Academia.eduAcademia.edu
Mirza Ghulam Ahmad (Pendiri Ahmadiyah dan Pengaku Penerima Wahyu Allah) Abstrak Tulisan ini secara khusus memaparkan tokoh Mirza Ghulam Ahmad bersama dengan pemikiran dan sumbangannya dalam dunia Islam. Perilaku sosial membentuk karakter dalam memahami ajaran agama, demikianlah yang terjadi pada Mirza Ghulam Ahmad pendiri aliran Ahmadiyah. Ahmadiyah adalah potret pergulatannya antara konteks dan situasi tertentu, terutama konteks India yang berada adalam tekanan kolonialisme. Tidak saja berhenti pada pendirian aliran Ahmadiyah, Ghulam Ahmad juga mengklaim dirinya penerima wahyu dan mengaku diri sebagai repsentasi imam Mahdi, representasi kehadiran Isa al-Masih yang kedua dan juga representasi dari dewa Hindu yaitu Krisna. Kata Kunci : Ahmadiyah, Wahyu, Imam Mahdi, Isa al-Masih Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad lahir tepat pada hari Jumat, 13 Februari 1835 atau 14 Syawal 1250 H di kampung Islam kota Qadian di wilayah Punjab di India utara. Sudjangi, Pengkajian Aliran/Fahan Agama di Indonesia Studi Kasus: Gerakan Ahmadiyah Indonesia, dalam Buku Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’An, Gema Insani, Jakarta, 1997, 195-196 Saat masih kecil ia hanya dikenal Ghulam Ahmad saja. Sementara sebutan Mirza menunjuk pada keturunan bangsawan Mughal. Sesungguhnya pada waktu lahir ia mempunyai saudara kembar perempuan yang tak berapa lama meninggal dunia. A. Yogaswara, Heboh Ahmadiyah: Mengapa Ahmadiya Tidak Langsung Dibubarkan? Narasi, Yogyakarta, 2008, 33 Ia lahir dari sebuah keluarga yang makmur pemilik tanah dan keluarga beragama Muslim Sunni. Lahir dari keturunan Haji Barlas, raja kawasan Qesh yang kemudian berhijrah ke daerah Hindustan, khususnya di Qadian oleh Mirza Hadi Beg. Ayahnya bernama Ghulam Murtaza cukup terkemuka, seorang tabib yang pandai sekaligus seorang tentara yang mengabdi kepada raja Sikh setelah kerajaan Sikh menguasai Qadian. A. Yogaswara, Heboh Ahmadiyah: Mengapa Ahmadiya Tidak Langsung Dibubarkan?, 38 Namun Ayahnya akhirnya mengabdi bagi orang Inggris, setelah kedatangan penjajahan Inggris. Konteks hidup dari Mirza Ghulam Ahmad sendiri berada pada masa-masa dimana India berada dalam tekanan pemerintah kolonial Inggris. Kedatangan Kolonial ini juga akhirnya membawa pengaruh besar pada eksistensi Islam yang ada di sana. Salah satu revolusi yang terbesar adalah terjadi pada tahun 1857, orang Islam memberontak terhadap Inggris. Persis bahwa pada masa ini juga eksistensi Islam mengalami kemerosotan. Pada masa kecil, Mirza banyak menghabiskan waktunya di mesjid untuk mempelajari agama, Al-quran dan kitab-kitab Farsi. Pada usianya yang ke 10 tahun ia mulai belajar bahasa Arab dan pada usia 17 tahun mulai belajar ilmu logika dan ilmu pengobatan. Di usianya yang masih muda ia sudah pandai berdiskusi dan memikat banyak orang non-muslim termasuk misionaris yang menyebarkan agama di sana. Setelah dewasa ayahnya pernah meminta dia untuk membantu keluarganya merebut kembali tanah keluarga di pengadilan, namun ia menolaknya karena merasa tidak tertarik dengan hal duniawi. Ghulam Ahmad meninggal pada usia 73 tahun tepat pada tanggal 26 mei 1908 di Kota Lahore. Diduga ia meninggal karena menderita penyakit diare. Ada hal yang menarik