...

Ledakan Gunung Tambora dan Kebingungan Eropa: Pengalaman Sir Stamford Raffles dan Inspirasi Novel Frankenstein

07 09 2021 Lomba Kategori Umum Sofah D. Aristiawan 0 Likes Bagikan :

Ledakan Gunung Tambora, 10 April 1815, merupakan satu peristiwa alam yang tak akan pernah dilupakan sejarah. Satu babad yang dapat membuat siapa saja yang mengetahui kisahnya ternganga berbalut getir. Karena itu, guna merawat ingatan akan Tambora, kita mesti bertanya kembali: Apa yang terjadi, khususnya, di tahun-tahun pasca-terjadinya letusan besar yang merenggut 60.000-120.000 jiwa (Oppenheimer, fisikawan teori, 1904-1967), yang belakangan barulah disadari, pula merusak stabilitas iklim yang berujung pada kacaunya lingkungan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun? Dan yang buat tercengang, ternyata bukan cuma Hindia Timur (Indonesia –red), dampak erupsi Tambora menjalar ke sudut-sudut dunia sampai yang terjauh dari pusat letusan itu sendiri –dari pulau kecil bernama Sumbawa?

Kisi-kisi jawaban atas pertanyaan di atas setidaknya ditemui dalam laporan Sir Stamford Raffles (1781-1826) yang bingung dan Mary Godwin (1797-1851) yang frustrasi. Dua dari sekian banyak potongan penjelasan bagaimana efek bencana Tambora pada akhirnya nyata amat memengaruhi bahkan sampai benua Eropa.

 

Kebingungan Sir Stamford Raffles

Catatan Raffles yang terkenal berjudul History of Java (1817) sedikit banyak memuat bencana Tambora 1815. Catatannya yang lain, yang ia tulis sehabis lengser dari jabatannya sebagai gubernur di Jawa, saat melancong mengelilingi Eropa bersama adiknya, William, memotret satu pemandangan yang menyayat hati saat berada di Swiss: “Peningkatan besar jumlah pengemis, utamanya anak-anak benar-benar mencengangkan.” Sebab di Swiss, sejak 1816, memang roti jadi komoditi langka dan di ujung tahun, para tukang roti di Montreux (salah satu kota di Swiss –red) terpaksa harus menaikkan harga. Setelah itu, gandum jadi dua sampai tiga kali lebih tinggi dari harga biasanya. Nominal yang sulit dijangkau oleh ratusan ribu warga Swiss.

Raffles tentu penasaran mendengar orang-orang dan para ilmuwan melabeli tahun 1816 sebagai “Tahun Tanpa Musim Panas", yang juga berarti "Tahun Tanpa Makanan" akibat cuaca esktrem yang berkepanjangan. Pada 1816-1817, hasil panen menurun drastis 75% lebih di Inggris dan seluruh Eropa Barat. Lagi, di Swiss, terjadi seperti apa yang dilihat seorang pendeta dari Glarus (kota di Swiss –red): "Sungguh menakutkan melihat kerangka-kerangka berjalan ini melahap makanan paling menjijikan dengan begitu rakus: bangkai ternak, jelatang yang bau. Dan melihat mereka bergulat dengan binatang memperebutkan sisa-sisa makanan.” Di Jerman 1817, desas-desus adanya ekspor jagung ke Swiss yang tengah dirundung krisis pangan itu menyebabkan terjadinya kerusuhan massal. Sebab warga Jerman-nya sendiri terpaksa mesti memakan daging kuda dan anjing. Di ladang-ladang di Prancis, hujan deras merendam tanaman biji-bijian yang menjadikannya busuk.

Berangkat dari fakta tersebut, Raffles bisa memetakan masalah, bahwa kelaparan massal tersebut disebabkan gagalnya panen dalam skala yang besar, dan panen yang gagal itu dikarenakan cuaca buruk yang seperti tak ingin pergi dari langit Eropa. Namun Raffles nampaknya kesulitan menemukan sebab dari cuaca ekstrem yang menghantui Eropa selama kurun 1815-1818. Analisisnya, mungkin juga karena keterbatasan ilmu pengetahuan masa itu, tak sampailah berandai jauh: Mungkinkah efek dari ledakan Tambora di pulau Sumbawa, Hindia Timur? Memang betul menggelegar dan mengerikan sangat, tetapi benarkah pengaruhnya sampai ke wilayah Eropa?

