Couverture fascicule

Dias Pradadimara dan Muslimin A.R. Effendy (eds.) Kontinuitas dan Perubahan dalam Sejarah Sulawesi Selatan

[compte-rendu]

Année 2005 70 pp. 326-327
doc-ctrl/global/pdfdoc-ctrl/global/pdf
doc-ctrl/global/textdoc-ctrl/global/textdoc-ctrl/global/imagedoc-ctrl/global/imagedoc-ctrl/global/zoom-indoc-ctrl/global/zoom-indoc-ctrl/global/zoom-outdoc-ctrl/global/zoom-outdoc-ctrl/global/bookmarkdoc-ctrl/global/bookmarkdoc-ctrl/global/resetdoc-ctrl/global/reset
doc-ctrl/page/rotate-ccwdoc-ctrl/page/rotate-ccw doc-ctrl/page/rotate-cwdoc-ctrl/page/rotate-cw
Page 326

326 Comptes rendus

Dias PRADADIMARA dan Muslimin A.R. EFFENDY (eds.), Kontinuitas dan Perubahan Dalam Sejarah Sulawesi Selatan, Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2004, 414 pages.

Buku ini merupakan sebuah kumpulan tulisan yang dipersembahkan untuk memperingati 66 tahun usia Profesor Darmawaan Mas'ud Rahman, seorang antropolog yang menjadi guru besar di Universitas Negeri Makassar. Kebanyakan tulisan yang dikumpulkan berkisar tentang sejarah, seperti dijelaskan editor dalam Pengantar, untuk menonjolkan proses perubahan dan kontinuitas di propinsi ini. Editor membagi kedua bêlas artikel dalam tiga bagian. Bagian pertama tentang perdagangan dan pelayaran, bagian kedua tentang identitas sosial dan politik, bagian ketiga tentang gender dan komunitas lokal.

Pada bagian pertama, tulisan Heater Sutherland memaparkan perkembangan perdagangan dan geografi kota Makassar sebagai kota pelabuhan dari masa kerajaan Gowa-Tallo hingga VOC. Sutherland menekankan bahwa terdapat sebuah kesinambungan historis di Makassar, yaitu ciri multi etnis dan kosmopolitan kota ini. Pembagian wilayah pemukiman berdasarkan etnis pada masa Gowa-Tallo terus berlanjut hingga masa kolonial Belanda. Interaksi kemudian terjalin lebih luas antara kelompok-kelompok yang ada dengan kerajaan-kerajaan agraris pedalaman, begitu juga dengan komunitas-komunitas Tionghoa, Bugis, Makassar dan Melayu yang ada di seberang lautan^1). Dalam artikel berikutnya karya Edward Poelinggomang menyoroti perkembangan perdagangan maritim masyarakat Sulawesi Selatan dari perdagangan beras dan emas pada paruh pertama abad 16, perdagangan rempah- rempah pada paruh kedua abad yang sama, dan perdagangan tripang pada abad 18. Tema selanjutnya berupa tinjauan sejarah perkapalan dan pelayaran di Sulawesi Selatan oleh Horst H. Liebner. Penulis menekankan pentingnya peran perahu bukan hanya sebagai alat pencari ikan tetapi juga sebagai alat « penukaran ide » yang menyatukan tatanan ide dan budaya di Nusantara (him. 60). Bagian pertama ini ditutup oleh tulisan Sakai Takashi mengenai keramik Jepang yang ditemukan di Asia Tenggara. Dari temuan arkeologis, Takashi melukiskan persebaran keramik- keramik Jepang di Nusantara yang dibawa oleh pedagang-pedagang asing sejak orang Jepang dilarang meninggalkan negerinya tahun 1637.

Proses pembentukan identitas Makassar dan Sulawesi Selatan menjadi tema utama pada bagian kedua. Diawali dengan uraian Esther J. Velthoen tentang upaya Sulawesi Selatan menekankan keterlibatannya dalam pembentukan identitas keindonesiaan melalui penggambaran «40.000 korban meninggal dibunuh Westerling» pada masa revolusi, walau sebenarnya jumlah korban yang meninggal jauh di bawah angka tersebut (him. 147). Selanjutnya Elizabeth Morell menjelaskan upaya kota Makassar untuk mendapatkan kembali kejayaannya pada masa lalu di tengah proses Otonomi Daerah dengan mengganti namanya dari Ujung Pandang menjadi Makassar. Walau begitu, problem sosial yang dihadapi kota Makassar

1. Lihat juga artikel oleh pengarang yang sama, « Ethnicity, Wealth and Power in Colonial Makassar», in Peter J. Nas (éd.), The Indonesian City : Studies in Urban Developmment and Planning. Dordtrecht Holland : Foris Publications, 1986.

Archipel 70, Paris, 2005

doc-ctrl/page/rotate-ccwdoc-ctrl/page/rotate-ccw doc-ctrl/page/rotate-cwdoc-ctrl/page/rotate-cw