Derita Ahmadi di Pakistan

Setelah fatwa dan konstitusi menyatakan Ahmadiyah bukan termasuk dalam golongan Islam, kekerasan terhadap kaum Ahmadi makin menjadi-jadi.

OLEH:
Fajar Riadi
.
Derita Ahmadi di PakistanDerita Ahmadi di Pakistan
cover caption
Kaum Ahmadi bersama Hadrat Khalifatul Masih II (tengah), anak dari Mirza Ghulam Ahmad. (ajilbab.com).

PARA ulama dari 124 negara, yang tergabung dalam lembaga Rabithah al-Alam al-Islami atau Liga Muslim Sedunia, berkumpul di Kota Makkah, Arab Saudi, pada April 1974. Mereka membahas nasib kelompok yang menamakan diri Ahmadiyah: apakah mereka termasuk dalam golongan Islam atau bukan? Setelah lima hari bermuktamar, para ulama memutuskan Ahmadiyah bukan termasuk dalam golongan Islam.  

“Qadianiyah atau Ahmadiyah adalah sebuah gerakan bawah tanah yang melawan Islam dan muslim dunia, dengan penuh kepalsuan dan kebohongan mengaku sebagai sebuah aliran Islam,” cetus para ulama kala itu. Fatwa itu berdasar pada keyakinan bahwa Ahmadiyah tak sesuai dengan keyakinan Islam. Para Ahmadi –sebutan bagi para pemeluk Ahmadiyah– dinilai melenceng karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, meyakini kitab suci selain Al-Qur'an, tak meyakini jihad dengan “pedang”, dan berbagai pelanggaran lain yang tak sesuai dengan akidah Islam.

PARA ulama dari 124 negara, yang tergabung dalam lembaga Rabithah al-Alam al-Islami atau Liga Muslim Sedunia, berkumpul di Kota Makkah, Arab Saudi, pada April 1974. Mereka membahas nasib kelompok yang menamakan diri Ahmadiyah: apakah mereka termasuk dalam golongan Islam atau bukan? Setelah lima hari bermuktamar, para ulama memutuskan Ahmadiyah bukan termasuk dalam golongan Islam.  

“Qadianiyah atau Ahmadiyah adalah sebuah gerakan bawah tanah yang melawan Islam dan muslim dunia, dengan penuh kepalsuan dan kebohongan mengaku sebagai sebuah aliran Islam,” cetus para ulama kala itu. Fatwa itu berdasar pada keyakinan bahwa Ahmadiyah tak sesuai dengan keyakinan Islam. Para Ahmadi –sebutan bagi para pemeluk Ahmadiyah– dinilai melenceng karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, meyakini kitab suci selain Al-Qur'an, tak meyakini jihad dengan “pedang”, dan berbagai pelanggaran lain yang tak sesuai dengan akidah Islam.

Fatwa dari Makkah menyebar ke negara-negara lain. Di Pakistan, tempat lahirnya Ahmadiyah dan para Ahmadi paling banyak berada, terjadi demonstrasi besar-besaran yang menuntut pemerintah mencabut status kaum Ahmadi sebagai muslim. Pemerintah Pakistan akhirnya mengamandemen Konstitusi, yang mengeluarkan Ahmadiyah dari golongan muslim.  

Penerapan konstitusi baru berdampak luar biasa bagi kaum Ahmadi di Pakistan. Kekerasan terhadap para Ahmadi –yang sebelum diubahnya konstitusi telah merebak di mana-mana– makin menjadi-jadi setelahnya.

Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. (Wikimedia Commons).

Lahir di Qadiyan

Umat Islam meyakini Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan penyempurna ajaran nabi-nabi sebelumnya. Keyakinan ini teramat fundamental sehingga pengingkaran atasnya sama dengan tidak mengakui dirinya sebagai muslim. Maka, ketika Mirza Ghulam Ahmad mendaku sebagai nabi baru, sebagian muslim di India terusik.

