Mengenal Batik Indonesia: Batik Yogyakarta dan Solo (1)

0
1797
Motif batik Parang (Sumber: http://tikshirt.com/)

Sekilas, Batik Yogyakarta dan Solo memang tampak sama. Sama-sama memiliki keraton sebagai pusat budaya dan pemerintahan, keduanya juga mewarisi budaya dan filosofi Jawa yang kental. Tidak heran, ketika kita tilik lagi sejarahnya, Yogyakarta dan Solo ibarat saudara kandung.

Perjanjian Giyanti memecah Kerajaan Mataram, kerajaan terbesar di Jawa pada tanggal 13 Februari 1755 Banyak pihak yang menyebut-nyebut perjanjian tersebut adalah taktik adu domba Belanda melalui VOC. Begitu Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua, yakni Surakarta Hadiningrat (wilayah timur) yang menjadi milik Sri Paduka Susuhunan Pakubuwono II dan Ngayogyakarta Hadiningrat (wilayah barat) yang berada dibawah kekuasaan Kanjeng Pangeran Mangkubumi.

Jika Yogyakarta memiliki dua keraton, yakni Keraton Kasultanan sebagai keraton utama dan Pakualaman sebagai keraton kedua; Surakarta pun demikian dengan adanya Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran. Ketika Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, pusaka dan benda-benda milik keraton dibagi dua. Busana Mataraman turut diangkut dari Surakarta ke Ngayogyakarta karena Pangeran Mangkubumi ingin melestarikannya, sehingga Keraton Surakarta di bawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan Pakubuwono II merancang busana baru. Makanya, perkembangan seni Batik tidak akan lepas dari sejarah kesultanan yang berada di tanah Jawa.

Asal–usul batik di Yogyakarta dikenal sejak Kerajaan Mataram dengan Panembahan Senopati sebagai rajanya yang pertama. Batik pada masa itu hanya terbatas dalam lingkungan keluarga keraton, digunakan untuk segala keperluanmulai dari busana harian hingga untuk menghadiri upacara tradisi. Kain batik dibuat oleh putri-putri sultan dibantu oleh para abdi dalem. Membatik di lingkungan keraton merupakan pekerjaan domestik perempuan, karena sebagai perempuan Jawa ada keharusan untuk bisa membatik. Bagi mereka, membatik melatih kesabaran, ketekunan, olah rasa dan olah karsa.

Pusat pembatikan waktu itu berada di Plered. Dari keraton, tradisi membatik meluas pada lingkar luar pertama keluarga keraton yaitu istri dari abdi dalem dan tentara kerajaan. Pada upacara resmi kerajaan, semua anggota keluarga raja baik pria maupun wanita memakai pakaian kombinasi lurik dan batik. Melihat pakaian yang dikenakan keluarga raja, rakyat tertarik dan menirunya hingga meluaslah pemakaian batik keluar dari keraton.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, Perjanjian Giyanti tahun 1755 mengatur bahwa segala macam tata busana termasuk batik diserahkan sepenuhnya kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan Keraton Yogyakarta sebagai pusat perkembangan budaya, termasuk perkembangan batik. Motif batik yang berkembang di Keraton Surakarta pakemnya tetap bersumber dari motif batik Keraton Yogyakarta.

Sebagian besar warisan budaya Jawa yang bertahan hingga kini masih kental dengan unsur Hindu-Jawa. Akulturasi budaya ini tetap dipelihara dalam keraton meskipun kehidupan masyarakatnya terus berubah dari masa ke masa. Tak heran apabila motif kain batik banyak yang mengambil filosofi Hindu sebagai bagian dari tradisi keraton.

Batik dari Keraton Yogyakarta mempunyai ciri khas dengan warna dasar kain putih (warna kain mori) atau hitam. Warna pola batik biasanya putih, biru tua kehitaman, dan coklat soga. Sered atau pinggiran kain berwarna putih. Pola geometri batik Keraton Yogyakarta besar-besar dan beberapa diantaranya memiliki pola parang dan nitik.

Ragam hias geometris antara lain garis miring lerek atau lereng, garis silang atau ceplok dan kawung, serta anyaman dan limaran. Ragam hias bersifat non-geometris adalah semen, lung-lungan dan boketan. Ragam hias yang bersifat simbolis erat hubungannya dengan falsafah Hindu-Jawa, antara lain sawat yang melambangkan mahota atau penguasa tinggi, meru melambangkan gunung atau tanah, naga melambangkan air, burung melambangkan angin atau dunia atas, dan lidah api melambangkan nyala atau geni.

Lain halnya dengan batik dari Kasunanan Surakarta. Warna putih kecoklatan atau krem menjadi ciri khas batiknya. Sementara itu, batik di Puro Pakualaman memadukan pola batik Keraton Yogyakarta dengan warna batik. Perpaduan ini dimulai karena adanya hubungan erat keluarga Puro Pakualam dengan Keraton Surakarta ketika Sri Paku Alam VII mempersunting putri Sri Susuhunan Pakubuwono X. Putri Keraton Surakarta inilah yang memberi warna dan nuansa Surakarta pada batik Pakualaman.

Motif batik Solo umumnya berawalan sida (dibaca sido), golongan motif yang banyak dibuat para pembatik. Kata “sida” sendiri berarti “menjadi terlaksana”. Dengan demikian, motif-motif berawalan “sida” mengandung harapan agar apa yang diinginkan bisa tercapai.

Lanjut ke bagian 2

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here