br />

berarti juga menjunjung kenangan ratusan juta warga dunia, ter masuk<br />

warga Nusantara, dan mewariskannya untuk generasi demi generasi<br />

mendatang?<br />

Akhirnya kita sampai pada pertanyaan, dari hampir 3.000 judul karya<br />

cipta Nusantara selama ini, berapa banyak yang tersisa? Saat ini karya<br />

film yang layak tonton dalam koleksi SI tidak sampai sepersepuluhnya.<br />

Lewat Djam Malam barulah satu dari hampir 3.000 karya dalam sejarah<br />

kita. Kalau kita tidak bekerja lebih keras lagi sejak sekarang, tak perlu<br />

menunggu sampai generasi berikutnya lahir, kita akan kehilangan sejarah<br />

film kita sendiri. Saya dan generasi saya yakin, kita semua tidak<br />

akan membiarkan ini terjadi. Sekaranglah saatnya mulai terlibat dan memastikan<br />

kita tidak hanya tinggal diam disuguhi film-film rusak.<br />

***<br />

Proses yang kita jalankan untuk Lewat Djam Malam, selain membuktikan<br />

bahwa kita masih punya harapan, juga mengajari kita beberapa hal.<br />

SInEMaTEK InDonESIa<br />

91


Pertama, jika kita bekerja lebih keras dan terarah, harta budaya yang di-<br />

simpan SI yang saat ini makin tenggelam, bisa diselamatkan dan dipu lih-<br />

kan kembali untuk dibagi kepada publik saat ini maupun generasi mendatang.<br />

Kedua, koleksi SI bisa diselamatkan dengan perawatan profesional<br />

yang sayangnya belum menjadi bagian sumber daya internal SI. Sebagai<br />

lembaga, SI perlu membuka diri untuk diperbarui dan menjadi lembaga<br />

arsip profesional atau bekerja sama dengan lembaga arsip profesional.<br />

Ketiga, dukungan internasional sangat penting dalam menyelamatkan<br />

koleksi SI karena memungkinkan pertukaran keahlian di bidang pelaksanaan<br />

proses kerja restorasi (baik dari segi manajemen maupun teknik<br />

res torasi). Terakhir, dukungan dan perhatian yang ditunjukkan oleh pribadi<br />

maupun lembaga di Indonesia menunjukkan bahwa proses restorasi<br />

ini bisa diteruskan pada judul-judul lain yang penting bagi sejarah film<br />

Indonesia dengan lebih banyak melibatkan pihak-pihak di Indonesia.<br />

Restorasi Lewat Djam Malam membutuhkan waktu keseluruhan dua<br />

ta hun dan melibatkan bukan saja lembaga arsip dan restorasi film, tapi<br />

ju ga kerja sama keluarga Usmar Ismail serta para profesional di bidang<br />

distri busi dan pemutaran film hingga festival internasional terkemuka se-<br />

perti Cannes Film Festival. Proses kerja yang sama juga melibatkan orangorang<br />

dari generasi yang berbeda dan dengan bangga saya harus me nya takan,<br />

mewakili generasi saya, bahwa kami tidak tinggal diam saja.<br />

Ini adalah langkah awal untuk mengajak lebih banyak orang dan<br />

lembaga Indonesia untuk melibatkan diri karena hanya dengan bekerja<br />

sama kita bisa mengubah judul berita tentang sejarah sinema di media<br />

massa kita dari ratapan dan ungkapan iba, menjadi lontaran semangat<br />

dan kebanggaan. Tentu saja ini bukan pekerjaan mudah dan cepat, tapi<br />

jelas bahwa kita semua bisa membuatnya mungkin terjadi.<br />

92<br />

SInEMaTEK InDonESIa<br />

Amsterdam, Mei 2012


Catatan dari Ruang Penyimpanan Film<br />

Sinematek Indonesia<br />

Hanya 14 Persen yang<br />

Tersimpan dan dalam Kondisi<br />

Memprihatinkan<br />

aRIE KaRTIKaSaRI<br />

TEMPAT penyimpanan koleksi film dengan format seluloid, yang dimiliki<br />

Sinematek Indonesia (SI) terletak di lantai basement Gedung Pu sat<br />

Perfilman Haji Usmar Ismail. Ruangan besar bersuhu dingin, berisi rak<br />

pe nuh tumpukan reel film. Ada empat karyawan yang bekerja di bagian<br />

pe nyim panan dan pemeliharaan film. Perawatan film di SI dilakukan<br />

berdasarkan urutan rak penyimpanan, setiap hari karyawan bagian<br />

pemeliharaan film bisa membersihkan dua-tiga judul film, tergantung<br />

jumlah reel-nya. De ngan SDM sejumlah itu serta peralatan manual, maka<br />

perawatan dan pen catatan kondisi seluruh isi ruang penyimpanan film<br />

bisa memakan waktu dua tahun.<br />

Kerusakan film dibagi menjadi dua jenis. Kerusakan yang dipengaruhi<br />

oleh faktor eksternal dan kerusakan yang berasal dari medium film itu<br />

sen diri (internal). Firdaus, salah satu karyawan, menjelaskan bahwa


proses perawatan dilakukan dengan cara menghambat kerusakan, karena<br />

pada dasarnya materi seluloid sendiri tetap akan rusak, namun dengan<br />

pera watan yang baik umur film bisa bertahan hingga ratusan tahun.<br />

Masa lah alami seperti tingkat keasaman yang tinggi, dapat menyebabkan<br />

penyusutan pada perforasi, serta bentuk film yang bergelombang. Hal ini<br />

dapat menyebabkan film jadi rapuh. Sedangkan untuk faktor eksternal<br />

ma salah yang dihadapi biasanya adalah film yang berjamur dan berair,<br />

karena pengaruh suhu dan udara.<br />

94<br />

Kerusakan itu sendiri dibagi menjadi dua tahapan, yaitu kerusakan<br />

ringan dan kerusakan berat. Pada tahap kerusakan ringan biasanya tingkat<br />

keasaman film sudah mencapai 2-2,5 persen, warna yang mulai ke-<br />

Peralatan tua yang digunakan untuk merawat film.<br />

SInEMaTEK InDonESIa


Contoh dari negatif Lewat Djam Malam yang tergores.<br />

Tempat penyhimpanan poster dll di Sinematek Indonesia yang seadanya.<br />

SInEMaTEK InDonESIa<br />

95


me rahan pada film berwarna, serta gambar yang mengalami goresan<br />

halus. Kerusakan ringan ini biasanya diatasi dengan cara membersihkan<br />

film dengan cairan trichloroethanol yang terbatas suplainya, sehingga<br />

ha rus dihemat. Perawatan semacam ini hanya bisa berpengaruh pada<br />

asam, dan tidak berpengaruh banyak pada warna yang kemerahan ser ta<br />

gambar yang tergores. Kerusakan pada tahapan yang sudah berat biasanya<br />

diawali oleh tingkat asam yang melebihi batas 3%. Tingkat asam yang<br />

tinggi akan membuat film jadi bergelombang dan perforasi pun men jadi<br />

susut dan rapuh. Apabila perforasi susut dan rapuh namun tetap di pak sa-<br />

kan untuk diputar, maka perforasi pun akan mudah sobek. Bukan tidak<br />

mungkin perforasi yang sobek juga dapat berlanjut dengan gambar yang<br />

ter kelupas. Dengan keterbatasan fasilitas yang ada di SI, tidak banyak<br />

yang bisa dilakukan apabila hal ini terjadi. Bagian pemeliharaan hanya<br />

bisa membersihkannya dengan cairan dan memperbaiki perforasi secara<br />

manual dengan transparant tape. Film dengan jenis kerusakan berat<br />

seperti ini tentu saja tidak diperbolehkan untuk diputar.<br />

Untuk kerusakan yang dipicu oleh faktor eksternal, permasalahan<br />

yang sering terjadi adalah masuknya jamur ke dalam pita film melalui<br />

96<br />

Grafik Jumlah Koleksi Rusak<br />

Jumlah Film Rusak ringan Rusak berat Tidak lengkap<br />

SInEMaTEK InDonESIa


per tu karan udara. Sebelumnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara<br />

menyertakan paraformaldehyde ke dalam reel film yang sudah melalui<br />

pro ses perawatan. Metode pemberian bubuk berwarna putih, yang ber-<br />

fung si sebagai disinfektan itu, kini sudah tidak pernah dilakukan lagi,<br />

kare na anggaran yang terbatas.<br />

Suhu dan kelembaban ruangan merupakan hal penting dalam pera-<br />

watan film. Ruang penyimpanan film di SI memasang suhu standar 10°-<br />

12° Celcius dan kelembaban 45-65 %. Dalam beberapa kasus kerusakan<br />

pada koleksi film, asal mula datangnya koleksi juga berpengaruh. Contoh<br />

ka susnya adalah kondisi gambar film yang mulai terlihat kemerahan, saat<br />

beberapa judul film Indonesia datang dari tempat penyimpanannya di<br />

Hongkong pada tahun 1998.<br />

hanya 14 persen dan banyak yang rusak<br />

Pada tempat penyimpanan film di SI terdapat 414 judul yang terdiri dari<br />

84 negative copy, 17 judul hitam-putih dalam format 16mm, 58 judul<br />

berwarna dalam format 16mm, 53 judul hitam-putih dalam format 35mm,<br />

Perbandingan Koleksi dengan Film Beredar<br />

Koleksi Sinematek Indonesia<br />

SInEMaTEK InDonESIa<br />

Jumlah film beredar<br />

97


dan 235 judul berwarna dalam format 35mm. Selain itu masih ada koleksi<br />

dokumentasi dengan format seluloid sejumlah 313 judul.<br />

Ruang penyimpanan film SI tidak hanya menyimpan film koleksi<br />

sendiri, tetapi ada juga beberapa film titipan rumah produksi. Untuk<br />

perio de 1950an tercatat 65 judul film yang dikoleksi oleh SI atau sekitar<br />

17 persen dari 386 judul film beredar yang tercatat di Katalog Film<br />

Indonesia (KFI). Maka angka 414 judul dari tahun 1939 sampai dengan<br />

tahun 2011 ter sebut sangat kecil apabila dicocokkan dengan data film<br />

beredar yang ter catat di KFI, yaitu 2.914 film sampai dengan tahun 2011,<br />

atau hanya 14 persen saja.<br />

98<br />

Dengan koleksi yang sangat sedikit ini pun kondisinya banyak yang<br />

mem prihatinkan. Dari data kategori kerusakan seperti yang dicatat petu-<br />

gas SI, terdapat sejumlah film yang harus segera ditangani:<br />

1. Dari 84 negative copy yang tersimpan, 37 judul di antaranya tidak<br />

lengkap.<br />

2. Seluruh koleksi 16mm hitam-putih tidak dapat diputar karena<br />

rusak dan tidak lengkap. Sedangkan delapan judul dari koleksi<br />

16mm berwarna, sudah mengalami kerusakan ringan.<br />

3. 23 judul format 35mm hitam-putih masuk kategori rusak dan<br />

tidak dapat diputar, 10 di antaranya dalam kondisi tidak lengkap.<br />

Dari sisa film yang dapat diputar sekitar tujuh judul mengalami<br />

kerusakan ringan.<br />

4. Dari 235 judul film berwarna format 35mm, sembilan di antaranya<br />

tidak dapat diputar karena rusak dan 36 film yang dapat diputar<br />

mengalami kerusakan ringan.<br />

Tidak jelasnya standar pencatatan, serta pengerjaan kondisi terbaru<br />

yang memakan waktu dua tahun lamanya, membuat angka-angka dalam<br />

daftar ini tidak bisa dianggap mendekati kenyataan. Oleh karena itu<br />

membuat catatan yang baru secara detail, serta memiliki kategori kon-<br />

SInEMaTEK InDonESIa


disi film yang lebih baik adalah pekerjaan rumah pertama kita. Selain<br />

itu juga memeriksa kembali dan membenahi fasilitas serta suplai bahan<br />

perawatan yang sudah ada. Selain memperbaiki film yang rusak, yang<br />

juga harus diperhatikan adalah kurangnya koleksi yang dimiliki oleh SI.<br />

Hal ini cukup penting untuk dilakukan mengingat kita hanya memiliki 14<br />

per sen dari keseluruhan warisan nasional dalam bentuk film.<br />

SInEMaTEK InDonESIa<br />

99


Daftar film dalam Kondisi Kritis<br />

Per November 2011<br />

100<br />

Print<br />

negative<br />

16mm 35mm<br />

no. Tahun judul Sutradara<br />

g+S Dn+DP jumlah<br />

jumlah<br />

Kondisi<br />

Kondisi<br />

Can/Copy<br />

Can/Copy<br />

1 1940 Matjan Berbisik (HP) Tan Tjoei Hock - 3/1 Rusak berat.<br />

2 1941 Koeda Sembrani (HP) Wong Bersaudara - - 1/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

3 1941 Srigala Item (HP) Tan Tjoei Hock - 5/1 Rusak berat.<br />

4 1948 Djaoeh Dimata (HP) Andjar Asmara - - 3/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

5 1949 Gadis Desa (HP) Andjar Asmara - - 2/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

6 1949 Harta Karun (HP) Usmar Ismail - - 3/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

7 1949 Tjitra (HP) Usmar Ismail - - 2/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

8 1950 Antara Bumi Dan Langit (HP) dr Huyung 0 + 9 5 + 0 5/1 Rusak berat.<br />

9 1950 Inspektur Rachman (HP) Moh Said HJ - - 2/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

10 1950 Untuk Sang Merah Putih (HP) Moh Said HJ - - 1/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

11 1951 Djiwa Pemuda (HP) Bachtiar Effendy - - 1/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

12 1951 Si Pintjang (HP) Kotot Sukardi - - 2/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

13 1952 Dr. Samsi (HP) Ratna Asmara 8 + 6 5/1 Rusak berat.<br />

14 1952 Kumala Dewa Dewi (HP) Bambang Sudarto 4 + 3 3 5/1 Rusak berat.<br />

15 1952 Pulang (HP) Basuki Effendi - - 2/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

16 1953 Bawang Merah Bawang Putih (HP) Tan Sing Hwat 5/1 Rusak berat.<br />

17 1953 Belenggu Masjarakat (HP) Wahju Hidajat - - 2/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

18 1953 Meratjun Sukma (HP) Bachtiar Effendy - - 3/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

19 1953 Rentjong Dan Surat (HP) Basuki Effendi, Rendra Karno - - 2/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

20 1954 Antara Tugas Dan Tjinta (HP) Bachtiar Effendy, Rd Ariffien - - 2/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

21 1954 Derita (HP) Hu 5/1 Rusak berat.<br />

22 1954 Si Melati (HP) Basuki Effendi - - 2/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

23 1955 Ada Gula Ada Semut (HP) Hu 11 + 10 4/1 Rusak berat.<br />

24 1955 Djajaprana (HP) RM Soetarto - - 3/1 Rusak berat, tidak lengkap.<br />

25 1960 Sepiring Nasi (HP) Amir Jusuf/ B.Supardi 6/1 Rusak berat.<br />

26 1963 Balada Kota Besar (HP) Wahyu Sihombing 6/1 Rusak berat.<br />

27 1963 Bintang Ketjil (HP) Wim Umboh/ Misbach Yusa Biran 6/1 Rusak berat.<br />

28 1964 Air Mata Darah (HP) Jacob Harahap 4/1 Rusak berat.<br />

29 1964 Impian Bukit Harapan (HP) Wahyu Sihombing 6/1 Rusak berat.<br />

30 1964 Tauhid (HP) Asrul Sani - - 4/1 Rusak berat, tidak lengkap. 6/1 Rusak berat.<br />

31 1970 Honey, Money And Jakarta Fair (W) Misbach Yusa Biran 8/1 Rusak berat.<br />

32 1971 Wajah Seorang Laki-laki (W) Teguh Karya 2/1 Baik. 6/1 Rusak berat.<br />

33 1973 Cinta Pertama (W) Teguh Karya 5/1 Rusak berat.<br />

34 1976 Chicha (W) Edwart P. Sirait 6/1 Rusak berat.<br />

35 1976 Perkawinan Dalam Semusim (W) Teguh Karya 5/1 Rusak berat.<br />

36 1977 Petualang Cilik (W) Dhira Soehoed 4/1 Rusak berat.<br />

37 1977 Tuan, Nyonya Dan Pelayan (W) Samsul Fuad 5/1 Rusak berat.<br />

38 1980 Kemilau Kemuning Senja (W) Hasmanan 7/1 Rusak berat.<br />

SInEMaTEK InDonESIa


Print<br />

negative<br />

16mm 35mm<br />

no. Tahun judul Sutradara<br />

g+S Dn+DP jumlah<br />

jumlah<br />

Kondisi<br />

Kondisi<br />

Can/Copy<br />

Can/Copy<br />

39 1981 Bawalah Aku Pergi (W) MT. Risyaf 6/1 Rusak berat.<br />

Rusak ringan,<br />

40 1956 Terang Bulan Terang Di Kali (HP) Wim Umboh 5/1<br />

tidak lengkap.<br />

41 1962 Violeta (HP) Bachtiar Siagian 5/1 Rusak ringan.<br />

42 1963 Penjebrangan (HP) Gatut Kusumo 6/1 Rusak ringan.<br />

43 1964 Djiwa Kolonial (HP) R. Iskak 6/1 Rusak ringan.<br />

44 1965 Madju Tak Gentar (HP) Turino Djunaidy 5/1 Rusak ringan.<br />

45 1967 Petir Sepandjang Malam (HP) S. Waldi/ Sjarieffudin 7/1 Rusak ringan.<br />