sebelum meninggal dimana ia menyusun sebuah pidato yang berjudul pesan perdamaian (message of peace). A. Yogaswara, Heboh Ahmadiyah: Mengapa Ahmadiya Tidak Langsung Dibubarkan?, 46 Pokok-Pokok Pembahasan dan Sumbangannya (Mirza Ghulam Ahmad) Pendirian Islam Ahmadiyah Revolusi Islam terbesar besar yang terjadi pada tahun 1857 di India cukup membawa dampak yang buruk. India selain berada dalam tekanan pemerintah kolonial Inggris, status keagamaan mereka pun mengalami krisis. Situasi kekacauan sosial-politik dan keagamaan akibat kapitalisme industri Inggris yang menguras kekayaan India menjadikan India Negara amat miskin. Problem ekonomi, kemiskinan dan kelaparan serta sikap konservatif umat Islam menjadi gerbang yang terbuka lebar bagi missionaris dari kalangan Kristen dan Hindu pimpinan Arya Samaj. Hal ini menyebabkan migrasi ke agama di luar Islam tak dapat dibendung lagi Supardi, Tafsir Kenabian Mirza Ghulam Ahmad, Al-Dzikra Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al- Hadits volume 13, No. 1, Juni Tahun 2019, Halaman 55 - 70 Ghulam sangat tertekan saat mengamati ketidakpedulian umat Islam terhadap moral dan nilai-nilai spiritual yang ditanamkan oleh Al-Quran dan sangat menyakitkan oleh serangan propagandis non-Muslim terhadap doktrin Islam dan ajaran Islam. Hadrat Mirza Masroor Ahmad, Tadhkirah An English rendering of the revelations, dreams and visions of Hadrat Mirza Ghulam Ahmad of Qadian, The Promised Messiah and Mahdi, On Whom Be Peace, Islam International Publications Ltd, 2009, vii Ghulam Ahmad ada di antara orang-orang Muslim yang merasa bahwa agama mereka perlu dihidupkan kembali dan direformasi agar dapat bertahan hidup. Dia melihat dirinya sebagai "terang zaman kegelapan ini," "yang dibimbing dengan benar" (mahdi), dan pembaru agama yang damai, yang diharapkan muncul pada awal abad ke-14 dalam kalender Islam (1300 H bertepatan dengan 1882 pada kalender Barat). Juan E. Campo, Mirza Ghulam Ahmad: Encyclopedia Of Islam, Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, New York, 2009, 263 Persis karena latar belakang seperti demikian menggerakan Ghulam untuk melakukan pembaharuan. Pada 23 maret 1889 gerakan Ahmadiyah dimulai oleh Ghulam Ahmad dengan mengaku diri sebagai imam Mahdi dan membaiat 40 pengikutnya menjadi khalifah pertama Ahmadiyah. Pada awalnya belum mempunyai nama dan nama Ahmadiyah baru diresmikan pada 1900. Pada tahun 1903 Jemaat Ahmadiyah mulai mengalami kemajuan yang luar biasa. Kadang-kadang dalam satu hari saja sekitar 500 orang baiat kepada Hazrat Ahmad. Sedangkan pengikut beliau sudah ratusan ribu banyaknya. Orang-orang dari segala lapisan mulai baiat kepada beliau. Jemaat Ahmadiyah mulai maju dengan sangat cepat dan pesat, dari kawasan Punjab sampai ke daerah-daerah lainnya, kemudian mulai tersebar ke benua-benua lain. termasuk Afrika, Asia Tenggara, Inggris, dan Amerika Utara, melalui kegiatan misionaris para penganutnya. Juan E. Campo, Ahmadiyah: Encyclopedia Of Islam, 25 Di bawah kekuasaan kolonial Inggris, Mirza Ghulam Ahmad lahir dan memulai tahapan perkembangan intelektualnya. Mirza Ghulam Ahmad gemar menulis beberapa artikel untuk membela ajaran Islam dari serangan-serangan orang-orang Nasrani dan kaum Arya Samaj, di beberapa media masa. Pada tahun 1880 M, Ghulam Ahmad menerbitkan sebuah buku yang berjudul Barahin Ahmadiyah buku ini berisikan tentang penjelasan keunggulan ajaran Islam dan ketinggian Al-quran dibandingkan agama Nasrani, Hindu, Arya Samaj, dan agama-agama lainnya. Buku tersebut menimbulkan pro-kontra di kalangan umat beragama di India, pihak yang pro adalah kaum muslim India dan yang kontra adalah kalangan non-muslim yang menimbulkan polemik dan perdebatan sengit, antara Ghulam Ahmad dengan tokoh-tokoh agama, khususnya umat Hindu Brahma Samaj, Arya Samaj, dan Nasrani. Ahmadiyah Pada awalnya adalah gerakan Islam yang memenuhi permintaan pemerintahan Inggris yang akan melakukan kegiatan sensus, termasuk mendata organisasi, Mirza Ghulam Ahmad seorang yang telah mengaku bahwa dirinya adalah seorang Mujaddid (Pembaru) mengeluarkan edaran yang intinya menamai gerakan Islam ini dengan nama Ahmadiyah. Pemberian nama Ahmadiyah ini dimaksudkan agar para pengikut gerakan ini menghayati perjuangan Nabi Muhammad dalam membela dan menyiarkan Islam secara jamali, yakni keindahan, keelokan dan kehalusan budi pekerti dan secara jalali, yakni keagungan dan kebesaran pribadi Nabi Muhammad. Simon Ali Yasir, Al-Bayyinah, Darul Kutubil Islamiyah, Yogyakarta, 2010, xii Namun toh pada akhirnya banyak kaum Islam yang berpandangan bahwa gerakan ini adalah suatu yang kontroversial, dan apa yang membuat gerakan ini sangat konroversia adalah pernyataan yang dibuat oleh Ghulam Ahmad dan para pengikutnya bahwa Muslim lain adalah orang-orang kafir dan bahwa Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, seorang penebus yang dijanjikan (mahdi), seorang mesias yang seperti Kristus, dan inkarnasi dari Dewa Hindu Krishna. Beberapa orang Kristen dan Hindu, bersama dengan banyak Muslim, keberatan dengan kepercayaan ini, dan gerakan itu diserang dan dianiaya oleh kelompok-kelompok Islam lainnya dan otoritas agama konservatif di India dan kemudian di Pakistan. Sebagai akibatnya, Ahmadiyah mengalami perpecahan internal ke dalam cabang-cabang Qadiani dan Lahori pada tahun 1914. Juan E. Campo, Ahmadiyah: Encyclopedia Of Islam, 24 Lalu apa perbedaan antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore? Sebenarnya keduanya sama-sama mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa al-Masih yang dijanjikan oleh nabi Muhammad Saw. Perbedaanya terletak pada status kenabian Mirza Ghulam. Ahmadiyah Qadian percaya Mirza Ghulam sebagai nabi, sementara Ahmadiyah Lahore mengakui Mirza Ghulam sebagai pembaharu ajaran bukanlah seorang nabi. A. Yogaswara, Heboh Ahmadiyah: Mengapa Ahmadiya Tidak Langsung Dibubarkan?, 52 Menerima Wahyu Allah Pengakuan diri seorang Mirza sebagai nabi akhir zaman, Isa al-Masih, Imam Mahdi, dan bahkan perwujudan Krishna (Wisnu), diawali dengan penerimaan-penerima wahyu yang ia akui datang dari Allah. Sejak tahun 1876, Ghulam Ahmad menerima wahyu hingga meninggal di Lahore dan dimakankan di Qadian. Pada tahun 1871, ia menerima wahyu untuk pertama kali. Menurut pengakuannya wahyu yang pertama diterimanya berbunyi “ya Ahmad baarakallaahu fiika” (arti; wahai Ahmad! Allah telah memberi berkah kepadamu). Kemudian pada tahun 1876 ia menerima ilham lagi yang menerangkan ayahnya Ghulam Murtaza meninggal. Ia