Sabtu, 4 Mei 2024

Jejak Sejarah Budaya Sulawesi Selatan: I La Galigo, Lontara, dan Legenda Demokrasi To Manurung yang Menginspirasi

- Jumat, 16 Februari 2024 | 08:36 WIB
 La Galigo, salah satu karya sastra teks Bugis kuno berbentuk epik yang ditulis di abad ke-13  (Wikimedia Commons)
La Galigo, salah satu karya sastra teks Bugis kuno berbentuk epik yang ditulis di abad ke-13 (Wikimedia Commons)

 

KABARPALU.NET- Masyarakat di Sulawesi Selatan telah berkembang menjadi peradaban yang kuat di kawasan Nusantara belahan timur. Awalnya, mereka melukis cadas dalam gua, namun seiring waktu, mereka memiliki peninggalan tulisan yang kaya seperti I La Galigo.

Selain I La Galigo, lontara menjadi kitab penting bagi masyarakat Bugis-Makassar untuk menjelaskan asal-usul mereka. Lontara mencatat kronologi peristiwa seperti pelantikan, perjalanan, kunjungan, perjanjian, pemecatan, peperangan, kelahiran, kematian, perceraian, perkawinan bangsawan, dan kejadian penting lainnya yang tak hanya menyangkut raja dan keluarga.

Menurut Apriani Kartini, lontara adalah sumber sejarah Kerajaan Gowa yang memberikan gambaran tentang proses Islamisasi dan para raja Gowa-Bone. Namun, kitab ini juga mengulas leluhur raja pertama, To Manurung

Baca Juga: Tradisi Hidup dalam La Galigo: Keseimbangan Antara Islam dan Budaya di Bugis Kuno

To Manurung, sosok yang konon turun dari langit, bukan hanya menjadi legenda di Kerajaan Gowa. Andi Suriadi Mappangara dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan menyatakan bahwa semua kerajaan di Sulawesi Selatan mengklaim To Manurung sebagai leluhur rajanya, kecuali Wajo.

Tidak hanya itu, To Manurung juga dikenal oleh masyarakat Mandar sebagai To Dipanurung yang menyatukan tujuh kerajaan pesisir. Konsep ini tidak hanya terkait dengan asal-usul kerajaan, tetapi juga dalam masyarakat adat Kajang, di mana To Manurung turun diutus oleh Tuhan di kawasan hutan Bulukumba dan memimpin masyarakat sebagai Amatoa.

Kisah To Manurung di Bantaeng menjadi salah satu yang terlengkap. Dalam legenda ini, To Manurung muncul sebagai penengah bagi tujuh kelompok masyarakat yang sering bertikai. Batu menhir dan dolmen di situs Pattalasang dan Killing dipercayai sebagai lokasi turunnya.

Meskipun kehadiran To Manurung dan lenyapnya secara misterius menimbulkan tanda tanya, beberapa ahli meyakini bahwa To Manurung adalah konsep yang dipersonifikasi. Heddy Shri Ahimsa-Putra dari UGM melihatnya sebagai gambaran hubungan timbal balik antara pemimpin dan masyarakat, menciptakan budaya demokratis di Sulawesi Selatan.

Dalam kajian mitime dan ceriteme, To Manurung dianggap sebagai konsep budaya yang memperlihatkan relasi tertentu antara pemimpin dan masyarakatnya. Falsafah politik dari Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang menggambarkan demokrasi, menunjukkan bahwa nilai-nilai demokratis sudah ada dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan sebelum pengaruh Eropa  datang. 

Baca Juga: Melintasi Budaya: Batara Guru dalam Mitologi Batak, Jawa, dan Mitologi Bugis Cikal Bakal Sawerigading

Melalui legenda To Manurung, Sulawesi Selatan mempertahankan budaya demokratis yang terjaga hingga saat ini. Pusaka-pusaka dianggap sebagai wakil nenek moyang, dan pemimpin dianggap sebagai orang yang meminjam kekuasaan dari pusaka. Konsep ini memberikan fondasi bagi falsafah Demokrasi To Manurung yang menjadi bagian integral dari budaya dan politik masyarakat Sulawesi Selatan.***

Editor: Moh Awaluddin Towantja

Sumber: nationalgeographic.grid.id

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X