CNBC Insight

Ketika Letusan Krakatau 1883 Lengkapi Derita Rakyat Banten

News - Petrik M, CNBC Indonesia
07 February 2022 08:55
Gunung Anak Krakatau Masuki status siaga Foto: Ilustrasi Gunung Anak Krakatau (Edward Ricardo/CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau beberapa hari terakhir tampak bukan hal luar biasa lagi di sekitar Selat Sunda. Sebelum ada Anak Krakatau, pendahulunya, sebelum menghilang, yaitu Gunung Krakatau dengan dahsyatnya meletus dari 24 hingga 27 Agustus 1883. Gemuruh letusannya kala itu terdengar hingga 3.000 mil jauhnya. Lebih dari 30 ribu orang jadi korban.

"Banyak orang Eropa, termasuk sejumlah besar pejabat Belanda, dan beribu-ribu penduduk pribumi tewas tenggelam," lapor AP Cameron, yang ketika letusan terjadi menjadi Konsul Inggris di Jakarta, seperti dicatat Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883 (2003:301). Di distrik Ceringin setidaknya 10 ribu orang tewas karena letusan itu.

Di masa-masa meletusnya Krakatau, gelombang besar terjadi di sekitar Selat Sunda. Tidak hanya membuat hancur kapal barang dan penumpang, tapi juga mengganggu jalur pelayaran antara Hindia Belanda. Sebuah mercusuar, yang sangat penting di Anyer, bahkan hancur dan pemerintah kolonial harus merogoh kocek untuk membangunnya lagi.

Sekitar Banten dan Lampung, kala itu menurut catatan Cameron tertutupi oleh abu. Kondisi itu membuat rakyat dan hewan ternak mereka akan kesulitan mendapat makanan karena abu letusan Krakatau.

Pohon-pohon buah seperti kelapa dan juga kopi, yang merupakan sumber penghidupan rakyat di sekitar Selat Sunda, menjadi rusak karena letusan Krakatau itu. Kondisi itu memiskinkan penduduk pribumi di sekitar area letusan.

Seharusnya negara kolonial Hindia Belanda bertindak menjauhkan orang Banten dan Lampung menjadi miskin akibat letusan tersebut. Hal tersebut tampaknya jauh dari memuaskan di Banten.

"Daerah perdesaan di sekitar Cilegon (sebelah barat Banten) memang telah menderita akibat letusan Krakatau yang dahsyat pada tahun 1883 dan beban kerja rodi untuk pegawai pribumi (pantjendiensten) dirasakan sangat berat," tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Warisan kerajaan-kerajaan konsentris (2005:164)

Sebelum letusan Krakatau, Multatuli alias Eduard Douwes Dekker sudah melaporkan kemiskinan Banten pada 1855 (era Sistem Tanam Paksa) karena kolonialisme yang melibatkan oligarki lokal yang membantu Belanda dan ikut memeras rakyat Banten sendiri. Setelah tanam paksa hilang, penderitaan petani berlanjut di masa ekonomi liberal.

Meletusnya Krakatau 1883 tentu melengkapi penderitaan rakyat Banten. Di tengah penderitaan itu kemudian masalah sosial yang mengarah pada kebencian kepada pemerintah kolonial timbul, hingga pada 1888 terjadi Pemberontakan Petani Banten.

Yang terbaik setelah erupsi adalah munculnya lahan-lahan subur di sekitar daerah letusan. Itu terjadi belakangan. Tentu saja setelah banyak orang jadi korban. Marwati Djuned dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia 5 (2008:247), menyebut "selain merusak beberapa daerah akibat letusan meninggalkan tanah-tanah subur."

Hal itu terjadi di Lampung. Kala itu tanaman ekspornya antara lain lada, kopi, dan karet. Kebanyakan dikirim ke Jawa. Produk ladanya meningkat dan di tahun 1922 melebihi Aceh. Lampung sendiri kemudian menjadi daerah tujuan transmigrasi kolonial Hindia Belanda.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

3 Menit Sebelum Gempa M 5,5 Banten, Anak Krakatau Erupsi!


(pmt/pmt)

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading