Ludruk Legi Pahit tampil di Malang Tempo Doeloe mengangkat tema kepahlawanan. (Terakota/ Fahruroji)
Iklan terakota

Terakota.id—Memasuki Jalan Ijen Kota Malang kita seolah menyusuri masa lalu, Ahad, 11 November 2017.  Jalan sepanjang satu kilometer ditata dan didesain seperti masa perang kemerdekaan. Kendaraan lapis baja, jip, motor gede dan kisah perang kemerdekaan dihadirkan dalam Malang Tempo Doeloe (MTD). Lima buah motor jip berjajar di bundaran simpang balapan, karung ditata di sekeliling kendaraan.

Sejumlah orang berpakaian pejuang, menenteng senjata laras panjang. Berjaga di balik tumpukan karung. Perang kemerdekaan ini mengingatkan perlawanan para pejuang dalam mempertahankan Republik. Termasuk kisah heroik para Tentara Republik Indonesia Indonesia Pelajar (TRIP) pada masa Agresi Militer Belanda 31 Juli 1947. Pertempuran sengit terjadi antara TRIP dengan pasukan Belanda di Jalan Salak (Sekarang Jalan Pahlawan TRIP).

Sebanyak 35 anggota TRIP gugur dalam pertempuran itu, jasad para pejuang dikuburkan massal. Dibangun  monumen dan patung pahlawan TRIP di lokasi pertempuran. Lokasi pertempuran hanya selemparan batu dari lokasi MTD, berbatasan dengan Jalan Ijen. Malang Tempo Doeloe kembali diselenggarakan setelah empat tahun vakum. Sejak 2006, MTD diselenggarakan rutin saban tahun.

“Tema kepahlawanan, sekaligus memperingati hari pahlawan,” ujar penggagas MTD sekaligus Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Dwi Cahyono.

Sementara di bundaran Simpang Balapan terpasang papan baliho raksasa berisi foto dan keterangan sejarah Kota Malang. Meliputi sejarah pemerintahan Kota Malang, sejarah pendidikan di Malang, sejarah Malang bumi hangus dan bangunan bersejarah di Kota Malang.

Sejumlah motor gede dijajar di depan papan baliho berisi foto dan keterangan sejarah pertempuran di Malang. Sejumlah orang mengenakan pakaian khas pejuang, duduk di atas motor. Beragam jenis motor antik dipajang, memancing pengunjung untuk berfoto bersama. Mereka merupakan anggota komunitas motor antik yang tergabung dalam Motor Antique Club Indonesia (MACI)  Cabang Malang.

Salah satunya motor bermerk AJS. Motor produksi pabrikan motor asal Inggris ini menjadi salah satu primadona berswa foto. Sekretaris MACI Cabang Malang, Andik Puji mengaku bangga memiliki motor AJS. Selain bersejarah, motor klasik ini juga gagah saat dikendarai. “Dulu motor ini dipakai pastor dan tentara Belanda,” ujarnya.

MACI Malang memiliki anggota dengan koleksi sekitar 200 motor,  sekitar 150 motor yang dalam kondisi laik jalan. Selebihnya dalam masa perawatan dan perbaikan. Maklum motor AJS tak ada suku cadang yang dijual di pasaran.

Motor antik turut memeriahkan Malang Tempo Doeloe. (Terakota/Fahruroji).

Hadirkan Penganan Masa Lalu

Sebanyak 210 gerai mewakili Kelurahan, Sekolah, hotel dan restoran menyajikan serba masa lalu.  Gerai sepanjang jalan menghadirkan atmosfir tempo dengan menyajikan aneka kudapan, minuman dan penganan masa lalu. Seperti tiwul, makanan pengganti nasi ini sudah jarang dijumpai. Ada moho, pecel punten, cenil, dan gatot. Aneka penganan ini laris manis diserbu para pengunjung.

Dwi Cahyono menjelaskan MTD merupakan bagian dari konservasi heritage meliputi bangunan, kesenian dan budaya di Kota Malang. Caranya dengan menghadirkan rasa masa lalu dalam tontonan, pesan dan kesenian yang disajikan dalam satu hari.

“Bagian dari arkeologi publik. Ada kajian dan mencari referensi. Disajikan menggunakan bahasa masyarakat kebayakan,” kata Dwi Cahyono.

Untuk mencari referensi, foto, dokumen dan data Dwi Cahyono dan Yayasan Ingggil berburu sampai ke sejumlah perpustakaan di Belanda dan Inggris.  Dia menemukan sejumlah buku dan arsip yang mendokumentasikan tentang sejarah Malang. Sekaligus menggerakkan ide membuat Museum Tempo Doeloe.

