Sabtu, 4 Mei 2024

Lumpur Lapindo Berpotensi Jadi Bahan Baku Komponen Mobil Listrik

- Senin, 24 Januari 2022 | 09:55 WIB
POTENSI HARTA KARUN: Seorang pengunjung memfoto lautan lumpur. Lumpur panas di Porong Sidoarjo, hingga kemarin masih menyembur. Setiap hari rata-rata mengeluarkan lumpur sebanyak 40 ribu meter kubik. (DIMAS MAULANA/JAWA POS)
POTENSI HARTA KARUN: Seorang pengunjung memfoto lautan lumpur. Lumpur panas di Porong Sidoarjo, hingga kemarin masih menyembur. Setiap hari rata-rata mengeluarkan lumpur sebanyak 40 ribu meter kubik. (DIMAS MAULANA/JAWA POS)

JawaPos.com – Semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, belum berhenti meski telah berlangsung selama 16 tahun. Namun, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menemukan fakta baru.

Berdasar hasil penelitian, lumpur yang menyembur akibat eksplorasi migas oleh PT Lapindo Brantas itu memiliki kandungan rare earth atau logam tanah jarang (LTJ). Jika komposisinya tepat, LTJ bisa dimanfaatkan untuk industri komputer, telekomunikasi, bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik, bahkan nuklir.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono menjelaskan, pihaknya telah melakukan penelitian sejak 2020. Dari penelitian mendalam yang dilakukan Pusat Sumber Daya Mineral Batu Bara dan Panas Bumi, ditemukan bahwa lumpur yang menyembur akibat kesalahan eksplorasi migas oleh Lapindo Brantas itu tak hanya memiliki logam tanah jarang, tapi juga punya potensi critical raw material yang lebih besar.

”Secara umum di daerah ini di Sidoarjo memang ada indikasi terkait dengan keberadaan logam tanah jarang ya. Selain itu, ada logam lain, ada critical raw material yang jumlahnya justru lebih besar,” ujarnya.

Eko menyebutkan, pihaknya akan melanjutkan pendalaman terkait temuan tersebut. Dia berharap penelitian terkait seberapa besar potensi LTJ yang ada di lumpur Lapindo itu bisa rampung pada tahun ini.

”Hasilnya masih dalam proses. Ini kan baru selesai akhir 2021 lalu. Saat ini sedang diintegrasikan, mudah-mudahan bisa tahu seberapa besar potensi logam tanah jarang di Sidoarjo,” jelasnya.

Sama seperti namanya, LTJ adalah jenis logam yang sangat langka. Tak heran, harganya pun bisa berkali-kali lipat dibandingkan harga batu bara. Sebaran rare earth tidak merata. Di dunia, hanya sedikit wilayah yang memiliki logam tanah jarang di lokasi yang berkelompok.

Perkembangan teknologi pengolahan material yang pesat membuat unsur logam tanah jarang menjadi banyak dibutuhkan. Terutama untuk industri teknologi tinggi seperti industri komputer, telekomunikasi, bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik, nuklir, maupun terkait ruang angkasa.

Selain di Sidoarjo, beberapa wilayah di Indonesia menyimpan potensi LTJ. Hasil survei Badan Geologi Kementerian ESDM 2009–2020, saat ini ada wilayah di Tapanuli, Sumatera Utara, yang memiliki LTJ sekitar 20.000 ton. Di Bangka Belitung, ada sekitar 186.000 ton mineral monasit yang mengandung LTJ. Monasit itu dijumpai bersama endapan timah.

Eko melanjutkan, setiap tahun lembaganya menerbitkan buku Sumber Daya dan Cadangan Mineral Batu Bara dan Panas Bumi. Kajian mengenai LTJ dan logam lainnya akan masuk dalam buku tersebut. ”Mudah-mudahan kami selesaikan bulan ini sehingga buku itu bisa segera diterbitkan. Sehingga masyarakat bisa tahu sebenarnya berapa potensi-potensi yang ada di daerah-daerah yang disebutkan, baik di Sidoarjo maupun Tapanuli,” jelas Eko.

Peneliti Organisasi Riset Tenaga Nuklir (OR-TN) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Heri Syaeful menuturkan, kegunaan LTJ cukup banyak. Antara lain, menjadi bahan pembuatan semikonduktor dan bahan-bahan lain dalam teknologi pertahanan.

Syaeful menceritakan, selama ini Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang sekarang dilebur ke BRIN juga meneliti LTJ. Khususnya LTJ dari hasil pencucian timah. Dia menegaskan, LTJ di dalam industri timah sudah jelas ada dan potensinya besar. ”Belum dijadikan apa-apa. Masih jadi bahan penelitian,” katanya. Khususnya penelitian tentang teknologi pemisahan LTJ dengan mineral lainnya.

Syaeful mengatakan, OR-TN BRIN terlibat dalam penelitian karena LTJ mengandung radioaktif meski kadarnya sangat rendah dan aman. Berbeda dengan kandungan radioaktif di dalam uranium yang selama ini dijadikan bahan bakar energi nuklir.

Dia mengakui, potensi LTJ di Indonesia sangat besar. Tetapi, tidak sebanyak di Tiongkok dan Amerika Serikat. Menariknya, LTJ di Indonesia memiliki kandungan radioaktif meskipun tidak terlalu besar.

Syaeful mengatakan, tidak semua lokasi ditemukan LTJ menarik untuk menjadi objek penelitian. Salah satu pertimbangannya adalah seberapa kaya kandungan LTJ di kawasan tersebut. ”Kalau mencapai 2.000 ppm (part per million/bagian per miliar) sampai 5.000 ppm, baru menarik untuk diteliti,” katanya.

Dari sejumlah literatur yang dia baca, kandungan LTJ di lumpur Lapindo hanya ratusan ppm. Tepatnya sekitar 660 ppm. Menurut Syaeful, kandungan LTJ itu sangat kecil sehingga kurang menarik untuk jadi objek penelitian. ”Tetapi, mungkin lebih mudah prosesnya karena tidak bercampur dengan logam,” tuturnya.

Untuk LTJ di lumpur Lapindo, pemisahannya tentu lebih mudah dibandingkankan dengan LTJ yang ada di sebuah mineral atau logam. Sebab, LTJ di mineral atau logam harus dipecah terlebih dahulu.

Penelitian soal LTJ di Indonesia sudah cukup panjang, yaitu sejak periode 1990-an. Kemudian, pada 2016 dibentuk konsorsium LTJ di Indonesia. Anggotanya adalah para ahli di bidangnya. Salah satu lokasi LTJ yang diteliti ada di daerah granit Tanjung Pandan, Belitung. Kemudian di Kabupaten Humbang dan Kabupaten Tapanuli Utara. Di dua kabupaten itu, kandungan LTJ sampai 20 ppm. Daerah lainnya adalah Kabupaten Lingga dengan temuan tertinggi kandungan LTJ mencapai 5.807 ppm.

Editor: Ilham Safutra

Tags

Konten berikut adalah iklan platform Geozo, media kami tidak terkait dengan materi konten ini.

Terkini

Kebijakan Subsidi Gas Murah Perlu Kehati-Hatian

Senin, 22 April 2024 | 19:39 WIB