PEDOMAN DIAGNOSIS & TERAPI - Urologi
PEDOMAN DIAGNOSIS & TERAPI - Urologi
PEDOMAN DIAGNOSIS & TERAPI - Urologi
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
<strong>PEDOMAN</strong><br />
<strong>DIAGNOSIS</strong> & <strong>TERAPI</strong><br />
SMF UROLOGI<br />
LABORATORIUM ILMU BEDAH<br />
RSU Dr. SAIFUL ANWAR/<br />
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA<br />
MALANG<br />
2010
KATA PENGANTAR<br />
Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) SMF <strong>Urologi</strong> RSU Dr. Saiful Anwar<br />
Malang merupakan panduan bagi para dokter, baik para PPDS I maupun<br />
mahasiswa kedokteran, dalam menyamakan persepsi utamanya yang<br />
berhubungan dengan perawatan dan penatalaksanaan pasien urologi.<br />
Adanya era globalisasi berdampak pada peningkatan kesadaran masyarakat<br />
akan hak yang dimilikinya, yang berdampak pula dalam peningkatan kompetisi<br />
pemberian pelayanan terhadap masyarakat di segala bidang. Hal ini juga<br />
mempengaruhi pelayanan di bidang kesehatan, sehingga menimbulkan tuntutan<br />
akuntabilitas, transparansi, serta peningkatan mutu dalam pelayan di institusi<br />
kesehatan.<br />
Buku ini disusun berdasarkan pola epidemiologi penyakit, perkembangan di<br />
bidang diagnostik dan terapi, serta berpedoman pada referensi yang mutakhir.<br />
Perbaikan dan penyempurnaan buku pedoman ini akan dilakukan secara berkala,<br />
sehingga relevan dengan perkembangan epidemiologi penyakit yang ada. Dengan<br />
demikian, diharapkan dapat mengurangi risiko terjadinya kesalahan dalam<br />
melayani dan menangani pasien serta dapat meningkatkan mutu pelayanan,<br />
pendidikan, dan penelitian.<br />
A.n. Tim Penyusun PDT <strong>Urologi</strong><br />
SMF <strong>Urologi</strong> RSU Dr. Saiful Anwar Malang<br />
Ka SMF <strong>Urologi</strong>,<br />
dr. Besut Daryanto, SpB, SpU<br />
NIP. 19620430 198901 1 002
KATA PENGANTAR<br />
DAFTAR ISI<br />
DAFTAR ISI<br />
DIVISI LOWER URINARY TRACT ............................................................. 1 - 10<br />
STRIKTUR URETRA ................................................................................... 1<br />
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) .................................................. 5<br />
RUPTUR URETRA TRAUMATIKA ............................................................... 8<br />
DIVISI STONE ....................................................................................... 11 - 16<br />
BATU SALURAN KEMIH (BSK) ................................................................ 11<br />
DIVISI ANDROLOGY/MEN’S HEALTH ................................................... 11 - 25<br />
TORSIO TESTIS ....................................................................................... 17<br />
HIDROKEL .............................................................................................. 19<br />
VARIKOKEL ............................................................................................. 21<br />
DISFUNGSI EREKSI ................................................................................. 23<br />
DIVISI URO-ONCOLOGY ...................................................................... 25 - 32<br />
TUMOR TESTIS ....................................................................................... 25<br />
HEMATURIA ........................................................................................... 28<br />
DIVISI PEDIATRIC UROLOGY ................................................................ 33 - 40<br />
UNDESENSUS TESTIS ............................................................................. 33<br />
HIPOSPADIA ........................................................................................... 36<br />
PARAPHYMOSIS ..................................................................................... 38<br />
FIMOSIS ................................................................................................. 39<br />
DIVISI INFECTION ................................................................................ 41 - 42<br />
UROSEPSIS ............................................................................................. 41
DIVISI LOWER URINARY TRACT<br />
Tim Penyusun:<br />
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU<br />
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU<br />
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
BATASAN<br />
STRIKTUR URETRA<br />
Penyempitan atau penyumbatan lumen uretra karena pembentukan jaringan<br />
fibrotik (parut) pada uretra dan/atau daerah peri uretra, yang pada tingkat lanjut<br />
dapat menyebabkan fibrosis pada korpus spongiosum.<br />
Striktur uretra dapat terjadi karena infeksi, trauma pada uretra, dan kelainan<br />
bawaan. Infeksi yang paling sering menjadi penyebabnya adalah infeksi oleh<br />
kuman gonokokus yang telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya.<br />
Trauma yang menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada<br />
selangkangan (straddle injury), fraktur tulang pelvis, dan instrumentasi/tindakan<br />
transuretra uretra yang kurang hati-hati.<br />
PATOFISIOLOGI<br />
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan<br />
terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatrik pada lumen uretra<br />
menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang<br />
terhambat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura)<br />
dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan<br />
abses periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada<br />
keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut sebagai fistula<br />
seruling.<br />
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi 3<br />
tingkatan, yaitu:<br />
1) Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari sepertiga diameter lumen uretra<br />
2) Sedang : jika terdapat oklusi setengah sampai sepertiga diameter lumen uretra<br />
3) Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari setengah diameter lumen uretra<br />
Pada penyempitan derajat berat, kadang kala teraba jaringan keras di korpus<br />
spongiosum, yang dikenal dengan spongiofibrosis.<br />
GEJALA KLINIS<br />
Keluhan yang muncul berupa sulit kencing (harus mengejan), pancaran bercabang,<br />
menetes, sampai retensi urine. Selain itu, bisa juga disertai pembengkakan/abses di<br />
daerah perineum dan skrotum, serta bila terjadi infeksi sistematik juga timbul<br />
panas badan, menggigil, dan kencing berwarna keruh.<br />
[1]
PEMERIKSAAN DAN <strong>DIAGNOSIS</strong><br />
Adapun pemeriksaan fisis yang dilakukan untuk mengetahui adanya striktur<br />
uretra adalah:<br />
1. Anamnesis yang lengkap (uretritis, trauma dengan kerusakan pada panggul,<br />
straddle injury, instrumentasi pada uretra, penggunaan kateter uretra, kelainan<br />
sejak lahir)<br />
2. Inspeksi: meatus eksternus sempit,pembengkakan serta fistula di daerah<br />
penis,skrotum,perineum,suprapubik.<br />
3. Palpasi: teraba jaringan parut sepanjang perjalanan uretra anterior; pada<br />
bagian ventral penis, muara fistula bila dipijit mengeluarkan getah/nanah<br />
4. Rectal toucher (colok dubur)<br />
Untuk mengetahui pola pancaran urine secara obyektif, dapat diukur dengan<br />
cara sederhana atau dengan memakai alat uroflowmetri. Kecepatan pancaran<br />
urine untuk pria normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang<br />
dari 10 ml/detik menandakan adanya obstruksi.<br />
Untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra dibuat<br />
foto uretrografi. Lebih lengkap lagi dibuat foto bipolar sisto-uretrografi untuk<br />
mengetahui panjang striktur, yaitu dengan memasukkan bahan kontras secara<br />
antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Selain itu, untuk<br />
melihat pembuntuan uretra secara langsung dilakukan melalui uretroskopi,<br />
yaitu melihat striktur uretra transuretra.<br />
<strong>DIAGNOSIS</strong> BANDING<br />
1. Batu ureter dengan/tanpa infiltrate urin<br />
2. Kelainan-kelainan dari kelenjar prostat<br />
PENATALAKSANAAN<br />
Penatalaksanaan striktur uretra tergantung pada lokasinya, panjang/pendeknya<br />
striktur, serta keadaan darurat (retensi urin, sistostomi (trokar, terbuka), infiltrat<br />
urin, insisi multipel, dan drain).<br />
Jika pasien datang karena retensi urine, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik<br />
untuk mengeluarkan urine. Jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan<br />
pemberian antibiotika.<br />
[2]
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:<br />
