Jakarta, CNN Indonesia -- Dari pentas teater hingga drama musikal, sejumlah seni pertunjukan di Indonesia, khususnya Jakarta memberi warna sepanjang 2016. Ada yang mengesankan dari tata panggung yang spektakuler, komposisi musik, desain kostum, hingga alur cerita yang menggelitik.
Grup Teater Mandiri, Koma, Garasi dan Populer masih menghadirkan pementasan yang apik dan sayang untuk dilewatkan. Begitu juga dengan pementasan kolaborasi Jepang-Indonesia, lewat kisah populer Mahabharata, dan lainnya.
Berikut sepuluh seni pertunjukan yang memberi kesan dan warna di sepanjang 2016:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zera Teater Mandiri14-15 April 2016, Bentara Budaya Jakarta
Disutradarai Putu Wijaya, grup Teater Mandiri mengusung pementasan komedi berdurasi satu setengah jam, tentang krisis dalam sebuah keluarga. Konflik makin tajam ketika terjadi saling salah paham, komunikasi yang tak tepat, dan prasangka tidak baik.
Pentas ini mengisahkan tokoh Pak Roko (Bambang Ismantoro), seorang pengusaha kaya yang berambisi menjadi pejabat. Ia beradu emosi dengan istri, putri kandung, dan putra tirinya. Kondisi emosi yang memuncak tanpa disadari menjadi berubah saat hadirnya seekor anak kucing Persia bernama Zera. Kucing dengan perawatan mahal ini mengembalikan keharmonisan keluarga Pak Roko.
Doea Tanda Tjinta Pentas Indonesia Kita29-30 Juli 2016, Graha Bhakti Budaya, TIM
Pentas Indonesia Kita ke-20 mengambil gaya musikal keroncong dan menampilkan lagu-lagu keroncong yang diaransemen dengan gaya terbaru. Pentas kolaborasi seniman, antara lain Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan Djaduk Ferianto ini memperkaya musikal keroncong dengan unsur-unsur perpaduan genre musik lainnya, seperti blues, rock sampai musik etnik.
Lakon Doea Tanda Tjinta menggiring kisah berlatar pergerakan kemerdekaan, ketika gagasan tentang Indonesia merdeka menjadi ancaman bagi pemerintahan Hindia Belanda. Pentas ini didukung oleh Endah Laras, Heny Janawati, Olga Lydia, Merlyn Sopjan, Subardjo HS, Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Susilo Nugroho, Trio GAM (Gareng, Joned, Wisben) dengan arahan artistik ditangani Ong Hari Wahyu dan Retno Ratih Damayanti.
Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi Teater Garasi/Garasi Performance Institute30-31 Juli, Goethe Institut Jakarta
Pertunjukan yang diusung Teater Garasi ini bertolak dari pembacaan dan refleksi atas ihwal 'tatanan' dan 'berantakan'. Disutradarai Yudi Ahmad Tajudin, pentas ini merupakan pengembangan dari proyek seni kolektif Teater Garasi yang dilakukan sejak 2008, di antaranya menghasilkan pertunjukan Je.ja.l.an dan Tubuh Ketiga.
Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi pertama kali dipentaskan di Yogyakarta pada Juni 2015, dengan meminjam judul pertunjukan yang dipinjam dari puisi Sapardi Djoko Damono, Yang Fana adalah Waktu (1978). Pentas ini berkisah tentang Rosnah, mantan buruh migran, yang ingin menjadi ‘artis’ agar bisa bertahan di Jakarta. Ia mencari jeda di antara kesibukan survival di Jakarta agar bisa menari.
Pementasan teater Bunga Penutup Abad yang diadaptasi dari novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (24/8). Pementasan teater itu sebagai bentuk persembahan untuk mengenang 10 tahun meninggalnya Pramoedya Ananta Toer yang akan berlangsung pada 25-27 Agustus 2016. (Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A) |
Bunga Penutup Abad Yayasan Titibangsa dan Djarum Bhakti Budaya25-27 Agustus 2016, Gedung Kesenian Jakarta
Bunga Penutup Abad disutradarai Wawan Sofwan dengan menggabungkan
Bumi Manusia dan
Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Pentas ini menggunakan alur maju mundur, dari pertemuan tokoh Minke dengan Annelies sampai aturan semena-mena Belanda yang memisahkan mereka.