46 1968 Operasi X (HP) Misbach Jusa Biran 12 + 12 6/1 Rusak ringan.<br />

47 1969 Apa Jang Kau Tjari Palupi? (W) Asrul Sani 7/1 Rusak ringan.<br />

48 1969 Matt Dower (HP) Nja Abbas Akup 8/1 Rusak ringan.<br />

49 1971 Perawan Disektor Selatan (W) Alam Surawidjaja 6/1 Rusak ringan.<br />

50 1973 Ayah (Akhirnya Kau Sadar) (W) Amin Kertarahardja 10/1 Rusak ringan.<br />

51 1973 Laki Laki Pilihan (W) Nico Pelamonia 6/1 Rusak ringan.<br />

52 1973 Segenggam Harapan (W) Wahab Abdi 5/2 Rusak ringan.<br />

53 1973 Si Doel Anak Betawi (W) Sjuman Djaya 5/1 Rusak ringan.<br />

54 1973 Si Mamad (W) Sjuman Djaya 5/1 Rusak ringan.<br />

55 1974 Kawin Lari (W) Teguh Karya 5/2 Rusak ringan.<br />

56 1974 Senyum Dipagi Bulan Desember (W) Wim Umboh 6/1 Rusak ringan.<br />

57 1975 Malam Pengantin (W) Lukman Hakim Nain 2/1 Rusak ringan.<br />

58 1976 Cinta Rahasia (W) Lukman Hakim Nain 2/1 Rusak ringan.<br />

59 1976 Sentuhan Cinta (W) Bobby Sandy 2/1 Rusak ringan. 5/1 Rusak ringan.<br />

60 1977 Badai Pasti Berlalu (W) Teguh Karya 6/1 Rusak ringan.<br />

61 1977 Inem Nyonya Besar (W) Mochtar Soemodimedjo 2/1 Rusak ringan.<br />

62 1977 Kekasih (W) Bobby Sandy 2/1 Rusak ringan.<br />

63 1977 Kugapai Cintamu (W) Wim Umboh 2/1 Rusak ringan.<br />

64 1977 Suci Sang Primadona (W) Arifin C Noer 7/2 Rusak ringan.<br />

65 1977 Tuan Besar (W) Mochtar Soemodimedjo 2/1 Rusak ringan.<br />

66 1978 Satu Malam Dua Cinta (W) Usman Effendy 2/1 Rusak ringan.<br />

67 1979 Kabut Sutra Ungu (W) Sjuman Djaya 10/1 Rusak ringan.<br />

68 1979 Sinila (Peristiwa Gunung Dieng) (W) Kurnaen Suhardiman 6/1 Rusak ringan.<br />

69 1979 Yuyun Pasien Rs.Jiwa (W) Arifin C Noer 6/1 Rusak ringan.<br />

70 1980 Hilangnya Sebuah Mahkota (W) IM Chandra Adi 5/1 Rusak ringan.<br />

71 1980 Perempuan Dalam Pasungan (W) Ismail Soebardjo 6/1 Rusak ringan.<br />

72 1981 Gadis Marathon (W) Chaerul Umam 5/1 Rusak ringan.<br />

73 1981 Manusia Berilmu Gaib (W) Lilik Sudjio 6/1 Rusak ringan.<br />

74 1982 Pengkhianatan G 30 S/ PKI (W) Arifin C Noer 15/1 Rusak ringan.<br />

75 1982 Sorta (Tumbuh Bunga Di Sela Batu) (W) Abrar Siregar 6/1 Rusak ringan.<br />

76 1983 Budak Nafsu (W) Sjuman Djaya 5/1 Rusak ringan.<br />

77 1984 Kembang Kertas (W) Slamet Rahardjo 5/2 Rusak ringan.<br />

78 1984 Kerikil Kerikil Tajam (W) Sjuman Djaya 6/1 Rusak ringan.<br />

79 1985 Kejarlah Daku Kau Kutangkap (W) Chaerul Umam 5/1 Rusak ringan.<br />

SInEMaTEK InDonESIa<br />

101


Print<br />

negative<br />

16mm 35mm<br />

no. Tahun judul Sutradara<br />

g+S Dn+DP jumlah<br />

jumlah<br />

Kondisi<br />

Kondisi<br />

Can/Copy<br />

Can/Copy<br />

80 1986 Don Aufar (W) Pitrajaya Burnama 5/1 Rusak ringan.<br />

81 1986 Keluarga Markum (W) Chaerul Umam 5/1 Rusak ringan.<br />

82 1986 Pacar Pertama (W) Sam Sarumpaet 5/1 Rusak ringan.<br />

Arini, Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat<br />

83 1987 Sophan Sophiaan 5/2 Rusak ringan.<br />

(W)<br />

84 1989 Langitku Rumahku (W) Slamet Rahardjo 5/12 Rusak ringan.<br />

85 1989 Nuansa Birunya Rinjani (W) Jimmy Atmaja 7/1 Rusak ringan.<br />

86 1990 Disini Senang Disana Senang (W) Maman Firmansjah 5/1 Rusak ringan.<br />

87 1990 Suamiku Sayang (W) Henky Solaiman 5/1 Rusak ringan.<br />

88 1990 Wanita (W) Adisoerya Abdy 4/1 Rusak ringan.<br />

89 1997 Telegram (W) Slamet Rahardjo 6/1 Rusak ringan.<br />

90 2000 Marsinah (Cry Justice) (W) Slamet Rahardjo 6/1 Rusak ringan.<br />

91 1939 Gagak Item (HP) Tan Koen Yauw - ada 3/1 Tidak lengkap.<br />

92 1941 Singa Laoet (HP) Tan Tjoei Hock - 5/1 Tidak lengkap.<br />

93 1941 Tengkorak Hidoep (HP) TanTjoei Hock 9 + 0 3/1 Tidak legkap.<br />

94 1942 Seribu Satu Malam (HP) Wu Tsun 10 + 10 4/1 Tidak lengkap.<br />

95 1952 Surja (HP) Hu 4/1 Tidak lengkap<br />

96 1952 Tiga Benda Adjaib (HP) R. Hu 9 + 9 3/1 Tidak lengkap.<br />

97 1954 Klenting Kuning (HP) 0 + 9 9 2/1 Tidak lengkap.<br />

98 1954 Merapi (HP) Soedarso WK 3/1 Tidak lengkap.<br />

99 1955 Dibalik Dinding (HP) Wim Umboh 10 + 10 9/1 Tidak lengkap.<br />

100 1958 Serodja (HP) Nawi Ismail 4/1 Tidak lengkap.<br />

102<br />

Keterangan:<br />

G: Gambar<br />

S: Suara<br />

DN: Dupe Negatif<br />

DP: Dupe Positif<br />

SInEMaTEK InDonESIa


Sahabat Sinematek<br />

Inisiatif Warga<br />

Menyelamatkan Sejarah<br />

ToToT InDRaRTo<br />

RESTORASI Lewat Djam Malam oleh National Museum of Singapore<br />

dan World Cinema Foundation di satu sisi sangat menggembirakan karena<br />

telah menyelamatkan film terbaik Indonesia sepanjang masa yang<br />

kebetulan dibuat oleh perintis film nasional, tetapi di sisi lain seperti menam<br />

par wajah kita sendiri. Mengapa justru orang-orang dan institusi<br />

asing yang lebih peduli pada salah satu warisan budaya terpenting<br />

Indonesia?<br />

Tamparan itu semakin terasa menyakitkan karena proyek restorasi<br />

ini untuk kesekian kalinya menyadarkan kita betapa teledor bahkan tidak<br />

peduli nya bangsa ini pada infrastruktur pengarsipan harta kekayaannya<br />

sen diri. Lebih menyakitkan lagi, tidak ada satu orang pun di negeri ini,<br />

bah kan pemerintah, yang tahu bagaimana cara menyelamatkan koleksi<br />

tak ternilai yang tersimpan di pusat dokumentasi dan informasi perfilman<br />

Sinematek Indonesia.<br />

Walaupun demikian, proyek restorasi ini telah memberikan ba nyak<br />

pelajaran berharga mengenai bagaimana sebaiknya preservasi film-


film koleksi Sinematek lainnya dilakukan. Pelajaran lain, selain keti dak-<br />

pedulian pemerintah, Sinematek dan Yayasan PPHUI (Pusat Perfilman<br />

H. Usmar Ismail) yang menaunginya ternyata mempunyai banyak ke ter-<br />

batasan, sehingga menyulitkan keduanya melakukan kegiatan komersial<br />

guna menghimpun dana, termasuk menjalin kerja sama dengan berbagai<br />

pihak yang ingin membantu.<br />

Beberapa tahun lalu sejumlah penggiat film yang aktif di Komite Film<br />

DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dan Kineforum – antara lain Abduh Aziz,<br />

Alex Sihar, Farishad Latjuba, Lisabona Rahman, Riri Riza – berinisiatif<br />

mem bentuk komunitas Sahabat Sinematek. Tujuannya, melakukan pengga<br />

langan dana masyarakat untuk membantu Sinematek. Tapi gagasan itu<br />

ke mudian tidak berlanjut.<br />

104<br />

Kembali belajar dari pengalaman proyek restorasi ini, jika kita ingin<br />

melakukan inisiatif atau memberikan bantuan serupa, sebaiknya dilaku<br />

kan oleh organisasi legal-formal yang memang khusus bekerja untuk<br />

tujuan itu, karena membutuhkan korespondensi intens dan banyak<br />

perikatan dalam bentuk perjanjian-perjanjian nasional dan internasional<br />

yang rumit dan sangat formal.<br />

Sahabat Sinematek<br />

Untuk memanfaatkan momentum peluncuran hasil restorasi Lewat<br />

Djam Malam di Indonesia, muncul gagasan menghidupkan kembali dan<br />

mem berdayakan Sahabat Sinematek sebagai badan hukum berbentuk<br />

perkumpulan non-profit. Sebagai organisasi legal-formal, diharapkan ia<br />

lebih dapat mengikat komitmen para anggotanya, lebih memiliki legitimasi<br />

menyelenggarakan penghimpunan dana dan sumbangan lain dari<br />

masyarakat, lebih leluasa mengikat perjanjian kerja sama dengan berbagai<br />

pihak, serta lebih flesksibel melakukan lobi-lobi yang diperlukan, termasuk<br />

kepada pemerintah dan parlemen.<br />

Perkumpulan ini merupakan entitas di luar Sinematek yang secara<br />

SInEMaTEK InDonESIa


inde penden melakukan berbagai inisiatif, usaha, dan kerja sama guna<br />

memberikan bantuan berkelanjutan kepada Sinematek. Dua minggu<br />

sebe lum meninggal, pendiri Sinematek Misbach Jusa Biran melontarkan<br />

keinginan nya agar perkumpulan ini bisa benar-benar terbentuk dan<br />

berjalan. Saat itu bahkan ia menawarkan diri menjadi semacam penasehat<br />

bersama JB Kristanto, penerima Lifetime Achievement Award FFI 2011<br />

atas jasanya mendokumentasikan data-data film Indonesia sejak 1926<br />

sampai sekarang.<br />

Saya dan Alex Sihar yang ditugaskan mempersiapkan pembentukan<br />

perkumpulan ini juga telah melakukan diskusi dengan sejumlah teman<br />

dari kalangan perfilman untuk mematangkan bentuk, konsep, dan garis<br />

besar program, antara lain Zairin Zain, A Rahim Latief, Riri Riza, Farishad<br />

Latjuba, Ronny P Tjandra, Yoki Soufyan, Salman Aristo, dan lain-lain. Semua<br />

menyambut baik gagasan tersebut dan bersedia membantu apabila<br />

diperlukan. Hasil diskusi itu kemudian kami sampaikan kepada Ketua<br />

Sinematek Indonesia Berthy L Ibrahim dan Ketua Yayasan PPHUI<br />

Djonny Syafruddin.<br />

Kesimpulannya, sebelum pemerintah menganggap penting infrastruktur<br />

pengarsipan dengan menunjukkan perhatian serius dan<br />

memberikan jalan keluar yang kongkret untuk keberlangsungan<br />

Sinematek secara layak, inilah satu-satunya pilihan yang tersedia sekarang.<br />

Sebuah upaya bersama warga negara yang peduli untuk menyelamatkan<br />

dokumentasi sejarah perfilman Indonesia, yang berarti masa<br />

lalu sekaligus masa depan budaya bangsanya.<br />

Sesuai bentuknya, keanggotaan perkumpulan ini bersifat perorangan.<br />

Keanggotaan terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia yang peduli<br />

dan mempunyai komitmen jangka panjang untuk memperbaiki<br />

Sinematek. Selain iuran berkala, yang antara lain akan digunakan untuk<br />

mem biayai operasional organisasi, setiap anggota diharapkan bisa memberikan<br />

komitmen minimal satu dukungan lain yang diperlukan untuk<br />

SInEMaTEK InDonESIa<br />

105


melak sanakan program-program perkumpulan. Bisa berupa sumbangan<br />

tetap, bantuan keahlian, kesediaan menjadi relawan, dan lain-lain.<br />

106<br />

Rapat Umum Anggota pertama, yang dihadiri anggota-anggota pen-<br />

diri, menyepakati pembentukan perkumpulan dengan nama Sahabat<br />

Sinematek, mensahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga<br />

(AD/ART), serta memilih Badan Pengawas dan Badan Pengurus periode<br />

2012-2015. Selanjutnya Badan Pengurus akan menyusun program kerja<br />

jangka pendek dan jangka panjang serta membuka pendaftaran anggota<br />

baru.<br />

Secara garis besar, program kerja perkumpulan ini terbagi menjadi<br />

dua bagian, yaitu:<br />

1. Penghimpunan Dana dan Sumbangan Lain<br />

2. Bantuan Program untuk Sinematek<br />

Di samping iuran berkala dan komitmen sumbangan tetap dari anggota<br />

serta pendapatan dari eksploatasi ekonomi film-film yang direstorasi<br />

dengan bantuan Sahabat Sinematek, pemasukan perkumpulan bersumber<br />

dari penggalangan dana serta sumbangan lain, seperti peralatan<br />

dan perlengkapan kerja, dari masyarakat. Bisa perorangan atau organisasi,<br />

perusahaan, komunitas, dan lain-lain.<br />

Penggalangan dana dan sumbangan lain dari masyarakat itu akan dila<br />

kukan secara terorganisir untuk suatu program bantuan tertentu kepada<br />

Sinematek. Misalnya, untuk pembersihan jamur pada film seluloid,<br />

pengem bangan pustaka digital, renovasi gudang penyimpanan film, dan<br />

lain-lain.<br />

Dengan demikian, penghimpunan dana dan sumbangan lain untuk<br />

setiap bantuan program sangat terukur nilai atau besaran targetnya. Selain<br />

itu masyarakat penyumbang bisa memilih penggunaan sumbangannya<br />

untuk program bantuan yang dikehendaki.<br />

SInEMaTEK InDonESIa


antuan Program<br />

Telah disepakati bahwa Sahabat Sinematek tidak akan memberikan<br />

bantuan berupa uang kepada Sinematek. Bantuan diberikan dalam bentuk<br />

program, mulai dari pembiayaan sampai tenaga relawan (jika diperlukan),<br />

serta peralatan atau perlengkapan kerja yang dibutuhkan.<br />

Bantuan program untuk Sinematek akan difokuskan pada dua hal,<br />

yaitu:<br />

1. Akuisisi<br />

Dalam beberapa tahun terakhir Sinematek kesulitan melakukan akuisisi<br />

untuk melengkapi koleksinya karena keterbatasan anggaran.<br />

Perkumpulan ini akan membantu melakukan akuisisi dengan<br />

men jalin komunikasi instensif dan kerja sama jangka panjang dengan<br />

produser film (untuk menyimpan kopi seluloid dan digital filmnya sete lah<br />

masa tayang bioskop berakhir), distributor home video (untuk me nyum-<br />

bangkan kopi DVD/VCD setiap judul yang diedarkan), penerbit buku (untuk<br />

menyumbangkan beberapa eksemplar buku terbitannya yang berkaitan<br />

dengan film), penerbit media cetak (untuk memberikan fasilitas berlang<br />

ganan gratis), dan lain-lain. Intinya adalah bagaimana bisa terus menam<br />

bah koleksi Sinematek, sebisa mungkin tanpa mengeluarkan biaya.<br />

Badan Pengurus akan membentuk tim kurator untuk memilih<br />

film-film dan koleksi lain yang akan diprioritaskan untuk disimpan di<br />

Sinematek. Tim itu juga yang nanti akan menyusun daftar prioritas filmfilm<br />

untuk direstorasi berdasarkan nilai penting estetika, sejarah, dan<br />

konteksnya.<br />

2. Preservasi<br />

Program ini akan dilakukan secara bertahap. Untuk koleksi film, misalnya,<br />

di mulai dari pembersihan jamur pada seluloid, penggantian tempat penyim<br />

panan dari kaleng ke plastik, pencatatan kondisi setiap film, dan<br />

SInEMaTEK InDonESIa<br />

107


seterus nya. Begitu pula untuk poster, skenario, foto, buku, majalah/koran,<br />

