Semuelkombong.com -Suku toraja ini sejak lama terkenal memiliki beragam tradisi dan warisan budaya unik dari masa silam.
Budaya dan tradisi tersebut merupakan warisan dari raja-raja Tana Toraja yang tetap terjaga kemurniannya hingga kini.
Salah satu yang paling ikonik yaitu rumah adat Tongkonan yang konon merupakan rumah adat bekas raja-raja di masa lalu yang sarat makna.
Keunikan rumah adat tongkonan pun tak hanya memukau wisatawan domestik, tetapi juga memukau banyak sekali wisatawan mancanegara karena rumah adat Toraja paling terbanyak di dunia.
Tak heran bila rumah adat Tongkonan merupakan salah satu rumah adat Toraja yang paling banyak dikunjungi.
Apa saja fakta dan keunikan rumah adat Tongkonan ini? Simak selengkapnya di bawah ini.
Mungkin kamu bertanya-tanya, apa sih arti kata Tongkonan sebenarnya?
Istilah “Tongkonan” berasal dari kata “tongkon” yang dalam bahasa Indonesia bermakna “tempat duduk” atau “menduduki”.
Konon, istilah ini muncul berdasarkan fungsi utama rumah adat Tongkonan yang sering dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para raja dan bangsawan.
Bila diilustrasikan, maka Tongkonan di masa lalu fungsinya hampir sama seperti sebuah balai di masa kini.
Para raja dan bangsawan terdahulu memang sering mengadakan berbagai pertemuan baik resmi ataupun tak resmi di rumah ini.
Tak heran bila rumah Tongkonan sarat akan makna bagi para penduduk Tana Toraja karena menjadi tempat penting hadirnya keputusan-keputusan besar.
Namun, seiring berjalannya waktu, rumah yang awalnya digunakan sebagai tempat berkumpul ini kemudian berkembang menjadi rumah adat.
Sejak itulah masyarakat mulai mengenal Tongkonan sebagai salah satu rumah adat Toraja.
Filosofi Rumah Adat Tongkonan
Sebagai sebuah rumah adat, tentu pembangunannya pun tak sembarangan dan selalu penuh perhitungan.
Entah itu dari bentuk, desain, dekorasi, hingga posisi pasti selalu mengandung nilai-nilai serta filosofi tertentu yang sangat erat dengan kebudayaan setempat.
Begitu pula yang terjadi dengan rumah adat Tongkonan.
Banyak aspek dari rumah adat ini yang jika ditilik lebih jauh ternyata memiliki nilai-nilai filosofis yang sangat besar.
Misalnya saja soal posisi rumah Tongkonan yang pasti menghadap ke arah utara.
Hal ini merujuk pada lokasi di mana Puang Matua atau Yang Mahakuasa berada, yaitu di arah utara dunia.
Demikian besarnya makna rumah Tongkonan bagi masyarakat Toraja hingga memiliki nilai filosofis yang sangat besar dari mulai sosial, budaya, hingga agama.
Tak heran bila rumah Tongkonan tak bisa dimiliki secara perorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun antara anggota keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Lebih dari itu, rumah adat Tongkonan juga memiliki beragam fungsi yaitu sebagai pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pusat kemasyarakatan, dan pusat stabilisator sosial.
Bagian Rumah Adat Tongkonan
Secara umum, ada dua tipe rumah Tongkonan yang dibangun oleh masyarakat Tana Toraja: Banua Tongkonan dan Banua Barung-barung.
Banua Tongkonan merupakan bangunan yang difungsikan khusus untuk rumah adat dan kegiatan adat lainnya.
Sedangkan Banua Barung-barung merupakan rumah pribadi atau rumah biasa. Tipe rumah ini yang paling banyak ditemui di Tana Toraja.
Secara tradisional, setiap tipe rumah Tongkonan memiliki lima bagian rumah, yaitu:
Banua Sang Borong disebut juga dengan nama Banua Sang Lanta dan biasanya difungsikan untuk berbagai macam kebutuhan.
Tak ada keharusan atau larangan tertentu untuk menggunakan ruang rumah ini.
Banua Duang Lanta memiliki makna rumah dengan dua ruang.
Ruang pertama disebut dengan istilah sumbung dan digunakan sebagai ruang untuk tidur para penghuni rumah.
Sedangkan ruang kedua dinamai ruang sali dan difungsikan untuk ruang kerja, dapur, atau tempat peletakan jenazah sementara.
bagian rumah khas tana toraja
Banua Patang Lanta bermakna rumah dengan empat ruang, yaitu Banua Di Lalang Tedong, Sali Tangga, Sumbung, dan Inan Kabusung.
Banua Di lalang Tedong memiliki “sali iring” yang digunakan sebagai ruang dapur, ruang kerja, dan tempat menerima tamu.
Sali Tangga terdiri dari ruang kerja, ruang tidur keluarga, serta tempat peletakan jenazah yang akan melalui proses upacara adat.
Sementara itu, Sumbung memiliki fungsi khusus yaitu sebagai tempat tidur pemangku adat.
