Badai Matahari dan Bungker Para Miliarder Teknologi
Tahun 2024 akan jadi puncak siklus Matahari. Badai Matahari akan sering terjadi. Manusia aman, tapi teknologi terdampak.
Sejak akhir 2023, isu terjadinya badai Matahari yang ”disembunyikan” pada 2024 beredar di sejumlah media sosial. Badai itu diduga akan memadamkan listrik hingga membuat Bumi gelap selama 17 hari dan mematikan internet sehingga dunia kacau.
Sejumlah miliarder dunia pun dikabarkan telah membangun bungker mewah untuk menghadapinya.
Namun, itu hanyalah disinformasi. Peristiwa alam yang nyata terjadi telah dipersepsi dan dipahami keliru sehingga badai Matahari seolah-olah menjadi hal yang menakutkan di seluruh dunia.
Penggabungan dengan informasi lain yang berbeda, terkait bungker para miliarder teknologi global, membuat isu badai Matahari menjadi semakin mengkhawatirkan.
Badai Matahari sering terjadi sejak pertengahan 2023. Intensitas dan frekuensi badai itu diperkirakan meningkat tahun ini seiring datangnya puncak siklus 11 tahunan Matahari, yaitu siklus Matahari ke-25. Puncak siklus Matahari terakhir, yaitu siklus Matahari ke-24, berlangsung pada April 2014.
Baca juga: Badai Geomagnetik Menghantam Bumi pada Selasa, 18 Juli 2023
Semula, puncak siklus Matahari ke-25 diperkirakan terjadi tahun 2025. Namun, seiring makin seringnya terjadi badai Matahari, munculnya bintik Matahari, hingga terbentuk suar dan lontaran massa korona (CME) di Matahari pada tahun 2023 lalu, puncak siklus Matahari ke-25 diprediksi terjadi tahun 2024.
Badai Matahari adalah istilah yang menggambarkan lonjakan jumlah partikel bermuatan yang dilepaskan Matahari dan umumnya terjadi saat puncak siklus Matahari.
Dalam kondisi normal, Matahari tetap melepaskan partikel bermuatan ke luar angkasa secara terus-menerus. Namun, saat badai Matahari berlangsung, jumlah partikel bermuatan itu meningkat drastis.
Sebagai bintang pusat Tata Surya, Matahari adalah bola gas raksasa yang aktif dan memiliki siklus berulang. Peningkatan aktivitas Matahari dalam siklus tersebut ditandai oleh munculnya bintik Matahari alias sunspot. Meski namanya bintik, sunspot bisa berukuran seluas Bumi.
Kemunculan bintik Matahari itu menandakan terjadinya perubahan kutub magnet Matahari tiap 11 tahun sekali.
Selama masa itu, seperti dikutip dari situs Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA), kutub utara magnet Matahari berubah menjadi kutub selatan magnet. Dalam periode yang sama, kutub magnet Matahari itu akan berubah lagi.
Baca juga: Badai Magnetik Menghancurkan 40 Satelit Starlink
Bintik Matahari terbentuk akibat adanya fluks atau aliran magnet sangat kuat dari bagian dalam Matahari. Akibatnya, bintik Matahari memiliki medan magnet lebih besar dibandingkan sekitarnya. Bintik ini bisa bertahan selama beberapa jam hingga beberapa bulan.
Saat aktivitas Matahari mencapai maksimum, jumlah bintik Matahari yang teramati bisa lebih dari 100 buah per bulan. Sebaliknya, saat minimum, jumlah bintik Matahari yang teramati hanya beberapa buah atau tidak ada sama sekali.
Bintik Matahari terlihat gelap karena medan magnet yang mengelilinginya membelokkan panas sehingga tengah bintik Matahari menjadi lebih dingin dengan suhu sekitar 4.200 derajat celsius. Padahal, suhu permukaan Matahari di sekitar bintik itu bisa sekitar 6.000 derajat celsius.
Garis-garis medan magnet di dekat bintik Matahari umumnya kusut, bersilangan, dan dalam penyusunan ulang. Kesemrawutan garis medan magnet itu bisa memicu ledakan energi tiba-tiba yang disebut flare alias suar atau jilatan api Matahari. Suar ini melepaskan banyak radiasi ke luar angkasa.
Saat aktivitas Matahari mencapai maksimum, jumlah bintik Matahari yang teramati bisa lebih dari 100 buah per bulan.