dan koleksi-koleksi lain.<br />

108<br />

Setelah itu perkumpulan akan mengembangkan sistem kepustakaan<br />

digital yang tersambung ke jaringan internet. Selanjutnya adalah restorasi<br />

yang, mengingat biayanya yang relatif besar, akan ditawarkan da lam<br />

bentuk adopsi kepada sponsor yang berminat berdasarkan urutan prioritas<br />

yang disusun oleh tim kurator.<br />

Apabila Anda tertarik untuk mengetahui lebih lanjut, menyampaikan<br />

ide/gagasan, atau ingin bergabung menjadi anggota Sahabat Sinematek,<br />

silakan layang kan surat elektronik ke alamat info@sahabatsinematek.org.<br />

SInEMaTEK InDonESIa


Terima Kasih<br />

SInEMaTEK InDonESIa<br />

109


110<br />

Seluruh peristiwa yang telah berlangsung tidak akan terlaksana<br />

tanpa dukungan:<br />

Lembaga<br />

l National Museum of Singapore<br />

l World Cinema Foundation<br />

l Sinematek Indonesia<br />

l L’Immagine Ritrovata<br />

l Kompas TV<br />

l Cineplex 21/XXI<br />

l Blitz Megaplex<br />

l Jive! Collection<br />

l Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif<br />

l Asosiasi Desainer Grafis Indonesia<br />

l Matamera Communications<br />

l Yayasan Konfiden<br />

l Kineforum Dewan Kesenian Jakarta<br />

Perorangan<br />

l Philip Cheah<br />

l Teo Swee Leng<br />

l Lee Chor Lin<br />

l Zhang Wenjie<br />

l Sin Warren<br />

l Low Zu Boon<br />

l Irwan Usmar Ismail dan seluruh keluarga Usmar Ismail<br />

l Berthy L Ibrahim<br />

l Rekan-rekan di Sinematek Indonesia (Mbak Rus, Pak<br />

Hartono, Mas Daus, Mas Sandas)<br />

l Davide Pozzi<br />

TERIMa KaSIh


l Valeria Bigongiali<br />

l Elena Tammacaro<br />

l Misbach Jusa Biran<br />

l David Hanan<br />

l Basoeki Koesasi<br />

l A Rahim Latif<br />

l Corry Elyda<br />

l Windu W Jusuf<br />

l Farishad I Latjuba<br />

l Abduh Aziz<br />

l Cecilia Cenciarelli<br />

l Martin Scorsese<br />

l Kent Jones<br />

l Douglas Laible<br />

l John Badalu<br />

l Lalu Roisamri<br />

l Amna Kusumo<br />

l Ronny P Tjandra<br />

l Mohammad Djafar<br />

l Asmayani Kusrini<br />

l Indra Y Ramadhan<br />

l Julie Wibowo<br />

l Salman Aristo<br />

l Harris Lesmana<br />

l Jimmy Haryanto<br />

l Catherine Keng<br />

l Kenny Santana<br />

l Arief “Ayip” Budiman<br />

l Wayan Sujana<br />

l Tim Kerja Peluncuran Lewat Djam Malam versi restorasi<br />

dan semua pihak yang telah membantu proses restorasi<br />

TERIMa KaSIh<br />

111


112<br />

Kredit Restorasi<br />

Lewat Djam Malam direstorasi oleh National Museum of<br />

Singapore dan World Cinema Foundation, bekerja sama<br />

dengan Yayasan Konfiden dan Kineforum Dewan Kesenian<br />

Jakarta. Film ini direstorasi di L’Immagine Ritrovata dari<br />

kopi asli yang disimpan dan dikoleksi Sinematek Indonesia.<br />

Terima kasih khusus untuk keluarga Usmar Ismail.<br />

Penasehat<br />

l Philip Cheah, Teo Swee Leng, JB Kristanto, Alex<br />

Sihar, Berthy L Ibrahim<br />

Tim Proyek<br />

l Indonesia — Lintang Gitomartoyo, Lisabona<br />

Rahman<br />

l Singapura — Zhang Wenjie, Warren Sin, Low Zu<br />

Boon, Jasmine Low<br />

Teks Inggris<br />

l David Hanan dan Basuki Koesasi dengan tambahan<br />

dari JB Kristanto, Lintang Gitomartoyo, Lisabona<br />

Rahman<br />

TERIMa KaSIh


Tim Teknis<br />

l Direktur — Davide Pozzi<br />

l Produser — Elena Tammaccaro<br />

l Reparasi Film — Ariane Baudat, Giorgia Curelli,<br />

Marianna De Sanctis, Catarina Diniz, Paola Ferrari<br />

l Pemindai Film — Paola Ferrari<br />

l Telesin — Stefano Lorusso<br />

l Restorasi Digital — Céline Stéphanie Pozzi (Kepala<br />

Departemen Restorasi Digital), Chelu Deiana<br />

(Supervisi Proyek), Sara Arduini, Carmen Barbato,<br />

Giulia Bonassi, Michela Florito, Petra Marlazzi, Elisa<br />

Napelli, Elena Nepoti, Marco Rossi<br />

l Koreksi Warna — Giandomenico Zeppa<br />

l Master, DCI & Back Up — Mario Rettura, Silvia<br />

Spadotto, Emanuele Vissani, Mario Stefanovich<br />

l VFX — Laura Mancini, Diego Mercuriali<br />

l Restorasi Suara — Gilles Barberis<br />

l Teks — Valentina Turri<br />

l Print and Processing — Simone Castelli, Pier Luigi<br />

Tosi, Cristiano Valorosi<br />

TERIMa KaSIh<br />

113


Para Penulis<br />

LINTANG GITOMARTOYO. Manajer program filmindonesia.or.id dan<br />

asisten pengembangan program Yayasan Konfiden. Bertanggung jawab<br />

