Supersemar, Sejarah Gelap Peralihan Kekuasaan Sukarno ke Soeharto

CNN Indonesia
Jumat, 11 Mar 2022 14:08 WIB
Hari ini genap 56 tahun Soeharto menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Riwayatnya diliputi dugaan pemalsuan sejarah.
Presiden Sukarno bersama Jenderal Soeharto 24 Agustus 1966. (AFP PHOTO/PANASIA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Hari ini genap 56 tahun sejak Soeharto menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966 silam. Riwayat Supersemar diliputi dugaan pemalsuan sejarah yang diyakini menjadi awal peralihan kekuasaan Sukarno ke Soeharto.

Supersemar diklaim sebagai surat mandat dari Presiden Sukarno kepada Soeharto untuk mengambil tindakan yang dirasa perlu dalam mengatasi keamanan dan stabilitas pemerintahan ketika itu.

Penerbitan Supersemar tidak lepas dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang diduga melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Begitu Supersemar terbit, penangkapan dan pembantaian terhadap kader serta simpatisan PKI terjadi di berbagai daerah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada medio 1965, PKI menghadapi perselisihan dengan TNI AD. Perselisihan itu disebabkan oleh persoalan kepemimpinan selanjutnya ketika Sukarno dikabarkan sakit.

Sebelum tahun itu, PKI dan TNI AD sudah berselisih paham mengenai pembentukan Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh tani yang dipersenjatai. TNI AD tak setuju dengan keputusan tersebut.

ADVERTISEMENT

Kemudian, muncul pula isu Dewan Jenderal bentukan petinggi TNI AD yang ingin merebut kursi presiden dari Sukarno pada 1965. Letjen Ahmad Yani selaku Menteri Panglima Angkatan Darat kala itu pun ikut terseret isu yang tak diketahui kebenarannya.

Pada malam 30 September atau 1 Oktober 1965 dini hari, sejumlah perwira tinggi TNI AD dibunuh dan diculik di Jakarta. Operasi itu dipimpin oleh anggota Resimen Cakrabirawa pasukan pengawal presiden yang setia pada Sukarno, yakni Letkol Untung.

Petinggi TNI AD yang diculik dan dibunuh di antaranya yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo.

Ada pula beberapa orang lainnya yang juga turut menjadi korban, yakni Bripka Karel S. Tubun dan Ade Irma Suryani Nasution yang merupakan putri Jenderal A.H. Nasution. Selain itu, Kolonel Katamso Darmokusumo serta Letkol Sugiyono Mangunwiyoto juga menjadi korban operasi di Yogyakarta.

Pasukan yang dipimpin Letkol Untung sempat menguasai Radio Republik Indonesia dan menyiarkan berita bahwa Dewan Revolusi, yang merupakan kelompok perwira menengah AD, telah terbentuk untuk meringkus Dewan Jenderal.

Namun, di hari yang sama yakni 1 Oktober 1965, pasukan TNI sudah menguasai kembali Jakarta. PKI dituding menjadi dalang dari Gerakan 30 September tersebut.

Peristiwa itu pun memicu protes dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dan tentara. Selain itu, krisis ekonomi kala itu juga menghantam Indonesia dengan sejumlah kekacauan di mana-mana.

Atas peristiwa tersebut, memasuki tahun 1966, golongan mahasiswa menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Tiga tuntutan itu antara lain meminta pembubaran PKI yang dituding menjadi penyebab G30S, perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga.

Sidang kabinet 100 menteri pada 11 Maret 1966 pun menjadi rapat terakhir yang dipimpin Sukarno. Tak lama setelah sidang dilakukan, Sukarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Leimana.

Ajudan Sukarno, Kol Pol Sumirat mendapat nota dari Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur yang meminta presiden segera mengamankan diri. Bung Karno kemudian bertolak mengamankan diri ke Istana Bogor menggunakan helikopter.

Sehari sebelumnya, pada 10 Maret, Soeharto mengadakan pertemuan dengan Pangdam Jaya Amir Mahmud, Menteri Veteran Brigjen Basuki Rahmat, dan Menteri Perindustrian M. Jusuf.

Soeharto menyatakan bahwa ia siap menerima mandat penuh dari Sukarno untuk mengatasi krisis negara, termasuk dalam hal ini masalah keamanan dan politik. Ketiga Jenderal itu menyetujui Soeharto.

Beberapa saat setelah sidang 100 kabinet ditutup, Amir Mahmud, Basuki Rahmat, dan M. Jusuf menemui Soeharto di rumahnya. Soeharto kemudian menitipkan pesan untuk Sukarno yang tengah mengungsi di Istana Bogor.

Mereka kemudian mendatangi Sukarno dan menyampaikan pesan Soeharto. Saat itulah Sukarno disodorkan Supersemar dan diminta untuk menandatangani.

Sukarno Ditodong Pistol agar Tandatangani Supersemar

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
REKOMENDASI UNTUK ANDA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER