Melihat, Memaknai Seni Pertunjukan

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Selasa, 25 Okt 2016 15:42 WIB
Penonton perlu dihibur usai kerja dan beraktivitas. Hanya itu kok.
Ilustrasi (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ada beragam pendapat menyoal “Seni Pertunjukan” silakan. Seni demokratisasi individual (kelompok) daku simpulkan setara sederhana bahwa seni pertunjukan perbuatan melakukan tindakan kreatif, mandiri kreatornya didukung kesetiaan timnya.

Menonton seni berkualitas. Publik berani bayar mahal. Publik tahu tingkat biaya produksi material dasar pementasan seni berkualitas. Konsep pemikiran pertunjukannya mencapai perilaku estetis seni teramat mahal, taruhannya nyawa, darah, air mata dan modal pinjaman Bank.

Membaca keriuhan fokus CNN Indonesia, pesimisme “Geliat Resah Seni Pertunjukan” terkesan situasi Seni Pertunjukan kini tengah horor. Okelah kalau begitu. Kesan horor dapat ditaklukan dengan kemandirian individual (kelompok) di komitmen, konsep dan seni berkualitas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa itu seni berkualitas? Oh! Itu relatif. Enggak tuh. Terus mencoba terbaik, terbenar di tatanan manajemen estetis. Dalam arti tak asal terkesan mewah. Sederhana saja, mengalir terbuka lurus saja. Utamakan akal budi bertujuan publik penonton bahagia di konsep rasional-logis. Penonton perlu dihibur usai kerja dan beraktivitas. Hanya itu kok.

Jangan mencoba bikin pertunjukan coba-coba, menghidangkan pertunjukan carut-marut, terkesan belum siap. Scene Direction hal paling esensial harus prima. Seperti hidangan di meja makan serba setengah matang dari lauk-pauk hingga sayurannya. Waduh! Gawat. Terkesan masakannya tak bergizi berakibat kualitas pertunjukan kurang menghibur.

ADVERTISEMENT

Konotasi menghibur tak sekadar lawakan politis tak bermutu, tak esensial the art of beauty, getoloh. Wah! Beli tiket mahal hanya mendengar seorang aktor monologue out of focus cuap-cuap tak jelas. Lebih baik uangnya untuk beli fasilitas sekolah Ananda di rumah. Ya toh Mas Bro.

Publik penonton lelah usai bekerja mereka berbagi tekanan sosialnya. Melihat keruwetan tontonan tak bermutu. Ya pasti pulanglah. Publik penonton takkan kembali lagi untuk selamanya. Membuat pertunjukan berkualitas utamanya perlu dasar ketahanan pangan dan mental spiritual, jurdil bening dan terbuka. Hanya itu esensinya.

Maka kebangkitan swastanisasi seni kini amat luar biasa dan penting. Ini saatnya swasta bersuara, berani mencambuk diri untuk bangkit. Jika tidak untuk apa bikin gedung pertunjukan mewah bervasilitas hyper-digital system, tanpa daya kapital cukup, mumpuni bekerjasama membuat pertunjukan berkualitas dengan kreator serius bekerja, memiliki komitmen pro-seni?

Tentu kerjasama saling menguntungkan kedua belah pihak dengan kreator pro-komitmen seninya. Lihat biografinya. Apa benefitnya. Berapa banyak sukses pertunjukannya. Berapa banyak animo penontonnya perhari. Realistis ekonomi, rasional perdagangan tepat guna.

Kini saatnya membuat karya berkualitas, tak sekadar asal bikin, merasa bisa asal jadi pertunjukan. Publik tak cukup diberi nama selebritis top. Jika kualitas pertunjukannya tak sekehendak publik penontonnya, mereka akan tetap gunakan haknya untuk tak nonton lagi. Sebuah kewajaran jika seni pertunjukan lesu. Bahkan tega batal pentas akibat X-Faktor.

Justru kelesuan ini, jika benar lesu loh seni pertunjukan wajib dijadikan bola api semangat pertumbuhan animo tontonan aktivitas para kreator berkualitas. Ini saatnya mengoreksi kelemahan, kekuatan kreatif segala sektor. Mengapa, kenapa seni pertunjukan jadi horor lesu?