atas administrasi yayasan dan pernah menjadi manajer festival Film<br />

Pendek Konfiden 2006 sampai 2009.<br />

TOTOT INDRARTO. Praktisi periklanan dan blogger yang sejak 2001<br />

me nulis resensi film di Kompas, sekarang ko-editor situs filmindonesia.<br />

or.id. Di Festival Film Indonesia (FFI) pernah dua kali menjadi anggota<br />

Komite Seleksi (2005, 2010) dan tiga kali sebagai anggota Dewan Juri<br />

(2008-2010). Mulai 2011 menjadi panitia FFI yang menangani kompetisi<br />

dan penjurian.<br />

WINDU W JUSUF. Penulis tentang film dan politik. Saat ini mengu rus<br />

Perpustakaan Literati dan CinemaPoetica.com, sembari menye le saikan<br />

studi pasca-sarjana di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun<br />

2011 menjadi anggota dewan juri Jogja-NETPAC Asian Film Festival.<br />

ARIE KARTIKASARI. Menyelesaikan pendidikan produksi film di<br />

Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, pada tahun 2007.<br />

Sempat menjadi asisten pengajar produksi film di almamaternya, terlibat<br />

dalam beberapa produksi film dan festival film di Indonesia. Kini aktif<br />

sebagai pengurus database untuk filmindonesia.or.id.<br />

114<br />

TERIMa KaSIh


JB KRISTANTO. Penulis Katalog Film Indonesia yang sudah terbit<br />

dalam tiga edisi. Dikenal luas sebagai penulis kritik film senior. Setelah<br />

pensiun sebagai wartawan di Harian Kompas, aktif mengurus usaha pener<br />

bitannya dan editor filmindonesia.or.id.<br />

LEE CHOR LIN. Berkarier di lingkungan museum sejak tahun 1985. Ber-<br />

tanggung jawab sebagai kurator senior untuk Asian Civilisations Museum<br />

sampai tahun 2003, kemudian menjadi direktur National Museum of<br />

Singapore sampai sekarang. Pada tahun 2010 mendapat gelar Chevalier<br />

des arts et des lettres dari pemerintah Prancis atas kontribusinya di<br />

bidang seni.<br />

ADRIAN JONATHAN PASARIBU. Penulis filmindonesia.or.id dan<br />

editor CinemaPoetica.com. Dari tahun 2007 sampai 2010, bertanggung<br />

jawab sebagai manajer program Kinoki, bioskop independen di Yogyakarta.<br />

Pada tahun 2011 menjadi juri film pendek Festival Film Indonesia.<br />

DAVIDE POZZI. Lahir di Italia pada tahun 1977. Bekerja di Cineteca<br />

di Bologna sejak tahun 2001. Pada tahun 2006 ia menjabat direk tur<br />

laboratorium restorasi film L’Immagine Ritrovata. Di bawah penge lo la-<br />

annya, langgam dan lingkup kerja laboratorium tersebut pun bertambah:<br />

rata-rata 60 film berhasil direstorasi setiap tahunnya, dan sebagian besar<br />

adalah film internasional. Kebanyakan film yang telah direstorasi di putar<br />

di festival-festival film besar di seluruh dunia. Selama beberapa ta hun<br />

terakhir Immagine Ritrovata mengerjakan proyek-proyek restorasi bersama<br />

dengan sejumlah pusat arsip film, lembaga, dan perpustakaan film<br />

yang terkemuka di seluruh dunia.<br />

LISABONA RAHMAN. Ko-editor filmindonesia.or.id dan manajer<br />

pro gram Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, bioskop terprogram per-<br />

TERIMa KaSIh<br />

115


tama di Indonesia sejak Oktober 2006. Pernah menulis kritik film untuk<br />

The Jakarta Post. Sekarang sedang studi S2 tentang preservasi film di<br />

University of Amsterdam, Belanda.<br />

AMALIA SEKARJATI. Saat ini berstatus sebagai mahasiswa tingkat<br />

akhir di Universitas Multimedia Nusantara. Berkegiatan sebagai publisis<br />

di Kineforum, kontributor majalah Change dan Jurnal Perempuan, serta<br />

penulis untuk situs filmindonesia.or.id.<br />

ZHANG WENJIE. Kepala National Museum of Singapore Cinémathèque<br />

dan ko-direktur Singapore International Film Festival ke-22. Mengurus<br />

program Substation’s Moving Image dari tahun 2003 sampai 2005, lalu<br />

menjadi Manajer Program National Museum of Singapore Cinémathèque<br />

dari 2005 sampai 2008.<br />

116<br />

TERIMa KaSIh


Panitia<br />

Penasehat<br />

A Rahim Latif<br />

Acara<br />

Lintang Gitomartoyo<br />

Sari Mochtan<br />

Mandy Marahimin<br />

Sugar Nadia Azier<br />

Nicko Silfido<br />

Sahabat Sinematek<br />

Totot Indrarto<br />

Alex Sihar<br />

Publikasi<br />

Ade Kusumaningrum<br />

Amalia Sekarjati<br />

Buku<br />

JB Kristanto<br />

Adrian Jonathan Pasaribu<br />

Rully Susanto<br />

Dadang Kusmana<br />

TERIMa KaSIh<br />

117

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!