mendapat kabar dari Allah SWT bahwa orangtuanya akan meninggal sesudah matahari terbenam. Sesudah menerima wahyu tersebut ayahnya meninggal. Sudjangi, Pengkajian Aliran/Fahan Agama di Indonesia Studi Kasus: Gerakan Ahmadiyah Indonesia, dalam Buku Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’An, 210 Salah satu buku Mirza Ghulam Ahmad adalah Tadzkirah yang berisikan wahyu suci. Selain buku tersebut ada buku Haqiqatul wahyi dan Al-Istifta yang juga memuat wahyu dan ilham. Dalam kitab Tadzkirah disebutkan bahwa wahyu diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad pada malam lailatu qadar di dekat Qadian, India: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam qadar. Sesungguhnya Kami menurunkan juru selamat yang dijanjikan (Masih Al-Ma’ud)” (Tadzkirah: 519). Sudjangi, Pengkajian Aliran/Fahan Agama di Indonesia Studi Kasus: Gerakan Ahmadiyah Indonesia, dalam Buku Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’An, 211 Menurut versi Qadian, bahwa Ghulam Ahmad yang diangkat Tuhan sebagai al-Masih dan al-Mahdi, melalui ilham yang diterimanya, dan secara tegas Ghulam Ahmad diyakini sebagai duplikat Nabi Isa a.s. Mirza Ghulam Ahmad, Filsafat Ajaran Islam, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bandung, 1993, 144 Sedangkan menurut versi Lahore bahwa Ghulam Ahmad bukanlah seorang Nabi Haqiqi tapi ia adalah seorang Nabi Lughawi. I am both Jesus the Messiah and Muhammad Mahdi. In Islamic terminology, this type of advent is called a buruz [re-advent, or spiritual reappearance]. I have been granted two kinds of buruz: one is the buruz of Jesus, and the other is the buruz of Muhammad. . . . In the capacity of Jesus the Messiah, I have been assigned the duty of stopping the Muslims from vicious attacks and bloodshed. . . . In the capacity of Muhammad Mahdi, my mission is to re-establish Tauhid in this world with the help of Divine signs. Hadrat Mirza Ghulam Ahmad. The British Government and Jihad UK: Islam International, Tilford, Surrey, 2006, 36 Adapun yang dimaksudkan dengan kedatangan Isa yang kedua kali menurut Mirzam adalah datangnya seorang lain yang memiliki sifat dan cara seperti nabi Isa a.s, orang yang dimaksud adalah dirinya sendiri yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Meskipun dalam situasi pro dan kontra, Mirza terus menyerukan kenabiaanya. Membuka kembali Wahyu oleh Mirza Ghulam Ahmad Sebelum lebih lanjut pertama harus dimengerti dulu konsep wahyu bagi kalangan Islam. Diskursus wahyu di kalangan intelektual Islam di masa skolastik, ada pendikotomian antara wahyu dan ilham. Di mana wahyu bersifat tertutup dan temporal hanya berlaku bagi Nabi di masa hidupnya sedangkan ilham bersifat terbuka dan tak berbatas waktu berlaku bagi selain nabi. Berhadapan dengan konsep lama ini tampil penafsir Mirza Ghulam Ahmad yang berusaha membuka kembali pintu wahyu yang selama ini tertutup rapat: Janganlah hendaknya kamu mengira bahwa wahyu ilahi itu tidak mungkin ada lagi di waktu yang akan datang dan wahyu itu hanya berlaku pada masa yang telah lampau kala (syariat berakhir pada al-Qur’an, tetapi wahyu tidak berakhir. Karena agama yang hidup ditandai oleh kelangsungan wahyu, agama yang silsilah wahyunya tidak berkelanjutan adalah mati dan Tuhan