Selain Reza Rahadian dan Chelsea Islan, Happy Salma tampil menonjol sebagai Sanikem yang ketakutan dan kebingung saat dijual ayahnya senilai 25 gulden ke seorang Tuan Belanda, sampai Nyai yang terpelajar.
Pementasan teater Bunga Penutup Abad yang diadaptasi dari novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (24/8). Pementasan teater itu sebagai bentuk persembahan untuk mengenang 10 tahun meninggalnya Pramoedya Ananta Toer yang akan berlangsung pada 25-27 Agustus 2016. (Foto/CNNIndonesia/AdhiWicaksono) |
Mahabharata, Perang Kurusetra Hiroshi Koike Project28 Agustus, Graha Bhakti Budaya, TIM Jakarta
Kesan eksperimen sangat berasa dalam pementasan yang diusung Hiroshi lewat proyek ambisiusnya yang ia beri tajuk Hiroshi Koike Bridge Project (HKBP). Hiroshi membayangkan bahwa seni budaya dapat melintasi batas waktu dan negara, juga menjadi karya universal yang dapat dinikmati walau kemudian saling bercampur satu sama lain.
Beranjak dari pemikiran itu juga kemudian ia melibatkan sembilan pemain yang berasal dari latar belakang berbeda, dari empat negara, yakni Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Filipina. Masing-masing menyampaikan dialognya lewat bahasa masing-masing. Para pemain tersebut yakni Gunawan Maryanto, Suryo Purnomo, Riyo Tulus Pernando, Sandhidea Cahyo Narpati, dan Wangi Indriya dari Indonesia. Empat lainnya yakni Carlon Matobato dari Filipina, Koyano Tetsuro dan Shirai Sachiko dari Jepang, dan Lee Swee Keong dari Malaysia.
Nyanyian para pekerja seks komersil dan waria yang ingin hidup layak di kota besar. Nasib baik jarang memihak mereka. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki) |
Opera KecoaTeater Koma10-20 November, Graha Bhakti Budaya, TIM
Berlangsung selama tiga jam, pementasan ‘Opera Kecoa’ yang diusung Teater Koma mengaduk-aduk emosi, dan menghadirkan kisah yang dekat dengan keseharian. Sutradara Nano Rintiarno kembali menampilkan potret orang-orang yang tinggal di pinggiran Jakarta, yang berusaha bertahan hidup dan kadang harus tersingkirkan.
Pementasan dibagi dalam dua babak, yang pertama berlangsung selama dua jam 10 menit, dan dilanjutkan di babak ke-dua selama 45 menit. Pembagian babakan ini disengaja untuk membangun konflik dan emosi penonton hingga titik klimaks. Pementasan ke-146 bagi Teater Koma ini sebenarnya bukanlah lakon yang baru. Melainkan kisah yang pernah dipentaskan pada 1985, atau tiga dekade lalu. Menariknya, kisah tersebut masih berasa relevan dengan apa yang terjadi hari ini, tentang mereka yang tinggal di pinggiran, dan lalu tersingkirkan.
Pertunjukan variety show EKI Update V2.0 di Gedung Kesenian Jakarta yang hendak dilangsungkan malam ini Jumat (18/11). (Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
EKI Update V2.0Eki Dance Company18 November, Gedung Kesenian Jakarta
Pementasan ini dibuka dengan iringan piano, lagu Nobody ciptaan Bert Williams dan Alex Rogers. Tak lama setelahnya, lagu yang dinyanyikan Ara Ajisiwi itu menampilkan tujuh penari dari arahan koreografer dari Rusdy Rukmarata. Di penghujung lagu, sang penyanyi naik ke atas piano dan menutup penampilan lewat tarian kecil.