Kemunculan suar juga sering kali disertai lontaran massa korona (CME) saat korona atau lapisan luar atmosfer Matahari melepaskan plasma dan medan magnet berjumlah besar. Lontaran massa korona besar bisa mencapai Bumi dalam waktu satu hingga beberapa hari, bergantung dari besarnya materi yang dilontarkan dan kecepatannya.
Saat radiasi elektromagnet yang dibawa CME mencapai Bumi, partikel bermuatan dan medan magnet itu akan berinteraksi dengan medan magnet Bumi. Karena itu, badai Matahari juga sering disebut sebagai badai geomagnetik.
Ketika menumbuk medan magnet Bumi itu, partikel bermuatan akan diarahkan bergerak ke kutub magnet Bumi yang posisinya berada di dekat kutub geografis Bumi, tidak berimpitan.
Partikel bermuatan itu kemudian akan berbenturan dengan partikel di atmosfer Bumi hingga memicu ionisasi dan memunculkan aurora di wilayah dekat kutub Bumi, antara 60-75 derajat Lintang Utara atau Lintang Selatan Bumi.
Jika badai Matahari yang berlangsung sangat kuat, aurora bisa diamati di daerah lintang rendah, seperti yang terjadi pada tahun 1859 pada siklus Matahari ke-10. Saat itu, aurora dilaporkan teramati di Meksiko, Kuba, Hawaii (AS), hingga Jepang dan China. Peristiwa ini hanya mengganggu sistem pengiriman telegram, metode komunikasi cepat di masa itu.
Baca juga: Cuaca Rancu dan Badai Matahari
Selain aurora yang indah, lonjakan partikel bermuatan dari Matahari itu akan mengganggu teknologi buatan manusia, baik yang ada di luar angkasa maupun landas Bumi.
Badai Matahari ini bisa mengganggu sistem kerja satelit, sistem telekomunikasi, sistem navigasi, penerbangan sipil, hingga wahana antariksa berawak. Badai Matahari bisa memengaruhi komponen ataupun sinyal yang dipancarkan berbagai sistem tersebut.
Badai geomagnetik itu juga pernah menggagalkan peluncuran satelit Starlink milik SpaceX pada Februari 2022.
Sebanyak 40 dari 49 satelit yang diluncurkan gagal mencapai orbit karena besarnya aliran partikel bermuatan meningkatkan kerapatan atmosfer bagian atas. Akibatnya, satelit gagal mencapai orbit sebenarnya dan jatuh kembali ke Bumi menjadi bola api.
Badai Matahari juga bisa mengganggu jaringan listrik dan kerusakan permanen pembangkit listrik. Kondisi ini pernah memicu terbakarnya sejumlah trafo listrik dan padamnya jaringan listrik di Quebec, Kanada, pada 1989. Kondisi serupa pernah terjadi di selatan Swedia dan timur Denmark pada 2003.
Namun, bagi manusia, partikel bermuatan dalam badai geomagnetik itu tidak berdampak langsung. Medan magnet Bumi melindungi semua penghuni Bumi, termasuk manusia, dari pancaran radiasi dan partikel berenergi tinggi Matahari. Sepanjang sejarah pencatatan siklus Matahari sejak 1755, belum pernah ada manusia yang menjadi korban langsung dari badai Matahari.
Manusia telah memiliki sistem untuk melakukan mitigasi saat terjadi badai Matahari. Sejumlah lembaga antariksa telah memiliki sistem pemantauan aktivitas Matahari yang mendeteksi kapan terjadinya ledakan di Matahari atau arah ledakan dan memprediksi kapan badai magnetik akan sampai di Bumi.
Jadi, badai Matahari itu tidak disembunyikan seperti yang disangkakan dan beredar di media sosial. Informasi terjadinya ledakan di Matahari, termasuk prakiraan kapan waktunya dan dampaknya pada Bumi, bisa diakses di sejumlah situs lembaga antariksa ataupun pemantau cuaca antariksa.
Banyak negara memang memiliki sistem pemantauan cuaca antariksa, termasuk Prakiraan dan Informasi Cuaca Antariksa (Space Weather Information and Forecast Services/Swifts) yang dikembangkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) atau sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Saat terjadi ledakan Matahari, sistem ini akan memberikan peringatan kepada pengelola satelit, perusahaan peluncuran wahana antariksa, hingga pemilik wahana berawak untuk merekayasa posisi atau memindahkan sementara teknologi mereka.
