Suami Sudah Seperti Mayat Hidup

0
639 views
Ilustrasi.

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Selasa, 14 September 2021.

Tema: Begitulah hidup.

  • Bil. 21: 4-9.
  • Fil. 2: 6-11.
  • Yoh. 3: 13-17.

PERNAH mengalami derita itu pasti. Tapi apakah penderitaan itu sendiri mempunyai makna?

Mengalami sakit dan punya penyakit merupakan bagian sejarah hidup tak terpisahkan. Mau tidak mau, hal itu mesti diterima sebagai kenyataan. Sudah jadi bagian kehidupan. Sungguh, kita semua tak mampu menghindarinya.

Anti aging kiranya merupakan sebuah usaha yang secara halus menolak proses penuaan dan derita. Apa pun risikonya. Berapa pun biayanya. Tapi, orang tetap saja tergoda ingin mengusahakannya.

Di padang gurun, orang-orang Israel dulu menggerutu. “Di sini tidak ada roti dan tidak ada air. Dan akan makanan hambar ini, kami telah muak.” ay 5b

Janji jiwa

“Mo, minta doa. Sekaligus mohon dibaptis dan Sakramen Orang Sakit. Ini untuk suami,” terdengar suara pelan di ujung gagang telepon.

“Masih bisa ikut pelajaran?” tanyaku sungguh tak tahu awal kisahnya.

“Nampaknya sulit. Sebaiknya Romo sudi datang saja dan lihat keadaannya ya. Mana yang terbaik aja, Mo. Kami ikut yang terbaik saja,” pinta ibu ini.

Seorang ayah sudah terbujur kaku hampir 15 tahun.

Indahnya hidup

“Kami dulu kawin di Gereja, Mo. Suami belum Katolik. Sebelum sakit, ia pernah bilang suatu saat akan mengikuti iman saya. Tapi, maunya setelah anak-anak besar dan kami bisa hidup mapan.

Dia pikir, sekarang waktunya untuk kerja lebih keras. Ia ingin menyiapkan semuanya dengan baik. Dan kalau sudah berhasil, ia akan jadi seiman dengan saya,” kisahnya dimulai di sini.

“Oh, kisah panjangnya begitu ya,” aku mengangguk hormat.

Naas. Tuhan menguji.

Kini, seluruh kujur tubuhnya sudah terbujur kaku. Tangannya tidak bisa dilipat. Jari-jarinya begitu tegang.

Matanya selalu menatap ke atas plafon. Juga tampak sudah bisa memejamkan matanya. Kalau sudah waktunya tidur, matanya lalu diberi kain. Lampu kamar dimatikan.

Ia sudah terbujur hampir 15 tahun. Tidak ada kemajuan apa pun. Sang isteri sudah berusaha segalanya agar suaminya bisa kembali sembuh. Mengobati dengan segala macam cara. Baik medis maupun non medis.

Semua telah diusahakan.

“Apa yang membuat Ibu mampu bertahan dalam situasi sulit ini?” tanyaku super kepo.

“Ini sih benar-benar kejatuhan salib,” jawabnya tangkas.

“Romo, dulu kami hidup sangat bahagia. Ia jadi suami pilihan saya. Ia sayang orangtua dan mertua. Ia selalu memberi yang terbaik untuk keluarganya.

Ia sangat menjaga kesehatan, bersih, dan dekat dengan kami semua. Ia suami laki-laki yang ideal bagi kami, walaupun belum Katolik.

Dia berjanji setelah cukup kehidupan mereka dan bekal untuk anak-anak, baru dia akan menjadi Katolik dan lebih banyak aktif dalam bidang kerohanian.

Saat-saat penantian itu bagi saya sungguh suatu penantian yang penuh harapan, sukacita.

Saya merasakan Tuhan baik. Usaha suami diperlancar. Ia tipe sosok manusia pekerja keras. Setiap kali kami pergi ikut misa di gereja, dia selalu mengantar kami. Tapi kemudian hanya mau menunggu di mobil.

Kalau kami berdoa malam bersama anak-anak, ia memilih hanya duduk dekat kami. Duduk tenang. Ia mendengarkan.

Tuhan mendengarkan rencana kami. Ekonomi kami semakin baik. Ia merasa sudah cukup bekerja keras.

Ia ingin membuka usaha sendiri agar banyak waktu untuk keluarga. Membuka sebuah toko,” jelasnya super gamblang.

Berat tapi bertahan dalam iman

“Suatu saat, setelah pulang olahraga ia makan cukup banyak. Saya tidak menduga.  Ia memuji-muji masakan saya. Ia makan banyak dan menikmati.

Malam hari pukul 23.00, ia terjatuh di kamar kecil. Kami bingung; tidak bisa berbuat apa-apa. Kami angkat paksa dan membaringkannya di tempat tidur.

Tak terduga. Esok harinya badannya kaku dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Kami mengalami ketegangan hidup. Apa daya?

Kami tetap merawat dan mencoba bertahan dalam iman. Kami tetap menghadirkan kebersamaan di sekitar dia. Baik saat doa mau pun saat santai menonton TV.

Kadang ia meneteskan air mata. Anak-anak lalu datang memeluknya. Saya membelai rambutnya dan mencium kening dan pipinya,” kisahnya berakhir di sini.

Pesta Salib Suci

Hari kita merayakan Pesta Salib Suci.

Bagi kita, kendati derita tak dapat dihindari, tetapi dapat bermakna sebagai sebuah tindakan kasih dan penyerahan diri. Pada Allah yang telah menciptakan kita dengan baik adanya.

Lewat salib Yesus, kita dapat belajar cara-Nya memandang kehidupan.

Penderitaan akut apa pun, bahkan di saat terminal akhir, kematian, tidak akan memisahkankan relasi dan kesatuan kita dengan Allah dalam Tuhan Yesus.

Ia tetap menemani kita; mengubah hidup dan derita kita; memberi kekuatan dan harapan akan kasih-Nya.

Tuhan, tataplah aku seperti aku memandang salib-Mu. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here