Seni pertunjukan yang diusung Eki Dance Company yang dikomandoi Aiko Senorenoto itu terangkum dalam kemasan variety show yang secara garis besar berisikan tari, talkshow, show choir, electronic dance music dan mini musikal. Pentas ini merupakan kelanjutan dari EKI Update 1.0 yang diadakan pada 12-13 Mei 2016 lalu. Bila sebelumnya mengusung tema #EtnikKekinian, EKI Update v 2.0 kini mengambil tema #InArtWeUnite.
TTT: To the Tit Pembukaan Festival Teater Jakarta21 November, plaza Teater Kecil, TIM
Di bawah langit Jakarta yang tengah diguyur hujan, para pemeran tetap bersikukuh memberikan aksi terbaiknya, meski ada beberapa momen yang membuat penonton buyar karena air hujan. To the Tit, seperti kata sutradara Yustiansyah Lesmana adalah perjalanan menuju evakuasi.
Dalam pementasan yang juga menjadi pentas pembuka gelaran Festival Teater Jakarta 2016 itu, Yustiansyah bekerja sama dengan sejumlah seniman, di antaranya Jonas Sestakresna & Rumah Kreatif Jati Tujuh yang berfokus pada instalasi, After Party Experiment (APE) dan VJ Macula untuk multimedia atau video mapping, Ensemble Tikoro untuk guttural vocal ensemble, dan Taufik Darwis sebagai dramaturgi.
Pentas Musikal Khatulistiwa mengangkat kisah kepahlawanan dengan kombinasi cerita, gerak dan musik. (Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Musikal Khatulistiwa Josodirjo Foundation dan ZigZag Indonesia18-20 November 2016, Teater Jakarta, TIM
Tiara Josodirjo selaku inisiator drama musikal Khatulistiwa mengangkat cerita kepahlawanan Indonesia dalam balutan drama musikal berdurasi 3,5 jam. Penonton diajak menyusuri waktu ke belakang, dimulai masa kedatangan VOC hingga era kemerdekaan yang diangkat dari sudut pandang berbeda. Selain kisah sejarah, penonton pun diajak mengenal keragaman seni dan budaya Indonesia dari beberapa masa berbeda.
Disutradarai Adjie NA, drama musikal ini turut melibatkan sejumlah sosok yang sudah terbiasa berada dalam pertunjukan seni di Indonesia seperti Ifa Fachir, Simhala Avadana dan Ava Victoria sebagai penata laku dan musik. Mirna Yusuf dan Nataya Bagya sebagai penulis naskah, Jefriandi Usman sebagai penata gerak dan tari, kemudian Auguste Soesastro sebagai penata kostum. Untuk menjaga sejarah Indonesia yang akurat, drama ini bekerjasama dengan Historia Indonesia, dengan pemain di antaranya Rio Dewanto, Kelly Tandiono, Tika Bravani, Epy Kusnandar, Sita Nursanti, dan lainnya.
Artasya Sudirman, pemeran tokoh istri dalam lakon Suara Suara Mati. (CNN Indonesia/Denny Aprianto) |
Suara-suara Mati Teater Populer30 November, Panggung Teater Salihara
Disutradarai Slamet Rahardjo, Teater Populer mengangkat pentas dengan tema konflik dalam lingkungan kehidupan rumah tangga yang menjadi refleksi kecil dari konflik lainnya yang kerap terjadi di lingkungan sekitar.
Lakon
Suara-Suara Mati diceritakan sebagai benturan konflik antara kebenaran dan pembenaran dari pribadi-pribadi yang mempertahankan keyakinan mereka. Lakon itu disadur dari cerita berjudul
Dode Klanken karya Manuel Van Loggem yang menampilkan tragedi cinta antara suami dan istri yang terperangkap oleh rasa curiga. Semua itu bersumber dari rasa cemburu hingga melahirkan khayalan liar tentang kematian.
(rah/rah)