1. Businasi (dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan<br />
yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru<br />
yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Tindakan ini<br />
dapat menimbulkan salah jalan (false route).<br />
2. Uretrotomi interna, yaitu memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau<br />
Otis/Sachse. Otis dikerjakan bila belum terjadi striktur uretra total, sedangkan<br />
pada striktur yang lebih berat, pemotongan striktur dikerjakan secara visual<br />
dengan memakai pisau Sachse.<br />
3. Uretrotomi eksterna, adalah tindakan operasi terbuka berupa pemotongan<br />
jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis di antara jaringan uretra<br />
yang masih sehat.<br />
Untuk penggunaan antibiotik lihat standar antibiotik SMF <strong>Urologi</strong> RSU Dr. Saiful<br />
Anwar<br />
Catatan untuk dokter umum:<br />
a. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, coba kateterisasi<br />
(kateter karet/ lateks)<br />
b. Bila terjadi retensi urin, maka dilakukan sistostomi, kemudian dirujuk<br />
c. Bila terjadi infiltrat urin, maka dilakukan sistostomi dan insisi multipel,<br />
kemudian dirujuk apabila proses infeksi sudah tenang.<br />
PROGNOSIS<br />
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani<br />
pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika<br />
setelah dilakukan observasi selama 1 tahun tidak menunjukkan tanda-tanda<br />
kekambuhan.<br />
Setiap pasien kontrol berkala dilakukan pemeriksaan pancaran urine yang<br />
langsung dilihat oleh dokter atau dengan pemeriksaan uroflowmetri. Utuk<br />
mencegah terjadinya kekambuhan, sering kali pasien harus menjalani<br />
beberapa tindakan, antara lain dilatasi berkala dengan busi dan kateterisasi<br />
bersih mandiri berkala (KBMB) atau CIC (clean intermitten catheterization),<br />
yaitu pasien dianjurkan melakukan kateterisasi secara periodik pada waktu<br />
tertentu dengan kateter yang bersih (tidak perlu steril).<br />
[3]
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Purnomo BB, Dasar-dasar <strong>Urologi</strong>, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,<br />
hal 153-156.<br />
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 17 th ed., Mc Graw Hill<br />
2004, hal. 77, 613, 620-623<br />
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 9 th ed.,<br />
WB Saunders, Philadephia 2002, hal. 3915-3930<br />
[4]
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)<br />
BATASAN<br />
Benign prostate hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran jinak kelenjar prostat<br />
yang disebabkan oleh hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat,<br />
antara lain jaringan kelenjar dan jaringan fibro-muskular. Hiperplasia ini dapat<br />
menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.<br />
PATOFISIOLOGI<br />
BPH diderita oleh lelaki berusia di atas 50 tahun. Penyebabnya belum diketahui<br />
secara pasti, diduga antara lain karena perubahan hormonal dan<br />
ketidakseimbangan faktor pertumbuhan.<br />
GEJALA KLINIS<br />
Berupa Lower Urinary Tract Symptom (LUTS), yaitu:<br />
1. gangguan pengeluaran, berupa kelemahan pancaran urine, hesitansi,<br />
proses kencing berlangsung lebih lama, rasa tidak puas pada akhir kencing.<br />
2. gangguan penyimpanan, berupa frekuensi, urgensi, nokturia, dan disuria.<br />
3. residu urine makin banyak dan terjadi retensi urine.<br />
Untuk menentukan berat ringannya keluhan tersebut, maka digunakan<br />
penghitungan dengan IPPS (International Prostate Symptom Score)<br />
PEMERIKSAAN DAN <strong>DIAGNOSIS</strong><br />
1. Pemeriksaan fisis<br />
– Inspeksi buli-buli:<br />
ada/tidak penonjolan perut di daerah suprapubik (buli-buli penuh/kosong)<br />
– Palpasi Buli-buli:<br />
tekanan di daerah suprapubik menimbulkan rangsangan ingin kencing<br />
bila buli-buli berisi/penuh<br />
– Perkusi:<br />
buli-buli penuh berisi urine memberi suara redup<br />
2. Colok dubur<br />
[5]
3. Laboratorium<br />
– darah lengkap, urine lengkap, biakan urine, serum kreatinin, BUN, PSA<br />
(prostate spesific antigen)<br />
4. Radiologi<br />
– USG<br />
– IVP atas indikasi<br />
5. Uroflowmetri<br />
<strong>DIAGNOSIS</strong> BANDING<br />
1. Prostatitis<br />
2. Keganasan prostat<br />
KOMPLIKASI<br />
1. Infeksi pada saluran kemih (ISK)<br />
2. Urosepsis<br />
3. Trabekulasi buli, divertikuli buli<br />
4. Batu buli-buli<br />
5. Hidronefrosis<br />
6. Hematuria<br />
7. Penurunan fungsi ginjal (pada yang disertai retensi urin kronis)<br />
PENATALAKSANAAN<br />
Tergantung pada berat ringan keluhan pasien<br />
1. Ringan (IPPS15ml/s)<br />
→ Watchful waiting<br />
2. Sedang (IPPS 9-18, maks. flow rate 10-15 ml/s)<br />
→ Medikamentosa:<br />
α-blocker (tamsulosin,doxazosin atau terazosin); anti androgen<br />
(inhibitor 5-α reduktase)<br />
3. Berat (IPPS >18, maks. flow rate
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Purnomo BB, Dasar-dasar <strong>Urologi</strong>, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,<br />
hal 153-156.<br />
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 16 th ed, The<br />
McGraw Hill Companies 2004, hal 367-374<br />
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 8 th ed.,<br />
WB Saunders, Philadephia 2002, hal 1297-1433<br />
4. Ikatan Ahli <strong>Urologi</strong> Indonesia, Panduan Penatalaksanaan Benign Prostate<br />
Hyperplasia (BPH), IAUI 2003<br />
[7]
BATASAN<br />
RUPTUR URETRA TRAUMATIKA<br />
Ruptur uretra adalah kerusakan kontinuitas uretra yang disebabkan oleh ruda<br />
paksa yang datang dari luar (patah tulang panggul atau straddle injury) atau<br />
dari dalam (kateterisasi, tindakan-tindakan melalui uretra).<br />
PATOFISIOLOGI<br />
Uretra pars membranasea melalui diafragma urogenital dan bagian ini yang<br />
sering mengalami kerusakan. Diafragma urogenital terikat pada rami inferior<br />
os pubis dan bila terjadi patah tulang panggul maka diafragma bergerak dan<br />
terjadi robekan pada uretra pars membranase tersebut. Uretra bagian<br />
proksimal terdorong ke atas oleh hematoma di daerah periprostatika dan<br />
perivesikal. Ruptur di daerah uretra anterior terjadi pada straddle injury atau<br />
instrumentasi iatrogenic (kataterisasi,sistoskopi)<br />
GEJALA KLINIS<br />
1. Riwayat trauma yang khas: ruptur uretra anterior/straddle injury, ruptur<br />
uretra posterior, patah tulang panggul (os pubis/simpisis pubis).<br />
2. Pada umunya didapatkan perdarahan uretra, baik pada ruptur anterior<br />
maupun posterior.<br />
3. Pada ruptur uretra posterior biasanya tidak dapat melakukan miksi,<br />
sedangkan pada ruptur uretra anterior didapatkan hematoma atau<br />
pembengkakan di daerah kantong buah zakar, kadang-kadang disertai pula<br />
dengan pembengkakan perineum dan batang penis, disebut sebagai<br />
hematoma kupu-kupu.<br />
4. Pada patah tulang panggul dan ruptur uretra posterior, kemungkinan<br />
besar terjadi kerusakan organ ganda (multipel).<br />
PEMERIKSAAN DAN <strong>DIAGNOSIS</strong><br />
Pemeriksaan colok dubur pada pasien dengan patah tulang panggul dan<br />
persangkaan ruptur uretra, didapatkan massa lunak yang menonjol ke dalam<br />
rektum yang disebabkan kumpulan darah rongga panggul. Selain itu prostat<br />
didapatkan tidak berada di tempatnya semula, prostat pindah ke atas<br />
[8]
(melayang). Pemeriksaan selanjutnya adalah pembuatan uretrogram retrogad<br />
(pada ruptur uretra terjadi ekstravasasi cairan kontras) serta uretrografi.<br />
<strong>DIAGNOSIS</strong> BANDING<br />
– Ruptur buli-buli<br />
bila ada pembuatan uretrogram tidak didapatkan ekstravasasi kontras<br />
sepanjang uretra, cairan kontras ke dalam buli-buli dan terdapat ekstravasasi<br />
kontras di luar buli.<br />
KOMPLIKASI<br />
1. Dini : - perdarahan<br />
- Infeksi<br />
- Infiltrate urin<br />
2. Lanjut : striktur uretra<br />
PENATALAKSANAAN<br />
1. Perdarahan diatasi dengan pemasangan infus dan pemberian cairan<br />
elektrolit atau darah, tergantung derajat perdarahan yang ditemui<br />
2. Pembedahan darurat<br />
Pada ruptur uretra selalu dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran<br />
urin (diversion)<br />
3. PER (Primary Endoscopy Realignment), selanjutnya dipasang kateter 16Fr<br />
selama 2 minggu<br />
4. Bila PER tidak berhasil, dilakukan sachse atau end to end anastomose 4-<br />
6 bulan sesudah trauma<br />
5. Kateter sistostomi diganti tiap 2 minggu, sampai dkerjakan operasi<br />
definitive (lihat juga tata laksana striktur uretra)<br />