Mirza Ghulam Ahmad lahir di Qadian, India, pada 13 Februari 1835. Oleh para pengikutnya dia digelar “Hadhrat”, yang terhormat. Dia mendirikan Ahmadiyah di Qadian pada 1889 (menurut Ahmadiyah Qadian) atau pada 1888 (menurut Ahmadiyah Lahore). Sesuai pengakuannya di beberapa buku yang ditulisnya, dia keturunan orang-orang terhormat dari Persia dan Fatimah Az-Zahrah, putri Nabi Muhammad.  

Pada 1889, Ghulam Ahmad menyatakan diri telah menerima wahyu Ilahi. Tak hanya mendaku sebagai nabi, dalam beberapa tulisannya, Ghulam Ahmad juga mendaku sebagai Imam Mahdi, Al Masih, bahkan seorang avatar Kreshna. Namun, kaum Ahmadi berdalih bahwa orang-orang yang mendakwa mereka telah salah memahami keyakinan Ahmadiyah.  

Dalam Ahmadiyah terdapat dua kategori nabi: tasyri di mana Nabi Muhammad adalah nabi terakhir; serta ghairi tasyri, golongan nabi yang tak membawa syariah. Ghairi tasyri terbagi lagi menjadi dua: mustaqil, nabi yang berdiri sendiri, serta ghairi mustaqil, menjadi nabi karena mengikut nabi lain. Ghulam Ahmad termasuk ghairi mustaqil, nabi yang melaksanakan syariah Nabi Muhammad.

Kelak sepeninggal kekhalifahan Ahmadiyah pertama –dipimpin Hadhrat Maulana Hakim Nuruddin– pada 1914, pengikut Ahmadiyah pecah menjadi dua yakni Qadian dan Lahore. Perpecahan ini disebabkan perbedaan pandangan soal pengangkatan kekhalifahan dan keyakinan atas kenabian Ghulam Ahmad. Qadian berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah Saw, dan Ghulam Ahmad adalah seorang nabi dan rasul. Sementara Lahore berkeyakinan bahwa sesudah Nabi Muhammad, nubuwat kenabian sama sekali tertutup. Bagi golongan terakhir ini, Ghulam Ahmad hanyalah seorang mujaddid atau pembaharu.

Toh, keyakinan itu tak serta-merta membuat kaum muslim bersepaham. Berkali-kali kaum muslim Pakistan menuntut supaya jemaat Ahmadiyah dibubarkan. Tuntutan ini kerap diiringi dengan demonstrasi dan kekerasan.

Bendera Ahmadiyah. (Wikimedia Commons).

Inggris, Jihad, dan Permusuhan

Sebelum merdeka, Pakistan adalah bagian dari India. Negeri-negeri di Anak Benua Asia –India, Bangladesh, Pakistan, dan biasanya Myanmar termasuk di dalamnya– pernah dipimpin Kemaharajaan Inggris Raya (British Raj) sejak era kekuasaan British East India Company (EIC) pada 1605.  

Pada 1856, ketika EIC dipimpin Gubernur Jenderal Lord Canning, rakyat India gelisah sebab mereka merasa Inggris hendak mengganti kebudayaan Hindu dan Islam dengan kebudayaan Barat. Misalnya, muncul larangan pernikahan usia dini dan sati (pembakaran janda). Muncul pula desas-desus adanya kristenisasi dan aneksasi kerajaan-kerajaan pribumi. Selain itu, pembangunan jalan kereta api dan jaringan telegraf telah merampas tanah-tanah rakyat tanpa ganti rugi.  

Keadaan buruk juga dialami para Sepoy (tentara pribumi) yang digunakan Inggris untuk memperkuat militernya di India. Upah mereka lebih rendah dibandingkan tentara Inggris. Mereka juga dipaksa melakukan ekspansi ke berbagai wilayah tanpa bekal memadai dan tak ada jaminan hidup yang jelas. Perlawanan pun dilancarkan.  

Pemberontakan Sepoy berakhir ketika EIC mengerahkan bala bantuan dari Myanmar. Namun, dunia internasional menyalahkan Inggris karena terjadi pembantaian besar-besaran pribumi India. Maka, pada 1858 EIC dibubarkan. Ratu Victoria mengumumkan India berada di bawah Kemaharajaan Inggris atau British Raj.  

Pemberontakan Sepoy memberi pukulan telak kepada Inggris. Mereka menanggung kerugian dalam jumlah besar. Namun, yang terpenting, pemberontakan itu meninggalkan jejak kebencian mendalam di antara pribumi India, terutama pemeluk Hindu dan Islam, kepada pemerintahan Inggris.  

Puluhan tahun setelah Pemberontakan Sepoy, Ghulam Ahmad tampil dan menyerukan larangan berjihad melawan Inggris kepada para pengikutnya. Dalam Government Angrezi aur Jihad (Pemerintah Inggris dan Jihad), brosur dalam bahasa Urdu yang ditulisnya tahun 1900, Ghulam Ahmad menjelaskan bahwa perlawanan kepada Inggris dengan cara pemberontakan akan merugikan umat Islam sendiri yang saat itu dalam keadaan lemah.

Menurutnya, jihad tak boleh dilakukan dengan senjata biasa, tetapi dengan pena menebarkan dakwah dan tulisan. Dia juga memandang tak ada alasan berperang melawan pemerintah yang telah memberikan kesempatan kepada semua agama untuk tumbuh dan berkembang di India. “Bahkan wajib atas mereka berterima kasih dan berbakti pada kerajaan itu,” tulis Ghulam Ahmad dalam Tabligh-i-Risalat (Penyampaian Risalah), terbit tahun 1907.  

Sebagai balasannya, pemerintah Inggris memberi sokongan kepada keluarga Ghulam Ahmad untuk mengelola kelompok Ahmadiyah. “Para siswa dari kaum Qadiyan dikirim ke Eropa untuk melanjutkan studi. Mereka juga diberi hak khusus dalam perdagangan, pertanian, industri, dan lain-lain,” tulis Ehsan Ilahi Zaheer dalam Qadiyaniat: An Analytical Survey.

Keyakinan jihad Ghulam Ahmad tampaknya menambah permusuhan dengan kaum muslim India. Protes-protes sosial berlangsung makin sering. Pada 1933, misalnya, pecah demonstrasi besar di Punjab –yang digerakkan kelompok muslim bernama golongan Ahrar– menuntut pemerintah agar Qadiani dinyatakan sebagai aliran non-Islam.  

Penyair dan cendekiawan kharismatik Muhammad Iqbal (1873–1938) turut dalam barisan Ahrar. Selain mencela kenabian Ghulam Ahmad, Iqbal juga mengkritik pemerintah. “Inggris juga menunjukkan sikap toleran yang sama kepada Ahmadiyah dengan mengizinkan para pengikutnya untuk membuka pusat kegiatan dakwahnya di Woking (Inggris). Apakah sikap toleran Inggris ini didasarkan atas kepentingan penjajahan atau karena pandangan luasnya yang murni sulit untuk kita katakan secara pasti,” tulis Iqbal dalam tulisan berjudul “Islam and Ahmadism”, dimuat di Islam, 22 Januari 1936.

Yang jelas, lanjut Iqbal, “untuk membantah berbagai kepercayaan ortodoks secara efektif perlu dicari landasan wahyu yang mendukung orientasi politik... Landasan wahyu inilah yang secara baik sekali ditampilkan oleh Ahmadiyah. Dan para anggota Ahmadi sendiri menganggap landasan ini sebagai pengabdian paling besar yang mereka lakukan untuk imperialisme.”