 

Mary Godwin dan Novel Frankenstein

Juni 1816, Mary Godwin frustrasi akan cuaca yang tak seperti biasanya. Kondisi iklim yang belakangan mengantarkan matanya harus menyaksikan kengerian. Akibat hujan yang turun terus menerus antara April sampai September, di sepanjang pegunungan Alpen, Swiss, Mary melihat betapa buruknya kesehatan warga desa, terutama anak-anak: "Mereka tampak rusak bentuk dan berpenyakit, sebagian besar dari mereka bungkuk dengan leher membesar.” Tubuh rusak yang disaksikan Mary nyatanya diperburuk dengan menyebarnya penyakit menular secara cepat. Bukan cuma di Swiss, persebaran penyakit seperti tifus meluas sampai ke Irlandia dan memakan korban sekitar 65.000 jiwa.

Maka, tak berlebihan dengan keadaan sekitar Mary yang seperti neraka: angin kencang dan petir yang bergemuruh, ditambah orang-orang yang terlihat seperti sesosok mayat hidup itu mengilhaminya untuk membuat cerita horornya yang kemudian populer hingga kini, Frankenstein (1818). Sosok ciptaan Mary itu memang buruk rupa: hancur, pucat, mata kuning dan berair, tinggi besar, agak bodoh. Mirip-mirip kondisi fisik para warga yang terkena penyakit dan kelaparan. Jijik, ngeri, namun kasihan, serupa apa yang dilihat mata Mary sendiri. Di samping itu, uniknya, Mary memberi rekaan imajinatifnya itu satu kekuatan yang luar biasa: ia bisa membunuh siapa saja cukup dengan satu sentuhan tangan, pula ia punya daya jelajah yang tinggi. Artinya, melalui makhluk tersebut, Mary juga ingin menunjukkan betapa cepatnya persebaran penyakit menular dan krisis pangan yang terjadi saat itu di "Tahun Tanpa Musim Panas”. Bagi Mary, mengarang Frankenstein (1818) adalah caranya meluapkan amarahnya atas kebingungan kolektif orang Eropa, termasuk dirinya, yang pada gilirannya menyebabkan krisis kemanusiaan.

Mary, seperti Raffles, hanya mampu berspekulasi: cuaca ekstrem yang melanda tiap negara secara bersamaan itu tak cukup hanya dilihat sebagai sebuah peristiwa yang terpisah-terpisah. Pasti berkelindan. Mungkinkah ada kekacauan pada iklim dunia? Agaknya, di awal abad 19, yang belumlah cukup memadai peralatan teknologinya guna menganalisis bahkan sampai menyimpulkan ada peran yang demikian besar dari erupsi Gunung Tambora.  

 

Ujung Kisah Tambora

Kebingungan Eropa yang diwakili Raffles dan Mary di atas dimungkinkan karena minimnya catatan atau laporan tentang Tambora. Sekalipun kita hari ini hidup di abad 21, kisah Tambora 1815 tak seeksis, misalnya, Gunung Vesuvius yang memusnahkan Pompeii atau Krakatau 1883 yang kisahnya amat terkenal itu. Artinya, riset tentang Tambora terbilang masih minim, bahkan dalam bentuknya yang fiksional (lukisan atau drama atau film, misalnya) belumlah cukup dikenang. Padahal, selain apa yang diperbuat Tambora pada iklim global, erupsinya itu pun bisa dilihat sebagai pendorong munculnya ilmu pengetahuan baru, merangsang para ilmuwan menemukan gagasan-gagasan baru, utamanya dalam bidang meteorologi dan sejenisnya. Tak ketinggalan, pula menelurkan karya sastra terbaik, kita sebut saja novel Frankenstein (1818) di mana cerita dan makhluk anehnya itu diproduksi berulang-ulang dalam pelbagai bentuk cerita dongeng, juga sederet film bahkan sampai hari ini. Dan dunia tentu tak banyak yang tahu, novel tersebut lahir sebagai respon atas kalutnya hidup akibat letusan Tambora. Maka, melalui intervensi pelbagai stakeholder, kita berharap kisah Tambora akan terus berdengung dalam ensiklopedia sejarah dunia.

 

REFERENSI

Wood, G. D’Arcy. 2015. Tambora 1815: Letusan Raksasa dari Indonesia. Jakarta: PT. Zaytuna Ufuk Abadi.

Taum, Y. Yapi. 2012. “Gunung Berapi dan Kebudayaannya: Belajar dari Gunung Tambora”. Konferensi Internasional Budaya Gunung Berapi 2012 “Living with Volcano”. 8-12 November. Yogyakarta.

Comment (0)