tidak bersamanya) jangan mengira Roh-Kudus tidak dapat turun di masa sekarang dan hal itu tidak hanya berlaku di masa dahulu. Mirza G. Ahmad, Tadzkirah: dari Wahyu, Mimpi, dan Kasyaf yang Diterima, Nertja Press, Islamabad, 2014, 31 Jika kita cermati dalam Tadzkirah akan didapati istilah-istilah yang berkaitan dengan pengalaman transenden ini. Ghulam Ahmad menggunakan tiga kata kunci dalam kitab itu, yakni ru’ya, kasyaf, dan wahyu. Dua kata pertama seringkali digunakan oleh Mirza Ghulam Ahmad untuk memberitahukan inspirasi yang diperolehnya melalui mimpi. Namun, sepertinya, ia membedakan antara ru’ya dan kasyaf. Ia mengatakan dalam sebuah ru’ya yang sebenarnya sebuah kasyaf yang jelas. Ru’ya identik dengan mimpi sedangkan kasyaf ia alami dalam keadaan terjaga. Sedangkan kata wahyu dalam kisahnya‚dalam keadaan setengah tidur aku menerima wahyu Mengenai persoalan temporalitas wahyu yang dibuka kembali oleh Mirza Ghulam Ahmad, ada sedikit petunjuk dari buku tiga masalah penting, bahwa wahyu syariat tidak mungkin turun lagi sesudah al-Qur’an sebab syariat al-Qur’an telah sempurna dan berlaku hingga akhir dunia. Sedangkan wahyu tanpa syariat, mungkin saja turun sewaktu-waktu. Supardi, Tafsir Kenabian Mirza Ghulam Ahmad, 55-70 Sumbangan Bagi Dialog Konteks Indonesia Di Indonesia Ahmadiyah Lahore masuk pada tahun 1922 yang dibawa oleh Khawajah Kamaluddin di Sumatra terutama di perguruan Sumatra Thawalib. Sudjangi, Pengkajian Aliran/Fahan Agama di Indonesia Studi Kasus: Gerakan Ahmadiyah Indonesia, dalam Buku Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur’An, 197 Ahmadiyah Qadian di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sedangkan Ahmadiyah Lahore dikenal dengan nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Pada awalnya Ahmadiyah tidak mendapat tantangan dari umat Islam di Indonesia, namun dengan berjalannya waktu terjadi penolakan terhadap organisasi Ahmadiyah. Gerakan Ahmadiyah Indonesia resmi berdiri sebagai organisasi keagamaan yang berbadan hukum pada tahun 1928, sedangkan Jema’at Ahmadiyah Indonesia pada tahun 1953. Kegiatan yang dilakukan oleh organisasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia ialah dengan bertabligh dan melakukan kegiatan penterjemahan Al-Qur’an ke dalam beberapa bahasa, misalnya bahasa Belanda, Jawa dan Melayu, serta penyebaran brosur tentang Ahmadiyah. Pada tahun 1965 berdiri AMAL yang berfungsi sebagai wadah perkumpulan bagi para aktivis anggota muda Gerakan Ahmadiyah yang dijadikan sebagai tempat berdiskusi untuk lebih mengembangkan syiar Islam. Sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh Jema’at Ahmadiyah Indonesia ialah dengan bertabligh dan menerbitkan majalah bulanan yang bernama Sinar Islam. Pada tahun 1968 tokoh Jema’at Ahmadiyah Indonesia yaitu Sayyid Syah Muhammad diberi penghargaan oleh Menteri Veteran berkat jasa-jasanya dalam ikut serta mempertahankan kemerdekaan RI. https://eprints.uny.ac.id/16564/ Kiranya kehadiran Ahmadiyah ada kaitannya dengan konteks Indonesia. Ahmadiyah muncul karena beberapa faktor, salah satunya ialah karena pada masa penjajahan Inggris di India, setiap perkumpulan diwajibkan untuk melaporkan nama dari organisasi tersebut kepada Inggris guna keperluan administrasi pemerintahan dan konsep awal Mirza Ghulam Ahmad adalah menghentikan upaya penyebaran agama oleh para misionaris Kristen di India. Sedangkan Ahmadiyah masuk ke Indonesia bertujuan untuk menghentikan Kristenisasi yang dilakukan oleh Belanda pada saat menjajah Indonesia. 