Masjid Baitul Futuh, tempat ibadah Ahmadiyah di London, Inggris. (Wikimedia Commons).

Makin Bergejolak di Pakistan

Semangat nasionalisme di India pada 1947, terwakili oleh dua kelompok besar: Partai Kongres Nasional India yang dipimpin Mahatma Gandhi dan Liga Muslim India yang dipimpin Mohammad Ali Jinnah.  

Ali Jinnah menuntut didirikannya negara berdaulat yang terpisah di wilayah yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Tuntutan ini dikabulkan Inggris. Maka, pada 14 Agustus 1947 Pakistan mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka dan sehari kemudian giliran India. Meski merdeka, status India dan Pakistan adalah dua negara persemakmuran Inggris. Raja George VI menjadi Raj di India dan seorang raja di Pakistan.  

Berpisahnya kedua negara membuat aktivitas Ahmadiyah sedikit terganggu. Banyak Ahmadi di Qadian –yang sejak perpecahan masuk wilayah India– diusir orang-orang Hindu dan akhirnya lari ke Pakistan, termasuk khalifah mereka, Mirza Bashirudin Mahmood Ahmad. Sejak itu pusat Ahmadiyah beralih ke Lahore, Pakistan.  

Di Lahore, Mirza Bashirudin Mahmood Ahmad terus mengembangkan Ahmadiyah. Di masa kepemimpinannya, Ahmadiyah menghasilkan karya berupa tafsir Al-Qur'an Tafsir Kabir yang merupakan tafsir lengkap sepuluh volume dan Tafsir Saghir. Digencarkan pula propaganda penyebaran Islam melalui misi pengutusan mubalig-mubalig Ahmadiyah secara aktif ke dalam maupun di luar anak benua India seperti ke Inggris, Amerika Serikat, dan Indonesia.

Namun, gelombang tuntutan pembubaran terhadap Ahmadiyah tak pernah surut. Pada 1953, Abul A’la Al Maududi, pendiri Jamaah Islamiyah Pakistan, memimpin unjuk rasa menuntut pemerintah mengeluarkan Ahmadiyah dari statusnya sebagai muslim. Mereka juga menuntut orang-orang Ahmadiyah yang menjadi pejabat tinggi di pemerintahan segera dicopot, terutama Sir Zafrullah Khan, menteri luar negeri kala itu.

Perdana Menteri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto.

Tuntutan ini tak dipenuhi pemerintah. Bahkan Al Maududi dan Maulana Sattar Khan Niazi, sekretaris jenderal Liga Muslim Awami, ditahan dan dijatuhi hukuman mati karena dituduh sebagai biang kerusuhan. Hukuman itu diringankan menjadi hanya dua tahun penjara.

Konstitusi baru Pakistan pada 1956 menetapkan negara itu menjadi sebuah Republik Islam. Konstitusi menyebut siapa yang termasuk golongan Islam dan siapa yang bukan. Tak terima Ahmadiyah masuk dalam golongan Islam, gelombang kerusuhan besar-besaran menyeruak. Puncaknya terjadi pada 1974 ketika Parlemen Pakistan, yang didominasi Jamaah Islamiyah dan Liga Muslim, meminta Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto mengamandemen konstitusi. Sejak itu Ahmadiyah tak lagi dianggap muslim di Pakistan.  

Orang-orang Ahmadi menyalahkan para ulama atas apa yang terjadi di Lahore. “Sejak Minggu terakhir dari bulan Mei 1974 terjadi kerusuhan-kerusuhan di Pakistan. Dengan dihasut kaum ulama dan digelorakan suratkabar kaum Islam yang fanatik menjalankan tindakan kekerasan terhadap orang-orang dan harta benda milik jemaat Ahmadiyah di Pakistan. Orang-orang Ahmadiyah dibunuh serta masjid, rumah, toko, perpustakaan, pabrik, gudang, dan klinik mereka dirampoki, dihancurkan, dan dibakar. Boikot sosial dan ekonomi dilakukan terhadap orang-orang Ahmadiyah di seluruh Pakistan sehingga mereka tak dapat memperoleh bahan kebutuhan sehari-hari, bahkan air minum tak dapat mereka beli. Bayi-bayi juga menderita akibat boikot itu, karena susu untuk mereka tak bisa didapat,” tulis Al Hisyam, sebuah buletin Ahmadiyah yang terbit di Ujung Pandang pada 1974.

