Minggu, 5 Mei 2024

Gamelan, Musik Resital?

- Minggu, 27 Agustus 2023 | 09:20 WIB
ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS)
ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS)

Oleh ARIS SETIAWAN

---

Kita semua sepakat bahwa gamelan adalah musik orkestra terbesar nomor dua di dunia setelah musik klasik Barat. Gamelan juga tumbuh subur di antero benua. Dimainkan dan dinikmati oleh masyarakat internasional.

SEJAK munculnya institusi pendidikan seni semacam Institut Seni Indonesia, jurusan karawitan, upaya mengangkat harkat dan martabat musik gamelan terus digalakkan. Salah satu misalnya, dilarang menyebut gamelan (karawitan) sebagai musik pengiring seperti ”pengiring tari atau wayang”. Kata pengiring dianggap mendiskreditkan gamelan, merendahkan kedudukan gamelan, karena dalam konteks pertunjukan itu gamelan hanya berposisi sebagai ”yang mengiringi”, bukan subjek yang sepenuhnya dilihat sejajar dengan episentrum seni lain. Oleh karena itulah, mata kuliah-mata kuliah yang menggunakan kata iringan kemudian diganti, semisal ”karawitan iringan tari menjadi karawitan tari”, ”karawitan iringan wayang menjadi karawitan wayang”. Karawitan dalam terminologi yang lebih akademis senantiasa mencoba disejajarkan dengan musik Barat, memiliki kekuatan untuk tampil personal, semacam konser, mandiri. Bahkan ujian-ujian mahasiswa jurusan karawitan kini disebut sebagai ”resital”.

Memang sejak masuk dalam kurikulum pendidikan formal, karawitan mencoba dikupas (dibongkar) sampai pada hal yang paling renik. Sebutlah beberapa contohnya tentang konsep pathet (nada-nada pokok yang menjadi acuan), kedalaman hayatan (biasa disebut dengan balungan gendhing), ambitus, akustika, dan organologinya. Kerja semacam itu dilakukan untuk mendudukkan karawitan sebagai sebuah musik yang ilmiah, mampu dirumuskan dan dikonseptualisasikan, bukan semata tentang bunyi yang dimainkan dan dinikmati. Rumus-rumus itu menjadi dasar untuk diajarkan, dibakukan, menjadi semacam ”blue print” cara menyajikan gending gamelan yang indah. Peristiwa itu sama persis dengan musik Barat, yang awal kehadirannya di Indonesia dianggap sebagai acuan musik kelas tinggi karena mampu ditulis dan dirumuskan. Pemahaman yang demikian sejatinya telah berlangsung lama, diawali dari polemik kebudayaan (menjelang Indonesia merdeka) hingga hasrat menggebu Ki Hadjar Dewantara menjadikan gamelan sebagai musik nasional Indonesia.

Baca Juga: Ikonisitas Kemerdekaan dalam Film Kita

Titik kulminasinya terjadi saat Konservatori Karawitan (Kokar) berdiri di Solo pada 1950. Sekolah setingkat SMK itu menjadi palang pintu pertama agar karawitan menjadi kajian ilmiah yang dapat diurai dan dijelaskan setiap detailnya. Di bangku pendidikan itu, gamelan dipelajari sebagai seni ”musik ansih” sehingga fokus utamanya adalah praktik dan kajian bunyi. Gerakan serupa juga tumbuh dalam kategori seni yang lain, sebutlah misalnya tari, yang memfokuskan arah studinya hanya pada gerak. Hal-hal di luar bunyi dipandang bukan menjadi bagian dari karawitan. Begitu juga, hal-hal di luar gerak tidak dianggap sebagai bagian dari seni tari. Padahal, awalnya keterkaitan antara musik gamelan dan seni lain tidak dapat dipisahkan, atau dipecah-pecah secara parsial. Nama karawitan, misalnya, justru digunakan untuk menyebut ragam seni yang tak melulu gamelan, tapi tari dan juga wayang.

Iringan

Gamelan kini banyak dihadirkan secara mandiri dalam bentuk konser di panggung prosenium, selayaknya resital musik klasik Barat. Ujian-ujian mahasiswa jurusan karawitan (begitu juga penyajian lainnya) adalah mempergelarkan karya-karya (disebut gending) gamelan secara mandiri. Upaya untuk menjadi eksklusif terus dilakukan. Kendati demikian, alih-alih gamelan menjadi pertunjukan yang soliter, tapi justru tampak banal. Pada rentang sejarah gamelan di Jawa, kita terlalu sulit melacak kedudukan gamelan sebagai jenis pertunjukan mandiri. Dalam terminologi bahasa Jawa, pertunjukan gamelan secara mandiri itu disebut klenengan, tapi harus dicatat bahwa pertunjukan klenengan itu senantiasa menginduk (kata lain dari mengiringi) pada peristiwa-peristiwa budaya lain yang lebih besar. Sebutlah misalnya, ulang tahun raja, peringatan naik takhta, menyambut tamu undangan, prosesi bertemunya pengantin pria dan wanita (baca Gending Kodok Ngorek), atau membentuk suasana awal (uyon-uyon) dalam pertunjukan ludruk, wayang, dan ketoprak.