Catatan :<br />
Tidak dibenarkan melakukan kateterisasi pada persangkaan rupture uretra<br />
[9]
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Purnomo BB, Dasar-dasar <strong>Urologi</strong>, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,<br />
hal 153-156.<br />
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 16 th ed, The<br />
McGraw Hill Companies 2004, hal 367-374<br />
Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 8 th ed.,<br />
WB Saunders, Philadephia 2002, hal 1297-1433<br />
[10]
DIVISI STONE<br />
Tim Penyusun:<br />
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU<br />
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU<br />
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
BATASAN<br />
BATU SALURAN KEMIH (BSK)<br />
Batu saluran kemih (BSK) merupakan suatu kondisi didapatkannya batu di<br />
dalam saluran kemih (mulai dari kaliks sampai dengan uretra anterior).<br />
PATOFISIOLOGI/ ETIOLOGI<br />
Pembentukan BSK diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urine,<br />
gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan lain yang<br />
masih belum terungkap (idiopatik).<br />
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya<br />
batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu<br />
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh<br />
yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.<br />
1. Faktor intrinsik, meliputi:<br />
a) Herediter (keturunan)<br />
b) Umur (paling sering didapatkan pada usia 30–50 tahun)<br />
c) Jenis kelamin<br />
jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien<br />
perempuan.<br />
2. Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya adalah:<br />
a) Geografi<br />
pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran<br />
kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai<br />
daerah stone belt (sabuk batu)<br />
b) Iklim dan temperatur<br />
c) Asupan air<br />
kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air<br />
yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih<br />
d) Diet<br />
diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya<br />
penyakit batu saluran kemih.<br />
e) Pekerjaan<br />
sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau<br />
kurang aktifitas (sedentary life).<br />
[11]
GEJALA KLINIS<br />
Tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit/komplikasi<br />
yang telah terjadi. Penyakit BSK dapat memberikan gejala klinis yang sangat<br />
bervariasi, dari yang tanpa keluhan sampai dengan keluhan yang sangat berat.<br />
Keluhan yang paling sering dirasakan adalah nyeri pinggang (kéméng) yang<br />
dapat bersifat kolik ataupun bukan kolik. Nyeri tersebut terasa mulai dari<br />
pinggang menjalar ke depan dan ke arah kemaluan disertai nausea dan muntah,<br />
selain itu dapat juga berupa nyeri saat kencing. Hematuria seringkali dikeluhkan<br />
akibat trauma pada mukosa saluran kencing, yang terkadang didapatkan dari<br />
pemeriksaaan urinalisis berupa hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam<br />
harus dicurigai suatu urosepsis dan ini merupakan kedaruratan <strong>Urologi</strong>. Hal lain<br />
yang sering dikeluhkan adalah terjadinya retensi urine jika didapatkan batu<br />
pada uretra atau leher buli buli.<br />
PEMERIKSAAN DAN <strong>DIAGNOSIS</strong><br />
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra,<br />
teraba ginjal pada sisi sakit (akibat hidronefrosis), terlihat tanda-tanda<br />
gagal ginjal, retensi urine, dan jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil.<br />
Pemeriksaan sedimen urine menunjukkan adanya leukosituria, hematuria, dan<br />
dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin<br />
menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea. Pemeriksaan faal<br />
ginjal bertujuan untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal<br />
dan untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV. Perlu juga<br />
diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai faktor penyebab timbulnya batu<br />
saluran kemih, antara lain kadar dari kalsium, oksalat, fosfat, maupun urat di<br />
dalam darah maupun urine.<br />
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya<br />
batu radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium<br />
fosfat bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,<br />
sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen).<br />
Pemeriksaan Pielografi Intra Vena (PIV) ini bertujuan untuk menilai keadaan<br />
anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak<br />
ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos perut. Jika PIV<br />
belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya<br />
penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi<br />
retrograd.<br />
[12]
Pemeriksaan USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan<br />
PIV, yaitu ketika pasien memiliki alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang<br />
menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai<br />
adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow),<br />
hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal.<br />
<strong>DIAGNOSIS</strong> BANDING<br />
1. Pielonefrosis akuta<br />
2. Tumor ginjal<br />
3. Tuberkuloasis ginjal<br />
4. Kolik dari organ lain<br />
PENATALAKSANAAN<br />
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus<br />
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk<br />
melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah telah<br />
menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena sesuatu indikasi sosial.<br />
Batu dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa, dipecahkan dengan ESWL,<br />
melalui tindakan endourologi, bedah laparoskopi, atau pembedahan terbuka.<br />
Medikamentosa<br />
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm,<br />
karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan<br />
untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum,<br />
dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih.<br />
ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)<br />
Alat ESWL adalah pemecah batu yang digunakan untuk memecah batu ginjal,<br />
batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif dan<br />
tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen kecil sehingga mudah<br />
dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan batu yang sedang keluar<br />
menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria.<br />
Endourologi<br />
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu<br />
saluran kemih, yaitu berupa tindakan memecah batu dan mengeluarkannya dari<br />
saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih.<br />
Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan).<br />
Proses pemecahanan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai<br />
energi hidrolik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.<br />
[13]
Beberapa tindakan endourologi itu adalah:<br />
1. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy)<br />
yaitu mengeluarkan batu yang berada dalam saluran ginjal, dengan cara<br />
memasukkan alat endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu<br />
kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmenfragmen<br />
kecil.<br />
2. Litotripsi<br />
yaitu memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat<br />
pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan<br />
evakuator Ellik.<br />
3. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi<br />
yaitu memasukkan alat ureteroskopi per-uretram guna melihat keadaan<br />
ureter atau sistem pielo-kaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu<br />
yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah<br />
melalui tuntunan ureteroskopi/ureterorenoskopi ini.<br />
4. Ekstraksi Dormia<br />
yaitu mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat keranjang<br />
Dormia<br />
Bedah Laparoskopi<br />
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini<br />
sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.<br />
Bedah terbuka<br />
Di klinik atau rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk<br />
tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, maka pengambilan batu masih<br />
dilakukan melalui pembedahan terbuka.<br />
Pembedahan terbuka itu antara lain adalah:<br />
1. Pielolitotomi atau Nefrolitotomi<br />
2. Ureterolithotomi<br />
3. Vesicolithotomi<br />
4. Urethrolithotomi<br />
5. Nefrektomi<br />
[14]
KOMPLIKASI<br />
