Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Ahmadiyah di Indonesia

Kompas.com - 25/11/2021, 12:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ahmadiyah merupakan sebuah gerakan keagamaan Islam yang lahir di India pada 23 Maret 1889.

Meski sejak awal berdiri telah memicu banyak kontroversi hingga penganutnya dicap murtad oleh sebagian kalangan, gerakan ini terus menarik banyak pengikut.

Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menyatakan bahwa Ahmadiyah menyimpang serta sesat.

Kendati demikian, pengikutnya di Indonesia juga masih bertahan dan hidup berdampingan dengan organisasi Islam yang lain.

Lantas, bagaimana sejarah Ahmadiyah di Indonesia?

Keberangkatan "tiga serangkai" ke India

Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, sejak awal mendakwahkan diri sebagai seorang pembaru, Masih Mau'ud (Isa yang dijanjikan), dan Imam Mahdi yang ditunggu oleh umat Islam pada akhir zaman.

Ia percaya bahwa tugas utamanya adalah menghidupkan agama dan menegakkan syariat Islam ke seluruh penjuru dunia.

Setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal pada 1907, Jamaah Muslim Ahmadiyah dilestarikan dengan menunjuk seorang khalifah untuk memimpin mereka.

Baca juga: Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah

Buku-buku Muslim Ahmadi pun terus menyebar dan mencapai negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada 1920-an.

Pada 1922, tiga pemuda Indonesia bernama Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan, berangkat ke India.

Mereka pergi ke India untuk melanjutkan pendidikan agama, yang kala itu mulai menjadi pusat pemikiran Islam modern.

Sesaat setelah memelajari kehidupan di sana, tiga pemuda yang sama-sama berasal dari Sumatera Barat ini mengenal Ahmadiyah dan menjadi pengikutnya.

Pada 24 November 1924, Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan, mengundang khalifah Ahmadiyah saat itu, Hadhrat Khalifatul Masih II, dalam suatu jamuan teh.

Pada kesempatan tersebut, mereka menyampaikan keinginannya agar khalifah mau singgah di Indonesia.

Nantinya, Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan dikenal sebagai pelopor awal gerakan Ahmadiyah di Indonesia.

Baca juga: Asal-usul Perpecahan Islam Sunni dan Syiah

Ahmadiyah masuk Indonesia

Sebagai respon atas undangan Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan, Hadhrat Khalifatul Masih II mengutus Maulana Rahmat Ali HAOT ke Indonesia.

Pada Oktober 1925, Maulana Rahmat tiba di Tapaktuan, Aceh. Kedatangannya ini menandai diletakkannya fondasi gerakan Ahmadiyah di Indonesia.

Maulana Rahmat sendiri menjalani tugas sebagai ulama di Indonesia hingga 1950. Setelah itu, Ahmadiyah terus menyebar ke seluruh Nusantara.

Berawal dari Aceh, gerakan ini lantas masuk ke berbagai provinsi di Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

Berdirinya gerakan Ahmadiyah Indonesia

Pada 1928, tokoh Muhammadiyah, Raden Ngabehi HM. Djojosoegito dan Wahab Chasballah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia.

Djojosoegito dan Wahab Chasballah adalah saudara sepupu Hasyim Asy Ari, pendiri NU (Nahdlatul Ulama) sekaligus kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Djojosoegito kemudian menjadi ketua pertamanya, dan terdapat nama Efran Dahlan (putra pendiri Muhammadiyah) sebagai pengurus.

Dengan demikian, sebenarnya tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, dan Ahmadiyah Indonesia berasal dari keturunan yang sama.

Dua tahun kemudian atau pada 1930, Ahmadiyah Indonesia diakui oleh pemerintah Hindia Belanda.

Baca juga: Apa Bedanya Sunni dan Syiah?

Tudingan kesesatan Ahmadiyah

Jamaah Muslim Ahmadiyah memiliki keyakinan sedikit berbeda, yang pada akhirnya menimbulkan banyak kritik dari organisasi Islam sendiri ataupun pemuka agama lain.

Penganut Ahmadiyah percaya bahwa Yesus tidak meninggal setelah disalib, tetapi sadar tiga hari kemudian dan bertemu dengan murid-muridnya.

Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah.Wikimedia Commons Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah.

Setelah itu, Yesus pergi ke Srinagar dan Kashmir untuk mengembangkan ajarannya hingga meninggal pada usia 120 tahun.

Dari wahyu yang diklaim didapat oleh Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, Nabi Isa juga tidak akan hidup lagi pada akhir zaman.

Akan tetapi, ada orang lain yang datang dengan sifat dan cara seperti Nabi Isa, yaitu Ghulam Ahmad sendiri orangnya.

Oleh Ahmadiyah aliran Lahore, Ghulam Ahmad dianggap mujadid (pembaru). Sedangkan aliran Qadiyan memosisikan pendirinya sebagai nabi.

Akibat klaim Mirza Ghulam Ahmad yang kemudian diyakini oleh para pengikutnya, tidak jarang Ahmadiyah dianggap sesat karena telah menyimpang dari ajaran Islam.

Tidak tergolong ekstrem

Klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang diyakini pengikutnya membuat hubungan Ahmadiyah dan Muhammadiyah Indonesia tidak harmonis.

Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad dianggap kafir, walaupun tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah.

Terlebih lagi, Ahmadiyah kerap menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk membenarkan kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Kendati demikian, Ahmadiyah dapat tetap hidup berdampingan secara damai dengan Muhammadiyah dan organisasi Islam lain di Indonesia.

Hal ini karena organisasi tersebut dianggap tidak berbahaya serta bukan kompetitor dalam bidang dakwah, sosial, dan pendidikan.

Kelompok ini juga tidak digolongkan ekstrem karena bersikap loyal kepada pemerintah yang berkuasa.

Dilihat dalam sejarahnya, jemaah Ahmadiyah Indonesia memang turut berperan dalam perjuangan meraih kemerdekaan dari bangsa penjajah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com