Saya membaca buku ini sambil terharu dan mbrebes mili di beberapa bagian. Saya memang bersimpati pada kaum Syiah, sesama muslim yang banyak dikafir-kafirkan, difitnah, dimusuhi, dan bahkan diusir dari kampung halamannya di Madura. Saya dulu menangis karena sedih mengetahui kaum Syiah di Madura diusir dari kampung halaman mereka sendiri oleh saudara mereka sendiri yang Sunni. Sungguh menyedihkan…! 😢 Saya sendiri selalu membela dan tidak pernah termakan oleh propaganda orang-orang semacam Haikal Hasan dan Athian Ali M. Da’i dengan ANNASnya dan selalu membantah fitnah-fitnah mereka di medsos. Saya beberapa kali menulis tentang kaum Syiah ini.
Saya punya buku “Syiah Menurut Syiah” yang ditulis oleh Tim Ahlulbait Indonesia untuk membantah fitnah-fitnah dan tuduhan jahat dari orang-orang yang membenci kaum Syiah. Buku ini semacam ‘buku putih’ untuk memahami ajaran mazhab Syiah menurut penganut dan pengamal mazhab tersebut. Tapi ini buku serius dengan tebal 400 halaman lebih sehingga saya tidak yakin umat Islam Indonesia yang memang pada dasarnya tidak suka membaca itu mau membacanya. Tapi bukunya Iqbal ini hanyalah catatan perjalanan yang sangat menarik dan ditulis dengan suasana riang dan menghibur. Tebalnya hanya 190 halaman dengan spasi 1,5 dan dipenuhi dengan foto-foto. Dalam sekejap saja kita akan segera menyelesaikannya. Meski demikian saya yakin buku ini akan jauh lebih efektif untuk menjadi ‘buku putih Syiah’ ketimbang buku “Syiah Menurut Syiah” tersebut. Ia akan lebih efektif untuk menghapus kecurigaan dan prasangka buruk umat Islam Indonesia terhadap saudara mereka kaum Syiah. Saya harus angkat topi pada Iqbal atas usahanya untuk menjembatani prasangka dan kebencian antara umat Islam Sunni dan Syiah. Mungkin suatu saat saya harus menraktirnya makan sebagai ungkapan rasa gembira saya ini. (Nek ketemu aku tagihen, Bal). 😁
Sebagai seorang ‘ghost buster’ seperti julukan Ulil Abshar Abdalla kepada Iqbal, ia membongkar berbagai tuduhan penuh prasangka kaum Sunni pada kaum Syiah dalam bukunya ini. Salah satunya adalah soal tradisi kaum Syiah dalam menyakiti diri dalam tarian-tariannya sampai berdarah-darah. Iqbal menulis bahwa itu bukanlah ritual agama kaum Syiah tetapi tradisi lama yang bahkan oleh ulama Syiah pun sudah dilarang. Sayang sekali Iqbal tidak menjelaskan soal nikah mut’ah bagi kaum Syiah dalam bukunya. Nikah mut’ah adalah praktek yang selalu dijadikan sebagai alasan banyak kaum Sunni untuk menuding kaum Syiah sebagai sesat. Tapi tuduhan bahwa kaum Syiah menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai nabi dibantah dan merupakan karangan para broker fitnah belaka. Isu bahwa kaum Syiah mencaci para sahabat dan istri Nabi selalu dihembus-hembuskan dengan tujuan menularkan kebencian dan permusuhan di antara umat Islam. Ulama Syiah telah berkali-kali menyatakan bahwa mereka yang melaknat sahabat nabi dan istri beliau bukan bagian dari kaum Syiah.
Saya sungguh berharap ada semakin banyak buku-buku semacam ini yang akan membuat umat Islam Indonesia semakin mengenal ajaran Syiah dan semakin memahami mereka dan tidak lagi menganggap mereka sebagai kaum yang kafir. “Sunni dan Syiah adalah saudara,” demikian kata Grand Syekh Al Azhar Prof Dr Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb. Beliau mengatakan bahwa umat Islam yang berakidah Ahlussunah bersaudara dengan umat Islam dari golongan Syiah. Kementerian Agama (Kemenag) begitu juga Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga berkali-kali menegaskan bahwa seluruh umat Islam adalah saudara, tak terkecuali antar pemeluk Sunni maupun Syiah.
Sebagai seorang muslim saya sebetulnya iri pada umat Nasrani. Permusuhan dan perseteruan antara ‘mazhab’ Kristen dan Katholik yang dulunya juga berdarah-darah sekarang sudah usai. Mereka telah sepakat untuk mengubur kapak peperangan mereka. Mereka kini bisa hidup berdampingan dengan damai setelah sepakat untuk tidak sepakat. Artinya mereka telah sepakat untuk menyatakan ‘Lakum dinukum waliyadin’, agamamu untukmu dan agamaku untukku. Apa yang benar menurutmu ya silakan lakukan dan saya akan lakukan apa yang benar menurut saya. Mereka tidak pernah lagi mau terjebak untuk berdebat, apalagi bertengkar dan bermusuhan, soal agama atau ‘mazhab’ mana yang benar di antara keduanya. Mereka kini lebih suka untuk berfastabikhul khairat alias berlomba-lomba dalam kebaikan.
Saya berharap umat Islam juga mulai fokus untuk berfastabikhul khairat setelah ini. Semoga…! 🙏😁
Surabaya, 14 Februari 2024
Satria Dharma