Terakhir, Inan Kabusung merupakan ruang khusus dan tertutup yang hanya dibuka atau digunakan ketika ada upacara adat berlangsung.
Banua Di Salombe terdiri dari tiga bagian, yaitu Palanta/Tangdo, Sali Tangga, serta Sumbung.
Palanta/Tangdo merupakan ruang khusus untuk pemuka adat serta tempat sembahyang atau upacara penyembahan.
Sedangkan Sali Tangga dan Sumbung memiliki fungsi yang sama seperti pada Banua Patang Lanta.
Terakhir yaitu Banua Limang Lanta yang terdiri dari lima ruang utama: Palata, Sali Iring, Paluang, Anginan, dan Sumbung Kabusungan.
Palata digunakan sebagai ruang duduk dan tempat meletakkan sesajian sedangkan Sali Iring digunakan sebagai dapur, tempat makan, serta tempat tidur adat.
Lalu, Paluang digunakan sebagai tempat untuk bekerja serta meletakkan jenazah anggota keluarga.
Sementara Anginan digunakan khusus untuk ruang tidur dan Sumbung Kabusungan khusus sebagai tempat untuk menyimpan pusaka adat.
Jenis Rumah Adat Tongkonan
Secara umum, setidaknya terdapat tiga jenis rumah adat Tongkonan yang memiliki keunikannya masing-masing.
Keunikan rumah adat Tongkonan ini sangat bergantung pada peranan penguasa atau penghuni rumahnya.
Ketiga jenis rumah adat Tongkongan tersebut yaitu:
Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk memiliki makna Tongkonan yang Maha Tinggi atau Agung.
Hal ini dikarenakan fungsi utamanya yaitu sebagai tempat untuk menciptakan atau merancang aturan-aturan sosial serta keagamaan.
Oleh karena itu, rumah Tongkonan jenis ini merupakan pusat perintah dan kekuasaan yang mengatur seluruh masyarakat Tana Toraja zaman dahulu.
Tongkonan Pekaindoran juga dikenal dengan nama lainnya seperti Tongkonan Pekamberan atau Tongkonan Kaparengngesan.
Tempat ini biasanya difungsikan sebagai pusat kendali bagi pemerintahan adat di mana aturannya disesuaikan dengan aturan dari Tongkonan Pesio’ Aluk.
Jenis Tongkonan yang terakhir yaitu Tongkonan Batu A’riri yang memiliki fungsi sebagai Tongkonan Penunjang.
Dengan kata lain, Tongkonan ini memiliki peran untuk membina persatuan keluarga serta membina warisan keluarga tersebut.
Dekorasi Rumah Adat Tongkonan
rumah adat tongkonan
Sumber: lombokbeautytour.com
Dinding rumah Tongkonan dapat berdiri tegak dan kokoh meskipun dibuat tanpa menggunakan paku ataupun unsur besi lainnya.
Sebagai pengganti, dinding rumah Tongkonan dibangun dengan menggunakan bantuan tanah liat sebagai perekatnya.
Sementara bahan baku dinding dan sebagian besar rumah terbuat dari kayu uru yang memang banyak tumbuh di wilayah Sulawesi.
Bila diperhatikan dengan seksama, salah satu keunikan rumah adat Tongkonan yang paling menonjol ialah bagian atapnya.
Atap rumah Tongkonan memiliki bentuk yang menyerupai sebuah perahu dan memiliki filosofinya tersendiri.
Konon, hal ini merupakan sebuah pengingat terhadap leluhur masyarakat Toraja yang merupakan pelaut ulung.
Terdapat empat jenis ukiran yang biasa terpampang pada rumah Tongkonan, yaitu: pa’barre allo, pa’ tedong, pa’ manuk londong, dan pa’ sussuk.
Ukiran pa’barre allo merupakan ukiran yang menyerupai matahari atau bulan sebagai perlambang Puang Matua atau Sang Pencipta.
Sementara itu, ukiran pa’ tedong menyerupai kepala kerbau dan diletakkan di tiang tegak lurus yang merupakan tulang bangunan sebagai perlambang kerja keras serta kemakmuran.
Kemudian ukiran pa’ manuk londong yang biasanya serupa dengan ayam jantan sebagai perlambang dari norma atau aturan manusia yang berasal dari langit.
Terakhir yaitu pa’ sussuk yang merupakan ukiran garis-garis lurus yang melambangkan kebersamaan serta kesatuan dalam kekerabatan satu Tongkonan.
Salah satu penanda rumah adat Tongkonan yang paling jelas adalah penggunaan warna.
Terdapat empat jenis warna yang biasa digunakan untuk mendekorasi rumah Tongkonan, yaitu putih, hitam, merah, serta kuning.
Warna putih biasanya digunakan sebagai perlambang dari daging dan tulang yang suci dan bersih.
Sedangkan warna hitam digunakan untuk melambangkan akhir dari kehidupan (kematian) serta kegelapan.