3.2 Tanggapan Pribadi Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang pembaharu Islam yang luar biasa, meskipun dalam arti tertentu pandangannya dinilai kontroversial dan menimbulkan pertentangan oleh kaum Islam, ataupun dari agama yang lain. Tetapi bagaimanapun harus kita pahami bahwa ia hidup konteks India pada ke-19, yang mana pada saat itu India berada dalam tekanan kolonial Inggris yang melahirkan kemerosotan hidup bagi orang Islam India baik dari segi sosial-politik, ekonomi, moral, nilai hidup maupun keagamaan. Jadi munculnya tokoh-tokoh pembaharu adalah hal yang wajar. Kemunduran Islam di sana-sini menyadarkan umat Islam untuk mengembalikan kejayaan yang pernah mereka nikmati. Sesungguhnya ada beberapa tokoh yang sebelumnya muncul sebagai pengerak pembaharuan sama seperti Mirza Ghulam Ahmad. Di akhir abad ke-19 mulai bermunculan para tokoh yang mencoba menggelorakan kembali semangat Islam karena mereka yakin bahwa kembali kepada Islam satu-satunya cara merengkuh kejayaan masa silam. Dari Afganistan, muncul Sayyed Jamaluddin al Afghani (1839-1897) yang mengusung panislamisme yang kemudian memengaruhi Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridlo (1865-1935) di Mesir untuk membangkitkan semangat nasionalisme Mesir. Selain itu pembaharuan ataupun pengakuan diri Mirza Ghulam ini sejatinya adalah motivasi politik yang mana menginginkan pembebasan. India yang mengalami kemerosotan perlu figur-figur untuk dijadikan senjata harapan agar rakyat bisa bangkit dari keterkungkungan. Pengakuan diri Mirza sebagai Isa (Yesus) bagi saya adalah permainan politik Ghulam, karena kalau kita lihat bahwa para kolonial juga datang membawakan para misionaris yang menyebarkan Injil. Problem ekonomi, kemiskinan dan kelaparan serta sikap konservatif umat Islam menjadi gerbang yang terbuka lebar bagi misionaris dari kalangan Kristen dan Hindu pimpinan Arya Samaj. Pengakuan diri sebagai Isa a.s ataupun sebagai Krisna sebagai jalan membendung situasi yang ada. Gerakan ini menciptkan nuansa liberal dan cinta damai yang bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat yang terlanjur jenuh dengan pola pemahaman Islam klasik. Refleksi Live In Perjumpaan Yang Mengagumkan Pengelaman Live in dialog-dialog agama yang dilakukan oleh saya dan teman-teman tingkat tiga pada 22-24 November yang lalu adalah pengelaman yang luar biasa. Luar biasa karena tidak seperti biasanya mendapat pengelaman seperti itu, pengelaman berjumpa dan tinggal bersama dengan saudara-saudara yang berbeda agama. Saya secara pribadi merasa sukacita diberi kesempatan untuk tinggal bersama orang-orang Khong Hu Cu, dan tepatnya saya bersama keempat saudara saya mendapat tempat di Lintang Solo (rumah ibadat). Secara umum saya melihat kegiatan ini sangatlah membantu dan sungguh-sungguh berguna bagi saya dan masa depan saya terutama bagaimana membangun dialog yang baik dengan saudara-saudara yang berbeda kepercayaan. Pertama-tama ketika berada di sana, saya bersyukur karena