1. Obstruksi: Hidroureter,hidronefrosis<br />
2. Infeksi: Sistitis, pionefrosis,urosepsis<br />
3. Gagal ginjal akut dan kronis<br />
PENCEGAHAN<br />
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang tidak<br />
kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan. Angka<br />
kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50%<br />
dalam 10 tahun.<br />
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur yang<br />
menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada<br />
umumnya pencegahan itu berupa:<br />
1. menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi urine<br />
sebanyak 2-3 liter per hari,<br />
2. diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu,<br />
3. aktivitas harian yang cukup, dan<br />
4. pemberian medikamentosa.<br />
Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah:<br />
1. rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan<br />
menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam,<br />
2. rendah oksalat,<br />
3. rendah garam karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri, dan<br />
4. rendah purin. Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang<br />
menderita hiperkalsiuri absortif tipe II.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Purnomo BB, Dasar-dasar <strong>Urologi</strong>, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,<br />
hal 153-156.<br />
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 16 th ed., Mc Graw Hill<br />
2004, hal. 77, 613, 620-623<br />
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 8 th ed.,<br />
WB Saunders, Philadephia 2002, hal. 3915-3930<br />
[15]
[16]
DIVISI ANDROLOGY/MEN’S HEALTH<br />
Tim Penyusun:<br />
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU<br />
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU<br />
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
BATASAN<br />
TORSIO TESTIS<br />
Terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat terjadinya gangguan<br />
aliran darah pada testis.<br />
PENYEBAB<br />
1. Trauma<br />
2. Kelainan sistem penyangga testis (anomali bell-clapper)<br />
PATOFISIOLOGI<br />
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati dan<br />
menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis.<br />
Adanya kelainan sistem penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami<br />
torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan<br />
pergerakan yang berlebihan itu, antara lain perubahan suhu yang mendadak,<br />
celana dalam yang terlalu ketat dan trauma yang mengenai skrotum.<br />
GEJALA KLINIS<br />
Keluhan berupa nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya mendadak dan<br />
diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan ini dikenal sebagai akut skrotum.<br />
Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut sebelah bawah, sehingga jika<br />
tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Pada bayi gejalanya<br />
tidak khas yakni gelisah, rewel, atau tidak mau menyusui.<br />
PEMERIKSAAN DAN <strong>DIAGNOSIS</strong><br />
1. Anamnesis yang lengkap mengenai proses kejadian<br />
2. Inspeksi: testis membengkak, letaknya lebih tinggi dan lebih horisontal<br />
daripada testis sisi kontralateral.<br />
3. Palpasi: kadang-kadang pada torsio testis yang baru saja terjadi dapat diraba<br />
adanya lilitan atau penebalan funikulus spermatikus.<br />
4. Pemeriksaan sedimen urine tidak menunjukkan adanya lekosit dalam urine<br />
dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada<br />
torsio testis yang sudah lama dan telah mengalami keradangan steril.<br />
[17]
<strong>DIAGNOSIS</strong> BANDING<br />
1. Epididimitis akut.<br />
Secara klinis sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri skrotum akut<br />
biasanya disertai dengan kenaikan suhu tubuh, keluarnya nanah dari<br />
uretra. Jika dilakukan elevasi atau pengangkatan testis terkadang nyeri<br />
akan berkurang, sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada. Pada<br />
pemeriksaan sedimen urine didapatkan adanya leukosituria atau<br />
bakteriuria<br />
2. Hernia skrotalis inkarserata<br />
3. Hidrokel terinfeksi<br />
PENATALAKSANAAN<br />
1. Detorsi manual<br />
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya dengan<br />
jalan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena<br />
biasanya ke medial maka dianjurkan memutar kearah lateral dulu dan jika<br />
tidak terjadi perubahan dicoba ke arah medial. Jika detorsi berhasil<br />
operasi harus tetap dilaksanakan.<br />
2. Operasi<br />
Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis<br />
pada arah yang benar dan setelah itu dinilai apakah testis yang<br />
mengalami torsio masih voable atau sudah nekrosis.Jika testis masih<br />
hidup, dikaukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos kemudian<br />
disusul orkidopeksi pada testis kontralateral.<br />
Orkidopeksi dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak diserap<br />
pada tiga tempat, sedangkan pada testis yang sudah nekrosis dilakukan<br />
orkidektomi.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Purnomo BB, Dasar-dasar <strong>Urologi</strong>, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,<br />
hal 153-156.<br />
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 16 th ed., Mc Graw Hill<br />
2004<br />
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 8 th ed.,<br />
WB Saunders, Philadephia 2002<br />
[18]
BATASAN<br />
HIDROKEL<br />
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan diantara lapisan parietalis<br />
dan viseralis tunika vaginalis, yang dalam keadaan normal cairan ini berada dalam<br />
keseimbangan antara produksi dan resorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.<br />
PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI<br />
Hidrokel pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh belum sempurnanya<br />
penutupan prosesus vaginalis dan belum sempurnanya sistem limfatik di daerah<br />
skrotum dalam melakukan resorbsi cairan hidrokel.<br />
Hidrokel pada orang dewasa dapat terjadi secara idiopatik(primer) dan sekunder.<br />
Penyebab sekunder terjadi karena kelainan pada testis atau epididimis yang<br />
menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau resorbsi cairan di kantong<br />
hidrokel.<br />
GEJALA KLINIS<br />
1. Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri.<br />
2. Pada hidrokel testis dan hidrokel funikulus besarnya benjolan dikantong<br />
skrotum tidak berubah sepanjang hari, sedangkan pada hidrokel<br />
komunikan besarnya dapat berubah-ubah yaitu bertambah besar pada<br />
saat anak menangis.<br />
PEMERIKSAAN DAN <strong>DIAGNOSIS</strong><br />
1. Tampak benjolan di skrotum dengan konsistensi kistus dan pada<br />
penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi.<br />
2. Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, hidrokel dapat dibedakan<br />
menjadi:<br />
a. hidrokel testis bila kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis<br />
sehingga testis tidak dapat diraba<br />
b. hidrokel funikulus bila kantong hidrokel berada di kranial dari testis dan<br />
hidrokel komunikan bila terdapat hubungan antara prosesus vaginalis<br />
dengan rongga peritoneum (pada palpasi kantong hidrokel terpisah dari<br />
testis dan dapat dimasukkan ke dalam rongga abdomen).<br />
[19]
<strong>DIAGNOSIS</strong> BANDING:<br />
1. Tumor testis<br />
2. Edema skrotum<br />
PENATALAKSANAAN<br />
Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 1 tahun<br />
dengan harapan setelah prosesus vaginalis menutup, hidrokel akan sembuh<br />
sendiri, tetapi jika hidrokel masih tetap ada atau bertambah besar maka perlu<br />
untuk dilakukan koreksi.<br />
Pada hidrokel kongenital dilakukan pendekatan inguinal karena seringkali<br />
disertai hernia inguinalis sehingga pada saat koreksi sekaligus melakukan<br />
herniorafi.<br />
Pada hidrokel testis dewasa dilakukan pendekatan skrotal dengan melakukan<br />
eksisi dan marsupialisasi, sedang pada hidrokel funikuli dilakukan ekstirpasi<br />
hidrokel secara intoto.<br />
KOMPLIKASI<br />
Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma dan<br />
hidrokel permagna bisa menekan pembuluh darah yang menuju ke testis<br />
sehingga menimbulkan atrofi testis.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Macferlane NIT, Urology 3 rd ed., Lippincott William & Wilkins, Philadelphia<br />
2001.<br />
2. Siroky M.B., Edelsteia R.A., Krane R.J., Manual of Urology 2 nd ed., Lippincott<br />
Williams & Wilkins, Philadelphia 1999.<br />
3. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 16 th ed., Mc Graw Hill<br />
2004<br />
4. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 8 th ed.,<br />
WB Saunders, Philadephia 2002<br />
[20]
BATASAN<br />
VARIKOKEL<br />
Varikokel adalah dilatasi abnormal dari vena pada pleksus pampiniformis<br />
akibat gangguan aliran darah balik vena spermatika interna.<br />
PATOGENESIS<br />
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab varikokel,<br />
tetapi dari pengamatan membuktikan bahwa varikokel sebelah kiri lebih<br />
sering dijumpai daripada sebelah kanan. Jika terdapat varikokel di sebelah<br />
kanan atau varikokel bilateral patut dicurigai adanya: kelainan pada rongga<br />
retroperitoneal (terdapat obstruksi vena karena tumor), muara vena<br />
spermatika kanan pada vena renails kanan, atau adanya situs inversus.<br />
Varikokel dapat menimbulkan gangguan proses spermatogenesis melalui<br />
beberapa cara, antara lain:<br />
1. Terjadi stagnasi darah balik pada sirkulasi testis sehingga testis mengalami<br />
hipoksia karena kekurangan oksigen.<br />
2. Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (antara lain katekolamin dan<br />
prostaglandin) melalui vena spermatika interna ke testis.<br />
3. Peningkatan suhu testis.<br />
4. Adanya anastomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan kanan,<br />
memungkinkan zat-zat hasil metabolit tadi dapat dialirkan dari testis kiri<br />
ke testis kanan sehingga menyebabkan gangguan spermatogenesis testis<br />
kanan dan pada akhirnya terjadi infertilitas.<br />
GEJALA KLINIS<br />
Keluhan yang sering muncul adalah belum mempunyai anak setelah beberapa<br />
tahun menikah, adanya benjolan di atas testis, dan nyeri pada testis.<br />
PEMERIKSAAN DAN <strong>DIAGNOSIS</strong><br />
Pemeriksaan dilakukan dalam posisi berdiri, dengan memperhatikan keadaan<br />
skrotum kemudian dilakukan palpasi.<br />
Secara klinis varikokel dibedakan dalam 3 tingkatan/derajat:<br />
[21]
1. Derajat kecil adalah varikokel yang dapat dipalpasi setelah pasien<br />
melakukan manuver valsava<br />
2. Derajat sedang adalah varikokel yang dapat dipalpasi tanpa melakukan<br />
manuver valsava<br />
3. Derajat besar adalah varikokel yang sudah dapat dilihat bentuknya tanpa<br />
melakukan manuver valsava.<br />
Untuk menilai seberapa jauh varikokel telah menyebabkan kerusakan pada tubuli<br />
seminiferi dilakukan pemeriksaan analisis semen.<br />
<strong>TERAPI</strong><br />
Varikokel yang telah menimbulkan gangguan fertilitas atau gangguan<br />
spermatogenesis merupakan indikasi untuk mendapatkan suatu terapi.<br />
Tindakan yang dikerjakan adalah ligasi tinggi vena spermatika interna secara<br />
Palomo melalui operasi terbuka atau bedah laparoskopi.<br />
EVALUASI<br />
Pasca tindakan dilakukan evaluasi keberhasilan terapi, dengan melihat beberapa<br />
indikator antara lain berupa bertambahnya volume testis, perbaikan hasil analisis<br />
semen (yang dikerjakan setiap 3 bulan), atau pasangan itu menjadi hamil.<br />
Pada kerusakan testis yang belum parah, evaluasi pasca bedah vasoligasi<br />
tinggi dari Palomo didapatkan 80% terjadi perbaikan volume testis, 60-80%<br />
terjadi perbaikan analisis semen, dan 50% pasangan menjadi hamil.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Purnomo B B, Dasar-dasar urologi, 2nd edition, 2007, 142-145.<br />
2. Siroky M.B, Oates R.D, Babayan R.K, hand book of Urology 3rd ed,<br />
Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia 2004, 404-405.<br />
3. Walsh P.C, Retik A.B, Vaughn ED, Wein A.J, Campbell’s Urology 9th ed,<br />
Saunders Philadelphia 2004, 2115-2122.<br />
[22]
BATASAN<br />
DISFUNGSI EREKSI<br />
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap seorang pria untuk<br />
mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup guna melakukan aktifitas<br />
seksual yang memuaskan.<br />
ETIOLOGI<br />
Etiologi disfungsi ereksi dibagi menjadi dua kategori yaitu psikogenik dan organik.<br />
Dahulu,faktor psikogenik dianggap sebagai penyebab terbesar disfungsi ereksi,<br />
namun saat ini lebih dari 80% kasus disebabkan faktor organik. Faktor organik<br />
terbagi atas vaskulogenik, neurogenik dan hormonal. Drug-induced,dan kerisakan<br />
kavernosal,dimana factor vaskulogenik yaitu gangguan aliran (inflow) atau arterial<br />
merupakan kasus yang sering ditemukan.<br />
<strong>DIAGNOSIS</strong><br />
Evaluasi terhadap pasien yang mengeluh disfungsi ereksi meliputi evaluasi<br />
seksual, evaluasi medic dan evaluasi psikologik. Wawancara atau anamnesis<br />
yang cermat dapat membedakan antara penyebab psikogenik dan<br />
organic.Untuk membantu mengidentifikasi adanya disfungsi ereksi,digunakan<br />
suatu International Index Erectile Function-5 (IIEF-5),terdiri dari 5<br />
pertanyaan,dan diberi skor 1-5,jika total dari scoring hasilnya ≤ 21<br />
menunjukkan adanya disfungsi ereksi .<br />
Pada pemeriksaan fisik, perhatian khusus diberikan pada system yang terlibat<br />
dengan fungsi ereksi yaitu kardiovaskular,neurologi dan<br />
urogenital,Tpemeriksaan karidovaskular mencakup tanda vital (terutama<br />
tekana darah dan nadi) dan tanda-tanda hipertensi atau penyakit jantung<br />
iskemik. Bruit arteri abdominalis atau femoralis dan hilangnya nadi<br />
ekstremitas bawah mengindikasikan penyakit vascular.<br />
Nocturnal Penile Tumescene (NPT) merupakan uji untuk mengetahui adanya<br />
ereksi nocturnal pada saat tidur. Pada pasien dengan disfungsi ereksi<br />
psikogenik menunjukkan ereksi yg nocturnal yang normal,sedangkan pada<br />
disfungsi ereksi organic terdapat kelainan pada ereksi nocturnal.<br />
[23]
Kaversonografi/kavernosometri merupakan pencitraan sekaligus mengukur<br />
tekanan corpora kavernosa.<br />
Ultrasonografi Doppler, dapat dipakai untuk menilai aliran darah pada penis<br />
setelah dilakukan induksi ereksi<br />
Injeksi Intrakavernosa dengan obat-obat vasoaktif,dimana dinilai rigiditas<br />
penis mulai dari tidak ada respon hingga terjadi rigiditas penuh setelah<br />
penyuntikkan.<br />
PENATALAKSANAAN<br />
Lini Pertama<br />
– dengan pemberian obat per oral, yaitu vasodilator arteri atau arteriol<br />
pada korpus kavernosum antara lain sildenafil sitrat, aphomorphine<br />
sublingual, fentolamin, Yohimbin, Pentoksililin, dan trad<br />
– pemakaian alat vakum penis dan terapi psikososial<br />
Lini Kedua<br />
injeksi obat-obatan vasikatif secara intrakavernosa, antara lain papaverin,<br />
fentolamin, prostanglandin E1, atau kombinasinya<br />
Lini Ketiga<br />
pemasangan prosthesis penis, yang berbentuk non inflatable (tidak dapat<br />
mengembang) dan inflatable (dapat mengembang.)<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Dean RC, Lue TF. 2005. Physiology of Penile Erection and Pathophysiology<br />
of Erectile Dysfunction. Urol Clin North Am. 2005 November; 32(4): 379–v<br />
2. Miller AT.1998, Diagnostic Evaluation of erectile Dysfunction. American<br />
Family Physichian.(Am Fam Physician 2000;61:95-104,109-10.<br />
3. Purnomo BB., 2007. Dasar-Dasar <strong>Urologi</strong>. Malang CV.Sagung Seto.hal.197-<br />
206.<br />
1.<br />
[24]
DIVISI URO-ONCOLOGY<br />
Tim Penyusun:<br />
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU<br />
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU<br />
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
BATASAN<br />
TUMOR TESTIS<br />
Semua pembesaran dan perubahan konsistensi dari testis harus dianggap<br />
suatu keganasan, sampai terbukti sebaliknya.<br />
EPIDIMIOLOGI<br />
Tumor testis merupakan keganasan terbanyak pada pria yang berusia 15-35<br />
tahun, dan merupakan 1-2% semua neoplasma pada pria. Lebih dari 5% kasus<br />
adalah tumor testis bilateral.<br />
ETIOLOGI<br />
Terdapat beberapa faktor yang erat kaitannya dengan peningkatan kejadian<br />
tumor testis, antara lain:<br />
1. Maldesensus testis<br />
2. Trauma testis<br />
3. Atrofi atau infeksi testis<br />
4. Pengaruh hormon<br />
Terdapat 7-10% pasien dengan karsinoma testis menderita maldesensus<br />
testis, proses tumorgenesis pasien dengan maldesensus 48 kali lebih besar<br />
daripada testis normal meskipun sudah dilakukakn orkidopeksi.<br />
KLASIFIKASI<br />
Sebagian besar (95%) tumor testis berasal dari sel germinal sedangkan sisanya<br />
berasal dari non germinal.<br />
1. Germinal<br />
a) Seminoma<br />
1. Klasik<br />
2. Anaplastik<br />
3. Spermatositik<br />
b) Non seminoma<br />
1. Karsinoma sel embrional<br />
2. Koriokarsinoma<br />
3. Teratoma<br />
4. Tumor yolk sac<br />
[25]
2. Non germinal<br />