Lalu, bila warna merah digunakan pada rumah Tongkonan maka itu merupakan perlambang darah yang merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Terakhir ada warna kuning yang melambangkan anugerah serta kekuasaan dari Yang Maha Kuasa.
Tanduk kerbau juga merupakan salah satu elemen dekorasi yang banyak ditemukan pada rumah adat Tongkonan.
Biasanya, tanduk kerbau diletakkan di bagian depan rumah dan bertumpukan.
Konon, dekorasi tanduk kerbau merupakan tanda kemewahan serta pembeda strata sosial masyarakat Toraja.
Semakin tinggi strata sosialnya, maka semakin banyak pula hiasan tanduk kerbau yang dipajang di depan rumah tersebut.
Ada satu lagi keunikan rumah adat Tongkonan yang jadi primadona di Toraja.
Soalnya, rumah yang satu ini diketahui sebagai rumah Tongkonan tertua di Tana Toraja yang konon telah berusia lebih dari 700 tahun.
Masyarakat adat Tana Toraja pun menyebut rumah Tongkonan ini dengan nama “Papa Batu”.
“Papa” dalam bahasa Toraja berarti atap dan “batu” memiliki makna yang sama yaitu batu.
Rumah adat Tongkonan tertua di Toraja ini terletak sekitar 10 km ke arah Barat dari Tana Toraja atau tepatnya di Desa Banga, Kecamatan Rambon, Tana Toraja.
Ternyata, rumah Tongkonan tertua ini masih dihuni oleh seorang tetua kampung yang bernama nenek Toyang.
Ia adalah seorang janda berusia 110 tahun dan merupakan generasi ke 10 yang menghuni Tongkonan tersebut.
Keunikan rumah adat Tongkonan tertua ini sudah nampak jelas pada hampir seluruh bagian rumah adat ini.
Misalnya, atapnya terbuat dari batu pahatan yang berjumlah 1000 keping dan masing-masing keping berukuran 5×3 jengkal orang dewasa.
Menurut warga sekitar, masing-masing keping batu tersebut berukuran sekitar 10 kg, sehingga berat atap batu tersebut jika ditotal mencapai sekitar 10 ton.
Meskipun atapnya sangat berat namun hanya ditopang oleh 55 tiang yang seluruhnya terbuat dari kayu.
Sepanjang sejarahnya, baru dua kali atap rumah Tongkonan diganti, yaitu ketika ada rotan yang terputus dan ketika ada gempa bumi.
Ketika memasuki bagian dalamnya, maka kamu bisa melihat ada empat ruang besar di dalam rumah ini.
Sayangnya, karena rumah ini sangat disakralkan, pengunjung hanya bisa melihat ruang utamanya saja.
Satu pantangan lainnya yang tak boleh dilanggar oleh pengunjung adalah memasuki rumah tanpa izin.
Oleh karena itu, jika kamu ingin memasuki rumah ini maka kamu harus meminta izin kepada nenek Toyang.
Pasalnya, jika memasuki Papa Batu tanpa izin, maka orang tersebut akan mendapatkan kemalangan berupa sakit keras dan obatnya hanya dengan meminta maaf.
THE KANAAN BOND
Kanaan bontang kalimantan timur indonesia
Thursday , 04 February 2021
Written by
Semuel kombong
Morison salmon
Meyran amos
Matius layuk
Aldas
Sias
Esra malisa
Toni pulung
Marthen tanan
Peri pamasi
Robert parikki
Advisor one by.
Welly layuk
Arianus pakila
Marthen Minggu
Yunus tangke allo
Ruli lando
Gamara pasau
Aris lottong
Obhet nego
Yunus topan
Payung bone
Advisor two by
Yan lepong
Sirjhon paseru
Simlin kendek
Ersan masuru
Budianto tandilangi
Yohanis masarang
Samuel rerung
Anton linggi
Herman londong bua’
Yubel
Prengki pamasi
Peri perunan
Yusak bubun
Yunus tandi
Pither lepong
Actor by
Lewi Musa
Ferry layuk
Salmon payung allo
Weni Marthen rando
Directed by
Untung
Jhonny layuk
Jumri masarang
Samuel samban
Yulius sugali
Joni tulak
Medi medi
Daniel bangun
Marthen limba
Andarias malisa
Suggestions and criticisms by
Marbel lobo
Survey by
Jhoni kate
Toban
Tinus buntu lepong
Ceery siregar
Romi Sihotang
Camera by
Enos duma
Yohanis sambe
Salama
Andarias toto
Censorship by
Mansil
David simbong
Aris tandi
Rudi cabodo
Peri pamasi
Ayub paseru
Dedi tangkelayuk
Ismail yusuf
Mesak
Aris limba
Electricity by
Jhoni sangga
Yan londong
Security by
Lexsi
Antonius pulung
Topa
Nyamin
Dodong
Ute’
Roni
Vocalist by
Ishak rante toding
Wawan baan
Ricki dores
Translator by
Helly layuk
Margaretha tampang
Group protocol by
Wanti