kami diterima secara baik, diberi tempat tinggal yang cukup baik dan nyaman. Tetapi harus diakui kami harus mengalami kesulitan karena persis Lintang yang kami kunjungi sedang dalam perbaikan, dan juga tidak ada umat yang tinggal dalam kompleks Klenteng tersebut sehingga kami kesulitan untuk berjumpa dengan umat di sana, kecuali beberapa orang yang selalu datang di Klenteng tersebut. Sehingga praktisnya kami berjumpa dengan umat tepat pada hari minggu ketika mengikuti kebaktian. Kendati demikian saya merasa mudah saja berinteraksi dengan mereka karena umatnya sangat ramah dan terbuka dengan siapa saja. Ada kekaguman saya atas kebiasaan orang-orang di sana, di mana mereka sangat memperhatikan perkembangan iman anak-anak mereka, sehingga setiap hari minggu mereka mengantar anak-anak untuk mengikuti kebaktian anak-anak sekaligus mengikuti sekolah minggu. Ketika kami di sana, kamipun mengikuti kegiatan bersama anak-anak dan kemudian dilanjutkan dengan kebaktian bersama orangtua. Hal menarik lainnya adalah dimana sesama mereka saling memberikan hormat dan salam satu sama lain dengan cara salam yang berbeda berdasarkan umur sampai pada penghormatan pada yang Ilahi. Tidak ada agenda yang pasti yang kami lakukan di sana, kecuali pada hari sabtu selama kurang lebih tiga setengah jam kami berdiskusi tentang apa itu Khong Hu Cu bersama Ws. Aji Candra (seorang Religius Khong Hu Cu). Dalam dialog tersebut beliau sangat terbuka, sehingga membuat saya dan teman-teman aktif untuk menanyakan dan mengetahui banyak hal tentang Khong Hu Cu dari penjelasan beliau. Ada begitu banyak hal menarik yang saya temukan dalam diskusi kami tersebut, terutama pandangan dan ajaran orang Khong Hu Cu, salah satunya bagaimana orang-orang Khong Hu Cu sangat menghormati roh orang tua yang telah meninggal, meskipun tidak ada konsep tentang surga (surga ada di dunia), namun mereka meyakini ada tempat rahasia yang sedang ditempati oleh para roh, dan kita yang hidup wajib menghormati dan mengirimkan rumah simbolik kepada mereka yang ada di tempat rahasia tersebut. Melalui pengelaman kegiatan live in sesungguh sangat membantu saya bukan saja saya mengetahui banyak hal tentang apa itu agama Khong Hu Cu, melainkan bagaimana ini sangat membantu saya memahami orang lain dan kepercayaanya. Juga bagaimana bisa menemukan hal positif yang juga dianut oleh umat kepercayaan lain. Selama ini mungkin saya selalu terbawa pada konsep saya bahwa agama saya adalah yang paling benar, namun sesungguhnya melalui agama-agama dan kepecayaan lainpun kita bisa menemukan kebenaran-kebenaran dan keselamatannya. Dalam konteks Indonesia yang sangat pluralis ini, memang sudah menjadi kewajiban saya dan kita semua untuk mampu membangun dialog dengan perbedaan-perbedaan yang kita miliki dalam bangsa kita. Karena itu menurut saya kegiatan dialog interreligius seperti ini sangat penting dan akan sangat membantu kita dalam menghargai satu sama lain. Bukan hanya saya sebagai seorang mahasiswa yang belajar tentang dialog-dialog agama tetapi juga untuk segenap warga dan seluruh beragama. Percuma kalau kita mengaku sebagai pencinta pluralis sementara kita sendiri menganggap perbedaan kita adalah perbedaan yang paling benar dan mengabaikan perbedaan yang lain. 8