a) Tumor sel Leydig<br />
b) Tumor sel Sertoli<br />
c) Gonadoblastoma<br />
3. Sekunder (metastase) tumor<br />
a) Limfoma<br />
b) Leukemia infiltratif<br />
PENYEBARAN<br />
Limfogen<br />
Tumor testis menyebar melalui pembuluh limfe menuju kelenjar limfe<br />
retroperitoneal (para aorta), kemudian menuju ke kelenjar limfe<br />
mediastinal dan supraklavikula<br />
Hematogen<br />
Tumor menyebar secara hematogen ke paru, hepar dan otak<br />
GAMBARAN KLINIS<br />
1. Keluhan utama : pembesaran testis tanpa nyeri<br />
2. Keluhan akibat penyebaran (M) ± 10%<br />
Nyeri belakang (back pain)<br />
Kolik ureter<br />
Tumor abdomen<br />
Ginekomasti<br />
Batuk<br />
Pada pemeriksaan fisis testis terdapat benjolan padat keras, tidak nyeri pada<br />
palpasi, dan tidak menunjukkan tanda transiluminasi. Diperhatikan adanya<br />
infiltrasi tumor pada funikulus atau epididimis. Perlu dicari kemungkinan adanya<br />
massa di abdomen, benjolan kelenjar supraklavikuler, ataupun ginekomasti.<br />
PENANDA TUMOR<br />
Penanda tumor yang paling sering diperiksa pada tumor testis adalah:<br />
1. αFP (Alfa Feto Protein) adalah glikoprotein yang diproduksi oleh embrional,<br />
teratokarsinoma, atau tumor yolk sac tetapi tidak diproduksi oleh<br />
koriokarsinoma murni dan seminoma murni.<br />
2. HCG (Human Chorionic Gonadotropin) adalah glikoprotein pada keadaan<br />
normal diproduksi oleh jaringan trofoblas. Penanda ini meningkat pada semua<br />
pasien koriokarsinoma, 40-60% pada karsinoma embrional, 5-10% pada<br />
seminoma murni<br />
[26]
PENCITRAAN<br />
Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakan dengan jelas lesi intratestikuler<br />
atau lesi ekstratestikuler dan massa padat atau kistik. Pemeriksaan CT Scan<br />
berguna menentukan ada tidaknya metastasis pada retroperitoneum.<br />
<strong>DIAGNOSIS</strong> BANDING<br />
1. Orko-epididimitis<br />
2. Hidrokel<br />
3. Spermatokel<br />
PENATALAKSANAAN<br />
Pada dugaan tumor testis tidak diperkenankan melakukan biopsi testis untuk<br />
penegakan diagnosis patologi anatomi tetapi dengan cara mengambil jaringan<br />
melalui radikal orkidektomi.<br />
Dari hasil pemeriksaan patologi dapat dikategorikan antara seminoma dan<br />
non seminoma. Jenis seminoma memberikan respon yang yang cukup baik<br />
terhadap radiasi sedangkan jenis non seminoma tidak sensitif. Oleh karena itu<br />
radiasi eksterna dipakai sebagai ajuvan terapi pada seminoma testis. Pada non<br />
seminoma yang belum melewat stadium III dilakukan pembersihan kelenjar<br />
retroperitoneal atau retroperitoneal lymphnode disection (RPLND). Tindakan<br />
diseksi kelenjar pada pembesaran aorta yang sangat besar didahului dengan<br />
pemberian sitostatika terlebih dahulu dengan harapan akan terjadi<br />
downstaging dan ukuran tumor akan mengecil. Sitostatika yang diberikan di<br />
berbagai klinik tidak sama. Di beberapa klinik diberikan kombinasi regimen<br />
PVB (Sisplatinum, Vinblastin, dan Bleomisin).<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Albers P, Albrecht W, Algaba F, Bokemeyer C, Cedermark GC, Fizazi K,<br />
Horwich A, Laguna MP. Guidelines on testicular cancer. In European<br />
Association of Urology Guidelines, 2010.<br />
2. Presti JC. Tumor of the testis. In Tanagho EA, Mc Annich JW, Smith’s<br />
General Urology 17 th ed. Mc Grow Hill Companies 2008. 375-383.<br />
3. Purnomo BB. Dasar-dasar <strong>Urologi</strong> 2 nd ed, 2007, 181-186.<br />
4. Richie JP, Steele GS. Neoplasm of the testis. In Wein AJ, Kavoussi LR, Novick<br />
AC, Partin AW. Campbell’s Urology 9 th ed. Saunders Philadelphia 2007.<br />
5. Siroky MB, Oates RD, Babayan RK. Handbook of urology 3 rd ed. Lippincot<br />
Williams & Walkins 2004. 284-291.<br />
[27]
BATASAN<br />
HEMATURIA<br />
Hematuria adalah didapatkannya sel-sel darah merah di dalam urine. Secara<br />
visual, hematuria dibedakan dalam 2 keadaan, yaitu hematuria makroskopik dan<br />
mikroskopik. Hematuria makroskopik adalah hematuria yang secara kasat mata<br />
dapat dilihat sebagai urine yang berwarna merah dan hematuria mikroskopik<br />
adalah hematuria yang secara kasat mata tidak dapat dilihat sebagai urine yang<br />
berwarna merah tetapi pada pemeriksaan mikroskopik diketemukan lebih dari 2<br />
(dua) sel darah merah per lapangan pandang.<br />
Hematuria makroskopik yang berlangsung terus menerus dapat mengancam jiwa<br />
karena dapat menimbulkan penyulit berupa: terbentuknya gumpalan darah yang<br />
dapat menyumbat aliran urine, eksanguinasi sehingga menimbulkan syok<br />
hipovolemik/anemi, dan menimbulkan urosepsis.<br />
PATOFISIOLOGI<br />
Hematuria dapat disebabkan oleh kelainan-kelainan yang berada di dalam<br />
sistem urogenitalia atau kelainan yang berada di luar sistem urogenitalia.<br />
Kelainan yang berasal dari sistem urogenitalia antara lain adalah:<br />
1. Infeksi/inflamasi antara lain pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis,<br />
sistitis, dan uretritis<br />
2. Tumor jinak atau tumor ganas yaitu: tumor Wilm, tumor Grawitz, tumor<br />
pielum, tumor ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan hiperplasia<br />
prostat jinak.<br />
3. Kelainan bawaan sistem urogenitalia, antara lain : kista ginjal dan ren<br />
mobilis<br />
4. Trauma yang mencederai sistem urogenitalia.<br />
5. Batu saluran kemih.<br />
Adapun kelainan-kelainan yang berasal dari luar sistem urogenitalia,<br />
diantaranya adalah kelainan pembekuan darah, SLE, dan kelainan sistem<br />
hematologik yang lain.<br />
[28]
GEJALA KLINIS<br />
Pasien dengan hematuria mikroskopik biasanya dijumpai secara kebetulan,<br />
sewaktu pasien tersebut melakukan pemeriksaan urinalisis karena suatu<br />
indikasi atau pada saat melakukan general check-up. Adapun pasien dengan<br />
gross hematuria biasanya datang ke dokter karena mendapati urine yang<br />
berwarna merah atau datang karena keluhan tidak bisa miksi karena adanya<br />
sumbatan bekuan darah.<br />
PEMERIKSAAN DAN <strong>DIAGNOSIS</strong><br />
Anamnesis<br />
Dalam mencari penyebab hematuria perlu digali data yang terjadi pada saat<br />
episode hematuria, antara lain:<br />
– Bagaimanakah warna urine yang keluar?<br />
– Apakah diikuti dengan keluarnya bekuan-bekuan darah?<br />
– Di bagian manakah pada saat miksi urine berwarna merah?<br />
– Apakah diikuti dengan perasaan sakit ?<br />
Karakteristik suatu hematuria dapat dipakai sebagai pedoman untuk<br />
memperkirakan lokasi penyakit primernya, yaitu apakah warna merah terjadi<br />
pada awal miksi, semua proses miksi, atau pada akhir miksi.<br />
Tabel Porsi Hematuria Pada Saat Miksi<br />
Inisial Total Terminal<br />
Terjadi pada awal miksi seluruh proses miksi akhir miksi<br />
Tempat kelainan uretra buli-buli, ureter atau ginjal leher buli-buli<br />
Kualitas warna urine dapat juga menolong menentukan penyebab hematuria.<br />
Darah baru yang berasal dari buli-buli, prostat, dan uretra berwarna merah<br />
segar sedangkan darah lama atau yang berasal dari glomerulus berwarna<br />
lebih coklat dengan bentuk seperti cacing (vermiform).<br />
Nyeri yang menyertai hematuria dapat berasal dari nyeri di saluran kemih<br />
bagian atas berupa kolik atau gejala iritasi dari saluran kemih bagian bawah<br />
berupa disuria atau stranguria.<br />
Pemeriksaan Fisis<br />
Pada pemeriksaan diperhatikan adanya hipertensi yang mungkin merupakan<br />
manifestasi dari suatu penyakit ginjal. Syok hipovolumik dan anemia mungkin<br />
disebabkan karena banyak darah yang keluar. Diketemukannya tanda-tanda<br />
[29]
perdarahan di tempat lain adalah petunjuk adanya kelainan sistem<br />
pembekuan darah yang bersifat sistemik.<br />
Palpasi bimanual pada ginjal perlu diperhatikan adanya pembesaran ginjal<br />
akibat tumor, obstruksi, ataupun infeksi ginjal. Massa pada suprasimfisis<br />
mungkin disebabkan karena retensi bekuan darah pada buli-buli. Colok dubur<br />
dapat memberikan informasi adanya pembesaran prostat benigna maupun<br />
karsinoma prostat.<br />
Pemeriksaan penunjang<br />
1. Pemeriksaan urinalisis<br />
Pemeriksaan ini dapat mengarahkan kita kepada hematuria yang disebabkan<br />
oleh faktor glomeruler ataupun non glomeruler. Pada pemeriksaan pH urine<br />
yang sangat alkalis menandakan adanya infeksi organisme pemecah urea di<br />
dalam saluran kemih, sedangkan pH urine yang sangat asam mungkin<br />
berhubungan dengan batu asam urat. Sitologi urine diperlukan untuk<br />
mencari kemungkinan adanya keganasan sel-sel urotelial.<br />
2. Pielografi Intra Vena (PIV)<br />