“Banyak data tersedia tapi harus disajikan dengan bahasa masyarakat.  Agar menarik dan mudah dipelajari.”

Setelah vakum selama empat tahun, Dwi mengawali dari nol. Selama ini banyak pertanyaan kapan diselenggarakan kembali even tahunan itu. Sekaligus banyak masyarakat yang mengaku kangen dengan MTD. MTD sempat berhenti, katanya, karena pengunjung membludak, amburadul tak teratur. Bahkan banyak pedagang kaki lima masuk arena MTD. Sehingga fungsi pendidikan sejarah dan seni budaya hilang.

MTD tahun ini mengembalikan seperti awal 2006, semua steril dari pedagang kaki lima. Tujuannya menghargai bersama sejarah, seni dan budaya. Yayasan Inggil telah menyiapkan konsep sampai MTD ke 10. Saat itu, target membuat city festival seluruh wilayah Kota Malang menjadi arena festival.

Dwi berharap masyarakat tergugah untuk merasakan memiliki Kota Malang. Jika ada bangunan berserjarah dibongkar dan dirusak harus dibela bersama-sama. Sehingga MTD tak hanya jadi sebuah selebrasi semata, tetapi menjadi media pendidikan sejarah.  Dipilih festival diselenggarakan di Jalan Ijen, karena kawasan itu permukiman yang memiliki bangunan bersejarah.

Rata-rata masih mempertahankan bangunan berasitektur indies, khas jaman Belanda. Berusia lebih dari 50 tahun. Namun, saat ini usaha konservasi heritage merosot. Tak ada upaya serius untuk penyelamatan. Banyak bangunan bersejarah yang dibongkar dan berubah bentuk.

Kota Malang, kata Dwi, beruntung. Malang ditata dan dideain dengan konsep yang asri, banyak taman dan ruang publik. Tata Kota Malang didesain Thomas Karsten menyesuaikan wilayah yang sejuh dan dikelilingi gunung sehingga nyaman dan asri untuk permukiman.

“Setiap persimpangan ada taman, tak ada seperti ini di kota lain. Tinggal dipercantik dan dirawat. Berupa vegetasi  untuk menyimpan oksigen yang cukup. ” Bahkan, sesuai dokumen peta jaman Belanda bantaran sungai Brantas dibangun taman selebar empat meter. Mulai Rumah Sakit Saiful Anwar sampai kampung warna warni Jodipan. Kedua sisi sungai dibangun taman, rumah menghadap ke sungai.

Tak hanya penganan dan kisah sejarah, juga dihadirkan kesenian dan permaianan tradisional di atas panggung MTD. Berdiri dua panggung, untuk pementasan kesenian tradisi. Seperti ludruk legi pahit tampil mengibur penonton dengan kisah kepahlawanan, mengusir penjajah. Kesenian asli Jawa Timur ini selama ini terpinggirkan jarang tampil di depan publik. “MTD menjadi media untuk menampilkan kesenian tradisional. Yang terpinggirkan sekarang jadi yang utama,” ujar Dwi.

Suasana masa lalu, juga terlihat dari para penonton. Sebagian penonton mengenakan busana lawas, perempuan mengenakan kebaya dan kain jarik. Sementara pengunjung lelaki mengenakan setelan pakaian safari seperti guru masa lalu. Sayang tak semua pengunjung mengenakan kostum tempo dulu. “Lebih menarik Malang Tempo dulu sebelumnya, hampir semua pengunjung memakai pakaian masa lalu,” ujar Wahyudi.

Dia datang bersama teman-temanya kompak mengenakan pakaian tempo dulu. Wahyudi memilih mengenakan pakaian penjual sapi masa lalu, setelah pakaian serba hitam. Wahyudi berharap MTD kembali hadir tahun depan dengan konsep dan kental dengan suasana tempo dulu.

Musik Keroncong menghibur pengunjung Malang Tempo Doeloe. (Terakota/Fahruroji).

Klapa Jadi Apa

Malang Tempo Doeloe tahun ini  bertema Klapa Jadi Apa? Bagian dari usaha melakukan konservasi budaya mamarut buah kelapa. Dwi Cahyono menjelaskan jaman serba instan, santan juga diperoleh secara instan. Saat ini, tak banyak memulai dengan proses memarut kelapa dengan parut tradisional.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi dan Wali Kota Malang Muhammad Anton ikut memarut kelapa. Di atas tampah, beralas daun pisang dan tikar beranyaman daun mendong. Sebanyak 3 ribuan orang berkumpul ikut aksi memarut kelapa di MTD. Antusias mereka berasal dari pegawai hotel, restoran, instansi pemerintah, sekolah, dan kelurahan.

 

1 KOMENTAR