Baca Juga: Bola-Bola Grafologi

Dengan kata lain, memang tidak dijumpai pertunjukan gamelan yang meresitalkan dirinya secara soliter (mandiri) dan terbuka, terpisah dari peristiwa budaya yang mengitarinya. Oleh karena itulah, penyebutan kata ”iringan” bisa jadi sudah cukup tepat. Iringan bukan dalam kapasitas lapis kedua dari pertunjukan utama, tapi posisinya adalah memberi dan membentuk keutuhan sajian. Bayangkan apa jadinya pertunjukan tari atau wayang tanpa gamelan. Harus diakui, gerakan-gerakan mengangkat harkat dan martabat gamelan telah dilakukan dan layak untuk diteruskan, semisal posisi gamelan yang tidak boleh terlalu rendah dari panggung tari. Atau jika itu dalam acara nikahan, posisi gamelan tidak lebih rendah dari kursi duduk tamu undangan, dilarang merokok selama memainkan gamelan. Poin terakhir itu cukup krusial untuk diperhatikan, mengingat selama ini di sela-sela (lubang) instrumen gamelan menjadi semacam asbak bagi pengrawit perokok, bahkan tidak jarang kayu (rancakan) tempat diletakkannya bilah-bilah logam instrumen itu terdapat bekas terbakar sebagai akibat puntung rokok yang ditaruh sembarangan.

Daripada membuat klaim-klaim tentang definisi pertunjukan gamelan, gerakan penting yang seharusnya lebih diupayakan adalah memikirkan nasib hidup pengrawit yang sering kali tak lekas terangkat dari jurang kemiskinan. Sekolah dan institusi formal sibuk mengupayakan gamelan sebagai ”ilmu”, sementara di luar tembok kampus para pengrawit kampung berjibaku memainkan gamelan tanpa tendensi berlebih, semata agar dapur tetap mengepul dari upah yang tak lekas layak. Urusan ilmu dan definisi, lupakan dulu. Aduh!! (*)

Editor: Ilham Safutra

Tags

Artikel Terkait

Konten berikut adalah iklan platform Geozo, media kami tidak terkait dengan materi konten ini.

Terkini

Kita Semua Harus Belajar Legawa

Minggu, 5 Mei 2024 | 09:48 WIB

Hari Film dan Sejarah yang Patah-Patah

Minggu, 28 April 2024 | 11:47 WIB

Sate Madura, Sate In Vitro

Minggu, 28 April 2024 | 09:39 WIB

Lebaran Politik

Minggu, 21 April 2024 | 08:13 WIB

Emang Boleh (Se)luar Itu?

Minggu, 21 April 2024 | 08:07 WIB

Manekin Harus Lebih Realistis

Minggu, 14 April 2024 | 07:05 WIB

Ramadan dan Lebaran: ”Mudik”, Sujud, Syukur

Minggu, 14 April 2024 | 06:40 WIB

Eksil yang (Tak Pernah) Hilang

Minggu, 7 April 2024 | 13:54 WIB

Menghayati Subak

Minggu, 7 April 2024 | 13:48 WIB

Jalawastu

Minggu, 31 Maret 2024 | 13:11 WIB

Gabo Mencoba Keluar dari Bayang-Bayang Gabo

Minggu, 31 Maret 2024 | 13:05 WIB

Puasa: Surat dan Puisi

Minggu, 24 Maret 2024 | 04:00 WIB

Sejarah, Cerita, dan Fiksi

Minggu, 17 Maret 2024 | 14:54 WIB

Puasa Kuasa

Minggu, 17 Maret 2024 | 14:49 WIB

Melintas Zaman Bersama Jenang

Minggu, 10 Maret 2024 | 15:06 WIB

Keping-Keping Kenikmatan

Minggu, 10 Maret 2024 | 14:59 WIB

Generasi Z

Minggu, 3 Maret 2024 | 09:00 WIB

Oscar sesudah Gaza

Minggu, 3 Maret 2024 | 08:53 WIB

Ratu Adil dan Rahasia Dapur Dewata Cengkar

Minggu, 25 Februari 2024 | 07:50 WIB