Merupakan pemeriksaan rutin yang dianjurkan pada setiap kasus hematuria.<br />
Pemeriksaan ini dapat mengungkapkan adanya batu saluran kemih, kelainan<br />
bawaan saluran kemih, tumor-tumor urotelium, trauma saluran kemih, serta<br />
beberapa penyakit infeksi saluran kemih. Adanya bekuan darah atau tumor<br />
urotelium sering kita jumpai sebagai gambaran filling defect yang bisa dilihat<br />
pada sistem pelvikaliseal, ureter, dan buli-buli.<br />
3. Pemeriksaan USG<br />
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat adanya massa yang solid atau kistus,<br />
adanya batu non opak, bekuan darah pada buli-buli/pielum, dan untuk<br />
mengetahui adanya metastasis tumor di hepar.<br />
4. Sistoskopi atau sisto-uretero-renoskopi<br />
Pemeriksaan ini dikerjakan jika pemeriksaan penunjang di atas belum<br />
dapat menyimpulkan penyebab hematuria. Tindakan itu biasanya<br />
dilakukan setelah bekuan darah yang ada di dalam buli-buli dibersihkan<br />
sehingga dapat diketahui asal perdarahan.<br />
<strong>DIAGNOSIS</strong> BANDING<br />
Harus diyakinkan dahulu, benarkah seorang pasien menderita hematuria, pseudo<br />
hematuria, atau perdarahan per-uretra. Pseudo atau false hematuria adalah urine<br />
yang berwarna merah atau kecoklatan yang bukan disebabkan sel-sel darah<br />
merah. Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena hemoglobinuria, mioglobinuria,<br />
[30]
konsentrasi asam urat yang meningkat, sehabis makan/minum bahan yang<br />
mengandung pigmen tumbuh-tumbuhan yang berwarna merah, atau setelah<br />
mengkonsumsi beberapa obat-obatan tertentu antara lain: fenotiazina, piridium,<br />
porfirin, rifampisin, dan fenolftalein. Perdarahan per-uretra adalah keluarnya<br />
darah dari meatus uretra eksterna tanpa melalui proses miksi, hal ini sering terjadi<br />
pada trauma uretra atau tumor uretra.<br />
KOMPLIKASI<br />
1. Retensi urine karena bekuan darah<br />
2. Infeksi<br />
3. Anemia yang berat, bila hematuria profus atau berlangsung lama<br />
PENATALAKSANAAN<br />
Jika terdapat gumpalan darah pada buli-buli yang menimbulkan retensi urine,<br />
dicoba dilakukan kateterisasi dan pembilasan buli-buli dengan memakai<br />
cairan garam fisiologis, tetapi jika tindakan ini tidak berhasil, pasien<br />
secepatnya dirujuk untuk menjalani evakuasi bekuan darah transuretra dan<br />
sekaligus menghentikan sumber perdarahan. Jika terjadi eksanguinasi yang<br />
menyebabkan anemia, harus difikirkan pemberian transfusi darah. Demikian<br />
juga jika terjadi infeksi harus diberikan antibiotika.<br />
Setelah hematuria dapat ditanggulangi, tindakan selanjutnya adalah mencari<br />
penyebabnya dan selanjutnya menyelesaikan masalah primer penyebab<br />
hematuria.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Purnomo BB, Dasar-dasar <strong>Urologi</strong>, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,<br />
hal 153-156.<br />
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 16 th ed, The<br />
McGraw Hill Companies 2004, hal 367-374<br />
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 8 th ed.,<br />
WB Saunders, Philadephia 2002, hal 1297-1433<br />
[31]
[32]
DIVISI PEDIATRIC UROLOGY<br />
Tim Penyusun:<br />
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU<br />
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU<br />
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
BATASAN<br />
UNDESENSUS TESTIS<br />
Merupakan kondisi ketika testis tidak berada di dalam kantong skrotum, tetapi<br />
berada di salah satu tempat sepanjang jalur penurunan testis yang normal.<br />
PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI<br />
A. Abnormalitas gubernakulum testis<br />
Penurunan testis dipandu oleh gubernakulum. Massa gubernakulum yang<br />
besar akan mendilatasi jalan testis, kontraksi, involusi, dan traksi serta fiksasi<br />
pada skrotum akan menempatkan testis dalam kantong skrotum. Ketika testis<br />
telah berada di kantong skrotum gubernakulum akan diresorbsi.<br />
B. Defek intrinsik testis<br />
Maldesensus dapat disebabkan disgenesis gonadal dimana kelainan ini<br />
membuat testis tidak sensitif terhadap hormon gonadotropin.<br />
C. Defisiensi stimulasi hormonal/endokrin<br />
Hormon gonadotropin maternal yang inadequat menyebabkan desensus<br />
inkomplet. Tingginya kriptorkismus pada prematur diduga terjadi karena<br />
tidak adequatnya HCG menstimulasi pelepasan testosteron masa fetus akibat<br />
dari imaturnya sel Leydig dan imaturnya aksis hipothalamus-hipofisis-testis.<br />
FAKTOR RESIKO<br />
1. BBLR (kurang 2500 mg)<br />
2. Ibu yang terpapar estrogen selama trimester pertama<br />
3. Kelahiran ganda (kembar 2, kembar 3)<br />
4. Lahir prematur (umur kehamilan kurang 37 minggu)<br />
5. Berat janin yang dibawah umur kehamilan.<br />
6. Mempunyai ayah atau saudara dengan riwayat UDT<br />
GEJALA KLINIS<br />
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak<br />
menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh<br />
karena infertilitas. Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian<br />
bawah yang disebabkan testis maldesensus mengalami trauma, mengalami<br />
torsio, atau berubah menjadi tumor testis.<br />
[33]
PEMERIKSAAN DAN <strong>DIAGNOSIS</strong><br />
1. Anamnesis<br />
Tidak adanya satu atau dua testis dalam skrotum. Pasien dapat mengeluh<br />
nyeri testis karena trauma, misal testis terletak di atas simpisis ossis<br />
pubis. Pada dewasa keluhan UDT sering.<br />
2. Pemeriksaan fisik meliputi :<br />
a. Penentuan lokasi testis.<br />
b. Penentuan apakah testis palpabel.<br />
Bila palpable, ada beberapa kemungkinan yaitu testis retraktil, UDT,<br />
testis ektopik, serta sindrom ascending testis. Bila impalpable,<br />
kemungkinannya ialah intrakanalikuler, intraabdominal, atrofi testis,<br />
dan agenesis<br />
PEMERIKSAAN PENUNJANG<br />
Dilakukan bila testis impalpable atau meragukan beberapa modalitas<br />
penunjang diperlukan.<br />
<strong>DIAGNOSIS</strong> BANDING<br />
1. Testis retraktil<br />
2. Anorkismus<br />
3. Testis atrofi<br />
PENATALAKSANAAN<br />
Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke<br />
tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan. Dengan<br />
asumsi bahwa jika dibiarkan, testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun<br />
sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna,<br />
maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun.<br />
Medikamentosa<br />
Obat yang sering dipergunakan adalah hormon hCG yang disemprotkan<br />
intranasal.<br />
Operasi<br />
Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah:<br />
1. Mempertahankan fertilitas<br />
2. Mencegah timbulnya degenerasi maligna<br />
3. Mengurangi resiko cidera khususnya bila testis terletak di tuberkulum pubik<br />
[34]
4. Mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis<br />
5. Melakukan koreksi hernia<br />
6. Psikologis<br />
Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam<br />
skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantong sub dartos.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Kedokteran UGM, Undescencus Testiculorum atau Undescencus Testis atau<br />
Undescended Testicle, http://kedokteranugm.com/?tag=undesensus-testis.<br />
diakses pada tanggal 15 November 2010 pada pukul 17.55 WIB<br />
2. Purnomo, Basuki B., dasar-dasar urologi 2nd edition, Malang 2007, Hal<br />
139-140.<br />
[35]
BATASAN<br />
HIPOSPADIA<br />
Hipospadia adalah kelainan kongenital berupa muara uretra yang terletak<br />
disebelah ventral penis dan sebelah proksimal ujung penis. Letak meatus<br />
uretra bisa terletak pada glandular hingga perineal.<br />
Pada hipospadia tidak didapatkan prepusium ventral sehingga prepusium<br />
dorsal menjadi berlebihan (dorsal hood) dan sering disertai dengan korde<br />
(penis angulasi ke ventral). Kadang-kadang didapatkan stenosis meatus<br />
uretra, dan anomali bawaan berupa testis maldesensus atau hernia inguinalis.<br />
Kejadian seluruh hipospadia yang bersamaan dengan kriptokismus adalah 9%,<br />
tetapi dengan hipospadia posterior sebesar 32%.<br />
ETIOLOGI<br />
Multifaktorial<br />
Keturunan<br />
Beberapa teori meliputi:<br />
1. Kontaminasi lingkungan estrogenik<br />
2. Tekanan dari anggota badan janin pada saat perkembangan penis<br />
3. Kurangnya human chorionic gonadotropin (HCG) dalam plasenta<br />
4. Kelainan dalam metabolisme androgen sebagai manifestasi lokal<br />
endokrinopati sistemik<br />
KLASIFIKASI<br />
Berdasarkan letak muara ureter setelah dilakukan koreksi, Brownie (1936)<br />
membagi hipospadia dalam tiga bagian besar, yaitu hipospadia anterior<br />
(terdiri atas tipe glanular, subcoronal, dan penis distal), hipospadia medius<br />
(terdiri atas midshaft dan penis proksimal), serta hipospadia posterior (terdiri<br />
atas penoskrotal, skrotal, dan perineal).<br />
GEJALA KLINIS<br />
Kulit yang tidak lengkap<br />
Distal uretra pada glands<br />
Kelengkungan penis ke arah ventral<br />
[36]
<strong>DIAGNOSIS</strong> BANDING<br />
Genetalia ambigu<br />
TINDAKAN<br />
Tujuan fungsional terapi hipospadia adalah:<br />
1. kosmetik penis; sehingga fungsi miksi dan fungsi seksual normal (ereksi<br />
lurus dan pancaran ejakulasi kuat)<br />
2. penis dapat tumbuh dengan normal.<br />
Tahapan-tahapan rekonstruksi adalah melakukan koreksi korde (ortoplasti),<br />
membuat neouretra dari kulit penis (uretroplasti), dan membuat glans.<br />
Berbagai metode rekonstruksi telah diperkenankan mulai dari metode satu<br />
tahap hingga dua tahap. Pilihan metode tergantung dari pengalaman<br />
operator.<br />
Reparasi hipospadia dianjurkan pada usia pra sekolah agar tidak mengganggu<br />
kegiatan belajar pada saat operasi. Perlu diingat bahwa sering kali<br />
rekonstruksi hipospadia membutuhkan lebih dari sekali operasi, koreksi<br />
ulangan bila terjadi komplikasi<br />
Pada hipospadia posterior dengan disertai testis maldesensus dianjurkan<br />
untuk melakukan uteroskopi praoperatif guna melihat kemungkinan adanya<br />
pembesaran utrikulus prostatikus yang mungkin terdapat keraguan jenis<br />
kelamin (seksual ambiquity).<br />
Penyulit yang dapat terjadi setelah operasi hipospadia adalah: fistula<br />
uretokutan, stenosis meatus uretra, korde yang belum sepenuhnya terkoreksi,<br />
dan timbulnya divertikel uretra.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Schwartz W, The 5-Minute Pediatric Consult, Lippincott Williams & Wilkins,<br />
2008, http://www.wrongdiagnosis.com/h/hypospadias/book-diseases-20a.htm<br />
2. Purnomo BB, Dasar-dasar <strong>Urologi</strong>, Sagung Seto, 2008, hal 152-153.<br />
[37]
DEFINISI<br />
PARAPHYMOSIS<br />
Parafimosis adalah prepusium penis yang diretraksi sampai si sulkus<br />
koronarius tidak dapat dikembalikan pada kedaan semula dan timbul jeratan<br />
pada penis di belakang sulkus koronarius.<br />
PATOFISIOLOGI<br />
Menarik (retraksi) prepusium ke proksimal biasanya dilakukan pada saat<br />
bersenggama/masturbasi atau setelah pemasangan kateter. Jika prepusium<br />
tidak dikembalian ke tempat semula, menyebabkan gangguan aliran balik<br />
vena superfisial sedangkan aliran arteri tetap berjalan normal. Hal ini<br />
menyebabkan edema glans penis dan dirasakan nyeri. Jika dibiarkan bagian<br />
penis di sebelah distal jeratan makin membengkak yang akhirnya bisa<br />
mengalami nekrosis glans penis.<br />
<strong>DIAGNOSIS</strong><br />
Diagnosis parafimosis dibuat berdasarkan pemeriksaan fisis, yaitu didapatkan<br />
prepisium yang tidak dapat diretraksi kembali<br />
<strong>TERAPI</strong><br />
1. Prepusium diusahakan untuk dikembalikan secara normal dengan teknik<br />
memijat glans selama 3-5 menit. Diharapkan edema berkurang dan secara<br />
perlahan-lahan prepusium dikembalikan pada tempatnya.<br />
2. Jika tidak berhasil, maka dilakukan dorsum insisi pada jeratan sehingga<br />
prepisiun dapat dikembalikan pada tempatnya. Setelah edema dan proses<br />
inflamasi menghilang pasien dianjurkan untuk menjalani sirkumsisi<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Purnomo, Basuki B. 2008. Dasar-Dasar <strong>Urologi</strong>. SMF/Lab Ilmu Bedah RSU<br />
Dr. Saiful Anwar Fakultas Kedokteran Univ. Brawijaya Malang.<br />
2. Santoso, Adi, dkk. 2005. Panduan Penatalaksanaan <strong>Urologi</strong> Anak. Ikatan<br />
Ahli <strong>Urologi</strong> Indonesia. Http://iaui.or.id/ast/file/pediatric_urology.doc.<br />
Diakses pada tanggal 15 November 2010<br />
[38]
BATASAN<br />
FIMOSIS<br />
Fimosis adalah prepusium penis yang tidak dapat diretraksi (ditarik) ke<br />
proksimal sampai ke korona glandis.<br />
PATOFISIOLOGI<br />
Fimosis dialami oleh sebagian besar bayi baru lahir karena terdapat adesi<br />
alamiah antara prepusium dengan glans penis. Hingga usia 3-4 tahun penis<br />
tumbuh dan berkembang dan debris yang dihasilkan oleh epitel prepusium<br />
(smegma) mengumpul didalam prepusium dan perlahan-lahan memisahkan<br />
prepusium dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi secara berkala membuat<br />
prepusium terdilatasi perlahan-lahan sehingga prepusium menjadi retraktil<br />
dan dapat ditarik ke proksimal.<br />
Pada sebagian anak, prepusium tetap lengket pada glans penis, sehingga<br />
ujung preputium mengalami penyempitan dan akhirnya dapat mengganggu<br />
fungsi miksi/berkemih. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa prepusium dan<br />
glans penis yang mengalami deskuamasi oleh bakteri yang ada didalamnya.<br />
GEJALA KLINIS<br />
Tanda dan gejala fimosis diantaranya :<br />
1. Gangguan aliran urine berupa sulit kencing, pancaran urine mengecil,<br />
menggelembungnya ujung prepusium penis saat miksi, dan menimbulkan<br />
retensi urin.<br />
2. Higiene lokal yang kurang bersih menyebabkan terjadinya infeksi yaitu<br />
postitis, balanitis, balanopstitis.<br />
3. Dapat terjadi corpus smegma yaitu timbunan smegma di dalam sakus<br />
prepusium penis.<br />
PENATALAKSANAAN<br />
1. Tidak dianjurkan melakukan retraksi yang dipaksakan, karena dapat<br />
menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada ujung prepusium<br />
sehingga akan terbentuk fimosis sekunder.<br />
2. Menjaga personal hygiene terutama penis dan tidak mencuci penis<br />
dengan banyak sabun.<br />
[39]
3. Fimosis disertai balanitis xerotica obliterans dapat diberikan salep<br />
dexamethasone 0,1% yang dioleskan 3/4 kali, dan diharapkan setelah 6<br />
minggu pemberian prepusium dapat diretraksi spontan.<br />
4. Fimosis dengan keluhan miksi, menggelembungnya ujung prepusium pada<br />
saat miksi atau infeksi postitis merupakan indikasi untuk dilakukan<br />
sirkumsisi, dimana pada fimosis disertai balanitis / postitis harus diberikan<br />
antibiotika terlebih dahulu.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar <strong>Urologi</strong>. Ed 2. Jakarta. Penerbit CV Sagung<br />
Seto. 2008<br />
2. McGregor TB, Pike JG, Leonard MP (March 2007). Pathologic and physiologic<br />
phimosis: approach to the phimotic foreskin. http://www.cfp.ca/cgi/<br />
content/full/53/3/445<br />
[40]
DIVISI INFECTION<br />
Tim Penyusun:<br />
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU<br />
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU<br />
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
BATASAN<br />
UROSEPSIS<br />
Urosepsis adalah sepsis yang disebabkan oleh mikrobakteria yang berasala<br />
dari saluran kemih<br />
EPIDEMIOLOGI<br />
Penelitian di rumah sakit di Amerika Serikat selama kurun waktu antara 1979-<br />
2000 menunjukkan bahwa insidens sepsis menunjukkan peningkatan rata-rata<br />
8,7% setiap tahunnya. Insiden laki-laki lebih banyak mengalami sepsis<br />
dibandingkan wanita. Sebagian besar kematian disebabkan karena disfungsi<br />
organ multiple. Dikatakan bahwa jika tidak disertai dengan komplikasi disfungsi<br />
organ, hanya 15% pasien sepsis yang meninggal, sedangkan jika diikuti dengan<br />
disfungsi organ multiple angka kematian meningkat menjadi 70%.<br />
ETIOLOGI<br />
Karena merupakan penyebaran infeksi maka kuman penyebabnya sama dengan<br />
kuman penyebab infeksi primer di traktus urinarius yaitu golongan kuman<br />
coliform negatif. E coli merupakan penyebab tersering menimbulkan sepsis.<br />
Kelainan urologi yang sering menimbulkan urosepsis adalah batu saluran<br />
kemih, hyperplasia prostat, dan keganasan saluran kemih yang menyebabkan<br />
hidronefrosis dan bahkan pionefrosis.<br />
PATOFISIOLOGI<br />
Patogenesis dari gejala klinis urosepsis adalah akibat dari masuknya<br />
endotoksin, suatu komponen lipopolisakarida dari dinding sel bakteri kedalam<br />
sirkulasi darah.<br />
Dengan adanya endotoksin tersebut memacu terjadinya rangkaian septic<br />
cascade. Keadaan ini menimbulkan sindroma respon inflamasi sistemik atau<br />
systemic inflammation response syndrome.<br />
Dikatakan SIRS jika terdapat paling sedikit dua dari beberapa kriteria berikut:<br />
1. Suhu tubuh > 38 0 C atau 90<br />
3. Frekuensi nafas >20 atau PaCO2 12000 atau 10% bentuk leukosit muda<br />
[41]
Dikatakan sepsis jika didapatkan SIRS dengan tanda infeksi dan sepsis berat jika<br />
disertai dengan hipotensi (sistole