Informasi juga disampaikan kepada perusahaan penerbangan, khususnya untuk pesawat yang memiliki jalur penerbangan di sekitar kutub Bumi.
Perlindungan
Sementara itu, bungker mewah yang dibangun miliarder teknologi AS sejatinya tidak dipersiapkan khusus untuk menghadapi badai Matahari yang akan datang. Bungker mewah itu umumnya dibangun untuk menghadapi ”kiamat” Bumi.
Namun, kiamat yang dimaksud bukan kehancuran total Bumi. Kiamat yang dimaksud adalah situasi katastrofe yang mengancam hidup manusia, seperti kehancuran lingkungan, kerusuhan sosial, perang nuklir, badai Matahari, wabah virus, hingga peretasan komputer jahat yang menghancurkan segalanya.
Miliarder teknologi yang disebut memiliki bungker mewah dengan segala variasinya itu, seperti ditulis Forbes, 4 September 2022, antara lain Elon Musk, pemilik SpaceX; Peter Thiel; manajer investasi global mantan eksekutif PayPal; hingga pengembang kecerdasan artifisial Sam Altman dan Ray Kurzweil. Pemilik Meta, Mark Zuckerberg, juga disebut memiliki bungker serupa.
Bungker itu akan menjadi tempat berlindung saat berbagai situasi yang menakutkan itu terjadi. Bungker mewah itu dilengkapi sistem penyimpanan dan produksi pangan mandiri, kolam renang, arena boling, pusat kebugaran, dan lapangan tembak.
Bungker juga memiliki sistem keamanan berlapis yang dijaga tentara bayaran. Mereka juga tengah mengembangkan robot yang bisa menggantikan fungsi tentara bayaran itu demi mengurangi konflik moral yang ditimbulkan.
Namun, bukan hanya miliarder atau orang-orang superkaya yang membangun bungker. Selebritas, dokter, pengacara, hingga pimpinan eksekutif perusahaan raksasa banyak yang memilikinya. Banyak orang kaya AS juga membeli bungker itu untuk menyelamatkan mereka ketika kondisi di Bumi tidak terkendali.
Lonjakan permintaan bungker itu, seperti ditulis Forbes, 27 Maret 2020, sudah terjadi setidaknya sejak 2015.
Gary Lynch dari Rising S Bunkers, perusahaan asal Texas yang spesialis membangun bungker dan layanan bawah tanah, menyebut bisnis mereka berkembang pesat pada 2020, saat dunia menghadapi pandemi Covid-19.
Bungker itu diperlukan demi menghindari interaksi dengan orang lain hingga mengantisipasi munculnya konflik sosial.
Saat itu model bungker yang paling banyak diminati berukuran 500 kaki persegi atau 152 meter persegi. Bungker yang ditawarkan memiliki rentang harga dari 40.000 dollar AS hingga 8,35 juta dollar AS atau antara Rp 625 juta-Rp 130 miliar.
”Mayoritas pembelinya adalah orang yang membutuhkan perlindungan dari sesuatu hal,” katanya.
Karena itu, bungker yang dibangun orang-orang kaya dan superkaya itu sejatinya tidak terkait langsung dengan badai Matahari yang tahun ini diprediksi akan mencapai puncak aktivitas maksimumnya.
Bungker itu dikembangkan untuk melindungi diri dari banyak hal yang menurut mereka menakutkan, bukan hanya kehancuran total Bumi atau kiamat,
Selain itu, badai Matahari yang tercatat selama hampir 300 tahun terakhir belum pernah menimbulkan dampak langsung kepada manusia. Magnetosfer dan atmosfer Bumi menjadi pelindung kehidupan di sepanjang sejarah Bumi.
Jadi, tidak perlu panik menghadapi peningkatan aktivitas Matahari. Mungkin juga tidak perlu ikut-ikutan membuat bungker karena pembangunan bungker para miliarder itu pun menimbulkan banyak kontroversi, terutama terkait moral.
Namun, kewaspadaan diperlukan, terutama untuk memitigasi teknologi manusia mengingat kehidupan manusia saat ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi listrik, internet, hingga satelit. Kekacauan sistem itu, apalagi jika berlangsung lama, memicu kekacauan sosial yang menimbulkan korban jiwa.