Presiden Pakistan Jenderal Zia ul Haq. (Central Press).

Setelah Dicap “Non-Muslim”

Mengeluarkan status Ahmadiyah sebagai muslim tampaknya tak cukup berhasil. Undang-undang Pakistan diamandemen lagi pada 1984 ketika Jenderal Zia ul Haq berkuasa. Dari situ muncul ordonansi-ordonansi yang menyasar Ahmadiyah seperti penodaan agama, penistaan kitab suci Al-Qur'an, larangan memakai istilah, atau sebutan yang dialamatkan kepada istri-istri, keluarga, dan sanak saudara Nabi Muhammad.

Zia ul Haq terkenal keras terhadap para Ahmadi. Ketika menghadiri Khatme Nabuwwat Seminar, sebuah pertemuan kelompok ulama yang menentang keyakinan kenabian Ghulam Ahmad di London, dia mengatakan: “Kami akan terus berupaya dalam memastikan ‘kanker’ Qadianisme dibasmi.”  

Maka, pada 26 April 1984, Zia ul Haq melengkapi konstitusi dengan dua undang-undang terakhir sebagai bagian dari Martial Law Ordinance XX –dikenal dengan Ordonansi XX– yang mengubah hukum pidana Pakistan.  

Menurut Ordonansi XX, para Ahmadi dilarang menggunakan kata-kata tertentu –misalnya menyebut rumah ibadahnya “masjid”, mengumandangkan “azan”, larangan mencantumkan kalimat syahadat pada nisan, dan melarang pertemuan tahunan Ahmadiyah di Rabwah. Dakwah Ahmadiyah juga dilarang kecuali kepada golongannya sendiri, termasuk pelarangan publikasi Ahmadi. Mereka yang melanggar dikenai hukuman penjara tiga tahun dan denda tak terbatas.

Dalam empat tahun pelaksanaan Ordonansi XX, lebih dari 3.000 kasus pelanggaran dituduhkan kepada pemeluk Ahmadiyah. Enam dijatuhi hukuman 25 tahun penjara dan empat orang dijatuhi hukuman mati. Sub Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas pada Juli 1998 telah meminta Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UNHCHR) untuk “meminta pemerintah Pakistan mencabut Ordonansi XX.”  

Sejak 2000, setidaknya 400 Ahmadi didakwa dalam kasus pidana, termasuk jerat pasal penodaan agama. Beberapa dihukum dan dipenjara atau menunggu hukuman mati. Tuduhan itu termasuk memakai atribut Islam pada pakaian dan merencanakan pembangunan masjid di Lahore. Penerapan pidana yang keras membuat para Ahmadi terdesak. Akibatnya, ribuan Ahmadi meninggalkan Pakistan ke negara-negara lain seperti Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat guna mencari suaka.  

Pada Mei 2010 sebuah serangan mematikan terjadi Lahore. Kejadiannya usai salat Jumat ketika kelompok Taliban Punjabi –yang mengklaim melakukan serangan ini– melempar granat dan menembaki jemaat Ahmadiyah. Setidaknya 94 orang tewas dan lebih dari 120 terluka dalam serangan yang beriringan di dua baitul hikmah –sebutan untuk masjid milik jemaat Ahmadiyah.  

Entah berapa kali lagi penyerangan-penyerangan itu masih akan terjadi.*

Majalah Historia No. 14 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
661950fe964ff786f218ac01