Kalau memang belum mampu pertunjukan besar, bikin pertunjukan kecil tetap cabe rawit biang pedasnya mantap, pertunjukannya prima spektakulera. Bisa? Pasti bisa kalau mau.

Kalau belum saatnya pertunjukan di gedung teater misalnya ya di gedung kecil dululah hai, dengan modal secukupnya sesuai dengan kalangan publik penontonnya. Bertahap, mulai dari hal sederhana dulu saja. Ada banyak cara jika segala daya akal budi terfokus pada kebaikan optimisme. Spektakuler tak harus mahal tak harus tekno. Tak harus wahh!

Nih pertanyaannya: Apakah tekno mampu meniru suluk klasik Jawa, ratap tradisi-tradisi Sumatera? Apakah video mapping mampu menciptakan Ornamen Ulos Batak Toba Klasik telah langka. Enggak kan? Tidakkan? Pasti dan tak perlu argumentasi tekno asal bunyi.

Digital mapping bisa jadi persis jika ada yang bisa ditiru, karena tekno itu dibikin untuk meniru bentuk, apakah gedung, ruang dan sebagainya. Toh yang menyiapkan programer kan? Telah menyiapkan berbagai materi. Tapi tetap harus ada image Ulos aslinya kan yang utama? Kalau digital bisa bikin tanpa ada yang ditiru dari materi aslinya pasti hasilnya jelek dan eksentrik. Dari mana tekno digital itu tahu Ulos, jika tak ada data entry dulu hihihi…

Sound tanpa ada suluk dan ratap aslinya? Apa bisa meniru? Oh! Sekarang tekno digital sound apa saja bisa kok. Akh masa sih? Bener nih! Dari mana digital sound bisa menghitung “vocal range” hal sederhana loh itu. Dari sisi seni sound in a system. Pinjem ratap dan suluk dari malaikat? Hehehe… Yang harus dicatat bahwa teknologi apapun itu rentan pada batas. Pasti. Sebab hal itu ilmu pasti. Bukan ilmu kira-kira.

Karena hal meniru apapun itu pasti hasilnya jelek. Jadi kalau tak perlu teknologi buang ke laut. Kembali pada seni primitif. Sebagai contoh kongkrit, dilakukan oleh Teater Tubuh Payung Hitam, pimpinan Rachma Sabur. Mengapa dalam dua artikel daku menyebut nama Teater Tubuh Payung Hitam. Selalu menjadi contoh?

Dengan mata kepala daku sendiri, menyaksikan militansi persiapan latihan, pentas Merah Bolong di STSI Bandung dan Jakarta. Payung Hitam dan Sabur, kental auto critic menyehatkan badan dan pikiran. Kelompok Teater Tubuh Payung Hitan sejauh ini paling rasional, realistis saat ini di seni pertunjukan. Tak mau mimpi irasional muluk-muluk.

Rachman Sabur dan Payung Hitam tak pernah membuat pertunjukan besar spektakuler. Sabur hanya membuat pertunjukan berkualitas spesifik, eksklusif, biaya murah, kultural edukatif dan prima. Tak heran jika kelompok Payung Hitam senantiasa hadir di setiap festival berkelas dunia. Itulah konteks seni panggung pertunjukan dapat diterapkan pada kesenian seluas hati nurani tulus menyesuaikan ruang pertunjukan seperti kehendak kreatornya.

Ada ratusan Kampus, ribuan SMK dan SMA, bisa ngamen kreatif terkonsep lurus akal budi, menjemput bola pengembangan kesenian. Banyak cara membangun penonton terintegritas. Mulai dari membuat workshop, seminar hingga pertunjukan di ruang-ruang pendidikan. Mengapa tidak?

Membuat kelompok pengajaran seni secara berkala seperti Iman Usman, manusia Indonesia berprestasi tanpa mengeluh ditulis oleh Agnes Winastiti di artikel “Iman Usman, sosok dengan sederet prestasi” Menjemput bola mendirikan Ruangguru.com.

Menjadi guru apa saja tak mudah loh “Guru” esensial keteladanan totalitas kesabaran nurani terbuka tulus permanen. Tak ada hidup ringan menjadi manusia apapun, meski kreator seni sekalipun. Wajib mandiri bebas intervensi. Tetap bening nurani. Salam Indonesia Unit. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI UNTUK ANDA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER