Misteri Banteng dan Prabu Siliwangi di Leuweung Sancang Garut

Misteri Banteng dan Prabu Siliwangi di Leuweung Sancang Garut

Hakim Ghani - detikJabar
Minggu, 18 Sep 2022 07:00 WIB
Kawasan Leuweung Sancang di Garut.
Kawasan Leuweung Sancang di Garut. (Foto: Hakim Ghani/detikJabar)
Garut -

Kabupaten Garut terkenal dengan keindahan alamnya yang memesona. Jauh di pedalaman Garut selatan, terdapat beragam keindahan dan misteri yang tersimpan rapi di Leuweung Sancang.

Secara harfiah, kata leuweung dalam bahasa Sunda berarti hutan. Jadi, bisa disimpulkan jika Leuweung Sancang juga berarti Hutan Sancang. Dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, ksdae.menlhk.go.id/, hutan ini memiliki luas 2.157 hektare.

Alamnya, terdiri dari hutan dataran rendah, hutan mangrove, dan hutan pantai. Cuaca di tempat yang berada 0-3 meter di atas permukaan laut tersebut, berkisar antara 17 sampai 28 derajat celcius. Pengelolaannya, saat ini berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara administratif, lokasi Leuweung Sancang berada di Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. Lokasinya berada cukup jauh dari pusat perkotaan Garut. Dari titik nol kilometer Garut, yang berada di Kecamatan Garut Kota, lokasi Leuweung Sancang berjarak 111 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar empat jam, menggunakan kendaraan bermotor.

Ada sekitar 19 daerah yang termasuk ke dalam daerah CA Sancang, yakni Cidahon, Cimerak, Cijeruk, Cibaluk, Cipangikis, Cetut, Cikabodasan, Cikalongberan, Cipalawah, Cipayawungan, Cipunaga, Cicungkangjambe, Cibako, Ciporeang, Cipangikisan, Karang Gajah, Cipadaruum, Cipanglembuan, dan Panglima. Namun, pada umumnya, Leuweung Sancang terbagi ke dalam dua daerah.

ADVERTISEMENT

Ini hutan, bukan sembarang hutan. Melainkan hutan yang penuh dengan keindahan dan potensi sumber daya alamnya yang menakjubkan. Dengan segala potensinya, Leuweung Sancang ditetapkan sebagai kawasan konservasi oleh pemerintah, pada tahun 1959. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian, Nomor 116/Um/59/.

Sedangkan status cagar alamnya, diberikan pada tahun 1978, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian, Nomor 370/Kpts/Um/6/1978 yang bertanggal 9 Juli 1978.

Tak berlebihan rasanya, jika pemerintah melakukan langkah tersebut. Sebab, Sancang dikenal memiliki keindahan dan keberagaman flora dan fauna, yang sebagian besar masih terjaga saat ini.

Sebuah jurnal yang dibuat Rosyadi pada 2013, berjudul Legenda-legenda Keramat di Kawasan Sancang Kabupaten Garut, yang dilansir ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id, terdapat beragam flora dan fauna di sana.

Fauna meliputi merak, sapi liar, owa jawa, kijang, ajag dan macan. Tapi, yang paling terkenal adalah banteng liar Sancang. Banteng di Sancang tercatat memiliki populasi sekitar 96 ekor di tahun 1994. Namun, saat ini, banteng Sancang dipastikan punah.

Sedangkan flora meliputi pohon palahlar, werejit, hingga spesies baru pohon meranti, yang ditemukan seorang ahli botani, Kostermans, pada tahun 1983 yang kemudian diberi nama Anisoptera costata.

"Pohon itu berukuran diameter 1,5 meter dan tinggi 45 meter. Ditemukannya di blok Cihanjuang, pada pal batu 130A. Di antara Sungai Cikalomeran di sebelah timur, dan Sungai Cipamingkis di sebelah barat," kata Rosyadi.

Kawasan Leuweung Sancang di Garut.Kawasan Leuweung Sancang di Garut. Foto: Hakim Ghani/detikJabar

Di antara tumbuhan-tumbuhan yang menawan itu, ada satu yang menjadi ikon, yaitu pohon kaboa. Pohon dengan nama latin Dipterocarpus gracilis tumbuh subur di Leuweung Sancang. Pohon ini memiliki akar yang kuat, mirip dengan mangrove.

Kaboa ditemukan di bibir pantai di sepanjang kawasan CA Sancang. Biasanya berada persis di bibir pantai, sedikit tergenang air. Berbeda dengan pohon lainnya, Kaboa memiliki cerita tersendiri.

Pohon ini, seakan menjadi simbol dan legenda bagi masyarakat Sancang. Bukan tanpa alasan, pohon ini, dipercayai sebagai bahan tongkat terakhir, yang ditancapkan oleh Prabu Siliwangi saat berubah wujud menjadi macan putih, kemudian menghilang atau tilem di Leuweung Sancang.

Bahkan, menurut Rosyadi, kaboa menjadi kata-kata terakhir yang ditulis Prabu Siliwangi di sebuah pohon kayu, pada momen saat dia dan pasukannya berubah rupa menjadi macan dan menghilang usai dikejar anaknya, Prabu Kian Santang.

"Bunyi kalimat itu, adalah kaboa panggih, kaboa moal, tapak lacak kaula ku anak incu," katanya.

Mitos tentang Prabu Siliwangi dan Leuweung Sancang sendiri sangat dipercayai oleh masyarakat setempat. Legenda yang beredar di masyarakat, adalah Prabu Siliwangi berubah wujud menjadi macan putih bersama para pengikutnya.

Dikisahkan, pada zaman dahulu, saat Prabu Siliwangi memimpin Kerajaan Padjajaran di sekitaran Bogor sekarang, dia bergegas menuju ke kawasan Sancang. Hal tersebut, dilakukan Prabu Siliwangi, untuk menghindari anaknya, Prabu Kian Santang yang berupaya untuk mengubah keyakinannya menjadi Islam.

Sedangkan, Prabu Siliwangi diketahui memegang teguh kepercayaan dari para leluhurnya, dan enggan membelot seperti yang dilakukan Kian Santang. Tujuan Prabu Siliwangi bergegas ke kawasan Sancang saat itu adalah untuk menghindari pertumpahan darah dengan sang anak yang keukeuh mengislamkannya.

Namun, pelarian Prabu Siliwangi terendus Prabu Kian Santang yang kemudian terus membuntuti. Sancang adalah tempat terakhirnya terlihat. Di Leuweung Sancang, Prabu Siliwangi kemudian dikisahkan berubah rupa menjadi macan putih atau yang biasa disebut warga Garut maung bodas atau maung Sancang.

"Memang benar, legenda yang paling dipercayai masyarakat adalah itu Prabu Siliwangi tilem (menghilang) di Leuweung Sancang saat dikejar anaknya Prabu Kian Santang," ujar Sejarawan Garut, Warjita saat berbincang dengan detikJabar mengenai sejarah Sancang belum lama ini.

Hal tersebut yang diyakini masyarakat Garut, membuat nama Sancang terdengar sangat mengerikan hingga saat ini. Di tengah eksotisme hutan dan lautan yang sangat asri di Leuweung Sancang, selalu tersimpan banyak misteri yang meliputinya.

(orb/orb)