24 Tahun Reformasi, Apakah Dikhianati?

CNN Indonesia
Sabtu, 21 Mei 2022 14:46 WIB
Sejumlah aktivis menilai amanat Reformasi malah mundur hingga saat ini. Mantan aktivis bahkan masuk ke dalam lingkaran elite kekuasaan dan tak berbuat apa-apa.
Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat DPR RI, Jakarta, Kamis (22/4/2022). (CNN Indonesia/Adi Maulana Ibrahim)
Jakarta, CNN Indonesia --

Dua puluh empat tahun lalu, 21 Mei 1998 pagi, Soeharto mendatangi Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat. Di istana itu--dengan secarik kertas dalam genggamannya-- Soeharto berjalan ke depan mik dengan mata para wartawan dan lensa kamera menyorotinya.

Didampingi Wakil Presiden BJ Habibie, Soeharto membacakan pidato pengunduran diri sebagai presiden. The Smiling General mengakhiri rezim Orde Baru yang berusia 32 tahun.

Setelah pidato yang mengakhiri 32 tahun cengkeraman Orde Baru itu, para elemen mahasiswa dan lainnya--belakangan dikenal dengan julukan aktivis '98--bersorak gembira. Ribuan orang menduduki kompleks parlemen, Jakarta Pusat, merayakan runtuhnya rezim Orde Baru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Reformasi pun dimulai. Enam tuntutan reformasi diutarakan: adili Soeharto dan kroninya; hapus dwifungsi ABRI; hapus korupsi, kolusi, dan nepotisme; otonomi daerah seluas-luasnya; amendemen UUD 1945; tegakkan supremasi hukum.

Sejak pintu reformasi dibuka, Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi konstitusi Indonesia telah diamendemen. Sejauh ini, sudah empat kali perubahan dilakukan.

ADVERTISEMENT

Beberapa fokus amendemen adalah jaminan hak asasi manusia, pembatasan masa jabatan presiden, dan pembagian kekuasaan antarlembaga negara.

Dwifungsi ABRI dihapuskan, diikuti dengan pemisahan TNI dan Polri. Angkatan bersenjata pun tak boleh duduk di jabatan sipil, dan tak lagi punya fraksi khusus di parlemen.

Pemberantasan KKN diupayakan dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara itu, demokrasi dijalankan dengan gelaran pemilu langsung lima tahun sekali dan seorang warga negara dibatasi jadi presiden selama dua periode.

Namun, setelah puluhan tahun berjalan, cita-cita reformasi mulai kembali dipertanyakan. Apalagi, ada banyak aktivis '98 yang kini berada di jajaran elite, dari mulai di tingkat eksekutif hingga legislatif.

Massa mahasiswa, pelajar, buruh, dan organisasi kemasyarakatan menggelar unjuk rasa di gedung DPR, Jakarta, Senin (30/9). CNN Indonesia/Andry NovelinoMassa mahasiswa, pelajar, buruh, dan organisasi kemasyarakatan menggelar unjuk rasa di gedung DPR, Jakarta, Senin (30/9/2019). (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Hal-hal yang mestinya jadi lebih baik tak kunjung terlihat. Di bidang hukum, misalnya, KPK sebagai anak kandung reformasi justru dilemahkan melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Tak pelak muncul gerakan tagar #ReformasiDikorupsi.

Tagar #ReformasiDikorupsi menggema di sejumlah daerah pada 2019, diikuti gelombang besar demonstrasi mahasiswa, buruh, petani, rakyat miskin kota, dan aktivis menolak revisi UU KPK.

Setidaknya lima orang pelajar dan mahasiswa tewas dalam aksi-aksi tersebut. Namun, pemerintah dan DPR tetap mengesahkan revisi UU KPK.

Otonomi daerah juga disebut mulai tergerus saat pemerintah dan DPR mengesahkan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Resentralisasi kekuasaan, terutama perizinan, dilakukan demi menarik investasi.

Selain itu, beberapa aktivis yang vokal mengkritik kebijakan pemerintah justru harus berhadapan dengan hukum. Misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) yang diseret ke polisi karena membahas dugaan KKN Kepala Staf Moeldoko dalam pengadaan obat Ivermectin.

Aktivis Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dilaporkan ke polisi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut tak terima disebut bermain bisnis tambang di tengah konflik Papua.

Kekinian, wacana amendemen UUD 1945 sempat menguat. Wacana itu sempat menguat pula berbarengan dengan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Sekelumit catatan di atas menimbulkan kekecewaan, juga di kalangan aktivis '98. Ubedilah Badrun merasa kondisi saat ini sangat tak sesuai dengan apa yang ia perjuangkan pada akhir Orde Baru.

Pria yang kini berkarier sebagai akademisi itu juga mengaku kecewa dengan rekan-rekan sejawatnya yang duduk di elite pemerintahan dan parlemen.

Ubedilah merasa aktivis '98 yang punya jabatan saat ini di jajaran legislatif hingga eksekutif justru terkesan ikut membuat reformasi jalan di tempat--jika tak mau disebut mundur.

"Hari ini sesungguhnya reformasi telah dikhianati. Oleh siapa? Oleh elite politik dan oleh mereka yang mengklaim sebagai aktivis '98 yang ada di barisan kekuasaan yang tidak mampu membenahi keadaan," kata Ubedilah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (17/5).

Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu menyoroti sejumlah hal yang ia anggap menunjukkan kemunduran reformasi. Misalnya, mandeknya pemberantasan korupsi.

Ubedilah mengulas balik saat pemerintah dan DPR begitu semangat merevisi UU KPK. Hasil revisi undang-undang itu, tudingnya, sebagai awal mula melemahnya KPK dan pemberantasan korupsi.

Ia mengutip catatan Transparency International tentang indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia. IPK Indonesia hanya beredar di angka 19-40 dalam skala 1-100. Catatan itu sempat anjlok pada 2020 ke angka 37.

Ironisnya, kata Ubedilah, revisi UU KPK terjadi saat para aktivis '98 duduk di posisi-posisi strategis di parlemen. Oleh karena itu, dia mempertanyakan keberpihakan rekan-rekannya itu dalam pemberantasan korupsi.

"Waktu revisi UU KPK kan semuanya diam. Waktu UU Omnibus Law semua diam. Jadi, itu fakta yang membuktikan bahwa saya kecewa dengan mereka (mantan aktivis 98) itu," ujarnya.

"Bahkan, yang mengetuk palu revisi UU KPK itu namanya Fahri Hamzah yang mengklaim sebagai aktivis '98 dari sayap kanan, dia kan KAMMI. ... yang lainnya, Adian, Masinton, diam," imbuh Ubedilah.

CNNIndonesia.com meminta tanggapan Adian Napitupulu dan Masinton Pasaribu mengenai tudingan tersebut. Namun, keduanya tak merespons pertanyaan yang dilayangkan hingga berita ini tayang. Sementara itu, Fahri Hamzah--yang merupakan Wakil Ketua DPR di periode 2014-2019--membantah pernyataan Ubedilah.

"KPK kan [masih] ada. Sama saja [kekuatannya]," ucap Fahri melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/5).

Baca halaman selanjutnya, apakah reformasi mundur?

Semangat Menuntaskan Misi Reformasi Setelah 24 Tahun

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
REKOMENDASI UNTUK ANDA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER